LOGIN
"Tut... tut... tut..."
Nada sambung itu terdengar lagi, memecah keheningan rumah mewah yang terasa begitu dingin. Salsa menempelkan ponsel ke telinga, napasnya tertahan. Ini sudah panggilan ke sekian, dan Gian tetap tak menjawab. "Ke mana sih dia?" gumamnya, kecemasan mulai merayap, mencengkeram hatinya. Dicobanya sekali lagi, seolah berharap keajaiban. "Tut... tut... tut..." Hampa. Salsa memejamkan mata, bayangan terburuk mulai menari-nari di benaknya. "Angkat dong, Gian," bisiknya, suaranya tercekat. Setelah beberapa kali mencoba menelepon tanpa hasil, Salsa akhirnya menyerah. Jemarinya gemetar saat membuka aplikasi pesan, lalu mulai mengetik. ”Sayang, kamu di mana? Kok semalam nggak pulang? Aku khawatir banget." Salsa menatap layar ponselnya, setiap notifikasi yang muncul membuatnya melambung dalam harapan, lalu jatuh lagi saat menyadari itu bukan dari Gian. "Ya ampun, ke mana sih dia? Nggak biasanya begini," gumamnya sambil menggigit bibirnya, berusaha menenangkan badai di hatinya. Dengan perasaan gundah, Salsa akhirnya memutuskan untuk bangkit dari tempat tidur. "Sudahlah, mungkin nanti juga ada kabar," bisiknya pada diri sendiri. Ia melangkah menuju kamar mandi, membiarkan air hangat menyiram tubuhnya, berharap dapat mengusir sedikit rasa khawatir yang menghantuinya. Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, Salsa turun ke lantai bawah. Rumah mewah itu terasa hampa tanpa kehadiran Gian. Mereka memang berasal dari keluarga berada, sehingga semua pekerjaan rumah tangga sudah diurus oleh asisten rumah tangga. Salsa berjalan menuju ruang makan, di mana meja sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan lezat. Namun, nafsu makannya hilang entah ke mana. Ia hanya mengambil sedikit nasi dan beberapa potong buah, lalu duduk dengan tatapan kosong. "Non Salsa sarapan dulu, nanti sakit," ujar Bi Inah, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di keluarga itu, suaranya penuh perhatian. Salsa hanya tersenyum tipis. "Iya, Bi. Ini Salsa makan," jawabnya lirih. Bi Inah menatap Salsa dengan prihatin. Ia tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran non majikannya itu. "Den Gian belum pulang ya, Non?" tanyanya hati-hati. Salsa menggeleng pelan. "Belum, Bi. Aku juga nggak tahu dia di mana." Bi Inah menghela napas. "Sabar ya, Non. Mungkin Den Gian lagi ada urusan penting." Salsa hanya mengangguk tanpa menjawab. Ia tahu Bi Inah hanya berusaha menghiburnya, tapi hatinya tetap saja tidak tenang. Ia berharap Gian segera pulang dan memberikan penjelasan. Selesai menyantap sarapan yang terasa hambar, Salsa kembali ke kamarnya. Ia meraih ponselnya, memeriksa sekali lagi apakah ada pesan atau panggilan dari Gian. Nihil. Hatinya mencelos. Dengan helaan napas panjang, Salsa meletakkan kembali ponselnya di atas meja. "Sudahlah," bisiknya pada diri sendiri. "Nggak mungkin juga aku nungguin dia terus." Salsa kemudian beranjak menuju lemari pakaiannya. Ia memilih setelan yang nyaman namun tetap modis, sesuai dengan citranya sebagai pemilik butik. Hari ini, ia harus profesional dan fokus pada pekerjaannya. "Aku harus tetap produktif," gumamnya sambil memoleskan sedikit riasan di wajahnya. "Nggak boleh terus-terusan sedih begini." Setelah merasa penampilannya cukup baik, Salsa mengambil tas kerjanya dan bersiap untuk pergi. Sebelum keluar kamar, ia melirik sekali lagi ke arah ponselnya, berharap ada keajaiban. Namun, layar itu tetap kosong. "Ya sudah," ucapnya pasrah. "Semoga saja nanti ada kabar baik." Salsa pun melangkah keluar kamar, meninggalkan kesunyian dan kekhawatiran di belakangnya. Ia menekan tombol starter, dan mesin mobilnya meraung halus. Ia menginjak pedal gas, meninggalkan rumah mewahnya menuju butik yang menjadi salah satu sumber penghasilannya. Di sepanjang perjalanan, pikirannya masih tertuju pada Gian, namun ia berusaha mengalihkan perhatiannya dengan mendengarkan musik dari radio. Sesampainya di butik, Salsa disambut hangat oleh para karyawannya. Ia membalas sapaan mereka dengan senyum ramah, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang masih menghantuinya. "Selamat pagi, Bu," sapa salah seorang karyawannya. "Pagi, semua," jawab Salsa. "Gimana kondisi butik hari ini?" "Ramai seperti biasa, Bu," jawab karyawan