Aku lagi jalan buat kembali ke Bar. Mataku tiba-tiba saja menemukan cewek pirang lagi duduk di bangku taman dekat Mellow Mug Caffe. Gayanya rapi banget, pakai celana hitam sama heels hitam, seperti baru saja datang dari pemakaman.
Enggak terlihat atasannya, karena tertutup jaket hitam. Mungkin dia salah satu tamu yang lagi menunggu orang lain datang. Ada yang familiar dari mukanya, tapi aku enggak bisa menebak itu siapa. Mungkin kalau dia mengangkat sedikit matanya dari HP, mungkin aku bisa lebih yakin. “Itu dia!” kata Derrin. Aku menengok ke belakang dan melihat dua adik tiriku, Derrin dan Donna. Mereka berdiri di depan Bar. “Siapa memangnya?” Donna mengangkat bahu. “Dia ada di pemakaman tadi.” Aku jalan mendekat. “Makanya aku ngerasa kenal. Dia orang sini, ya?” Ingat, Pecang itu kota kecil. Kalau kalian enggak kenal orangnya, minimal kalian bakal pernah lihat wajahnya. Karena enggak lagi musim liburan, melihat orang asing bakal jarang banget, kecuali dari kota tetangga seperti Bangora. Tapi kalau dia ada di pemakaman, berarti dia kenal keluarga Mirrela. “Mungkin dia pelanggan,” kataku. Derrin langsung menyinyir. Tapi memang sudah gaya dia begitu. Selalu berpikir yang aneh-aneh. “Pelanggan apaan?” “Hah?” “Coba lihat baju dia. Kukunya, rambutnya, semua rapi. Aku yakin dia bukan pelanggan. Berarti dia ....” Derrin mengetok bibirnya sendiri sambil berpikir. “Jangan bikin gosip, deh!” kataku sambil masuk ke Bar. “Eh, please. Aku, tuh penyiar yang jujur, ya,” katanya mengikutiku masuk. “Yaaa, oke, deh.” Aku ambil nampan isi Chicken Wings dari salah satu staff buat ditata di meja pojokan yang sudah dijadikan Buffett. “Terserah!” ketusnya sambil menyelonong pergi. Padahal baru beberapa jam yang lalu dia mengumumkan tentang keributan di pemakaman tadi di siaran radionya. ────୨ৎ──── Orang-orang mulai berdatangan. Mereka pada buka jaket lalu cari tempat duduk. Kita taruh dua jenis minuman yang paling laris di setiap meja, lengkap sama gelasnya buat sharing. Alvaro masuk bareng Karin. Dan jujur, cewek itu cukup kuat. Bayangkan saja, dia menjadi satu-satunya orang yang masih hidup dari keluarganya. Papanya meninggal karena kecelakaan saat mancing, enam tahun lalu. Neneknya wafat tiga belas tahun lalu. Sekarang Mamanya menyusul. Dia enggak punya saudara. Anak tunggal. Sendirian. Tapi aku enggak terlalu khawatir. Alvaro bantu dia ambil makanan, dan Hapsari ... istri Papaku yang baru, langsung menyambut tangan Karin seperti keluarga sendiri. Tipikal keluarga Sunya, sih. Langsung tarik orang baru ke sirkel. Entah kenapa, mataku melirik ke bangku taman tadi. Kosong. Aku memutar badan, mencari-cari di ruangan. Hampir semua wajah aku kenal. Tapi dia? Hilang. “Mungkin itu berita bagus buat Karin. Bisa aja itu tantenya, atau kerabat jauh ....” Aku dengar Derrin bicara ke Marlin. “Hey. Marlin lagi sibuk, jangan paksa dia buat dengerin teori gak penting kamu soal cewek misterius itu,” kataku. Marlin lagi menuangkan Bir ke pitcher, terus kasih ke staff buat diantarkan ke meja. Derrin angkat tangan tinggi-tinggi. “Aku lagi ngobrol sama bestie aku.” “Obrolan khusus cewek, ya!” celetuk Marlin sambil ketawa. “Iya, nih. Kamu cowok minggir, deh!” “Wah, lucu banget. Tapi ingat ya, aku yang bayar gaji bestie kamu ini. Jadi dua jam ke depan, dia bukan partner kamu buat gosip, oke?” Aku juga enggak mengerti kenapa aku enggak suka banget sama gosip-gosip kampung begini. Tapi ya, salah aku juga, sih kembali ke Pecang setelah kuliah. Privasi aman? Jelas enggak. Apalagi waktu aku umur 17, tiba-tiba tahu Papaku tidur sama mantan istri sepupunya sendiri. Sekarang, sih mereka menikah, dan aku dapat bonus empat adik tiri plus satu adik cowok. “Nih, cucu kesayangan nenek!” Nenek Connie langsung memelukku, tingginya cuma sampai dadaku. “Tadi Shaennete bilang, dia pingin banget dansa di pesta nikahan kamu nanti!” Aku cuma menyengir dan tahan diri buat enggak membantah. Soalnya kalau aku berani melawan, dia bisa cubit aku seperti waktu aku kecil dulu. Dan dia gak peduli kalau umurku sudah tiga puluh. “Kayaknya enggak, deh,” jawabku. Ekspektasi keluarga itu bukan kontrak, kan? Jadi enggak wajib buat aku penuhi. Sebagai anak laki-laki tertua di keluarga Sunya, semua orang selalu bertanya kapan aku menikah. Selalu diceramahi buat cepat cari pasangan dan punya anak. “Udah, lah, Connie, tenang aja. Nanti juga nemu jodohnya sendiri,” kata Shaennete. Aku cuma mengangguk dan senyum. Anehnya, Shaennete yang biasanya satu suara sama nenekku, kali ini dia malah menyuruh nenek buat berhenti. Rumor tentang Shaennete yang suka mengatur cucunya memang sudah menyebar, tapi bukan berarti dia bisa atur aku juga, kan? “Yang dia butuh tuh ... nge-seks!” Danny mencolek pundakku. “Danny Sunyaaa!!!!” Connie langsung mengomel, tapi dia cuma ketawa dan cium pipi nenek. “Gak papa, Eyang.” Connie langsung senyum manis. Karena Danny punya dua nenek, dia manggil yang satu ini 'Eyang'. Dia melirikku. “Kamu udah nanya Karin belum?” Aku baru mau jawab, tiba-tiba ruangan langsung senyap. “Nah, mulai tegang, nih!” bisik Derrin dari belakangku. Aku melirik ke pintu. Cewek pirang dari bangku taman tadi masuk ke dalam Bar.୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku
Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di
Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.
Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar