"Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung.
Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku.
Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang.
"Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku.
Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi.
"Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya.
"Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?"
"Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, dia selalu menolak untuk mengatakannya. Jadi ... katakan sekarang, Al."
Kulihat satu persatu wajah-wajah yang ada di ruangan ini. Mama masih anteng dengan makanannya, tanpa terganggu sedikit pun dengan ocehan kedua putranya.
Begitupun dengan Mas Arfan, wajahnya begitu antusias dengan kedua tangan yang ia lipat di meja. Badannya sedikit maju, untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan adiknya.
Di sini, hanya akulah yang tidak baik-baik saja. Rasa takut dan cemas menjalar ke seluruh aliran darahku. Rasa panas mulai menyerang membuat tubuhku terus mengeluarkan keringat.
"Al, ayolah, tunggu apalagi, aku sudah sangat penasaran!" ujar Mas Arfan lagi saat tidak ada kata yang keluar dari bibir adiknya.
"Baiklah, Mas. Jika kamu ingat wajah seorang aktris atau model, istrimu ini mirip sekali dengan ... Celine Evangelista."
"Ahahaha ...!" Aku tertawa terbahak seraya menepuk-nepuk meja setelah Alvin mengucapkan nama aktris Ibu Kota.
Mama dan Alvin melihatku dengan mengerutkan kening. Mereka heran kenapa aku harus tertawa dengan begitu lantangnya.
Sedangkan Mas Arfan, ia diam tanpa ekspresi membuatku menghentikan tawa dan berdehem untuk mengucapkan kata selanjutnya.
"Kamu dengar, Mas. Adikmu itu terlalu berlebihan. Kebanyakan bertemu artis dan model, membuat dia jadi berkhayal tinggi. Masak, wajahku disamakan dengan artis. Dia meledekku, Mas." Aku merajuk, memegang lengan Mas Arfan yang sedari tadi diam membisu.
Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku, namun hatiku mengatakan jika dia sedang tidak baik-baik saja. Aku yakin, sekarang dia tengah mengingat sesuatu.
"Sudah, ah kita ke kamar, yuk! Besok, 'kan kita mau pergi, jadi harus istirahat dari sekarang," ujarku lagi seraya menarik lengan suamiku.
Tanpa penolakan, Mas Arfan berdiri dan mengikuti keinginanku. Aku berpamitan sama Mama, yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa mengeluarkan kata.
Kulihat Alvin mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak berhasil mempengaruhi suamiku. Dan aku, melihatnya dengan senyum kemenangan.
Sesampainya di dalam kamar, aku membantu Mas Arfan untuk mencuci muka. Selanjutnya, dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.
"Apa benar wajahmu mirip seperti nama yang tadi disebutkan Alvin?" tanya Mas Arfan padaku.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Kamu tidak percaya padaku?" ujarku seraya naik dan duduk di samping Mas Arfan yang tengah berbaring.
"Bukan, bukan aku tidak percaya. Tapi ...."
Mas Arfan menggantung ucapannya. Dia menggeser tubuhnya, menyimpan kepalanya di pangkuanku.
"Mas, aku ini dari desa, aku orang biasa. Tidak mungkin wajahku sebagus dan semirip artis sinetron yang glowing dan bercahaya. Disamakan dengan artis, itu suatu penghinaan bagiku," ujarku seraya menekuk wajah.
Nada suaraku, sengaja kubuat semenyedihkan mungkin. Agar Mas Arfan tahu, jika aku keberatan dengan ucapan adiknya tadi.
Mas Arfan menyunggingkan senyum. Ia mengambil tanganku, lalu diletakkan di kepalanya.
"Maafkan Alvin, mungkin tadi dia sedang bercanda. Aku pun tidak percaya dengan kata-kata anak itu. Tapi ... aku memang pernah memiliki kenangan buruk dengan seorang wanita yang wajahnya mirip dengan nama yang disebutkan Alvin tadi."