tersebut. Salsa mengangguk lega. Ia kemudian menuju ruang kerjanya dan mulai memeriksa laporan penjualan, stok barang, dan keuangan butik. Ia teliti memeriksa setiap detail, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. "Bu, ini laporan penjualan minggu ini," ujar seorang karyawan sambil menyerahkan sebuah map. Salsa menerima map tersebut dan mulai membacanya dengan seksama. Ia juga memeriksa laporan stok barang, memastikan tidak ada kekurangan atau kelebihan yang signifikan. "Oke, stok barang aman. Penjualan juga bagus. Tingkatkan terus ya," ujar Salsa kepada para karyawannya. Ia berharap dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan, ia bisa melupakan sejenak masalahnya dengan Gian. Namun, bayangan suaminya itu tetap saja muncul di benaknya. "Ke mana Gian sebenarnya?" pikirnya. Setelah menyelesaikan sebagian besar pekerjaannya, Salsa memutuskan untuk bersantai sejenak. Ia menikmati teh hangat yang disiapkan oleh salah seorang karyawannya sambil duduk di sofa empuk di ruang kerjanya. Matanya menerawang, pikirannya masih melayang-layang memikirkan Gian. Tiba-tiba, suara notifikasi pesan W******p memecah keheningan. Salsa segera meraih ponselnya dan membuka pesan tersebut. Matanya membulat saat membaca pesan dari Bi Inah: "Non, Den Gian sudah pulang ke rumah." Tanpa pikir panjang, Salsa langsung bangkit dari kursinya. Hatinya berdebar kencang, antara lega dan penasaran. Ia meraih tas dan kunci mobilnya, lalu bergegas keluar dari ruang kerjanya. "Saya pamit duluan ya, semua," ucap Salsa kepada para karyawannya dengan nada sedikit terburu-buru. "Iya, Bu. Hati-hati di jalan," jawab salah seorang karyawannya. Salsa membalas dengan senyuman singkat, lalu melangkah cepat menuju mobilnya. Salsa memasukkan kunci ke dalam mobil, bersiap untuk pulang. Saat mesin mobil baru saja menyala, sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya. Pesan dari Vania, sahabatnya. "Sa, semalam Gian pulang nggak sih?" Salsa mengerutkan kening. "Nggak kok, Van. Emang kenapa?" balasnya cepat, jari-jarinya menari di atas keyboard. Tak lama, Vania mengirimkan sebuah foto. "Semalam aku lihat orang mirip Gian di apartemen temanku. Menurut kamu ini Gian bukan?" Jantung Salsa berdebar gila, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Dengan tangan gemetar, ia menyentuh layar, membuka foto itu. Dan di sana, terpampang jelas...Air mata Salsa sudah tidak terbendung lagi. "Apa yang kamu lakukan pada Selly, Sasa?!" bentak Ken, wajahnya merah padam.Salsa terkejut. "Aku? Aku tidak melakukan apa-apa, Ken. Aku hanya...""Jangan berbohong! Aku tahu kamu sengaja tadi!" tuduh Ken, matanya menyala marah."Tapi, Ken, aku," Salsa mencoba membela diri, suaranya bergetar. Belum juga Salsa selesai berbicara Ken menyela ucapan Salsa."Bahkan untuk bicara dengannya pun kamu sangat tidak pantas, Sasa!" potong Ken, suaranya meninggi. "Selly itu lebih berkelas daripada kamu!"Salsa mencoba menjelaskan, "Tapi Ken, aku istrimu. Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu selalu membela dia?""Berhenti berulah, Sasa! Jangan membuat aku semakin muak padamu!" Ken sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Salsa yang berdiri terpaku di ruang tamu."Ken, tunggu!" Salsa mencoba menggapai Ken, tapi pria itu sudah melangkah keluar pintu.Salsa menangis dengan gemetar. Bagaimana bisa Ken memperlakukan
Salsa terbangun karena dering ponsel. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Ken, yang pertama kali melihat ponsel itu di laci nakas, meraihnya."Halo?" Ken menjawab panggilan itu."Kamu lagi apa?" Terdengar suara Salsa dari sampingnya, masih setengah terpejam.Saat Ken hendak memberikan ponsel itu pada Salsa, panggilan tiba-tiba terputus. Salsa dengan cepat menyambar ponselnya."Siapa itu?" tanya Ken penasaran.Salsa menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Mungkin salah sambung.""Nomor siapa?" Ken bertanya lagi, sedikit menyelidik."Tidak tahu, Ken. Udah ah, aku mau tidur lagi," jawab Salsa sambil memejamkan mata.Ken hanya mengangguk singkat, lalu berbalik dan meninggalkan Salsa di kamarnya.Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Salsa dan Ken duduk berhadapan, namun tak ada percakapan yang terjalin. Keheningan hanya dipecahkan oleh suara denting alat makan. Setelah selesai, Ken berpamitan untuk berangkat ke kantor."Aku pergi dulu ya," ucap Ken datar."Hati-hati," jawab
