Inem Ditahan!Mama ditabrak sebuah mobil!“Wooiii!” “Woooiii berentiii!”Orang-orang langsung berteriak meneriaki penabrak. Gegas aku turun dari mobil juga meneriaki penabrak sembari berlari ke arah Mama.Tubuh Mama terkulai lemah, darah mengalir dari paha dan kaki. “Ya Allah, Ma. Ya Allah, Astaghfirullah. Biadab!”“Pak Yanto, kejar mobil itu, Pakkk!” teriakku menyadari mobil itu masih bergerak zigzag mencari celah jalan setelah menabrak.B1545 SZS, kurapal plat nomor mobil itu.Sepersekian detik mobil itu sudah berlari melaju kencang.“Kejarrr Pakkk.” Pak Yanto sudah berlari mengejar mobil itu. Biadab, ini bukan kecelakaan, ini perencanaan penabrakan! Siapapun pelakunya nggak akan kuampuni!Tubuhku bergetar hebat melihat Mama diam tak berdaya. Kuangkat tubuh lemah Mama ke tepian jalan dibantu orang-orang. Emosiku naik luar biasa. Aku sempat melihat pengendara mobil yang menabrak, berkaca mata hitam dan bertopi. Seorang laki2 berkulit sawo matang, berusia sekitar tiga puluh lima t
-Tunggu Pengadilanmu. “Pak, nggak bisa begitu, tolong jelaskan salah saya apa?”“Nem, Inem, pake minta dijelasin. Kamu kok sekarang wanter bener! Ya, kamu mesum barusan aja udah bisa ditahan? Kamu ngancem minta dikontrakin rumah, uang bulanan itu aja udah bisa dilaporin sebagai pemerasan. Ditangkep ya manut! Inget ya, satu lagi, aku belum laporin kamu soal video seks juga penabrakan Mama Uti. “Nabrak? Nabrak apa, Bu? Saya nggak tahu menahu. Jangan asal tuduh. Saya juga bisa laporin Ibu ,loch, atas pencemaran nama baik, waktu video itu Ibu unjukin di depan umum! ucapnya dengan mata mendelik.Ya Allah, nggak ada takutnya dia sekarang. Nggak ada sedikitpun hormat atau rasa terima kasih terhadap orang yang pernah membantunya, bahkan mungkin aku adalah satu-satunya orang yang paling dia sakiti dengan sangat.Dari sekarang aku mulai sadar, dengan siapa aku berhadapan.“Silahkan aja kamu membela diri, Nem. Tunggu aja kamu di penjara sampai busuk!”Aku meluapkan rasa emosiku.“Ya silahkan pe
-AKP Aksa-“Beneran Aksa?”Lelaki berperawakan kekar dengan senyum menawan itu tersenyum.“Iya, lupa-lupa ingat, ya? Ya maklum sekarang sudah sering kejemur matahari, kena asep knalpot jadi ya gini, udah kaya zebra cross wajahnya.”“Ha ha ha ha.” Aku tergelak. Dia masih kocak ternyata.“Enggak, sich kalau lupa. Cuma mau mastiin aja. Soalnya beda sekarang. Dulu ketemuan ingetnya kaos oblong putih celana jeans. Sekarang jadi pangling lah, makin keren.” Aku berusaha mengimbangi candaannya.Kini giliran ia yang tergelak kecil.“Bisa aja, kamu, Rin. Ngomong-ngomong ada urusan apa di sini?”“Biasa, ada kerikil kehidupan, yang cuma polisi yang bisa bantu.”“Owh, bener, Rin. Harus dilaporin, kami menuntaskan masalah tanpa masalah, Insya Allah.”Lelaki di hadapanku ini tidak jadi masuk ke ruangannya, ia justru memilih duduk dan mengobrol. Aku canggung karena disebelahku ada Mas Hangga. ‘Mas, seandainya saja hubungan kita masih baik-baik saja, belum ada berkas cerai yang kulaporkan ke pengadila
-Godaan Masa Lalu-“Eh, Aksa.” Aku melambaikan tangan ke arahnya.“Nunggu jemputan?”“Oh, enggak, aku lagi nunggu taksi.”“Taksi, udah sepi, Rin. Mau pulang ke arah mana?”“Owh, Eee, ke Hang Jebat, Sa.” Wah dia menawarkan bantuannya. Kurasa harus menolaknya. Baru pertama kali bertemu, lalu merepotkan, tentu tak akan enak rasanya. Lagian pasti berbeda arah.“Hang Jebat? Ayok sekalian?”“Oh, emang kamu ke arah mana, Sa? Beda ‘kan?”“Enggak, kok, aku melewati Hang Jebat, juga.”Aku ragu.“Dah, nggak apa-apa. Bahaya, loch, perempuan sendirian di jalan. Belum tentu ada taksi yang jalan ke arah sini. Bisa-bisa sampai pagi, Rin.”Ya Allah, aku sebenernya ingin menolak. Tapi sekali lagi mendengarkan apa yang Aksa katakan seperti yang Mas Hangga katakan juga, tak ada taksi yang akan melintas di sini, membuatku harus berpikir ulang jika menolak. “Maaf, Rin, bukan aku nggak sopan ngajak pulang bareng. Tapi daerah sini rawan kejahatan, jangan nolak, ya.”“Maaf, Sa. Kamu pulang saja. Nich kelihat
