Part 18
Tangisan Altair yang nyaring mengagetkan semua orang. Cahaya buru-buru bangkit, menggendong bayinya, berusaha menenangkan meskipun hatinya sendiri terasa berantakan.“Shh… sayang, Ibu di sini,” bisiknya dengan suara lembut, meski air mata menggenang di matanya.Bu Ratna segera mendekat dan membantu Cahaya menepuk punggung kecil bayi itu. Pak Dirga masih menatap Angkasa dengan sorot kecewa, sementara Angkasa sendiri tampak gelisah, tidak tahu harus melakukan apa.Tak lama, seorang perawat masuk tergesa-gesa. “Maaf, apa yang terjadi di sini? Tolong jangan membuat keributan. Pasien butuh istirahat.”Perawat itu menatap mereka semua satu per satu, lalu menghela napas. “Tuan, jika Anda tidak memiliki urusan mendesak, saya harap Anda bisa meninggalkan ruangan agar pasien bisa beristirahat.”Angkasa menelan ludah. Ia tahu ia harus pergi sebelum keadaan semakin buruk. Tanpa berkata-kata, ia melangkah mendekati Elena dan mencengkePart 29"Tante, saya benar-benar nggak tahu apa-apa."Cahaya mendengus pelan, melihat Elena yang berpura-pura polos."Mbak nggak tahu apa-apa?" Suara Cahaya bergetar lalu tersenyum masam.Elena mengedip pelan, wajahnya berusaha tampak tenang, tapi kilat gugup terlihat di matanya."Serius, Cahaya ... Aku cuma datang buat jenguk.""Pergi dari sini, Elena," ucap Angkasa tegas.Elena menoleh ke arah Angkasa yang masih terbaring lemah. Tatapan pria itu dingin, sama sekali tak ada keramahan seperti dulu."Aku cuma mau memastikan Mas Angkasa baik-baik saja.""Kamu nggak perlu repot-repot memastikan," sela Bu Ratna tajam. "Kami keluarga di sini, cukup buat menjaga Angkasa. Nggak perlu orang asing."Elena tersenyum getir, berusaha menahan rasa malu yang menjalar di wajahnya. Namun, ia tetap bersikap manis."Baiklah, kalau memang kehadiran aku nggak diterima..." Ia melangkah mundur, tapi sebelum
Kedua preman itu melesat pergi dengan mobilnya meninggalkan Angkasa yang tergeletak di pinggir jalan. Salah seorang pria menelepon."Halo, Kak Elena... udah beres. Orangnya babak belur.""Dia tidak mati bukan?""Tenang saja, dia masih hidup. Paling masuk rumah sakit."Elena tersenyum puas mendengar laporan itu."Bagus. Biar dia tahu rasa."Ia menutup telepon, menyesap minuman di gelas kristal sambil memandangi hujan di luar jendela.***Cahaya mondar-mandir di ruang tamu, sesekali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Hatinya semakin gelisah. Angkasa belum juga pulang, padahal tadi sore ia bilang hanya akan keluar sebentar.Ponselnya berkali-kali ia cek, tapi tak ada panggilan ataupun pesan masuk. Ia bahkan menghubunginya tapi nomornya tidak aktif.Bu Ratna yang duduk di sofa menatap menantunya dengan cemas."Cahaya... duduk dulu, Nak. Mungkin Angka
