"Tunggu, Mba!" seruan Mba Yolan menahan kakiku yang baru saja melangkah."Kalau Mba melaporkan rekaman itu. Bukan aku dan Mas Adrian yang akan disidang di balai warga. Tapi justru, Mba Jihan yang akan malu!" ucapnya yang tidak aku mengerti.Lantas aku pun berbalik kembali menghadap mereka. "Apa maksud kamu?!" bentakku dengan nada tinggi."Kenapa aku yang malu? Kalianlah yang seharusnya malu, karena sudah berzinah seperti ini!" tukasku geram."Dengar, Mba! Aku dan Mas Adrian nggak berzinah. Kami sudah halal. Mba salah jika menuduh kami sudah berzinah!"Jedddar!Bagai disambar petir. Lututku lemas mendengar ucapan perempuan berambut sebahu itu. Apa maksudnya sudah halal?"Yolan!" Terdengar Mas Adrian menghardik perempuan yang berdiri di belakangnya itu."Biar, Mas! Sudah saatnya Mba Jihan tahu semuanya. Biar aku buka saja semuanya sekarang. Buat apalagi kita tutupi, Mas?!" cecarnya mendebat Mas Adrian."Tapi, Yol—""Apa yang harus aku tahu? Apa?! Apa yang mau kamu buka, ha?!" tantangku
"Dengar, Mba. Setelah Mas Adrian menikah dengan Mba. Aku seperti tak punya tujuan hidup. Setelah kalian menikah, aku merasa benar-benar hancur. Tapi satu hari, Mas Adrian kembali padaku. Dia menginginkanku menjadi istrinya. Dia ingin aku memberinya keturunan yang tidak bisa Mba berikan. Tentu saja aku menyambut dengan senang hati. Meski aku hanya menjadi istri kedua. Meski aku tahu dia sudah beristri, tapi aku tetap menerima. Dan terbukti aku bisa memberikan Mas Adrian bayi laki-laki. Tidak seperti, Mba. Mandul!"PLAK!Refleks aku menggampar pipi mulus perempuan yang baru saja mengataiku mandul. Sehingga jejak tanganku membekas di pipinya itu."Jaga mulutmu, Mba! Aku memang belum bisa hamil, tapi bukan berarti aku mandul!" geramku pada Mba Yolan.Mba Yolan memegangi pipinya yang baru saja kutampar. "Mas, lihat! Mba Jihan menamparku, Mas. Sakit," rengeknya mengadu pada Mas Adrian.Mas Adrian lalu pasang badan. Dia melewatiku, berdiri membelakangi Mba Yolan dan menghadapku."Dek, tadiny
*******POV FanoAku mengendarai mobil menuju perumahan tempat tinggal Jihan kembali. Setelah selesai mengisi bensin mobil yang tidak sampai lima menit. Mba Tami, Kakak perempuanku, memintaku mengantarkan obat penurun panas untuk anaknya. Mau tak mau, aku pun ke apotek terlebih dulu untuk kemudian mengantarnya ke rumah Mba-ku itu.Sehingga sekarang aku baru bisa kembali untuk menjemput Jihan yang mungkin sudah menungguku cukup lama. Aku mempercepat laju mobil. Hingga tiba di blok perumahan Jihan.Dari dalam mobil, sebelum mobilku berhenti di depan rumahnya. Aku melihat Jihan berlari sambil berurai air mata. Dia keluar dari rumah milikku dulu dan berlari ke dalam rumah miliknya.Aku pun buru-buru memarkirkan mobilku tepat di depan pagar rumah Jihan. Kulihat mobil Adrian terparkir di halaman rumah itu. Kurogoh ponsel lalu menghubungi nomornya. Tidak tersambung dan terus kucoba menghubungi kembali. Sayang, nomornya menjadi tidak aktif.Aku pun menimang-nimang apa yang harus kulakukan. Hi
Hingga tiba di depan ruang UGD. Suster Intan membawa segera Jihan ke dalamnya untuk mendapatkan tindakan.Aku hanya bisa mengantar sampai depa pintu dan kini menunggu dengan tak menentu di luar ruang UGD. Karena aku sudah tidak bekerja lagi di sini. Sehingga aku tidak memiliki kewenangan menangani Jihan seperti mauku. Apalagi aku tak memakai pakaian dinas. Jadilah aku hanya bisa menunggunya di sini.Kuhempaskan bobotku di kursi tunggu. Aku menunduk sambil meremas rambut di kepalaku. Pikiranku berkecamuk.Menurut analisaku, sepertinya Jihan tengah hamil muda dan dia mengalami pendarahan.Entah berapa usia kehamilannya sekarang. Namun aku harapkan, dia dan kandungannya baik-baik saja.Kuraup wajah kasar. Adrian benar-benar kurang ajar. Bisa-bisanya dia membawa istri mudanya tinggal di komplek yang sama dan bertetangga dengan Jihan."Benar-benar tidak punya otak!" umpatku geram.Ingin kupatahkan leher laki-laki sok tampan itu.Jihan terlalu naif untuk mencari tahu semuanya. Jihan terlalu
**********POV Adrian"Lepasin, Pak! Saya harus menemui istri saya. Dia sedang dirawat. Kenapa saya dibawa keluar?!" hardikku pada kedua petugas keamanan. Mereka menghimpitku di kanan dan kiri. Menyeretku hingga keluar dari rumah sakit dan kini aku berada di area parkir."Bapak membuat keributan. Jadi terpaksa kami harus membawa Bapak keluar karena akan mengganggu kenyamanan pasien di sini!" ujar satu petugas yang tingginya sama denganku."Jika Bapak kembali masuk dan membuat keributan lagi, terpaksa Bapak akan kami bawa pada pihak berwajib!" imbuh petugas lain yang berbadan lebih tinggi dariku.Kemudian mereka kembali ke dalam bangunan rumah sakit. Setelah menyeret dan menghempas tubuhku di parkiran ini."Sialan!" umpatku kesal.Aku lantas kembali ke mobil. Duduk di kursi kemudi dan membawa mobilku menjauh dari rumah sakit. Terpaksa aku harus kembali ke rumah.Benar dugaanku. Fano memang mencintai Jihan. Dia memakai kedok sahabat untuk bisa tetap dekat dengan istriku itu.Namun sayan
*********POV JihanBau khas obat-obatan menyengat tajam. Memaksa netra yang begitu lengket ini untuk terbuka. Perlahan, aku pun mencoba untuk membuka mata ini. Mengerjapkannya pelan-pelan hingga langit-langit ruangan berwarna putih menyapa indera penglihatanku.Aku lalu memindai sekeliling. Aku menduga, ini adalah ruangan rawat di sebuah rumah sakit.Di sampingku terbaring, wajah Fano yang pertamakali aku lihat.Sejenak, aku pun coba mengingat apa yang terjadi pada diriku hingga bisa ada di sini.Cesss!Bulir bening meluncur bebas dari ujung mataku. Mengalir hangat membasahi pelipis. Hati ini terasa begitu sakit. Setelah aku mengingatnya."Hiks …." Aku menangis."Han?" Fano memanggilku.Aku pun berusaha bangkit. Fano yang berdiri di samping brankar, lantas membantu sampai akhirnya aku berhasil duduk.Seperti mengerti, Fano mendekap tubuhku. Hingga aku berada di pelukannya. Kepalaku bersandar pada perutnya yang bidang.Aku menangis. Menumpahkan semua rasa sesak yang menghimpit begitu
*****POV JihanAku hanya menggelengkan kepalaku dalam kondisi terbaring saat ini."Fan, seharusnya kabar kehamilanku ini. Menjadi kabar yang sangat membahagiakan. Kamu tahu? Kabar kehamilanku sekarang, menjadi hal yang paling aku dan Mas Adrian tunggu-tunggu selama ini," ujarku kecewa."Seharusnya aku bahagia dengan kehamilan ini, Fan. Bahagia …." Suaraku parau.Tiba-tiba Fano meraih tanganku untuk digenggamnya. Fano kemudian duduk di kursi yang ada di samping brankar ini. Aku bingung harus bersikap seperti apa pada Fano saat ini.Di satu sisi, aku kecewa dengannya. Aku merasa marah karena dia ternyata tahu hubungan Mas Adrian bersama perempuan lain.Tapi di sisi lain. Hanya Fano yang ada bersamaku saat ini. Hanya dia yang menjadi peganganku saat rapuh sekarang.Fano menggenggam tanganku. Dia menatapku lekat. "Han, berbahagialah atas berita kehamilan kamu ini. Berbahagialah! Sambut kehadiran buah hati dalam rahim kamu dengan penuh sukacita dan rasa syukur. Meski hati kamu sedang terl
******Kulihat Fano tersenyum. "Aku setuju. Aku akan mendukung apa pun langkahmu, Han," ucapnya penuh dukungan.Walau hati ini berdenyut nyeri. Tapi aku tidak boleh terus terpuruk dan berlarut dalam kesedihan ini. Jika Mas Adrian dengan mudah menduakanku dan mengkhianati pernikahan ini. Maka aku juga akan dengan mudah menghempasnya kembali ke tempat asalnya."Aku akan mendukung dan akan selalu ada bersama kamu, Han. Tapi untuk saat ini, kita fokus dulu pada kesembuhan kamu, ya!" ujar Fano kemudian.Aku pun hanya mengangguk. Aku memang harus sembuh. Lebih cepat dan lebih sehat.Aku harus membuat Mas Adrian sadar. Dia bukanlah siapa-siapa selama ini. Tanpa bantuan ayah, tanpa harta ayah. Dia bukan siapa-siapa.Fano berdiri dari kursinya. Lalu dengan sigap dan cekatan. Dia membantuku untuk akhirnya kembali terbaring."Istirahatlah, aku akan jaga kamu di sini," ujarnya setelah aku berbaring dengan benar. Tubuhku juga sudah ditutupi selimut hingga ke pinggang."Makasih, Fan," jawabku kemud