Aku lagi jalan balik ke Bar, mataku tiba-tiba menemukan cewek pirang duduk di bangku taman dekat caffe, Mellow Mug. Gayanya rapi banget, pakai celana hitam sama heels hitam, seperti habis datang dari pemakaman.
Gak terlihat atasannya, karena tertutup jaket hitam. Mungkin dia salah satu tamu, lagi menunggu orang lain datang. Ada yang familiar dari mukanya, tapi aku enggak bisa menebak itu siapa. Mungkin kalau dia mengangkat sedikit matanya dari HP, aku bisa lebih yakin. “Itu dia,” kata Derrin. Aku menengok ke belakang dan melihat dua adik tiriku, Derrin sama Donna, berdiri di depan Bar. “Siapa memangnya?” Donna ngangkat bahu. “Dia ada di pemakaman tadi.” Aku jalan mendekat. “Makanya aku ngerasa kenal. Dia orang sini ya?” Ingat, Pecang itu kota kecil. Kalau kalian enggak kenal orangnya, minimal kalian bakal pernah lihat mukanya. Karena lagi bukan musim liburan, lihat orang asing bakal jarang banget, kecuali dari kota tetangga seperti Bangora. Tapi kalau dia ada di pemakaman, berarti dia kenal keluarga Mirrela. “Mungkin dia pelanggan,” kataku. Derrin langsung nyinyir. Tapi memang sudah gaya dia begitu. Selalu berpikir yang aneh-aneh. “Pelanggan apaan?” “Hah?” “Coba lihat baju dia. Kukunya, rambutnya, semua rapi. Aku yakin dia bukan pelanggan. Berarti dia ....” Derrin mengetok bibirnya sendiri sambil berpikir. “Jangan bikin gosip, deh.” kataku sambil masuk ke Bar. “Eh, please. Aku tuh penyiar yang jujur, ya,” katanya mengikutiku masuk. “Yaaa, oke, deh.” Aku ambil nampan isi Chicken Wings dari salah satu staff buat ditata di meja pojokan yang sudah dijadikan buffet. “Terserah!” ketusnya sambil nyelonong pergi. Padahal baru beberapa jam yang lalu dia mengumumkan tentang keributan di pemakaman tadi di siaran radionya. *** Orang-orang mulai datang, pada buka jaket, cari tempat duduk. Kita menaruh dua jenis minuman paling laris di setiap meja, lengkap sama gelasnya buat sharing. Alvaro masuk bareng Karin. Dan jujur, cewek itu cukup kuat. Bayangkan saja, jadi satu-satunya orang yang masih hidup dari keluarganya. Papanya meninggal karena kecelakaan pas mancing, enam tahun lalu. Neneknya wafat tiga belas tahun lalu. Sekarang Mamanya menyusul. Dia enggak punya sodara. Anak tunggal. Sendirian. Tapi aku enggak terlalu khawatir. Alvaro bantu dia ambil makanan, dan Hapsari, istri Papaku yang baru, langsung menyambut tangan Karin seperti keluarga sendiri. Tipikal keluarga Sunya sih, langsung tarik orang baru ke sirkel. Entah kenapa, mataku melirik ke bangku taman tadi. Kosong. Aku memutar badan, mencari-cari di ruangan. Hampir semua muka aku kenal. Tapi dia? Hilang. “Mungkin itu berita bagus buat Karin. Bisa aja itu tantenya, atau kerabat jauh ....” Aku dengar Derrin bicara ke Marlin. “Marlin itu lagi sibuk, jangan paksa dia buat dengerin teori gak penting kamu soal cewek misterius yang duduk di taman,” kataku. Marlin lagi menuangkan Bir ke pitcher, terus kasih ke staff buat diantarkan ke meja. Derrin mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Aku lagi ngobrol sama bestie aku.” “Obrolan khusus cewek, ya,” celetuk Marlin sambil ketawa. “Iya, nih. Kamu cowok minggir, deh!” “Wah, lucu banget. Tapi inget ya, aku yang bayar gaji bestie kamu ini. Jadi dua jam ke depan, dia bukan partner kamu buat gosip, oke?” Aku juga gak mengerti kenapa aku enggak suka banget sama gosip-gosip kampung begini. Tapi ya, salah aku juga, sih kembali ke Pecang setelah kuliah. Privasi aman? Jelas enggak. Apalagi waktu aku umur 17, tiba-tiba tahu Papa aku tidur sama mantan istri sepupunya sendiri. Sekarang, sih mereka menikah, dan aku dapat bonus empat adik tiri plus satu adik cowok. “Nih cucu kesayangan nenek!” Nenek Connie langsung memelukku, padahal tingginya cuma sampai dadaku. “Tadi Shaennete bilang, dia pengen banget dansa di pesta nikahan kamu nanti!” Aku cuma menyengir dan tahan diri buat enggak membantah. Soalnya kalau aku berani melawan, dia bisa cubit aku seperti waktu aku kecil dulu. Dan dia gak peduli umur aku sudah tiga puluh. “Kayaknya enggak, deh,” jawabku. Ekspektasi keluarga itu bukan kontrak, kan? Jadi enggak wajib aku penuhi. Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga Sunya, semua orang selalu bertanya kapan aku menikah. Selalu didorong-dorong buat cepat cari pasangan dan punya anak. “Udah lah, Connie, tenang aja. Nanti juga nemu jodohnya sendiri,” kata Shaennete. Aku cuma mengangguk dan senyum. Anehnya, Shaennete yang biasanya satu suara sama nenekku. Tapi kali ini dia malah menyuruh nenek stop. Rumor tentang Shaennete yang suka mengatur cucunya memang sudah menyebar, tapi bukan berarti dia bisa atur aku juga. “Yang dia butuh tuh ... nge-seks!” Danny mencolek pundakku. “Danny Sunyaaa!!!!” Connie langsung mengomel, tapi dia cuma ketawa dan cium pipi nenek. “Gak papa, Eyang.” Connie langsung senyum manis. Karena Danny punya dua nenek, dia manggil yang satu ini 'Eyang'. Dia melirikku. “Kamu udah nanya Karin belum?” Aku baru mau jawab, tiba-tiba ruangan langsung senyap. “Nah, mulai tegang nih,” bisik Derrin dari belakangku. Aku melirik ke pintu. Cewek pirang dari bangku taman tadi masuk ke dalam Bar.୨ৎ M A Y A જ⁀➴Besok paginya, aku naik Grabcar dari salah satu Resort di Bangora, langsung ke kantor pengacara. Malas banget kalau aku harus balik dulu ke Pecang.Aku turun dari mobil, berdiri di bawah papan bertuliskan Eifel Botman, Pengacara. Begitu masuk, bel ruangan kecil itu langsung berbunyi. Di balik meja resepsionis duduk ibu-ibu paruh baya yang sepertinya sempat kulihat juga waktu pemakaman kemarin.Dia melirik ke atas, matanya langsung melebar. "Oh, halo," katanya sambil menunduk lagi. "Kamu Maya, ya?"Aku mengangguk pelan."Sebentar, ya. Aku cek dulu Pak Botman-nya udah siap apa belum." Dia senyum ramah, lalu jalan ke lorong kecil di belakangnya.Aku duduk di ruang tunggu, sambil berpikir, "Aku pingin banget ngobrol dulu sama Karin sebelum lakuin semua ini. Tapi ya udah, lah …."Perutku rasanya mual setiap kali membayangkan bagaimana reaksi dia begitu tahu kalau aku sudah di kota ini. Tapi bisa saja dia memang tahu. Atau justru enggak pernah dikasih tahu apa-apa selama in
Aku peluk dia. Aku tahu banget rasanya. Aku pernah ada di posisi dia dulu.“Tapi percaya, deh, suatu hari nanti waktu kamu inget dia, rasanya enggak sesakit sekarang.”Dia balas pelukanku. “Makasih buat semuanya.”Aku mengangguk.“Kamu di sini, ternyata.” Alvaro masuk, menginjak kain dan benang yang berserakan di lantai.Karin senyum ke dia. “Aku di sini. Bisa anter aku pulang, ya?”Alvaro mengangguk dan langsung melingkarkan lengannya di bahu Karin. “Ayo.”“Makasih, Karin,” kataku.Dia balik badan. "Sama-sama."Alvaro lagi menjaganya soalnya kita tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Karin kehilangan dua-duanya sekaligus neneknya. Keluargaku memang menyebalkan, tapi aku enggak bisa membayangkan hidup sendirian tanpa siapa-siapa.Waktu aku hampir memasukkan kunci itu ke kantong, Danny tiba-tiba muncul di pintu. "Jadi benaran?""Apaan?""Dia ngasih kunci itu ke kamu? Dia bakal jual tempat ini ke kita?"Aku melihat-lihat ruangan ini, memikirkan seberapa banyak kita harus renovasi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴“Jangan-jangan kamu bikin dia kabur, ya?” Danny menghampiriku saat aku lagi memperhatikan si cewek pirang jalan keluar dari Bar. Dia sempat berhenti dekat Karin, kayaknya mau bicara sesuatu, tapi terus jalan lagi.Derrin langsung menyelip di antara aku dan Danny. “Katanya sih, acara berkabung tuh tempat semua rahasia kelam seseorang pada kebongkar.”Aku angkat tangan, malas banget dengar ocehannya Derrin sekarang.