แชร์

Part 5

ผู้เขียน: TrianaR
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-17 10:36:46

Bab 5

Papa menghela napas panjang, terlihat lelah. "Kita cari Cahaya lagi besok pagi. Sekarang kita harus fokus sama Mama dulu."

Aku mengangguk pelan, meskipun pikiranku tetap berkecamuk.

Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang IGD. "Keluarga Ny. Ratna?"

Aku dan Papa langsung berdiri. "Bagaimana keadaan Mama saya, Dok?" tanyaku cepat.

"Saat ini kondisinya sudah lebih stabil. Dari hasil pemeriksaan awal, tekanan darahnya naik cukup tinggi karena stres. Untungnya, tidak ada tanda-tanda serangan jantung, tapi beliau tetap harus beristirahat dan menghindari tekanan emosi berlebihan."

Aku menghela napas lega, meskipun masih ada sisa kekhawatiran di dadaku. "Terima kasih, Dok."

"Kami akan observasi beliau semalaman. Kalau tidak ada masalah lebih lanjut, besok sudah bisa pulang," tambah dokter itu sebelum kembali ke dalam.

Aku dan Papa masuk ke ruang perawatan. Mama sudah berbaring di ranjang dengan infus terpasang di tangannya. Matanya terpejam tapi wajahnya terlihat lelah.

Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. "Ma, maafin aku..."

Aku ingin berkata bahwa ini semua salahku, bahwa aku gagal menjaga Cahaya, tapi aku tidak ingin membuat Mama semakin sedih.

Papa menepuk pundakku. "Kamu istirahat juga, Angkasa. Besok kamu lanjut cari Cahaya."

Aku mengangguk, meskipun aku tahu tidur akan sulit malam ini. Di luar sana, Cahaya masih sendirian entah di mana.

***

Keesokan harinya ...

Aku mengemudikan mobil tanpa arah yang jelas, menyusuri jalanan kota dengan hati yang gelisah. Sudah hampir seharian aku mencari Cahaya, tapi jejaknya seperti menghilang begitu saja.

Teleponku berbunyi. Aku buru-buru meraihnya, berharap itu dari Cahaya, tapi yang muncul di layar justru nomor Papa. Dengan cepat aku mengangkatnya.

"Angkasa! Kamu sudah ketemu Cahaya?"

Aku menghela napas, berusaha menekan rasa frustrasi. "Belum, Pa. Aku sudah keliling ke beberapa tempat, tapi nggak ada yang melihatnya."

Papa mengumpat pelan di seberang. "Sudah mau dua hari Cahaya ada di luar! Dan kamu masih belum bisa menemukannya? Kamu ini suami macam apa? Cahaya sedang hamil, Angkasa! Papa menyesal, kamu biarkan dia pergi begitu saja tanpa tahu dia ada di mana!"

Rahangku mengatup. Aku tahu ini salahku.

"Mama bagaimana, Pa?"

"Mama masih menangis ! Kondisinya belum stabil karena kepikiran Cahaya! Ingat ya, Angkasa kamu nggak bisa pulang sebelum ketemu Cahaya! Kalau sesuatu terjadi sama dia dan bayinya, Papa nggak akan pernah maafin kamu!"

Telepon langsung diputus. Aku melempar ponsel ke kursi samping dengan frustrasi.

Aku menginjak pedal gas lebih dalam, mencari ke mana pun Cahaya mungkin pergi. Tapi semakin lama, semakin jelas bahwa aku tak punya petunjuk sama sekali.

Aaarrrggghhh siiaall!!

Di perempatan jalan, aku melihat seseorang melambai ke arahku. Aku menyipitkan mata. Sosok itu berjalan mendekat dengan angkuh. Rambut panjangnya tergerai indah, rok ketat dan high heels yang dikenakannya menambah kesan mewah.

Elena.

Aku mengumpat dalam hati. Aku tidak punya waktu untuk ini.

Tapi Elena sudah berdiri di depan kap mobilku, memaksaku mengerem mendadak. Dengan cepat dia membuka pintu mobil dan masuk ke kursi penumpang.

"Hei Elena! Aku belum nyuruh kamu masuk!" sergahku.

Elena hanya tersenyum kecil, menyilangkan kakinya dengan anggun. "Aku capek berdiri, dan kebetulan kita bertemu. Jadi, kenapa nggak sekalian ngobrol?"

Aku mendengus kesal. "Aku lagi sibuk, Elena. Turun."

Elena melipat tangannya. "Sibuk? Sibuk apa, Mas? Kemarin kamu ninggalin aku, kita gak jadi jalan-jalan. Terus ini kita gak sengaja bertemu di sini, kamu kenapa malah emosi sama aku?"

"Elena, waktunya sekarang tidak tepat, aku harus cari Cahaya."

"Cahaya? Kenapa dengan istrimu itu?"

"Cahaya pergi dari rumah."

"Pergi? Hahaha, jadi Cahaya kabur?Sungguh sebuah kejutan!" Nada suaranya terdengar mengejek.

Aku menatapnya tajam. "Jangan bicara seperti itu, El!"

Elena menghela napas dramatis. "Mas, kenapa sih kamu buang-buang waktu buat perempuan itu? Dia pergi, ya biarin aja. Bisa jadi dia memang udah bosan sama kamu."

Tanganku mengepal di atas kemudi. "Cukup, Elena."

Tapi dia malah tertawa kecil. "Aku serius. Aku nggak ngerti kenapa kamu segitunya sama dia. Dulu kamu nggak pernah seperti ini. Kamu selalu ada waktu buat aku."

Aku mengembuskan napas panjang, menahan amarah yang nyaris meledak. Aku tidak punya waktu untuk ini. Tidak sekarang.

Aku menoleh ke arah Elena dengan tatapan tajam. "Aku nggak mungkin diam saja sementara orang tuaku marah karena Cahaya menghilang. Aku nggak bisa tenang kalau dia belum ketemu."

Elena mendecakkan lidah, lalu menyandarkan punggungnya ke jok dengan santai. "Kenapa kamu begitu peduli, sih? Cahaya itu bukan siapa-siapa, Mas. Dia cuma perempuan biasa yang kebetulan jadi istrimu karena keterpaksaan. Kamu kan bisa dapat yang lebih baik, dari pada gadis yang hamil duluan karena pacarnya."

Aku menoleh cepat, tatapanku penuh amarah. "Jaga ucapanmu, Elena!"

Elena mengangkat bahu, seolah tidak peduli. "Aku cuma bilang fakta. Kamu dulu nggak pernah sepeduli ini, kan?"

Tanganku mencengkeram kemudi dengan erat. Aku harus segera menyingkirkan Elena dari mobilku sebelum dia membuatku semakin emosi.

"Turun, Elena."

Elena menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu terkekeh. "Aku baru saja naik, dan kamu sudah mengusirku?"

Elena mendekat, ujung jarinya menyentuh lenganku, tapi aku langsung menepisnya kasar.

"Jangan sentuh aku," desisku dingin.

Elena mendelik. "Mas Angkasa! Aku ini Elena! Elena yang kamu cintai. Kenapa kamu bersikap seperti ini? Kamu nggak bisa begitu aja ninggalin aku!"

Aku menekan pelipisku. "Dengar, aku benar-benar nggak punya waktu buat omong kosongmu ini. Aku harus cari Cahaya. Jadi kalau kamu nggak mau turun, aku yang akan menurunkan kamu."

Elena terdiam sejenak, tapi kemudian wajahnya berubah marah. "Kamu lebih milih dia daripada aku? Perempuan biasa yang bahkan nggak bisa menjaga kehormatannya sendiri?"

Darahku mendidih. "Diam, Elena!" Aku menatapnya tajam. "Cahaya jauh lebih baik dari kamu dalam segala hal! Dan aku nggak mau dengar satu kata pun yang merendahkan dia!"

Kulihat keterkejutan di mata Elena. Entah kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulutku. Mungkin menyakitkan baginya.

Aku mendesah pelan. Tiba-tiba saja teringat kebaikan Cahaya selama ini. Cahaya selalu menyiapkan baju-bajuku, menyiapkan air hangat untukku mandi, membuatkan kopi bahkan menyiapkan sarapan meski aku jarang menyentuh makanannya. Semua pekerjaan rumah dilakukannya dengan baik, tapi aku malah mengabaikannya.

Aku terlalu sibuk dengan egoku sendiri, terlalu buta untuk melihat bahwa Cahaya selalu ada di sisiku, bahkan ketika aku tidak pantas untuk menjadi seorang suami.

"Turun sekarang sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran." Suaraku lebih rendah namun penuh penekanan.

Elena menatapku, lalu mendesah pelan. Ekspresi manjanya berubah kesal.

"Kamu akan menyesal, Mas, udah bikin aku kayak gini!" katanya sebelum membanting pintu mobil. Braaakkk!

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 13A

    Bab 13Aku mengemudikan mobil dengan sisa tenaga yang kupunya. Mataku sedikit berkunang-kunang karena lebam di wajahku, sementara dadaku masih terasa nyeri akibat pukulan tadi. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah yang belum juga reda.Begitu tiba di rumah, aku turun dengan langkah gontai. Argh sial sekali, ayah mertuaku sendiri yang memukuliku.Namun, baru saja aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, ponselku kembali bergetar. Dengan malas, aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar: Pak Surya--Sekretaris Kantor Pusat.Aku langsung terduduk, mengusap wajahku yang masih terasa perih sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?""Pak Angkasa, Anda baik-baik saja?" Suara sekretaris terdengar sedikit ragu.Aku mengerutkan kening. "Ya, Pak. Ada apa?" tanyaku, mencoba terdengar profesional meskipun suaraku sedikit serak."Setelah kami amati beberapa minggu terakhir ini, sepertinya ada masalah dengan

