୨ৎ A L D A N I જ⁀➴
"Ya elah, mending sekalian aja aku loncat ke atas mayatnya, tuh ... terus bilang ‘Eh, maaf ya Mama kamu meninggal. Tapi toko dia masih dijual, kan? Kalian mau jual berapa?’" bisikku kepada saudara tiriku, Danny. "Ya maksudku, tuh habis pemakamannya selesai, lah." Aku naikkan sebelah alis, dan dia malah tertawa. Papa kami pun menoleh ke belakang sambil kasih tatapan mautnya yang khas. Kita langsung sembunyikan tangan ke kantong celana dan menunduk sopan. Begitu doanya selesai, semua orang bilang, "Amin." Orang-orang mulai berdiri tegak lagi, dan bisik-bisik dari warga Pecang pun langsung bertebaran. Semua mata pun ke arah Karin Mirrela yang baru saja kehilangan Mamanya. Aku dan Danny jalan bareng menuruni bukit pemakaman. Soalnya entah kenapa Karin memilih buat mengadakan acara berkabung di tempat kita. Artinya, kita harus buka tempat itu dan memastikan semuanya siap. "Aku, kan cuma nyaranin kamu nanya baik-baik aja," kata Danny sambil naik ke mobilnya. "Ya, udah kamu aja yang nanya," balasku. "Ngapain juga aku yang nanya? Dia tuh sahabat adikmu, bukan aku." "Jangan lupa, dia juga sahabat adik tirimu." Danny memang suka banget melimpahkan semuanya kepadaku, kalau lagi enggak mau ribet. Tapi coba kalau lagi pamer adikku, Alvaro, yang pemain bola terkenal itu, enggak pernah, tuh dia mengaku saudara tiri. Dan pas Alvaro kasih dia tiket nonton dari kursi VIP? Langsung saja diterima tanpa basa-basi. "Kamu, kan udah kenal sama dia lama, bro," pekik Danny sambil menyalakan mesin mobil. "Justru karena itu, makanya makin kelihatan kalau aku enggak punya hati. Ya udah, lah. Aku tetap enggak bakal mau jadi orang pertama yang nanyain soal toko itu." Kita melambai ke keluarga yang juga turun dari bukit. Alvaro lagi merangkul Karin erat banget. Aku bisa merasakan sakitnya. Bahkan saat kita melewati makam Mama kandungku sendiri, rasanya kayak ditusuk di dada. Sudah delapan belas tahun berlalu, tapi rasanya tetap perih. Proses healing memang panjang dan susah. Tapi aku yakin, Karin pasti bisa melewati ini, sama sepertiku saat umur dua belas dulu. "Kamu, tuh sadar enggak sih, banyak orang yang pingin ngembangin usahanya juga? Kita harus cepat ambil kesempatan ini," kata Danny. Dan dia enggak salah. Itu juga salah satu alasan kenapa kerja sama kita di Brine & Barrel bisa berjalan. Di bisnis, Danny berpikir jangka panjang, aku justru berpikir jangka pendek. Aku yang memikirkan acara trivia seru buat para customer sekarang, sementara dia memikirkan bagaimana caranya minuman kita bisa masuk Supermarket sama Bar di seluruh negara. Aku tahu dia benar. Aku harus bicara ke Karin soal toko jahit itu, yang letaknya pas banget di sebelah tempat produksi minuman kita. Tapi aku yakin dia juga enggak bakal langsung jual begitu saja. Masih enggak pasti, sih. Tapi kalau bisa, aku ingin nego lebih dulu, biar bisa bongkar tembok dan perluas tempat kita. Tapi, Danny, tuh bukan anak asli Pecang. Mungkin itu juga kenapa dia enggak mengerti cara main di kota kecil ini. Dia memang sudah tinggal di sini dari umur tujuh belas tahun, waktu Mamanya menikah sama Papaku, tapi setelah itu kita kuliah, dan dia merasa sudah yang paling mengerti tempat ini. Padahal Pecang itu kota kecil yang semua orangnya suka mengurusi urusan orang lain. Kalau aku langsung tembak Karin soal jual-beli, besok paginya pasti seluruh kota sudah membicarakanku sebagai cowok yang enggak punya empati. "Aku ngerti, kok. Tenang aja, aku bakal ngobrol sama dia. Tapi enggak hari ini," kataku. "Aku, sih enggak lihat bakal ada masalah kalau kamu cuma nanya, ‘Eh, kamu suka jahit?’ Gitu aja. Toh kita juga enggak tahu apa-apa soal Karin, selain dia pingin banget dapetin Alvaro." Aku menyengir sinis. "Mereka itu sahabatan, bro. Sahabatan biasa!" Dia ketawa. "Gila kamu kalau masih mikir gitu. Dia itu tahu semua tentang Alvaro jauh lebih detail daripada Alvaro sendiri. Dia selalu paksa kamu adain nobar di tempat Kita tiap kali Alvaro tanding. Dia bahkan gambar nomor punggung Alvaro di pipinya. Udah jelas banget, dia tuh naksir cowok itu." "Aku enggak tahu, sih. Aku enggak pernah dapet clu kalau dia emang beneran suka sama Alvaro." Danny geleng-geleng kepala sambil masuk dari pintu belakang. "Itu tandanya kamu butuh liburan." Aku keluar dari mobil dan langsung buka jas. Sekarang sudah masuk awal musim kemarau, jadi masih agak dingin. "Liburan ke mana?" "Ke dunia nyata, bro. Dunia per-cintaan!" Enggak kayak Danny, aku jarang banget keluar dari Pecang. Setelah lulus kuliah, kita dapat pinjaman modal buat buka Bar minuman fermentasi, dan aku taruh semua energi dan duitku ke bisnis ini biar sukses. Di kampus, sih aku sempat pacaran, tapi aku tahu dari awal kalau hidupku bakal berputar saja di kota kecil ini. Pecang itu rumahku. Aku enggak ingin tinggal di kota besar, tapi sayangnya enggak semua cewek bisa menerima untuk tinggal dan hidup di kota kecil ini. Bukan berarti aku jomblo stadium akhir, ya. Kita masuk ke Bar, menyalakan lampu. Aku jalan ke pintu depan, buka kunci, dan hapus tulisan "Tutup untuk sementara" dari papan tulis di luar. Toko jahit Mirrela ada di sebelah, sepi dan gelap. Enggak tahu, deh terakhir buka kapan. Sejak Mirrela pertama kali divonis sakit, Karin sempat mencoba tetap menjalankan tokonya, berharap Mamanya bisa sembuh dan kembali lagi. Tapi ya … enggak kesampaian. Sekarang toko itu mangkrak, padahal lokasinya di pusat kota. Aku melangkah ke arah sana, memperbaiki tenda toko yang semalam terbalik kena angin. Tapi tetap saja kelihatan usang, warnanya pudar, bahannya robek. Walikota kami, Ivoe, pernah memaksa semua toko di alun-alun buat punya tenda senada, biar terlihat rapi. Banyak aturan menyebalkan dari dia, tapi ya sudah, lah. Pusat kota kita memang kecil, tapi keren. Tata kotanya diprioritaskan buat pejalan kaki. Parkiran semua ada di belakang bangunan, jalanan batu bata jadi pemisah antar toko. Saat musim turis, lampu-lampu hangat digantung di atas jalan. Kalau musim tahun baru, lampunya diganti warna-warni plus hiasan daun cemara. Pecang mungkin kota kecil, tapi buat aku keren banget dan ... selamat datang di rumahku.୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku
Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di
Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.
Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar