-”Janin Ini Perlu Pengakuanmu, Mas,” . “Aku memang sedang baca cerita di internet, Bu.”Ya Allah ngototnya dia.“Nem, saya tu punya temen banyak yang kerja di provider tel*omsel, kartu yang kamu pake sekarang, bisa dillacak, jam segitu kamu lagi nelepon apa lagi buka internet. Kan kamu bilang lagi baca cerita di internet pake suara dikeras-kerasin, nah kalau kamu ngotot nanti bisa dibuktikan. Dan kalau jelas kamu sebenarnya nggak sedang baca novel seperti pengakuan kamu. Artinya apa? Artinya soal darah perawan palsu itu benar. Kamu memakainya bahkan kamu mengajarkannya ke temen dalam telepon kamu, siapa? Yani? Sri? Oiya kata kamu masih simpan sprei dan kain lap malam pertama kamu sama Bapak ‘kan?.Oke, Itu jangan sampai hilang, kalau-kalau kamu benar, ‘kan dua benda itu bisa jadi bukti untuk membela kamu di pengadilan nanti.”Inem langsung kicep. Terdiam.“Nem, yang saya beberkan saat ini tentang kamu itu belum apa-apa. Kamu malu nanti kalau saya buka semua. Saya menyimpan video-video
-Masa Lalu Inem Terkuak- Aku segera bangkit mengangkat tubuh Mbok Parni. “Bangun, Mbok, duduk sini di sebelah saya.”Ia justru menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terus menangis.“Enggak, Bu, saya malu, benar-benar malu. hu hu hu.”Tangisannya, ah, aku paling tak bisa mendengar orang menangis. Sudah pasti air mataku ikut mengucur.Getir kurasakan dari tangisan wanita uzur ini. Aku yang jadi korban tapi aku juga seperti ikut merasakan sedih dan pahit yang Mbok Parni rasa.Akhirnya aku ikut duduk di bawah karena ia tak mau bangkit.“Sudah, Mbok, Nggak apa-apa. Semuanya sudah baik.”“Sudah baik-baik gimana, to, Bu. Kok Ibu selama ini diam saja, nggak pernah telepon saya bicara soal kelakuan Inem. Ndak segera dipulangkan saja Inem, atau bilang sama bapaknya. Ya Allah, Bu, kasian banget.” Ia mengusap air mata menatapku.“Mbok kok bisa ke sini tau dari mana?”“Perasaan saya sudah seminggu ini, nggak enak, Bu. Inem sudah sebulan lebih nggak ngabari, saya telepon nggak bisa. Jadi saya data
-Janin Ini Akan Kubawa Mati, Tutur Inem-Pernyataan Anton Mengukuhkan persangkaan keluarga bahwa Inem adalah bukan perempuan baik-baik, yang layak Mas Hangga pertangungjawabkan kehamilannya.“Eh, kamu ngomong apa, Ton?” Inem shock, matanya membeliak menatap Anton.“Wohalah, Nem, pas ini. Yasudah kamu nikah aja sama Anton. Anton lo lelaki baik-baik, pekerja keras. Jarang-jarang ada lelaki gentle begini. Mau bertanggung jawab menikahi wanita yang dihamilinya. Mau menerima kamu apa adanya yang latar belakangnya seperti itu.” Mbak Fita menyela Inem, langsung menyuarakan isi hatinya lantang.“Inem, nemen koe, yo. Njaluk tanggung jawab karo Hangga, tibakne, akeh tamune.” Mama Inda menyilangkan kedua tangannya dengan tatap tak suka padanya.(Nem, keterlaluan kamu, ya. Minta tanggung jawab sama Hangga, taunya tamunya banyak) “Nggak apa-apa sama Anton, Mbok yo setuju. Dia perhatian sama Mbok dan Bapak, Nem. Ngayalmu ojo kedukuran, Nem. Masio uwes koyo ngene, ojo terlalu ngarep dikawini bosmu,
-Inem Berada di Atas Ketinggian Tower-Inem berkata dengan berteriak.Bagus, dia sudah berani menyebut “Mas Hangga,” di depan semua!“Kalau memang kamu nggak jawab, dan nggak mau memutuskan sekarang. Maka aku akan pergi jauh-jauh dari kamu, Mas. Bukan untuk menikah sama Anton. Tapi pergi untuk selamanya bersama janin dalam perutku ini. Ini anak kamu, Mas. anak kamu bukan anak Anton, bukan juga anak orang lain. Denger semua! Ngertiin aku, ini anak Mas Hangga, bukan anak orang lain!!!” Ia keluarkan amunisi terakhirnya, mengancam bunuh diri lagi, demi mendapat kepastian dan pengakuan dari Mas Hangga di depan keluarga, yang baginya nggak bisa ditawar-tawar.Mata Mas Hangga terbeliak menatap Inem. Anak-anak ketakutan lalu memeluk Papanya erat.“Jawab sekarang juga, Mas!!!” Sekali lagi Inem menantang.Lelaki itu menelan ludah.Kelihatannya ini sudah tak sehat. “Permisi, Pa, Ma, rembuknya sudah selesai ‘kan. Karin ada urusan lain, ijin pergi duluan.”Kucium kedua tangan orang tua juga me
