Share

Bukti (3)

Author: Asa Jannati
last update Last Updated: 2022-04-30 20:46:42

-Bukti-

‘Kalau belum bisa bersandiwara dengan sempurna, jangan coba-coba mengganggu rumah tanggaku, Nem,’ bisik hatiku. Tentu aku tak akan melontarkan kata-kata itu sekarang. Belum waktunya!

“Ee, anu, Bu. Sa-saya dapet dari nemu,” ucap gadis berhidung bangir itu, gugup.

“Nemu?” Aku menatap matanya tajam.

“I-iya, Bu.” Ia sedikit membuang muka merasa terintimidasi. Nem-Inem, harusnya kamu tenang saja, bukankah anggapanmu aku tak tahu affairmu.

“Nemu dimana?”

“Eee….” Inem berpikir lama.

“Kamu kenapa, Nem?” tanyaku datar tapi dengan tatapan curiga.

“Apa, Nem?” Mas Hangga yang sudah di dalam rumah datang menghampiri.

“Oh, itu, itu punya temanku, Ma. Ketinggalan di mobil, kali,” ucapnya santai.

“Eh, oh, iya, maksud Inem, nemu di mobil. Inem pikir ‘kan nggak dipake Bapak. Jadi Inem mau pake buat di kamar mandi Inem.” jawabnya. Ia melepas napas terlihat lega.

“Waduh, kayak kurang sabun aja kamu, pake barang ginian. Stock sabun, odol di lemari juga ‘kan banyak, tinggal ambil saja lho, Nem.” Aku tertawa kecil, berusaha menghilangkan ketegangan hatinya yang tadi sengaja kubuat.

“He he he, iya, Bu.”

Selamat Nem, kali ini kamu lolos. Akting dan kecerdasan Mas Hangga memang tak bisa diragukan lagi.

“Yasudah, yuk masuk,” ajak Mas Hangga. Ia merangkul bahuku mesra, membimbing masuk. Tapi angin telah memberitahuku dari tubuh Mas Hangga tercium bau sabun seperti seseorang yang habis mandi.

Aku memasukkan plastik berisi sabun hotel dan sebagainya tadi ke dalam kotak brankas. Lalu menguncinya.

***Ajt

pukul sembilan malam. Aku sedang menonton film pada saluran tivi kabel di ruang tamu. Anak-anak sudah tertidur tiga puluh menit yang lalu. Mas Hangga datang menghampiri. Ia mencium kepalaku dari belakang, lalu ikut menonton disebelahku.

“Belum tidur, Mas?”

“Sebentar lagi, nunggu kamu masuk kamar, Dek.”

“Ya tidur duluan aja, aku masih mau ngerampungin ini film.”

Mas Hangga justru membelai pipiku hingga turun ke tengkuk leher.

Aku tahu ia sedang memberi isyarat. Tapi aku sedang tak ingin meladeninya. Membayangkan saat ia berdua bersama Inem saja membuatku menjadi begitu membenci Mas Hangga.

“Anak-anak kita sekarang makin lucu-lucu, ya, Dek.”

“Ya, tentu, dan semakin dewasa. Akan selalu melihat perbuatan yang dilakukan kedua orang tuanya, juga akan meniru entah itu baik atau buruk.”

“Iya, makanya Mas nggak mau kehilangan momen saat mereka masih kecil begini. Mas selalu ajak mereka main kemanapun kalau sempat. Tapi masih ada yang kurang bagi Mas, Dek.”

“Hemm, apa?”

“Mas ingin kita punya anak laki-laki.”

“Mas, bukannya kita sudah sepakat, anak dua cukup.”

“Ya, tapi setelah Mas pikir-pikir, nambah satu lagi, bisalah. Sekarang penghasilan Mas juga kan sudah lumayan gede. Kita kan juga belum punya anak laki-laki.”

Apa maksud Mas Hangga tiba-tiba kepikiran ingin punya anak lagi? Apakah maksudnya ia ingin aku pelan-pelan mau menerima kehamilan Inem? Nggak, Mas. Nggak Akan!

“Belum tentu lahir anak ketiga itu laki-laki, Mas. Kalau perempuan lagi, apa Mas mau? Aku sudah malas hamil. Pekerjaanku juga semakin menyita waktu sekarang, ditambah akhir tahun ini aku akan diangkat jadi kepala cabang. Pastinyamakin sibuk.”

Mas Hangga menghela napas cepat, mungkin kesal.

“Kayaknya aku akan ambil dua orang pengasuh anak berpengalaman dari yayasan aja kedepan, mas. Kan penghasilan kita sudah cukup. Mungkin Inem mau kupulangkan, biar anak-anak kita makin pinter kalau yang jaga adalah orang yang selain bisa mengasuh, merawat, juga mendidik.”

Mas Hangga sedikit bereaksi. Tapi aku yakin dia kaget. Hanya saja tak ingin aku curiga.

“Mas rasa Inem cukup pintar ngajarin anak kita, Dek. kasihan kalau dia nggak salah apa-apa dipulangkan. Kalau mau, cari satu lagi aja yang seperti Inem, tapi yang pulang pergi. Nah kalau gini Mas setuju.”

“Kenapa, Mas? Mas keberatan Inem aku pulangkan?”

Aku menatapnya tajam. Ia belingsatan tapi mencoba tenang.

“Ya bukan gitu, Dek, Inem kan sudah lama di sini, sudah cocok dengan anak-anak. Kasihan anak-anak kalau harus pisah dengan Inem.”

“Kamu yakin banget kalau Inem cocok sama anak-anak? anak-anak aja ditelantarkan gitu di arena bermain kemarin. Dia berani-beraninya menitipkan anakku sama orang lain yang nggak aku kenal, dan itu lama, lo. Kamu nggak cek, Mas? Kemana saja dia? Atau jangan-jangan pergi sama kamu!?”

Aku menatap tajam mata Mas Hangga sekali lagi. Kutatap lama dan kucecar dengan pertanyaan seperti itu, Mas Hangga gugup, ia lekas membuang muka ke arah telvisi di hadapan kami.

“Kan sudah Mas bilang, Masnya meeting sama rekan bisnis. Ya, mungkin benar, Dek. Dia ke toilet, namanya juga orang sakit perut ‘kan?”

“Kamu yakin dia pergi ke toilet, nggak ke tempat lain? Kamu yakin, Mas?!” Pertanyaanku sudah bukan lagi menekannya, lebih ke mengintimidasinya.

“Kamu ini kenapa, sich, Dek? Kok marah-marah!”

Mas Hangga mulai emosi.

“Ya, jelas marah. Kata kamu Inem nggak salah. Jelas-jelas salah, nggak tanggung jawab sama tugasnya gitu! Udahlah aku akan pulangkan dia, Mas!”

Klotak! dari arah belakang ada suara benda jatuh. Sontak aku menyibak tirai kaca, Inem sudah berdiri di belakang kami dari jarak dua meter. Lalu dia masuk kamar dan menutupnya dengan keras.

“Tuh, Dek, Inem marah.”

“Maksud kamu? Kalo Inem marah kenapa? Kamu kok kayak takut, Mas? Aneh kamu!”

Aku terus mencoba memancing reaksi lelaki di sampingku ini.

Aku tahu dia sudah tidak fokus, pertama dia emosi tidak jadi dapat jatah dariku malam ini, kedua dia kaget melihat gelagat Inem marah, karena pastinya dia juga tidak akan dapat jatah dari Inem. Sementara aku, bukan hanya saat ini tidak akan memberikan jatah itu padanya, mungkin selamanya sampai aku berhasil menunjukkan semua bukti, lalu menggugat cerai!

Ya, untuk apa meladeni lelaki pezina yang hukum Islamnya jelas, dirajam seratus kali hingga ia mati. Aku ingin lihat bagaimana nanti reaksinya, karena aku tahu persis dia lelaki yang hampir tiap malam meminta.

Aku sudah hilang selera menonton, kumatikan televisi. Lalu masuk kamar, tidur memeluk ana k-anak.

Pukul satu malam. Aku terbangun. Lagi terdengar suara-suara yang membuatku membuka mata tiba-tiba. Entah belakangan ini mungkin tidurku tak nyenyak, sehingga mudah sekali terbangun. Aku bangkit berjalan ke bathroom untuk buang air kecil. Kulirik kasur sebelahku. Mas Hangga tidak ada. Tidak ada atau memang sedari tadi belum masuk kamar.

Aku keluar kamar. Sampai di depan pintu samar-samar aku mendengar suara tangisan. Siapa tengah malam begini ada wanita menangis? Kutajamkan pendengaran, sepertinya dari arah ruang makan. Apakah Inem menangis?

Lekas aku berjalan ke arah suara tangisan. Benar, suara itu datang dari kamar Inem!

Inem sedang menangis? Ada suara seorang laki-laki di kamar itu, terdengar seperti sedang menenangkannya. Deg! Jantungku berdenyut kuat. Aku tak berharap itu suara Mas Hangga.

Kulangkahkan kaki perlahan. Di depan pintu kamar Inem kulihat pintunya terbuka sedikit, dan lampu masih menyala. kutajamkan pendengaran kembali.

“Kamu yang sabar dulu, Nem. Hentikan tangisanmu, Mas kan juga sedang berusaha. Berusaha kan nggak langsung sekali jadi, butuh waktu. Jangan sampai kamu nangis, nanti ada yang bangun.”

Itu suara Mas Hangga! Ia terus menasehati dan menenangkan Inem di antara tangisannya.

“Pokoknya aku nggak mau kalau harus pulang kampung, Mas! Lekas akui aku di depan istrimu dan orang tuamu, kalau aku juga istrimu, aku nggak mau kayak gini terus selamanya!”

Apa?!! Inem minta pengakuan sebagai istri?? Jadi Inem sudah dinikahi Mas Hangga?!!

____

Terima kasih sudah menyimak, tinggalkan jejak love dan komen sblm menuju bab selanjutnya. Terima kasih sudah membantu penulis bertumbuh.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Senja jingga
sukaaa banget ceritanya
goodnovel comment avatar
CemblE'x Elxs
bagus thor
goodnovel comment avatar
لانتينج الجديد
nah yg begini nih sy suka hahahah ...dari pada jajan pembantu pun di embat kwkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU   Tamat: Bahagia Tak Berujung (174)

    TEST PACK 174Test Pack ART-ku-Bahagia Tak Berujung-“Nggak bisa apa, Mas ...?”Dia merebahkan tubuhku ke bantal perlahan. Lelaki bermata bening dengan sepaket wajah yang selalu memabukkanku itu, mendekati wajahku.---“Nggak bisa jauh-jauh dari perempuan cantik di hadapan, Mas ini pastinya.” Kali ini wajahnya serius menatapku.“Mas, liatin akunya harus gitu, ya?”“Emm, memang Mas lihatnya gimana, si?”“Kayak, em … apa, yaa …?”“Mas juga nggak tahu, Dek. Mungkin karena kemarin-kemarin, Mas selalu buang jauh-jauh tatapan Mas ke tempat lain saat lihat kamu.”“Terus sekarang.” “Sekarang sayang dong, sudah halal nggak dilihatin. Mubajir. Heheheh.”“Oh, gitu, Mas …”“Iya, jadi ya Mas lihatinnya sepenuh hati. Biar masuk ke hati juga.”“Kelihatannya sudah bukan masuk ke hati saja. Sudah meresap ke jiwa sampai ke sum-sum tulang juga, Mas. Aku ‘kan sayang banget sama, Mas.”Ia membelai rambut lurus tergeraiku yang kini sudah panjang sepinggang.“Mas ….”“Hmmm …”“Jadi, Mas tadi mau minta apa?

  • TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU   Dua Hati Mencecap Rasa (173)

    #Testpack (173)Test Pack ART-ku-Dua Hati Mencecap Rasa-“Adududu … sakit, Dek.”Mas Hangga menghindar ke ujung kasur.“Coba jawab, apa dia itu kamu, Mas?” Aku mengejarnya dan mulai memegang kupingnya. Wajahku kini di atasnya dengan mata melotot.“Yang mana, sih?” Kini ia mulai sok cool.“Ish, emangnya Mas mau jelasin yang mana lagi? Dia yang selama ini mengganjal pikiranku. Belakangan dia bukan memberi informasi, malah jadi orang sok bijak yang banyak menasehatiku.”“Ya mungkin dia termasuk orang-orang yang sangat sayang sama kamu, Dek.”“Tapi kok Mas nggak kaget aku cerita begini? Nggak curiga. Kalau bukan Mas, pasti Mas akan langsung penasaran dan cari tahu siapa pengganggu itu?”Ia tergelak. Lalu memegang kedua bahuku dan membalik tubuhku, sehingga kami berguling-guling.Kini tubuhnya ada di atasku. Kedua netra ini hanya berjarak sekian inci saja. Napasnya memburu.“Kamu gemesin, Sayang, kalau marah-marah seperti ini.”“Ih, malah ngegombal!”“Beneran. Makanya Mas nggak kuat liat

  • TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU   Jadi Siapa Sosok Misterius Itu?

    #Testpack (172)Test Pack ART-ku-Jadi Siapa Sosok Misterius Itu?-Perlahan tubuh kokoh itu meletakkan tubuhku ke atas springbed. Tubuhnya kini menjadi tepat ada di hadapanku.Bulu-bulu lentik itu bergerak, mengerjap. Bola mata cokelat itu menatapku lekat.“Tak pernah berubah dan tak ada yang berubah. Yang ada, rasa rindu yang terpendam lama dan kini mulai terobati.” Lirih suara itu, namun helaan napas itu hangat menyentuh wajahku.Seketika aku menjadi teramat kasihan kepada lelakiku ini. Bertahun-tahun ternyata aku mengabaikannya dalam kesendirian. Mungkin aku akan lega ketika dia sempat melupakanku. Tapi nyatanya dia justru tak pernah berhenti untuk terus berusaha membuat agar aku kembali padanya.Kubelai wajah putih dengan cambang tipis yang terlihat baru di cukur itu. Kubelai kumis tipis di atas bibirnya. Aku menikmati keadaan ini. dia sudah sah kembali menjadi suamiku. Dari dulu, aku sangat menyukai keadaan ini. Berdua-dua, dan menyentuh seluruh area wajahnya. Saat ini seakan mey

  • TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU   Honeymoon ke Norwegia

    #Testpack (171)Test Pack ART-ku-Honeymoon ke Norwegia-Mas Hangga membuktikan semuanya. Saat aku datang ke KJRI semua surat-surat telah secepat kilat ia urus. Kugunakan pakaian serba putih yang telah ia persiapkan untukku sekeluarga. Di sini prosesi ijab kabul akan berlangsung. Tentunya resepsi nanti akan dilaksanakan di Indonesia. Aku duduk di sebuah ruangan serba putih.“Bismillah, Nak. Ternyata benar, kalau kita berbuat baik, sama Allah ditambah nikmatnya. Siapa yang mengira, pada akhirnya kamu justru menikah dengan Hangga saat umroh, Nak.”Mama mengelus bahuku lembut. Dirapikannya jilbabku itu. Mama menatapku dengan senyuman paling menyejukkan seakan menenangkan dan menyemangatiku bahwa ijab kabulku akan berjalan lancar. Mama paling tahu apa yang ada dalam benakku. Kupeluk Mama erat, lalu aku dan Mas Hangga mencium tangannya khidmat.Mama kemudian mengelus pipiku juga Mas Hangga, dan mengangguk-angguk seakan ingin bicara bahwa ia memberi restu.“Selamat Hangga. Papa salut sama u

  • TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU   Aku Mau, Mas (170)

    #Testpack (170)Test Pack ART-ku-Aku Mau, Mas-Seketika aku merasakan duniaku hening!Sedang bercandakah dia? Rasa-rasanya dia sedang men-chat prank-ku. [Jangan meragukan Mas, Dek. Mas tidak sedang bercanda.]Ah, kenapa dia bisa membaca pikiranku.Aku masih diam mematung. Memandangi sebaris tulisan yang baru masuk ini. [Turunlah, Mas ingin bicara lebih serius lagi. Mas tunggu di lobi.][Jangan ragu lagi. Semuanya sudah Mas putuskan. Mas ingin kembali denganmu. Masih bolehkan, Dek?][ Boleh juga ‘kan Mas kali ini GR, meyakini bahwa kamu dan anak-anak berharap Mas kembali?”]Aku hanya mampu membaca pesan demi pesannya yang terus masuk satu demi satu.[Mas akan terus berada di lobi ini sampai kamu turun. Tak perduli kalau security sampai mengusir Mas pun. Mas akan tunggu!]Kupegang dadaku yang berdebar. Kugigit bibirku berkali-kali, memastikan bahwa ini bukan mimpi.Kuusap aku air mata yang dengan kurang ajarnya menerobos begitu saja melewati pipiku. Aku tak ingin menangis di hadapan

  • TEST PACK ASISTEN RUMAH TANGGAKU   Kita Menikah Sekarang (169)

    #Testpack (169)Test Pack ART-ku-Kita Menikah Sekarang-“Sudahlah, Mas. Kenapa kamu sekarang jadi kolokan begini. Kamu lagi akting, ya?”“Akting?”“Ya kamu berminggu-minggu nggak datang ke rumah kemarin-kemarin biasa saja. Kenapa sekarang kok jadi aneh merasa bersalah, mohon-mohon begini?”“Ya … Karena ….” Ia menjeda kata … bukan terlihat berpikir, tapi terlihat menahan kata. Wajahnya tampak malu-malu. Jujur itu menggemaskan di mataku. Seandainya dia suamiku, seandainya aku tak marah padanya. Seperti yang dulu biasa kulakukan, akan kucubit hidung atau pipinya lalu mengoyak-ngoyak rambutnya. Tapi rasa kesalku saat ini masih jauh lebih besar. Rasa emosiku muncul kala mengingat dia berkelahi membabi buta menghajar Bang Saga. Begitu sulit kuhentikan."Ah sudahlah, cepat pergi saja dari sini. Hidup menjauh dariku dan anak-anak. Kamu kelihatannya sudah cukup berbahagia hidup berdua saja dengan Zayyan, putra mahkota kamu itu!" Aku mendengkus kesal.“Loh, kok gitu, Dek. Zayyan kan anak kes

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status