"Benarkah?" ucapku seraya mengelus rambut lebatnya.
"Ya, dan itu masih berbekas sampai saat ini. Dia adalah orang yang sudah merenggut sebagian duniaku."
Aku menggigit bibir, memejamkan mata seraya menarik napas dengan dalam.
"Maaf," ucapku lirih.
"Hey, kenapa minta maaf? Kamu tidak salah, Sayang." Mas Arfan meraba wajahku, mengusap pipiku dengan pelan.
"Hmm .... Maksudku, aku merasa bersalah saja, karena Alvin mengatakan hal itu, membuat kamu teringat akan kejadian menyakitkan itu."
Mas Arfan melepaskan tangannya dari wajahku. Dia memiringkan tubuhnya, memeluk perutku dengan erat.
"Sudah, jangan dipikirkan. Sebaiknya kita tidur. Bukannya besok kita akan pergi?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Ya, aku akan mengajakmu pergi."
Aku melepaskan pelukan Mas Arfan. Menata bantal, dan menidurkan dia di tempat yang seharusnya. Aku menarik selimut membungkus tubuh suamiku sampai batas perut.
"Selamat tidur, Mas."
"Ya, selamat malam, Sayang."
Mas Arfan mulai memejamkan matanya. Semakin lama, napasnya terdengar sangat teratur. Ia sudah terlelap dalam tidur dan mimpi indahnya.
Kupandangi wajah tampan itu. Wajah yang selama satu tahun ini sudah menemani tidurku. Menjadi pemandangan pertama yang aku lihat saat aku membuka mata di pagi hari.
Tidak terasa, air mataku jatuh kala aku membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi pada rumah tangga kami. Kemarahan dia, kebencian dan makian dia padaku, jika seandainya nanti suamiku itu tahu tentangku yang sebenarnya.
"Aku tidak mau kehilanganmu, Mas," ucapku seraya mengecup pipinya.
Entah cara apalagi yang harus aku lakukan agar Mas Arfan tetap berada di sampingku. Sampai kapan pun, aku ingin terus menjadi istrinya.
Egois memang, tapi ini permintaan hati. Hatiku sudah terpaut oleh pria yang saat ini tengah tidur di sampingku.
*
Esok harinya, aku sudah siap untuk pergi. Aku pun sudah mendandani suamiku serapi mungkin, agar terlihat tampan dan segar.
Hari ini, aku akan membawanya pergi ke pemakaman istri dan anaknya. Aku juga akan membawa suamiku pergi ke rumah orang tuaku.
"Tari, kita akan pergi dengan taksi?" tanyanya saat kita keluar dari kamar.
"Tidak, Mas. Aku yang akan menyetir. Kita akan pergi dengan mobilmu."
Mas Arfan tertawa. Ini bukan kali pertama aku ditertawakan oleh suamiku. Sejak pagi tadi, dia terus tertawa saat aku mengatakan bisa mengendarai mobil. Sejak kemarin, bahkan.
"Ih, malah tertawa," rutukku mencubit pinggangnya.
"Eh eh! Kan, aku nubruk, 'kan?" ujar Mas Arfan saat kakinya menabrak sofa.
Kami semakin tertawa terbahak seraya becanda.
Semua orang sudah pergi untuk bekerja, dan hanya ada aku dan suamiku di rumah ini. Ini sangat menguntungkan. Karena aku tidak akan mendapatkan pertanyaan dari mertua, serta ipar julid yang berprofesi sebagai fotografer. Dia selalu mencari-cari kesalahanku.
"Ayo, Mas naik!" ujarku seraya membuka pintu mobil.
Aku membantu Mas Arfan untuk naik ke dalam mobil, lalu menutup pintu saat suamiku sudah aman di dalam sana. Kemudian, aku pun masuk dan duduk di belakang kemudi.
"Tari, apa ini taxi?" tanya Mas Arfan lagi.