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 12B

    Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tahu Elena peduli, tapi aku tidak butuh ini sekarang.Perlahan, aku menarik tanganku. "Elena, aku menghargai niat baikmu."Elena menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti. Tapi Mas, kalau suatu hari kamu sadar, aku harap kamu ingat, masih ada tempat untukmu kembali. Aku masih di sini, Mas. Menunggumu."Aku menatapnya dalam. Kasihan juga kekasihku ini. Entah kenapa Elena berubah jadi lembut begini, padahal terakhir ketemu Elena terus marah-marah.Elena lalu berdiri, merapikan tasnya, lalu tersenyum padaku. "Sekarang, pulanglah, Mas. Istirahatlah dulu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku pulang dulu ya, aku tetap cinta sama kamu, apapun yang terjadi."Aku hanya bisa diam saat dia pergi meninggalkan kafe.***Hari-hari berlalu, aku memutuskan beristirahat tidak melakukan pencarian, meski Papa mendesakku agar terus mencari Cahaya."Pa, aku

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 12A

    Bab 12Aku langsung berdiri. "Di mana alamatnya?! Tolong beri tahu saya!"Suara di telepon menyebutkan alamat. Entah kenapa mendengarnya jantungku terasa berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi Papa."Hallo Papa! Aku dapat informasi!""Apa?" "Ada yang melihat Cahaya di pinggiran kota!""Cepat susul dia! Bawa Cahaya pulang.""Baik, Pa, aku akan ke lokasi sekarang!"Tanpa membuang waktu, aku mengambil kunci mobil dan berlari keluar menuju tempat parkir.Aku tidak peduli seberapa jauh atau seberapa buruk kondisiku sekarang. Aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalan yang sepi. Malam sudah larut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Cahaya secepat mungkin.Saat tiba di alamat yang disebutkan, aku langsung keluar dari mobil dan berdiri di depan kompleks kos-kosan kecil. Aku

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 11B

    "Kos-kosan punya kenalan. Tempatnya bersih, cukup nyaman buat istirahat. Aku udah ngobrol sama pemiliknya, dia bisa kasih harga murah, dan kalau kamu belum ada uang, bisa bayar belakangan."Cahaya menatapnya, bingung. "Kenapa kamu repot-repot nolongin aku?"Alam menatap lurus ke matanya. "Aku cuma nggak tega, Cahaya. Kamu hamil besar, sendirian, dan nggak punya tujuan. Aku bukan orang kaya, tapi kalau bisa bantu meskipun sedikit, kenapa nggak?"Cahaya menggigit bibir, hatinya berkecamuk. Sejak ia pergi dari rumah tadi pagi, ia tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti Alam—orang asing yang dengan tulus mau membantunya tanpa pamrih.Perawat datang lagi dan mulai melepaskan infusnya. "Baik, Bu Cahaya, kalau sudah siap, nanti bisa langsung ke meja administrasi untuk penyelesaian berkas."Setelah perawat pergi, Alam berdiri. "Ayo, aku temenin ke luar."Mereka berjalan perlahan keluar dari ruang perawatan, menuju meja a

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 11A

    Bab 11Cahaya masih menggeleng lemah, tetap bersikeras. "Aku nggak mau ke rumah sakit…"Alam menghela napas panjang. "Bukan rumah sakit, kita ke puskesmas aja. Deket dari sini.""Tapi aku nggak mau berhutang…" suara Cahaya nyaris tak terdengar.Alam menatapnya dengan serius. "Siapa yang bilang kamu harus bayar? Di puskesmas nggak semahal rumah sakit. Yang penting kamu dan bayi kamu selamat."Namun, Cahaya tetap diam, menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Alam mengumpat pelan. Melihat Cahaya yang makin pucat dan tubuhnya mulai gemetar, ia tahu tak bisa terus membujuknya dengan kata-kata.Tanpa pikir panjang, Alam langsung berdiri dan menoleh ke sekeliling. Ia melihat beberapa ibu pedagang kaki lima yang tengah duduk di bangku dekat warung, serta beberapa juru parkir yang tengah bersandar di bawah pohon."Ibu! Pak! Tolong bantu saya!" serunya lantang.Beberapa orang langsung menoleh. Se

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 10

    Bab 10"Kalau sampai sesuatu terjadi pada putriku, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Angkasa! Kamu akan menanggung akibatnya!"Suara ancaman Pak Lanang menggema di telingaku, penuh amarah dan kecemasan. Aku menutup mata, menahan debar jantung yang berdegup kencang.Aku ingin menyangkal, tapi... tidak bisa. Karena itu benar. Cahaya pergi karena aku.Panggilan telepon dari bapak mertuaku seolah menjadi cambuk yang menyadarkanku. Tanpa membuang waktu, aku kembali menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan sekali lagi berkeliling menyusuri kota Surabaya. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, membelah jalanan malam yang semakin sepi. Kata-kata Pak Lanang terus terngiang di benakku. Setibanya di rumah, aku melihat mobil Papa sudah terparkir di garasi. Aku buru-buru masuk dan mendapati Mama duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan."Angkasa!" Mama langsung berdiri begitu melihatku. "Bagaimana? Ada kabar Cahaya?"Aku menggeleng lemah. "Belum, Ma..."Mama menutup mulutnya, matan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status