Ken mencoba membuka pintu kamar Salsa, tapi ternyata terkunci. Dengan kesal, ia menggedor pintu itu keras-keras. "Salsa, buka pintunya!" teriak Ken dari luar. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Salsa berdiri di ambang pintu, matanya sembab. Ken langsung masuk tanpa permisi. "Kenapa sih teriak-teriak?" tanya Salsa, suaranya serak. Belum sempat Ken menjawab, seorang wanita lain menghampiri mereka. "Kenapa kalian ribut-ribut?" Wanita itu, yang bernama Selly, langsung bergelayut manja di lengan Ken. "Ayo, Ken, balik ke meja makan." Ken menghela napas. "Berhenti, Selly. Pulanglah dulu ke rumahmu." Selly mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku maunya sama kamu." Ken mengeluarkan ponselnya dan menelepon Dion. "Dion, bisa tolong jemput Selly? Dia harus pulang sekarang." Selly yang mendengar percakapan itu langsung naik pitam. "Kamu jahat, Ken! Aku benci kamu!" Tanpa menunggu jawaban, Selly berbalik dan membanting pintu saat keluar dari kamar Salsa. Ken meraih tangan Salsa, "Kamu marah
Salsa berlari menuju kamarnya, membanting pintu hingga menimbulkan suara keras yang menggema di seluruh rumah. Pikirannya kalut. "Siapa wanita itu?" gumamnya lirih. "Kenapa Ken tiba-tiba jadi dingin padaku?"Tak lama, Salsa bangkit dari tempat tidurnya. Dengan tangan gemetar, ia mengunci pintu kamarnya. "Aku harus cari tahu," bisiknya pada diri sendiri. Ia membuka lipatan kertas yang berisi nomor telepon dan alamat Ibu Citra. Jantungnya berdebar kencang saat jari-jarinya menekan tombol di layar ponselnya.Panggilan pertama tak diangkat. "Ayolah, angkat..." Salsa mencoba lagi, dan lagi, namun hasilnya tetap sama. Nada sambung terus berdering tanpa ada jawaban. "Sial!" umpatnya frustrasi.Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu dari luar. Tok! Tok! Tok!Salsa terkejut dan segera menyembunyikan kertas dan ponselnya di bawah bantal. Ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya dan berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu.Saat pintu terbuka, Salsa mendapati Bi Nina berdiri di hadap
Beberapa hari berlalu, Salsa masih dihantui kebingungan yang mendalam. Bayangan Ken yang kasar dan dingin terus berputar di benaknya. "Ada apa dengannya? Ini bukan Ken yang kukenal," gumamnya lirih, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Namun, di tengah kebingungannya, ia teringat akan sosok Citra, mantan asisten mendiang ibunya. Wanita paruh baya itu selalu memberikan nasihat. "Ken bisa melindungimu, Salsa. Dia pria yang bertanggung jawab."Ia harus bertemu Citra dan ia merindukan Ibu Retno. Ia ingin kembali ke kost-an, tempat ia merasa lebih dekat dengan masa lalunya, tempat ia bisa bernapas lega tanpa dihantui tatapan dingin Ken. Menunggu Ken yang tak kunjung pulang, Salsa akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia harus mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.Saat Salsa hendak melangkah keluar dari rumah mewah itu, Bi Inah, sang pembantu setia, menghalangi jalannya. "Maafkan saya, Nyonya," ucap Bi Nina dengan nada menyesal. "Tuan Ken sudah berpesan, N
Suasana di meja makan terasa begitu tegang dan canggung. Salsa tidak berani menanyakan apapun lagi, takut memperburuk suasana. Tapi, kejadian semalam dan sikap dingin Ken pagi ini membuatnya sangat sedih. Bahkan di malam pertamanya, Salsa ditinggalkan oleh Ken tanpa penjelasan.Setelah Ken selesai makan, ia bangkit dan pergi meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata pun. Salsa tidak bisa menahan diri lagi. Ia mengejar Ken dan memeluknya dari belakang. "Ken, ada apa denganmu? Kenapa kau berubah?" tanyanya dengan nada lirih, berusaha menahan air mata.Ken menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik menghadap Salsa. "Habiskan makananmu," jawabnya singkat dan dingin, lalu melepaskan pelukan Salsa dan pergi begitu saja.Salsa tertegun, menatap kepergian Ken dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia bingung dan tidak mengerti. Baru beberapa hari lalu, pria ini begitu romantis dan manis padanya. Kenapa sekarang dia berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Apa yang seben







