-Selamat Duduk di Kursi Terdakwa- (34)“Iya, Mas. Apa kabar?” Iya langsung menjabat tangan Mas Hangga dan cipika cipiki, padahal kulihat Mas Hangga nggak mengulurkan tangannya dan nggak siap dicipika-ki.“Kamu jaga di sini, Fi?”“Iya, Mas. Aku kaget loch, Mas ada di sini.” Matanya mengerjap penuh binar dan senyumnya terkembang.Dia kaget? Kenapa kaget?“Oh, aku mau jenguk Mama.”Duh,Mas Hangga, kok Mama? Mama mertua, ‘kan? Kenapa nggak disebutin kata Mertuanya, sich.“Oh, Mama sakit? Di ruangan mana, Mas? Nanti aku jengukin, ya.”Ih centil amat ini Dokter muda.“Di lantai atas, Bougenville 5.”“Duh, kasihan amat, Mama sakit. Coba, dech, nanti aku rolling tuker buat bisa jaga di Bougenville biar bisa cek Mamanya Mas Hangga,” ucapnya kenes.Ih, Ya Allah, dokter kok gini amat! genitnya ngelebihin Inem ini mah.Mas Hangga melirikku yang kelihatan mulai risih melihat tingkah aneh Dokter Muda ini. “Oh, boleh, itu Mama mertuaku yang sakit, Fi. Ni aku mau masuk. Oiya kenalin ini Karin, istr
-Delapan Tahun Penjara- (36)Lalu di balas dengan Inem dan segelintir keluarganya yang membela Inem.“Hidup orang kecil …!”kurasa keluarga yang membela itu sepupu dan keponakan Inem yang nggak paham bagaimana Inem. Mungkin mereka pernah di kasih-hasih jajan atau hadiah oleh Inem. Sementara aku tak melihat Pak Santo dan Mbok Parni hadir di sini.Sidang demi sidang terus bergulir.Sampailah hari ini pada sidang kelima, dimana putusan hakim ditentukan. Inem dikenai pasal berlapis, dijatuhi vonis delapan tahun, dipotong masa tahanan tiga bulan. Atas plot pembunuhan berencana dan penyanderaan. Aku dan keluarga merasa kurang puas atas putusan pengadilan itu. Mama bertekad ingin naik banding mengharapkan aku untuk mengumpulkan semua bukti lain, untuk diajukan sebagai barang bukti banding selanjutnya. Sayangnya Papa juga Papa Hans melarang. “Biarlah Inem menjalani kurungan delapan tahun juga sudah cukup membuatnya tersiksa. Semoga dia akan menyesali perbuatannya di dalam penjara dan keluar
Perseteruan Aksa-Hangga ====Tau darimana dia kalo aku ada di daerah ini. Hebat banget bisa aja nemuin aku.Tapi ngapain, sich, dia kolokan gitu. Pake ngikutin, kaya’apaan aja.Sekali lagi kulihat, dia seperti menunjuk-nunjuk, entah apa.Kutatap matanya dengan pandangan tak suka, biar dia sadar, aku nggak perlu di intai-intai gitu.Lalu kuhadapkan pandangan kedepan. Tak perduli dai terus memberi isyarat entah apa.“Rin.”“Hmm.”“Kok jadi diem.”“Ehmm. Enggak.”Aku berusaha mengembalikan fokus hati.“Jadi, kalo ada reuni-reuni sekolah gitu, kamu masih ikut, Sa?”“Udah, nggak juga. Makin ke sini makin hanyut sama kerjaan. Kadang nggak tau, nggak pernah dikasih tau juga sama mereka.”“Sama dah, kita.”Aksa terkekeh.Mobil bermanuver ke kiri. Kulirik mobil Mas Hangga, masih mengikuti. Deuh. Ngapain tu lakik. Aku nggak minta jemput dia. Iseng amat ngikutin terus. “Jadi kamu tu, nikahnya tahun berapa, Rin? Kayaknya kamu nggak undang aku, ya?”“Eh, undang, kok. Tapi kamu nggak dateng, malah
Ketuk Palu Pengadilan (37)Oh, jadi tadi dia cari-cari aku cuma buat anterin handphone-ku yang tertinggal di rumah. Ya, Rabb, dia masih sebegitu pedulinya denganku dan anak-anak. Demi bisa ngasih handphone itu sampai mengikuti kemana mobil pergi.“Jadi?” Aku tetap berusaha dingin walau dalam hati ada sedikit iba padanya.“Ya jadi Mas kecewa. Mas cuma ingin kamu nggak gelisah karena nggak bawa hape, tadinya cuma itu.”“Terus kamu kecewa dan kamu nabrakin mobil orang. Iya? Kamu nggak khawatir gitu kalau misalnya aku kenapa-kenapa di mobil itu? Kamu nggak khawatir gitu kalau misalnya mobilnya dapet benturan keras, tangki bensin bocor terus kebakaran gitu? Kamu nggak kepikiran kalau tadi mobil itu lepas gitu aja dia jadi goyang terus jadi tabrakan beruntun? Aku ini ibunya anak-anak kamu loch, Mas.”“Ya, maaf. Maafin banget. Tadi nggak ada niat nabrak. Cuma kok selintas emosi muncul dari dalam dada Mas, Mas kayak ngegas nggak kerasa gitu. Mas baru ngerti sekarang begini toh rasanya terbaka