Part 28"Mas A--Angkasa... a--aku cuma... aku cuma--""Cuma apa, hah? Cuma mau balas dendam karena aku nggak mau sama kamu?!" Angkasa semakin mempererat cengkeramannya, membuat napas Elena semakin tersengal.Air mata Elena mulai mengalir, wajahnya pucat. Tapi Angkasa tak peduli. Amarah yang membara di dadanya nyaris membuatnya hilang kendali.Tiba-tiba, suara dering ponsel dari sakunya membuatnya tersadar. Napasnya memburu, tapi perlahan ia melonggarkan cengkeramannya. Elena terjatuh ke lantai, terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya.Angkasa merogoh saku, melihat nama Cahaya di layar ponsel. Seketika hatinya mencelos.Ia menatap Elena yang masih terengah-engah di lantai."Aku nggak akan tinggal diam, Elena. Kamu bakal bayar semua ini." Suaranya dingin, penuh ancaman.Tanpa menunggu jawaban, Angkasa berbalik dan melangkah keluar.Angkasa menekan tombol hijau di layar ponselnya, menempelkan perangkat it
Bu Ratna berdiri, berjalan mendekati Angkasa. Matanya berkaca-kaca, tapi sorot kemarahan begitu nyata. "Kamu penyebab semua ini, Angkasa... Sejak awal Mama sudah bilang, jangan berhubungan lagi dengan dia! Kamu sudah punya Cahaya kenapa cari perempuan lain di luar sana 'hah?" Angkasa memejamkan mata, menahan sakit yang terasa menyesakkan dada. "Aku... minta maaf, Ma..." "Kata maaf tidak bisa mengembalikan Papamu!" bentaknya. Cahaya mencoba meredam kemarahan ibu mertuanya. "Ma, tolong jangan begini ... Mama duduk dulu ya, aku tahu perasaan Mama masih kalut." Bu Ratna perlahan merosot duduk di kursi tunggu, bahunya bergetar menahan isakan. Cahaya ikut duduk di sampingnya, merangkul ibu mertuanya dengan penuh kasih. "Mama, jangan begini... Mama harus kuat." Cahaya berusaha menenangkan meski suaranya bergetar. Bu Ratna bersandar di bahu Cahaya, air mat
Part 27 "Aku dijebak, Cahaya... Aku nggak pernah ngelakuin ini." Cahaya terisak, hatinya berperang antara percaya dan luka yang terkoyak. Melihat ekspresi Cahaya, Angkasa mengusap wajahnya kasar, frustasi. "Dia jebak aku waktu aku bilang ada pekerjaan dan pulang pagi. Aku gak sadar tiba-tiba kepalaku pusing. Pas aku bangun, dia udah ada di sebelahku, pura-pura tidur. Aku pastikan aku nggak ngapa-ngapain. Semua ini cuma rencana dia buat ngancurin kita, Cahaya. Ini juga bukan di hotel, tapi di rumah Elena." Air mata Cahaya jatuh perlahan. "Kenapa kamu nggak cerita dari awal, Mas?" Suaranya lirih. Angkasa mengusap wajahnya kasar, menahan emosi. "Maaf Cahaya. Aku nggak mau kamu khawatir... Aku pikir kalau aku diam, semuanya bakal selesai." Cahaya menunduk, bahunya bergetar. Angkasa melangkah mendekat perlahan, berlutut di depannya. "Aku benar-benar mi
Cahaya terdiam. Luka lama itu kembali menganga, meskipun Angkasa selalu meyakinkannya."Aku bakal lindungin kamu dan Altair... apa pun yang terjadi," ucap Angkasa lirih, namun penuh janji.Cahaya hanya mengangguk pelan, matanya menatap suaminya dengan penuh kepercayaan.Keesokan paginya, Cahaya masih merasa gelisah. Semalaman ia nyaris tidak tidur, Angkasa yang tidur di sampingnya menyadari kegelisahan itu."Kamu nggak usah mikirin kejadian kemarin terus, Cahaya... Aku udah cari orang buat jaga-jaga di sekitar rumah."Cahaya menoleh, matanya tampak lelah. "Aku takut, Mas... Kalau orang itu datang lagi... gimana kalau mereka berhasil kali ini?"Angkasa langsung menggenggam tangan istrinya erat."Nggak akan ada yang bisa ambil Altair dari kita. Aku janji."Tatapan Angkasa begitu dalam, seolah ingin menegaskan kalau ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh keluarganya. Cahaya mengangguk pelan. Pagi it