MasukJantung Salsa berdegup kencang saat mobilnya memasuki pekarangan rumah. Ia menekan klakson beberapa kali agar satpam segera membukakan gerbang. Setelah mobilnya terparkir dengan rapi, Salsa langsung berlari masuk ke dalam rumah, tak sabar untuk bertemu dengan Gian.
"Bi, Gian di mana?" tanya Salsa dengan napas tersengal-sengal kepada Bi Inah yang sedang membereskan meja makan. "Ada di kamarnya, Non," jawab Bi Inah sambil menunjuk ke arah tangga. Tanpa menunggu lebih lama, Salsa langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya dan Gian. Setiap langkahnya terasa berat, dipenuhi dengan harapan dan kecemasan. Ia tak tahu apa yang akan menantinya di dalam kamar itu. Apakah Gian akan menyambutnya dengan senyuman, atau justru dengan tatapan dingin seperti biasanya? Salsa menarik napas dalam-dalam sebelum meraih kenop pintu kamar. Ia memutar kenop itu perlahan, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Pemandangan di dalam kamar itu membuatnya terkejut dan bingung. Salsa membuka pintu kamar perlahan, namun ruangan itu kosong. Hatinya kembali mencelos. "Ke mana lagi dia?" gumamnya lirih. Dengan langkah ragu, Alea berjalan menuju ruang kerja Gian, ruangan yang jarang ia masuki. Ia memutar kenop pintu dan membukanya. Di dalam ruangan itu, Gian terlihat sedang duduk di kursi kerjanya sambil berbicara di telepon. Posisi Gian membelakangi Salsa, sehingga ia tidak menyadari kedatangan istrinya. Tanpa berpikir panjang, Salsa langsung menghampiri Gian dan memeluknya erat dari belakang. Ia menyandarkan kepalanya di punggung Rian, merasakan kehangatan tubuh suaminya yang sangat ia rindukan. "Aku khawatir banget sama kamu," bisik Salsa lirih di telinga Gian, berharap suaminya itu merasakan betapa ia mencintainya dan betapa ia merindukannya. Gian tersentak kaget merasakan pelukan Salsa dari belakang. Ia dengan cepat melepaskan pelukan itu, lalu berbalik menghadap Salsa dengan ekspresi tidak suka. "Aku tutup teleponnya dulu ya, nanti aku telepon lagi," ucap Gian kepada lawan bicaranya di telepon. Ia kemudian mematikan sambungan telepon dengan kasar. Gian menatap Salsa dengan tajam. "Kenapa kamu masuk nggak ketuk pintu dulu? Apa kamu nggak ngerti sopan santun?" bentaknya dengan nada tinggi. Salsa mendengar bentakan Gian. Matanya berkaca-kaca menahan air mata. Ia tidak menyangka Rian akan semarah ini hanya karena ia masuk tanpa mengetuk pintu. "Aku... aku cuma khawatir sama kamu," jawab Salsa lirih dengan suara bergetar. "Aku teleponin dari tadi nggak diangkat-angkat. Aku cuma pengen tahu kamu baik-baik aja." Gian mendengus kasar. "Khawatir? Kalau khawatir nggak perlu sampai masuk tanpa permisi begini. Ini ruang kerja aku, bukan kamar tidur kamu. Lain kali, ketuk pintu dulu sebelum masuk!" Salsa semakin terisak mendengar kata-kata kasar Gian. Ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Ia tidak mengerti, mengapa Gian selalu bersikap dingin dan kasar kepadanya. Padahal, ia sangat mencintai Gian dan selalu berusaha menjadi istri yang baik. Salsa menundukkan kepalanya, air mata mulai membasahi pipinya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf, Aku nggak bermaksud ganggu kamu. Aku cuma khawatir..." Salsa mencoba meraih tangan Gian, namun Gian dengan kasar menepis tangannya. "Maaf? Maaf aja nggak cukup! Sekarang keluar!" bentak Gian dengan nada yang semakin tinggi. Salsa sangat terkejut dan ketakutan melihat kemarahan Gian yang begitu besar. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan berlari keluar dari ruang kerja Gian. Ia tidak ingin berlama-lama berada di dekat Gian yang sedang marah. Dengan langkah tergesa-gesa, Salsa berlari menuju kamarnya. Ia menutup pintu kamar dengan keras, lalu bersandar di balik pintu sambil terisak-isak. Ia tidak mengerti, mengapa Gian selalu memperlakukannya seperti ini. Mengapa Gian selalu marah dan membentaknya? Apa salahnya? Mengapa Gian tidak bisa melihat betapa ia mencintainya? Salsa merasa sangat sedih dan terluka. Ia merasa seperti tidak berharga di mata Gian. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membuat Gian mencintainya. Salsa terisak-isak di balik pintu kamarnya. Air mata terus mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa begitu hancur dan sendirian. Semua kesedihan dan kekecewaan yang selama ini ia pendam, akhirnya meledak menjadi tangisan yang tak terkendali. Salsa memang selalu memendam semua masalahnya sendiri. Ia tidak pernah menceritakan apa yang ia rasakan kepada siapa pun, bahkan kepada keluarganya sendiri. Walaupun ia memiliki keluarga, namun ia merasa tidak memiliki tempat untuk berbagi. Ibunya telah lama meninggal dunia. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita dan memiliki seorang putri lain. Ayahnya sangat menyayangi putranya, sementara Salsa merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Salsa menikah dengan Gian karena perjodohan yang diatur oleh ayahnya sebelum ibunya meninggal. Saat itu, Salsa baru berusia 23 tahun, usia yang terlalu muda untuk menikah. Namun, ayahnya bersikeras agar ia segera menikah, karena ia merasa Salsa adalah beban baginya. Salsa merasa sangat terluka dengan sikap ayahnya itu. Ia merasa tidak dicintai dan tidak diinginkan. Ia merasa seperti tidak memiliki arti apa pun bagi keluarganya. "Kenapa hidupku seperti ini?" ratap Salsa dalam hati. "Kenapa aku harus menikah dengan orang yang tidak mencintaiku? Kenapa keluargaku tidak pernah peduli padaku? Apa salahku?" Salsa terus menangis hingga ia tertidur pulas di balik pintu kamarnya. Dalam tidurnya, ia berharap ada seseorang yang datang dan menyelamatkannya dari kehidupan yang penuh dengan kesedihan dan kekecewaan ini. Salsa terlelap dalam tidurnya yang penuh air mata, hatinya dipenuhi luka yang menganga. Ia tidak memiliki teman dekat, sejak kecil ia selalu bersama Gian. Dulu, Gian adalah sosok yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, melindunginya dari segala kesulitan. Salsa selalu merasa aman dan nyaman berada di dekat Gian. Namun, mengapa Gian yang dulu ia kenal begitu berbeda dengan Gian yang sekarang menjadi suaminya? Mengapa Gian begitu dingin dan kasar kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, tanpa ada jawaban yang pasti. Salsa masih ingat dengan jelas kata-kata Gian saat mereka akan menikah, "Jangan harap aku bisa mencintaimu. Aku temanmu, bukan pasanganmu." Kata-kata itu bagai pisau yang menusuk hatinya, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terpaksa menerima perjodohan itu demi menyenangkan ayahnya. Sudah satu tahun mereka menikah, namun mereka belum pernah berhubungan suami istri sama sekali. Gian selalu menolak setiap kali Salsa mencoba mendekatinya. Ia selalu tidur di kamar yang berbeda, dan memperlakukan Salsa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Salsa merasa sangat kesepian dan terasingkan. Ia merasa seperti hidup dalam neraka yang tak berujung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengubah situasi ini. Apakah ia harus terus bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia ini, ataukah ia harus menyerah dan mencari kebahagiaannya sendiri?Air mata Salsa sudah tidak terbendung lagi. "Apa yang kamu lakukan pada Selly, Sasa?!" bentak Ken, wajahnya merah padam.Salsa terkejut. "Aku? Aku tidak melakukan apa-apa, Ken. Aku hanya...""Jangan berbohong! Aku tahu kamu sengaja tadi!" tuduh Ken, matanya menyala marah."Tapi, Ken, aku," Salsa mencoba membela diri, suaranya bergetar. Belum juga Salsa selesai berbicara Ken menyela ucapan Salsa."Bahkan untuk bicara dengannya pun kamu sangat tidak pantas, Sasa!" potong Ken, suaranya meninggi. "Selly itu lebih berkelas daripada kamu!"Salsa mencoba menjelaskan, "Tapi Ken, aku istrimu. Aku hanya ingin tahu, kenapa kamu selalu membela dia?""Berhenti berulah, Sasa! Jangan membuat aku semakin muak padamu!" Ken sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Ia berbalik dan pergi, meninggalkan Salsa yang berdiri terpaku di ruang tamu."Ken, tunggu!" Salsa mencoba menggapai Ken, tapi pria itu sudah melangkah keluar pintu.Salsa menangis dengan gemetar. Bagaimana bisa Ken memperlakukan
Salsa terbangun karena dering ponsel. Sebuah nomor tak dikenal tertera di layar. Ken, yang pertama kali melihat ponsel itu di laci nakas, meraihnya."Halo?" Ken menjawab panggilan itu."Kamu lagi apa?" Terdengar suara Salsa dari sampingnya, masih setengah terpejam.Saat Ken hendak memberikan ponsel itu pada Salsa, panggilan tiba-tiba terputus. Salsa dengan cepat menyambar ponselnya."Siapa itu?" tanya Ken penasaran.Salsa menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Mungkin salah sambung.""Nomor siapa?" Ken bertanya lagi, sedikit menyelidik."Tidak tahu, Ken. Udah ah, aku mau tidur lagi," jawab Salsa sambil memejamkan mata.Ken hanya mengangguk singkat, lalu berbalik dan meninggalkan Salsa di kamarnya.Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Salsa dan Ken duduk berhadapan, namun tak ada percakapan yang terjalin. Keheningan hanya dipecahkan oleh suara denting alat makan. Setelah selesai, Ken berpamitan untuk berangkat ke kantor."Aku pergi dulu ya," ucap Ken datar."Hati-hati," jawab
Ken mencoba membuka pintu kamar Salsa, tapi ternyata terkunci. Dengan kesal, ia menggedor pintu itu keras-keras. "Salsa, buka pintunya!" teriak Ken dari luar. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Salsa berdiri di ambang pintu, matanya sembab. Ken langsung masuk tanpa permisi. "Kenapa sih teriak-teriak?" tanya Salsa, suaranya serak. Belum sempat Ken menjawab, seorang wanita lain menghampiri mereka. "Kenapa kalian ribut-ribut?" Wanita itu, yang bernama Selly, langsung bergelayut manja di lengan Ken. "Ayo, Ken, balik ke meja makan." Ken menghela napas. "Berhenti, Selly. Pulanglah dulu ke rumahmu." Selly mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku maunya sama kamu." Ken mengeluarkan ponselnya dan menelepon Dion. "Dion, bisa tolong jemput Selly? Dia harus pulang sekarang." Selly yang mendengar percakapan itu langsung naik pitam. "Kamu jahat, Ken! Aku benci kamu!" Tanpa menunggu jawaban, Selly berbalik dan membanting pintu saat keluar dari kamar Salsa. Ken meraih tangan Salsa, "Kamu marah
Salsa berlari menuju kamarnya, membanting pintu hingga menimbulkan suara keras yang menggema di seluruh rumah. Pikirannya kalut. "Siapa wanita itu?" gumamnya lirih. "Kenapa Ken tiba-tiba jadi dingin padaku?"Tak lama, Salsa bangkit dari tempat tidurnya. Dengan tangan gemetar, ia mengunci pintu kamarnya. "Aku harus cari tahu," bisiknya pada diri sendiri. Ia membuka lipatan kertas yang berisi nomor telepon dan alamat Ibu Citra. Jantungnya berdebar kencang saat jari-jarinya menekan tombol di layar ponselnya.Panggilan pertama tak diangkat. "Ayolah, angkat..." Salsa mencoba lagi, dan lagi, namun hasilnya tetap sama. Nada sambung terus berdering tanpa ada jawaban. "Sial!" umpatnya frustrasi.Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu dari luar. Tok! Tok! Tok!Salsa terkejut dan segera menyembunyikan kertas dan ponselnya di bawah bantal. Ia mengusap air mata yang masih membasahi pipinya dan berusaha menenangkan diri sebelum membuka pintu.Saat pintu terbuka, Salsa mendapati Bi Nina berdiri di hadap
Beberapa hari berlalu, Salsa masih dihantui kebingungan yang mendalam. Bayangan Ken yang kasar dan dingin terus berputar di benaknya. "Ada apa dengannya? Ini bukan Ken yang kukenal," gumamnya lirih, menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Namun, di tengah kebingungannya, ia teringat akan sosok Citra, mantan asisten mendiang ibunya. Wanita paruh baya itu selalu memberikan nasihat. "Ken bisa melindungimu, Salsa. Dia pria yang bertanggung jawab."Ia harus bertemu Citra dan ia merindukan Ibu Retno. Ia ingin kembali ke kost-an, tempat ia merasa lebih dekat dengan masa lalunya, tempat ia bisa bernapas lega tanpa dihantui tatapan dingin Ken. Menunggu Ken yang tak kunjung pulang, Salsa akhirnya memutuskan untuk bertindak. Ia harus mencari jawaban atas semua pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.Saat Salsa hendak melangkah keluar dari rumah mewah itu, Bi Inah, sang pembantu setia, menghalangi jalannya. "Maafkan saya, Nyonya," ucap Bi Nina dengan nada menyesal. "Tuan Ken sudah berpesan, N
Suasana di meja makan terasa begitu tegang dan canggung. Salsa tidak berani menanyakan apapun lagi, takut memperburuk suasana. Tapi, kejadian semalam dan sikap dingin Ken pagi ini membuatnya sangat sedih. Bahkan di malam pertamanya, Salsa ditinggalkan oleh Ken tanpa penjelasan.Setelah Ken selesai makan, ia bangkit dan pergi meninggalkan meja makan tanpa sepatah kata pun. Salsa tidak bisa menahan diri lagi. Ia mengejar Ken dan memeluknya dari belakang. "Ken, ada apa denganmu? Kenapa kau berubah?" tanyanya dengan nada lirih, berusaha menahan air mata.Ken menghentikan langkahnya, namun tidak berbalik menghadap Salsa. "Habiskan makananmu," jawabnya singkat dan dingin, lalu melepaskan pelukan Salsa dan pergi begitu saja.Salsa tertegun, menatap kepergian Ken dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Ia bingung dan tidak mengerti. Baru beberapa hari lalu, pria ini begitu romantis dan manis padanya. Kenapa sekarang dia berubah menjadi sosok yang dingin dan acuh tak acuh. Apa yang seben







