LOGINGian kembali mendekati Gina, berlutut di samping ranjang. Ia mengulurkan kotak biru itu padanya, matanya berbinar penuh harap.
"Untukmu," ucap Gian dengan suara yang sedikit bergetar. Gina menatap kotak itu dengan bingung, lalu beralih menatap Gian. Ia bisa melihat ketegangan dan harapan di mata pria yang dicintainya itu. Dengan ragu, ia menerima kotak itu dari tangan Gian. "Apa ini?" tanya Gina dengan suara berbisik. Gian tersenyum semakin lebar. "Buka saja," jawabnya. Dengan jantung berdebar kencang, Gina membuka kotak biru itu. Di dalamnya, terbaring sebuah cincin berlian yang berkilauan indah. Mata Gina terbelalak, mulutnya terbuka tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menatap cincin itu, lalu kembali menatap Gian dengan tatapan tak percaya. "Gina," ucap Gian, meraih tangan Gina dan menggenggamnya erat. "Maukah kau menikah denganku?" Mata Gina berkaca-kaca menatap cincin berlian di tangannya. Hatinya bergejolak antara bahagia dan ragu. Ia memang mendambakan Gian menjadi miliknya seutuhnya, namun ada ganjalan yang membuatnya tak bisa sepenuhnya bahagia. "Gian," ucap Gina dengan suara bergetar, "aku... aku tidak bisa." Gian mengerutkan keningnya, bingung. "Tidak bisa? Kenapa?" Gina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku tidak bisa menerima ini kalau kamu masih terikat dengan Salsa. Aku ingin kamu menjadi milikku seutuhnya, tanpa ada bayang-bayang masa lalu." Gian terdiam sejenak, mencerna kata-kata Gina. Ia mengerti apa yang diinginkan wanita itu, namun ada hal yang membuatnya ragu. "Aku akan menceraikan Salsa," jawab Gian dengan suara pelan. "Tapi tidak sekarang. Ada waktu yang tepat untuk melakukan itu. Sekarang, yang kuinginkan hanyalah kamu." Gina menatap Gian dengan tatapan menyelidik. Ia mencoba mencari kejujuran di mata pria itu. "Kapan? Kapan waktu yang tepat itu akan tiba? Aku tidak mau terus menunggu dalam ketidakpastian." Gian menggenggam tangan Gina semakin erat. "Percayalah padaku. Aku akan melakukannya. Tapi untuk saat ini, bisakah kamu menerimaku apa adanya? Bisakah kamu percaya bahwa aku hanya menginginkanmu, meskipun aku belum sepenuhnya bebas?" Senyum misterius mengembang di bibir Gina, membuat Gian semakin bingung. Ia tidak mengerti apa yang ada di pikiran wanita itu. "Aku mengerti," ucap Gina dengan nada yang sulit ditebak. "Kamu lakukan bagianmu, dan aku akan melakukan bagianku." Gian mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" Gina meraih tangan Gian dan menggenggamnya erat. "Apapun yang aku lakukan dengan 'bagianku', kamu tidak boleh melarangnya." Gian terkejut mendengar perkataan Gina. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak beres. "Apa yang akan kamu lakukan?" tanyanya dengan nada khawatir. Gina hanya tersenyum tanpa menjawab. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Gian, lalu mencium bibirnya dengan lembut. "Percayalah padaku," bisik Gina di sela ciumannya. "Semua akan baik-baik saja." Gian terdiam sejenak, menatap mata Gina yang penuh misteri. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu, namun ia tak bisa menahannya. Hasratnya terlalu besar, cintanya terlalu dalam. "Baiklah," jawab Gian dengan suara serak. "Aku setuju." Senyum kemenangan terukir di bibir Gina. Ia menarik Gian ke dalam pelukannya, lalu melumat bibirnya dengan penuh nafsu. Gian membalas ciuman itu dengan liar, melupakan segala keraguan dan kekhawatiran yang menghantuinya. Ciuman mereka semakin dalam dan panas, membawa mereka kembali ke dalam pusaran gairah yang tak terkendali. Gian merasakan tubuh Gina bergetar hebat, tanda bahwa wanita itu sudah siap untuk menyerahkan diri sepenuhnya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Gian mengangkat tubuh Gina dan membawanya kembali ke atas ranjang. Ia menindih tubuhnya, menciumi setiap inci kulitnya dengan penuh nafsu. Gina hanya bisa mendesah pasrah, menikmati setiap sentuhan yang diberikan Gian. Gian terus memacu dirinya, merasakan setiap denyutan di tubuhnya yang semakin menggila. Gina menggeliat di bawahnya, napasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya basah oleh keringat. Ia tak tahu sudah berapa kali wanita