"Bukan, Sayang. Ini mobilmu. Dan aku, yang akan membawamu pergi." Aku mulai menyalakan mesin mobil dan siap untuk pergi.
"Mentari!"
"Ada apa lagi, Mas?"
"Siapa kamu sebenarnya?"
Aku terdiam mendengar pertanyaan suamiku. Aku melepaskan tangan dari setir dan mematikan kembali mesin mobil.
"M–maksud kamu apa, Mas?"
Bersambung
"Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam.Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi."Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?"Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya."Kamu membohongiku?" tanyanya."Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu.""Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi."Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini
"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku."Alhamdulillah baik, Bu.""Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil."Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini."Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan m
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku."Ah, biasa saja, Mas.""Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku."Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa."Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku."Sukalah,
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya."Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah."Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya."Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku."Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!""Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?""Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan."Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.
Senja mulai datang, langit mulai menggelap. Hariku sebentar lagi akan berakhir, berganti dengan malam di mana waktunya untuk menanamkan mimpi.Kuangkat kepala menghirup udara sebanyak mungkin, untuk menetralkan perasaan yang tidak menentu. Dua tangan menyusup memeluk pinggangku, setelah tadi kudengar hentakkan tongkat yang beradu dengan lantai."Kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau menutup jendela, tapi malah diam," bisik seorang pria yang membuatku selalu merasa takut.Takut kehilangannya."Aku sedang menikmati angin sore di sini. Rasanya ... sangat segar," ucapku seraya mengusap dan menggenggam tangannya yang melingkar indah di perutku."Sudah mau maghrib, tidak baik masih membuka pintu. Tutup, Sayang."Aku tidak lagi berucap. Kututup jendela dan gorden berwarna hitam itu. Warna kesukaan suamiku, setelah dia kehilangan penglihatannya.
"Berkhianat. Aku tidak akan memaafkan pengkhianatan apa pun alasannya."Ada sedikit rasa lega saat Mas Arfan mengucapkan kata khianat. Aku tidak melakukan itu, dan itu artinya Mas Arfan akan memaafkanku atas kebohongan ini.Aku punya kesempatan untuk tetap bersama dia, jika nantinya dia tahu tentangku yang sebenarnya.Ya, aku masih punya peluang untuk menerima maaf darinya."Kenapa, sih kamu bertanya hal itu? Apa kamu melakukan suatu kesalahan, Mentari?""A ... em, enggak, Mas. Aku hanya berpikir jika caraku melayani suami, menyiapkan keperluanmu, selalu merasa kurang. Jadi ... aku ingin meminta maaf soal itu," ucapku seraya menahan napas.Dadaku kembang kempis khawatir jika Mas Arfan akan mencurigaiku. Rasanya hidupku tidak tenang jika terus berdusta."Kamu selalu saja berkata seperti itu. Kamu harus t
"Apa itu yang jatuh?" tanya Mas Arfan.Sedang ketiga pasang mata lainnya, hanya melihat tanpa bersuara."Kaget, ya sampai sendok pun kamu jatuhkan," ucap Alvin dengan senyum sinisnya.Aku tidak menjawab. Memilih mengambil sendok yang berada di lantai, lalu membawanya ke dapur. Menyimpannya di wastafel, dan aku mengambil sendok yang baru."Maaf, tadi tanganku kesemutan," ucapku setelah kembali ke tempat makan."Tak apa, Sayang. Mungkin tanganmu masih lelah setelah nyetir tadi. Dan soal donor mata, sebaiknya jangan dibicarakan sekarang, Mah. Aku sedang nyaman berada di posisi ini. Biarlah, jika harus buta selamanya. Toh, istriku pun tidak keberatan dengan kebutaan ini."Seperti dihujani air es, hatiku terasa sejuk mendengar jawaban dari Mas Arfan."Tapi, Fan. Ini kesempatan, lho." Mama kembali b