-Undangan Pernikahan Inem-Tapi rasa senangku melihat Inem jatuh dan tak berdaya hanya bertahan beberapa detik. Seketika aku beristighfar menyadari seandainya dia benar-benar mati. Warga tak ada yang berani mendekat. Mereka semua terhenyak dan mematung, termasuk Anton dan Mas Hangga.Entah apa yang menjadi dorongan kuat dalam diri, aku lekas berlari menghampirinya. Tak ada darah. Syukurlah. Aku mencari tanda-tanda bahwa wanita yang tak bergerak ini masih hidup. Aku tak ingin dia mati. Meski entah untuk apa aku berharap begini? Mungkin hati nuraniku, hati kecilku merasa, tak seharusnya sedepresi apapun dia, membuat dia harus mati bunuh diri. Nalarku tak bisa menerima ini.Kupegang nadi tangannya. Lemah.Dua orang polisi sudah ada di sebelahku meletakkan tandu.“Kita bawa ke rumah sakit, Bu.”Aku mengangguk cepat.Ketika tubuh itu terangkat aku melihat tangan kanan dan kaki kirinya bergerak seperti tanpa tumpuan. Seperti lepas dari persendian. Ya Rabb, kaki dan tangan itu patah!“Ayo,
-Menyaksikan Ijab Kabul-Hari minggu pagi.Setelah puas menciumi cucu-cucunya, Mama Inda dan Papa Hans duduk menghampiriku yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.“Mama dan Papa tadi sudah ke rumah Mamamu, Rin,” ucap Mama Inda memulai percakapan.“Mama rasa hati kok keloro-loro, Nduk, Pas ngerukne Hangga nelepon Mama njaluk ijin nggo nikahi Inem. Mama muni Mama nggak akan datang. Mama nggak restu, tapi dia cuma bilang minta doanya aja. Agak aneh itu anak, biasanya dia yang paling rame dalam keluarga, tapi di telepon itu Mama kayak asing, kayak lagi ngomong sama orang nggak kenal aja.” Wajah Mama Inda berkaca-kaca. Terlihat jelas ia sangat kecewa dari raut wajahnya. Aku menepuk-nepuk pundaknya.“Sudahlah, Ma. ikhlaskan. Mungkin memang sudah jodohnya mereka, dan jodohku dengan Mas juga mungkin sama Allah hanya di kasih sampai segini.”“Kamu, Nduk. Kok tegar men, lo. Mama sampe pirang-pirang dino nangis, bener-bener sakit ati Mama. Baru hari ini Mama ki kuat bangun mari di naseh
-Aku Tidak Bisa Menikahimu, Nem-Ya Allah, Nem. Jahat sekali ia menatapku. Apakah ia pikir aku tamu yang tak diundang. Atau Mas Hangga nggak memberi tahunya bahwa aku diundang. Atau ia hanya takut aku akan buat rusuh dan menggagalkan rencananya.Aku mencoba membuang pandangan ke arah lain lagi. Ya, apa lagi yang harus kulakukan? Wanita elegant harus tetap santai dan tenang.Mas Hangga tampak bangkit berdiri meninggalkan kursinya. Ia pergi keluar masjid melalui pintu samping. Setelah sekitar tiga menit, ia kembali ke tempat semula lagi.“Baik, mari kita mulai lagi, ya, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Bismillah sama-sama. Kita berdoa memohon kepada Allah agar dilancarkan proses ijab kabulnya. Baik, Pak Hangga, mari kita mulai lagi. Sekali lagi saya tanya kepada calon mempelai pria, Bapak Hangga Hadiwijaya Prakasa, apakah Bapak siap menikah dengan saudari Tusarinem dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun?”Mas Hangga terdiam lagi.Inem sekali lagi menggoncang tangan Mas Hangga d
-Mempermalukannya Dengan Manis-“Siapa yang suruh kamu datang ke sini, hah, siapa? saya nggak undang kamu!” teriaknya lagi.“Eh, Nem, ojo ngene, ki, koe, Nem.”“Mbak, jangan kaya gini. Kasian Ibu ini?”“Eh, Mbak, lepaskan, jangan anarkis!” teriak orang-orang yang menolongku sembari terus berusaha melepaskan cengkeraman tangan Inem.“Biarin, jangan ikut campur!” balas Inem.Aku terus berusaha melepaskan sembari mempertahankan jilbabku.“Lepaskan, Nem!” bentak seseorang keras.“Plak!” terdengar tamparan ke sebuah pipi. “Awww!” Tubuh itu roboh ke tanah membawa benda yang sedari tadi digenggam dan ditariknya. Jilbabku. Hanya ada ciput yang tertinggal di kepalaku.Rupanya Mas Hangga menampar Inem. gegas ia menghampiri Inem lalu menarik jilbab itu dari tangannya.Mas Hangga menghampiriku.“Kamu nggak apa-apa, Dek?” tanyanya.Aku hanya diam, masih shock.Mas Hangga lekas memasangkan jilbab itu kembali di kepalaku.Mbok Parni berlari langsung memelukku erat. “Ya Allah, Bu, minta maaf, minta