Share

Bab 5

"Ekhem! Mas, sepertinya kamu harus segera istirahat. Kita ke kamar, yuk!" ujarku langsung memotong ucapan Alvin yang menggantung. 

Bagaimanapun, aku harus menghentikan ucapan Alvin yang akan menjabarkan ciri-ciri fisikku. Ini belum saatnya Mas Arfan untuk tahu tentang diriku. 

Aku masih ingin dicintai oleh suamiku. Masih ingin hidup tenang dengan penuh kasih sayang. 

"Sebentar, Sayang. Aku ingin mendengar Alvin berbicara." Mas Arfan menolakku. 

Hatiku semakin risau, keringat di punggung sudah bercucuran. Kulihat Alvin menyunggingkan senyum mengejek ke arahku, karena aku gagal mengajak suamiku pergi. 

"Lanjutkan, Al," ujar Mas Arfan pada adiknya. 

"Ok. Apa Mas, benar-benar ingin tahu?" 

"Ya, tentu saja. Aku penasaran karena setiap aku menanyakan itu pada Mbakmu, dia selalu menolak untuk mengatakannya. Jadi ... katakan sekarang, Al."

Kulihat satu persatu wajah-wajah yang ada di ruangan ini. Mama masih anteng dengan makanannya, tanpa terganggu sedikit pun dengan ocehan kedua putranya. 

Begitupun dengan Mas Arfan, wajahnya begitu antusias dengan kedua tangan yang ia lipat di meja. Badannya sedikit maju, untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan adiknya. 

Di sini, hanya akulah yang tidak baik-baik saja. Rasa takut dan cemas menjalar ke seluruh aliran darahku. Rasa panas mulai menyerang membuat tubuhku terus mengeluarkan keringat. 

"Al, ayolah, tunggu apalagi, aku sudah sangat penasaran!" ujar Mas Arfan lagi saat tidak ada kata yang keluar dari bibir adiknya. 

"Baiklah, Mas. Jika kamu ingat wajah seorang aktris atau model, istrimu ini mirip sekali dengan ... Celine Evangelista."

"Ahahaha ...!" Aku tertawa terbahak seraya menepuk-nepuk meja setelah Alvin mengucapkan nama aktris Ibu Kota. 

Mama dan Alvin melihatku dengan mengerutkan kening. Mereka heran kenapa aku harus tertawa dengan begitu lantangnya. 

Sedangkan Mas Arfan, ia diam tanpa ekspresi membuatku menghentikan tawa dan berdehem untuk mengucapkan kata selanjutnya.

"Kamu dengar, Mas. Adikmu itu terlalu berlebihan. Kebanyakan bertemu artis dan model, membuat dia jadi berkhayal tinggi. Masak, wajahku disamakan dengan artis. Dia meledekku, Mas." Aku merajuk, memegang lengan Mas Arfan yang sedari tadi diam membisu. 

Entah apa yang ada dalam pikiran suamiku, namun hatiku mengatakan jika dia sedang tidak baik-baik saja. Aku yakin, sekarang dia tengah mengingat sesuatu.

"Sudah, ah kita ke kamar, yuk! Besok, 'kan kita mau pergi, jadi harus istirahat dari sekarang," ujarku lagi seraya menarik lengan suamiku. 

Tanpa penolakan, Mas Arfan berdiri dan mengikuti keinginanku. Aku berpamitan sama Mama, yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa mengeluarkan kata.  

Kulihat Alvin mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak berhasil mempengaruhi suamiku. Dan aku, melihatnya dengan senyum kemenangan. 

Sesampainya di dalam kamar, aku membantu Mas Arfan untuk mencuci muka. Selanjutnya, dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

"Apa benar wajahmu mirip seperti nama yang tadi disebutkan Alvin?" tanya Mas Arfan padaku.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Mas? Kamu tidak percaya padaku?" ujarku seraya naik dan duduk di samping Mas Arfan yang tengah berbaring.

"Bukan, bukan aku tidak percaya. Tapi ...." 

Mas Arfan menggantung ucapannya. Dia menggeser tubuhnya, menyimpan kepalanya di pangkuanku. 

"Mas, aku ini dari desa, aku orang biasa. Tidak mungkin wajahku sebagus dan semirip artis sinetron yang glowing dan bercahaya. Disamakan dengan artis, itu suatu penghinaan bagiku," ujarku seraya menekuk wajah. 

Nada suaraku, sengaja kubuat semenyedihkan mungkin. Agar Mas Arfan tahu, jika aku keberatan dengan ucapan adiknya tadi. 

Mas Arfan menyunggingkan senyum. Ia mengambil tanganku, lalu diletakkan di kepalanya. 