itu mencapai puncak kenikmatannya, yang ia tahu hanyalah ia ingin terus memberikan yang terbaik untuknya. Gina mencengkeram punggung Gian dengan erat, mencoba menyeimbangkan diri di tengah badai yang menerjangnya. Setiap sentuhan Gian terasa semakin dalam dan membakar, membuatnya merasa seperti terbakar hidup-hidup. "Gian..." desah Gina, suaranya nyaris tak terdengar di antara erangan yang saling bersahutan. Gian tidak menjawab. Ia hanya terus memacu dirinya, mengikuti instingnya yang paling primal. Ia ingin membawa Gina ke puncak tertinggi, merasakan ledakan kenikmatan yang akan mereka ingat selamanya. Gina kembali menjerit keras, tubuhnya menegang lalu melemas seketika. Ia mencapai puncaknya lagi, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Gian terus memacu dirinya hingga akhirnya ia pun ikut mencapai klimaksnya. Mereka berdua terkapar lemas di atas ranjang, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka basah oleh keringat. Mereka saling berpelukan erat, menikmati kebersamaan mereka setelah badai gairah yang baru saja berlalu. Setelah napasnya mulai teratur, Gian mengeratkan pelukannya pada Gina. Ia mencium rambutnya yang basah, lalu berbisik lembut di telinganya, "Aku sangat mencintaimu, sayang." Gina mendongak, menatap Gian dengan tatapan penuh cinta. Senyum kecil menghiasi bibirnya. "Kamu memang hebat di ranjang, sayang," godanya. Namun, senyum itu perlahan memudar, digantikan oleh keraguan. "Apa kamu seperti ini juga kepada Salsa?" tanyanya dengan nada cemburu. Gian terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak," jawabnya. "Selama satu tahun menikah, aku tidak pernah sekalipun menyentuh Salsa. Satu-satunya wanita bagiku hanyalah kamu, Gina." Mata Gina berbinar mendengar pengakuan Gian. Ia merasa lega dan bahagia. Ia tahu, Gian benar-benar mencintainya. "Benarkah?" tanya Gina, memastikan. Gian mengangguk, lalu mencium bibir Gina dengan lembut. "Sungguh. Kamu adalah satu-satunya wanita yang ada di hatiku." Gina membalas ciuman Gian dengan penuh gairah. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Ia memiliki Gian, pria yang sangat ia cintai, dan pria itu hanya mencintainya seorang.Air mata Salsa sudah tidak terbendung lagi. "Apa yang kamu lakukan pada Selly, Sasa?!" bentak Ken, wajahnya merah padam.Salsa terkejut. "Aku? Aku tidak melakukan apa-apa, Ken. Aku hanya...""Jangan berbohong! Aku tahu kamu sengaja tadi!" tuduh Ken, matanya menyala marah."Tapi, Ken, aku," Salsa mencoba membela diri, suaranya bergetar. Belum juga Salsa selesai berbicara Ken menyela ucapan Salsa."Bahkan untuk bicara dengannya pun kamu sangat tidak pantas, Sasa!" potong Ken, suaranya meninggi. "Selly itu lebih berkelas daripada kamu!"Salsa mencoba menjelaskan, "Tapi Ken, aku istrimu. Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu selalu membela dia?""Berhenti berulah, Sasa! Jangan membuat aku semakin muak padamu!" Ken sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Salsa yang berdiri terpaku di ruang tamu."Ken, tunggu!" Salsa mencoba menggapai Ken, tapi pria itu sudah melangkah keluar pintu.Salsa menangis dengan gemetar. Bagaimana bisa Ken memperlakukan
Salsa terbangun karena dering ponsel. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Ken, yang pertama kali melihat ponsel itu di laci nakas, meraihnya."Halo?" Ken menjawab panggilan itu."Kamu lagi apa?" Terdengar suara Salsa dari sampingnya, masih setengah terpejam.Saat Ken hendak memberikan ponsel itu pada Salsa, panggilan tiba-tiba terputus. Salsa dengan cepat menyambar ponselnya."Siapa itu?" tanya Ken penasaran.Salsa menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Mungkin salah sambung.""Nomor siapa?" Ken bertanya lagi, sedikit menyelidik."Tidak tahu, Ken. Udah ah, aku mau tidur lagi," jawab Salsa sambil memejamkan mata.Ken hanya mengangguk singkat, lalu berbalik dan meninggalkan Salsa di kamarnya.Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Salsa dan Ken duduk berhadapan, namun tak ada percakapan yang terjalin. Keheningan hanya dipecahkan oleh suara denting alat makan. Setelah selesai, Ken berpamitan untuk berangkat ke kantor."Aku pergi dulu ya," ucap Ken datar."Hati-hati," jawab