“Udah-udah, lihat tuh, dia kayaknya mau nyebrang jalan,” kata Danny sambil mengambilkan gelas. “Jelas-jelas ada yang aneh dari dia.”“Kenapa? Dia bilang sesuatu?” tanya Derrin.“Enggak. Tapi dia lebih milih Aldani daripada aku. Jelas itu udah tanda-tanda aneh banget,” kata Danny sambil geleng-geleng kepala.Aku tertawa dan dorong bahunya. “Kamu tahu kan, aku lebih jago ngegombal daripada kamu.”“Gombal apaan? Kamu aja enggak punya kenalan cewek satu pun di Pecang.”Tiba-tiba Alzian, adikku, masuk ke Bar pakai seragam Outdoor Tambangnya. Dia langsung mengha
Aku lihat sekeliling. Tempat ini cocok banget sih sama vibe mereka. Ada tong-tong besar di balik kaca, meja-meja kayu gelap yang besar, TV-TV berjejer di atas Bar yang memutar pertandingan bola. Dan di tengah ada plang besar dari baja bertuliskan Brine & Barrel.“Tempatnya keren. Cuma … aku bukan pecinta bir, sih. Jadi enggak tahu aku bisa menilai atau enggak.”Danny menyodorkan Aldani ke arahku.“Coba aja kamu minum dikit terus bilang ke Aldani kalau bir aku lebih enak.”Senyum plus kedipan mata Danny itu kayak senjata maut. Pasti sudah sering bikin cewek klepek-klepek sampai ke ranjang.Aldani balas, “Kita dapet cuan dari dua-duanya, bro. Jadi ini gak gitu juga.”Aku mencicipi bir dari Aldani, terus langsung telan. Mereka berdua menunggu aku berkomentar.“Enak kok. Dua-duanya enak.”“Kalau kamu harus ngabisin satu gelas, kamu pilih yang mana?”“Hmm .…” Jujur aku lebih milih nge-review bir mereka daripada harus menjelaskan siapa aku sebenarnya.“Kayaknya aku lebih suka yang rasanya e
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Aku masuk ke tempat acara duka yang ternyata digelar di Bar, dan seketika suasananya berubah seperti film horor, semua orang mendadak diam.Sebenarnya Mama sudah mengingatkanku, sih. Dia ingin banget ikut aku ke Pecang, tapi aku bilang kalau aku bisa handle sendiri.“Kamu nggak mengerti kota kecil. Kamu enggak bakal disambut pakai karpet merah,” katanya waktu itu.Sebenarnya, kadang aku bersyukur punya Mama yang overprotektif. Tapi kadang juga kesal. Kayaknya Papa sampai harus mengikatnya di kursi biar dia enggak menyusulku ke sini.Aku senyum kecil, terus mataku langsung menemukan Karin, anaknya almarhum. Dari tadi dia dikelilingi orang terus, bahkan sampai sekarang. Awalnya aku pikir semua bakal minum, makan, dan cerita-cerita kenangan manis bareng Mamanya, jadi aku bisa menyelinap buat ngobrol sebentar sama Karin.Tapi rencana tinggal rencana. Semua mata sekarang mengarah kepadaku. Jadi ya sudah, aku langsung menuju meja makanan, biar saja orang-orang mikir kalau aku
Aku lagi jalan balik ke Bar, mataku tiba-tiba menemukan cewek pirang duduk di bangku taman dekat caffe, Mellow Mug. Gayanya rapi banget, pakai celana hitam sama heels hitam, seperti habis datang dari pemakaman.Gak terlihat atasannya, karena tertutup jaket hitam. Mungkin dia salah satu tamu, lagi menunggu orang lain datang. Ada yang familiar dari mukanya, tapi aku enggak bisa menebak itu siapa. Mungkin kalau dia mengangkat sedikit matanya dari HP, aku bisa lebih yakin.“Itu dia,” kata Derrin. Aku menengok ke belakang dan melihat dua adik tiriku, Derrin sama Donna, berdiri di depan Bar.“Siapa memangnya?”Donna ngangkat bahu. “Dia ada di pemakaman tadi.”Aku jalan mendekat. “Makanya aku ngerasa kenal. Dia orang sini ya?”Ingat, Pecang itu kota kecil. Kalau kalian enggak kenal orangnya, minimal kalian bakal pernah lihat mukanya. Karena lagi bukan musim liburan, lihat orang asing bakal jarang banget, kecuali dari kota tetangga seperti Bangora. Tapi kalau dia ada di pemakaman, berarti dia