"Maafkan Alvin, mungkin tadi dia sedang bercanda. Aku pun tidak percaya dengan kata-kata anak itu. Tapi ... aku memang pernah memiliki kenangan buruk dengan seorang wanita yang wajahnya mirip dengan nama yang disebutkan Alvin tadi."

"Benarkah?" ucapku seraya mengelus rambut lebatnya.

"Ya, dan itu masih berbekas sampai saat ini. Dia adalah orang yang sudah merenggut sebagian duniaku."

Aku menggigit bibir, memejamkan mata seraya menarik napas dengan dalam. 

"Maaf," ucapku lirih.

"Hey, kenapa minta maaf? Kamu tidak salah, Sayang." Mas Arfan meraba wajahku, mengusap pipiku dengan pelan. 

"Hmm .... Maksudku, aku merasa bersalah saja, karena Alvin mengatakan hal itu, membuat kamu teringat akan kejadian menyakitkan itu."

Mas Arfan melepaskan tangannya dari wajahku. Dia memiringkan tubuhnya, memeluk perutku dengan erat. 

"Sudah, jangan dipikirkan. Sebaiknya kita tidur. Bukannya besok kita akan pergi?" ujarnya mengalihkan pembicaraan.

"Ya, aku akan mengajakmu pergi."

Aku melepaskan pelukan Mas Arfan. Menata bantal, dan menidurkan dia di tempat yang seharusnya. Aku menarik selimut membungkus tubuh suamiku sampai batas perut. 

"Selamat tidur, Mas."

"Ya, selamat malam, Sayang."

Mas Arfan mulai memejamkan matanya. Semakin lama, napasnya terdengar sangat teratur. Ia sudah terlelap dalam tidur dan mimpi indahnya. 

Kupandangi wajah tampan itu. Wajah yang selama satu tahun ini sudah menemani tidurku. Menjadi pemandangan pertama yang aku lihat saat aku membuka mata di pagi hari. 

Tidak terasa, air mataku jatuh kala aku membayangkan kemungkinan buruk yang akan terjadi pada rumah tangga kami. Kemarahan dia, kebencian dan makian dia padaku, jika seandainya nanti suamiku itu tahu tentangku yang sebenarnya. 

"Aku tidak mau kehilanganmu, Mas," ucapku seraya mengecup pipinya. 

Entah cara apalagi yang harus aku lakukan agar Mas Arfan tetap berada di sampingku. Sampai kapan pun, aku ingin terus menjadi istrinya. 

Egois memang, tapi ini permintaan hati. Hatiku sudah terpaut oleh pria yang saat ini tengah tidur di sampingku.

*

Esok harinya, aku sudah siap untuk pergi. Aku pun sudah mendandani suamiku serapi mungkin, agar terlihat tampan dan segar. 

Hari ini, aku akan membawanya pergi ke pemakaman istri dan anaknya. Aku juga akan membawa suamiku pergi ke rumah orang tuaku. 

"Tari, kita akan pergi dengan taksi?" tanyanya saat kita keluar dari kamar.

"Tidak, Mas. Aku yang akan menyetir. Kita akan pergi dengan mobilmu."

Mas Arfan tertawa. Ini bukan kali pertama aku ditertawakan oleh suamiku. Sejak pagi tadi, dia terus tertawa saat aku mengatakan bisa mengendarai mobil. Sejak kemarin, bahkan. 

"Ih, malah tertawa," rutukku mencubit pinggangnya. 

"Eh eh! Kan, aku nubruk, 'kan?" ujar Mas Arfan saat kakinya menabrak sofa. 

Kami semakin tertawa terbahak seraya becanda. 

Semua orang sudah pergi untuk bekerja, dan hanya ada aku dan suamiku di rumah ini. Ini sangat menguntungkan. Karena aku tidak akan mendapatkan pertanyaan dari mertua, serta ipar julid yang berprofesi sebagai fotografer. Dia selalu mencari-cari kesalahanku. 

"Ayo, Mas naik!" ujarku seraya membuka pintu mobil.

Aku membantu Mas Arfan untuk naik ke dalam mobil, lalu menutup pintu saat suamiku sudah aman di dalam sana. Kemudian, aku pun masuk dan duduk di belakang kemudi. 

"Tari, apa ini taxi?" tanya Mas Arfan lagi.

"Bukan, Sayang. Ini mobilmu. Dan aku, yang akan membawamu pergi." Aku mulai menyalakan mesin mobil dan siap untuk pergi.

"Mentari!"

"Ada apa lagi, Mas?" 

"Siapa kamu sebenarnya?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan suamiku. Aku melepaskan tangan dari setir dan mematikan kembali mesin mobil. 

"M–maksud kamu apa, Mas?" 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status