-Godaan Masa Lalu- (33)“Eh, Aksa.” Aku melambaikan tangan ke arahnya.“Nunggu jemputan?”“Oh, enggak, aku lagi nunggu taksi.”“Taksi, udah sepi, Rin. Mau pulang ke arah mana?”“Owh, Eee, ke Hang Jebat, Sa.” Wah dia menawarkan bantuannya. Kurasa harus menolaknya. Baru pertama kali bertemu, lalu merepotkan, tentu tak akan enak rasanya. Lagian pasti berbeda arah.“Hang Jebat? Ayok sekalian?”“Oh, emang kamu ke arah mana, Sa? Beda ‘kan?”“Enggak, kok, aku melewati Hang Jebat, juga.”Aku ragu.“Dah, nggak apa-apa. Bahaya, loch, perempuan sendirian di jalan. Belum tentu ada taksi yang jalan ke arah sini. Bisa-bisa sampai pagi, Rin.”Ya Allah, aku sebenernya ingin menolak. Tapi sekali lagi mendengarkan apa yang Aksa katakan seperti yang Mas Hangga katakan juga, tak ada taksi yang akan melintas di sini, membuatku harus berpikir ulang jika menolak. “Maaf, Rin, bukan aku nggak sopan ngajak pulang bareng. Tapi daerah sini rawan kejahatan, jangan nolak, ya.”“Maaf, Sa. Kamu pulang saja. Nich k
-Selamat Duduk di Kursi Terdakwa- (34)“Iya, Mas. Apa kabar?” Iya langsung menjabat tangan Mas Hangga dan cipika cipiki, padahal kulihat Mas Hangga nggak mengulurkan tangannya dan nggak siap dicipika-ki.“Kamu jaga di sini, Fi?”“Iya, Mas. Aku kaget loch, Mas ada di sini.” Matanya mengerjap penuh binar dan senyumnya terkembang.Dia kaget? Kenapa kaget?“Oh, aku mau jenguk Mama.”Duh,Mas Hangga, kok Mama? Mama mertua, ‘kan? Kenapa nggak disebutin kata Mertuanya, sich.“Oh, Mama sakit? Di ruangan mana, Mas? Nanti aku jengukin, ya.”Ih centil amat ini Dokter muda.“Di lantai atas, Bougenville 5.”“Duh, kasihan amat, Mama sakit. Coba, dech, nanti aku rolling tuker buat bisa jaga di Bougenville biar bisa cek Mamanya Mas Hangga,” ucapnya kenes.Ih, Ya Allah, dokter kok gini amat! genitnya ngelebihin Inem ini mah.Mas Hangga melirikku yang kelihatan mulai risih melihat tingkah aneh Dokter Muda ini. “Oh, boleh, itu Mama mertuaku yang sakit, Fi. Ni aku mau masuk. Oiya kenalin ini Karin, istr
-Delapan Tahun Penjara- (36)Lalu di balas dengan Inem dan segelintir keluarganya yang membela Inem.“Hidup orang kecil …!”kurasa keluarga yang membela itu sepupu dan keponakan Inem yang nggak paham bagaimana Inem. Mungkin mereka pernah di kasih-hasih jajan atau hadiah oleh Inem. Sementara aku tak melihat Pak Santo dan Mbok Parni hadir di sini.Sidang demi sidang terus bergulir.Sampailah hari ini pada sidang kelima, dimana putusan hakim ditentukan. Inem dikenai pasal berlapis, dijatuhi vonis delapan tahun, dipotong masa tahanan tiga bulan. Atas plot pembunuhan berencana dan penyanderaan. Aku dan keluarga merasa kurang puas atas putusan pengadilan itu. Mama bertekad ingin naik banding mengharapkan aku untuk mengumpulkan semua bukti lain, untuk diajukan sebagai barang bukti banding selanjutnya. Sayangnya Papa juga Papa Hans melarang. “Biarlah Inem menjalani kurungan delapan tahun juga sudah cukup membuatnya tersiksa. Semoga dia akan menyesali perbuatannya di dalam penjara dan keluar
Perseteruan Aksa-Hangga ====Tau darimana dia kalo aku ada di daerah ini. Hebat banget bisa aja nemuin aku.Tapi ngapain, sich, dia kolokan gitu. Pake ngikutin, kaya’apaan aja.Sekali lagi kulihat, dia seperti menunjuk-nunjuk, entah apa.Kutatap matanya dengan pandangan tak suka, biar dia sadar, aku nggak perlu di intai-intai gitu.Lalu kuhadapkan pandangan kedepan. Tak perduli dai terus memberi isyarat entah apa.“Rin.”“Hmm.”“Kok jadi diem.”“Ehmm. Enggak.”Aku berusaha mengembalikan fokus hati.“Jadi, kalo ada reuni-reuni sekolah gitu, kamu masih ikut, Sa?”“Udah, nggak juga. Makin ke sini makin hanyut sama kerjaan. Kadang nggak tau, nggak pernah dikasih tau juga sama mereka.”“Sama dah, kita.”Aksa terkekeh.Mobil bermanuver ke kiri. Kulirik mobil Mas Hangga, masih mengikuti. Deuh. Ngapain tu lakik. Aku nggak minta jemput dia. Iseng amat ngikutin terus. “Jadi kamu tu, nikahnya tahun berapa, Rin? Kayaknya kamu nggak undang aku, ya?”“Eh, undang, kok. Tapi kamu nggak dateng, malah