Ken mencoba membuka pintu kamar Salsa, tapi ternyata terkunci. Dengan kesal, ia menggedor pintu itu keras-keras. "Salsa, buka pintunya!" teriak Ken dari luar. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Salsa berdiri di ambang pintu, matanya sembab. Ken langsung masuk tanpa permisi. "Kenapa sih teriak-teriak?" tanya Salsa, suaranya serak. Belum sempat Ken menjawab, seorang wanita lain menghampiri mereka. "Kenapa kalian ribut-ribut?" Wanita itu, yang bernama Selly, langsung bergelayut manja di lengan Ken. "Ayo, Ken, balik ke meja makan." Ken menghela napas. "Berhenti, Selly. Pulanglah dulu ke rumahmu." Selly mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku maunya sama kamu." Ken mengeluarkan ponselnya dan menelepon Dion. "Dion, bisa tolong jemput Selly? Dia harus pulang sekarang." Selly yang mendengar percakapan itu langsung naik pitam. "Kamu jahat, Ken! Aku benci kamu!" Tanpa menunggu jawaban, Selly berbalik dan membanting pintu saat keluar dari kamar Salsa. Ken meraih tangan Salsa, "Kamu marah
Salsa berlari menuju kamarnya, membanting pintu hingga menimbulkan suara keras yang menggema di seluruh rumah. Pikirannya kalut. "Siapa wanita itu?" gumamnya lirih. "Kenapa Ken tiba-tiba jadi dingin padaku?"Tak lama, Salsa bangkit dari tempat tidurnya. Dengan tangan gemetar, ia mengunci pintu kamarnya. "Aku harus cari tahu," bisiknya pada diri sendiri. Ia membuka lipatan kertas yang berisi nomor telepon dan alamat Ibu Citra. Jantungnya berdebar kencang saat jari-jarinya menekan tombol di layar ponselnya.Panggilan pertama tak diangkat. "Ayolah, angkat..." Salsa mencoba lagi, dan lagi, namun hasilnya tetap sama. Nada sambung terus berdering tanpa ada jawaban. "Sial!" umpatnya frustrasi.Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu dari luar. Tok! Tok! Tok!Salsa terkejut dan segera menyembunyikan kertas dan ponselnya di bawah bantal. Ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya dan berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu.Saat pintu terbuka, Salsa mendapati Bi Nina berdiri di hadap
Beberapa hari berlalu, Salsa masih dihantui kebingungan yang mendalam. Bayangan Ken yang kasar dan dingin terus berputar di benaknya. "Ada apa dengannya? Ini bukan Ken yang kukenal," gumamnya lirih, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Namun, di tengah kebingungannya, ia teringat akan sosok Citra, mantan asisten mendiang ibunya. Wanita paruh baya itu selalu memberikan nasihat. "Ken bisa melindungimu, Salsa. Dia pria yang bertanggung jawab."Ia harus bertemu Citra dan ia merindukan Ibu Retno. Ia ingin kembali ke kost-an, tempat ia merasa lebih dekat dengan masa lalunya, tempat ia bisa bernapas lega tanpa dihantui tatapan dingin Ken. Menunggu Ken yang tak kunjung pulang, Salsa akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia harus mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.Saat Salsa hendak melangkah keluar dari rumah mewah itu, Bi Inah, sang pembantu setia, menghalangi jalannya. "Maafkan saya, Nyonya," ucap Bi Nina dengan nada menyesal. "Tuan Ken sudah berpesan, N
Suasana di meja makan terasa begitu tegang dan canggung. Salsa tidak berani menanyakan apapun lagi, takut memperburuk suasana. Tapi, kejadian semalam dan sikap dingin Ken pagi ini membuatnya sangat sedih. Bahkan di malam pertamanya, Salsa ditinggalkan oleh Ken tanpa penjelasan.Setelah Ken selesai makan, ia bangkit dan pergi meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata pun. Salsa tidak bisa menahan diri lagi. Ia mengejar Ken dan memeluknya dari belakang. "Ken, ada apa denganmu? Kenapa kau berubah?" tanyanya dengan nada lirih, berusaha menahan air mata.Ken menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik menghadap Salsa. "Habiskan makananmu," jawabnya singkat dan dingin, lalu melepaskan pelukan Salsa dan pergi begitu saja.Salsa tertegun, menatap kepergian Ken dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia bingung dan tidak mengerti. Baru beberapa hari lalu, pria ini begitu romantis dan manis padanya. Kenapa sekarang dia berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Apa yang seben