-Mereka Semakin Mesra- (38)Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia tergesa-gesa.Aku memilih tak terburu-buru masuk ke dalam. Ingin melihat apa yang sebenarnya Mas Hangga lakukan di sini. kulirik jaket parasut yang teronggok di jok kiri obil, lekas kupakai, lalu kupasang masker pada wajah.Pelan aku melangkah masuk ke dalam rumah sakit.Kali ini aku sudah melihatnya berdiri di bagian administrasi rumah sakit, kelihatannya dia sedang mengurus sesuatu, mungkin pembayaran, atau obat. Kucoba duduk di sudut ruangan. Mengamatinya lebih jauh. Setelah itu ia pergi lagi ke belakang rumah sakit. Aku tidak ingin bertanya pada siapapun dimana ruangan Inem. Memilih mencari sendiri, berjalan dari kamar ke kamar, lantai satu sampai lantai tiga. Dan, Yap! aku melihat seorang pria yang duduk memunggungiku, sedang bercakap dengan salah seorang pasien yang terbujur rebah. Wajahnya sangat cantik meski sedikit pucat. Inem dan Mas Hangga! siapa lagi.Selamat, Nem. Usahamu dalam percobaan bunuh diri yang kesek
-Membuka Lembaran Baru-Diletakkannya garpu itu pada meja.“Nggak apa-apa lagi, Mas. Kenapa nggak jadi suapin pasien? Pasien memang perlu dibantu untuk makan, ‘kan?”Mas Hangga diam, mungkin kikuk. Kenapa harus kikuk dan nggak percaya diri, ‘kan sudah bercerai.“Halo, Nem, apa kabar kamu? Sakit? Semoga lekas sembuh, ya.”Wanita dengan hidung bangir itu melengos. Mungkin masih kesal karena aku yang memenjarakannya.“Nem, kok buang muka begitu?”“Mas, aku nggak suka ada dia.”Deg! Makin angkuh aja nich mantan ART!“Nem, mungkin kamu benci sama saya. Tapi saya datang ke sini karena prihatin denger keadaan kamu, Simbok nangis-nangis cerita soal kamu.”Ia masih diam. Mas Hangga masih menunduk.Aku geleng-geleng melihat kelakuan mereka berdua.“Jadi saranku, Nem, ikhlas jalani masa tahanan dengan baik. Jangan buat ulah apalagi cari perhatian seperti ini. Supaya apa, supaya kamu dapat keringanan hukuman. Supaya Bapak Smbok kamu nggak kepikiran. Kamu mungkin sekarang nggak perdulu mereka. Tap
Lelaki Santun Hadir Menyapa Hati (40)“Ehhmm, Ja-jangan, deh, Ma. Iya, nanti Karin ke tempat Mama. Mama mau pesen buah apa aja, WA aja, nanti Karin bawain.”“Ehh, jangan Rin, kamu kan kerja, repot nanti. Biar Mama aja. udah tenang, pokoknya Mama jemput. Oke.”Panggilan masuk dari Aksa masih kuabaikan.“Ya, okedeh, Ma.”“Oke, bye, selamat bekerja, Nakku.”“Bye, Ma. Assalamualaikum.”Kutekan tombol hijau pada layar.“Hallo, Rin, Assalamualaikum. Sibuk, ya?”“Hai, Aksa. Waalaikumussalam. Biasa, mau berangkat gawe. Apa kabar kamu?”“Baik, Rin. Kamu juga, ya. Emmm ….”Aksa menjeda katanya.“Emmm, apa, nich?” Dapat pertanyaan seperti itu terdengar nada gugup dari suaranya.“Ehh, kamu … nanti siang sibuk, nggak, sich?”“Maksudnya siang kapan, nich, Sa?”“Makan siang, Rin. aku mau sampaikan sesuatu.”Sampaikan sesuatu? Aksa kenapa jadi sama dengan Mama? Sama-sama ngajak main tebak-tebakan, timingnya sama lagi. Masak iya, sich, kejutan Mama itu Aksa. Dan yang mau Aksa sampaikan itu, makan sia
Test Pack ART-ku (41) #Testpack_Inem#Testpack~Dilema Dua Hati~“Oh, ya, Pak, silahkan.” Aku tersenyum kikuk. Namun mencoba sebiasa dan setenang mungkin. Ia melanjutkan mencamil makanan dalam piring kecilnya. Mengunyahnya dengan perlahan sembari sesekali melihat rekan-rekan yang berlalu lalang di ruangan ini.“Sudah lama bekerja di sini?” tanyanya, sepintas ia melirikku lalu beralih menatap ke arah lain sembari tetap mengunyah. Pembawaannya yang tenang membuat kharismanya begitu terpancar ketika berucap pertanyaan itu.Aku tersenyum kecil, berusaha menunjukkan keramahan, ya sebaiknya begitu, karena aku sedang berlaku sebagai tuan rumah yang sedang menjamu tamu.“Emm, sudah lima tahun kurang lebih, Pak.” Ya, kelihatannya aku harus memanggilnya, Pak. Sebagai bentuk rasa hormatku.“Nyaman, ya di sini.” Ia berucap seolah ingin mengatakan bahwa suasana di sini ya memang nyaman.“Ya, Insya Allah nyaman, Pak. Kita buat suasana kantor yang se-hommy mungkin untuk karyawan.”Ia manggut-mangg