Share

Bab 6

"Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam.

Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi.

"Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?" 

Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya.

"Kamu membohongiku?" tanyanya.

"Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu." 

"Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi.

"Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini terlahir dari keluarga yang sederhana. Orang tuaku hanya petani sayur, dan aku dituntut untuk bisa mengerjakan semuanya sendiri. Termasuk, mengendarai mobil. Awalnya aku diajarkan ayah, agar bisa mengirimkan sayuran hasil panen ke pasar. Sementara ayah, harus terus berada di kebun mengurus sayuran yang baru ditanam," jelasku panjang lebar. 

Mas Arfan diam, mendengarkan kalimat yang keluar dari bibirku. Sama sekali tidak nampak wajah kaget lagi dari suamiku itu. Mungkin dia sudah paham dan percaya dengan apa yang aku katakan barusan. 

Syukurlah, memang itu yang aku inginkan.

"Apa kamu masih mencurigaiku, Mas?" Aku bertanya seraya melirik ke arahnya. 

"Tidak. Sepertinya aku memang belum mengetahui semuanya tentang istriku. Maaf," jawab Mas Arfan dengan seulas senyum.

Memang. Dia memang tidak tahu semua tentangku. Dan aku harap, dia tidak akan pernah tahu segalanya. 

"Tak apa, Mas. Apa kita bisa langsung berangkat?" 

Mas Arfan menganggukkan kepala menjawab pertanyaanku. Aku pun menyalakan kembali mesin mobil dan tancap gas untuk pergi ke tempat yang sudah kami rencanakan. 

Jalanan begitu lengang, dan aku sangat menikmati perjalanan ini. Yang biasanya kami akan pergi bersama supir atau di supirin sama Alvin, sekarang kami bisa merasakan pergi berdua tanpa orang lain. 

Sangat menyenangkan. Kenapa tidak terpikir olehku untuk melakukan ini sejak dulu. Mungkin aku tidak akan terkurung terlalu lama di dalam rumah, jika Mas Arfan mengetahui kemandirianku yang satu ini.

"Mas, sebentar lagi kita akan sampai," ucapku. 

Mas Arfan menganggukkan kepala dan bersiap dengan mengambil tongkatnya. 

Setelah sampai, aku membantu Mas Arfan untuk turun. Kami berjalan saling bergandengan menuju pusara istri dan anak dari suamiku.

"Duduk di sini, Mas." Aku menyimpan kursi kecil tepat di samping makam Saffa, agar Mas Arfan bisa duduk dengan nyaman.

"Terima kasih, Tari." 

Tersenyum adalah jawabanku. Meskipun Mas Arfan tidak bisa melihat itu, setidaknya aku melakukan semuanya dengan ikhlas.

Aku dan Mas Arfan mulai memanjatkan doa untuk kedua wanita yang dulu begitu disayangi suamiku itu. Jujur, ada sedikit rasa cemburu saat melihat Mas Arfan meraba dan mengelus nisan Saffa. 

Dalam bayanganku, suamiku tengah membelai rambut istri pertamanya dengan begitu sayang. Buru-buru aku memalingkan wajah menepis perasaan yang tidak biasa ini.

"Berikan tanganmu, Tar."

Aku mengulurkan tangan, lalu menggenggam tangan Mas Arfan yang sudah mengudara mencari tanganku. 

"Saffa, maafkan Mas, ya karena sudah lama tak datang ke sini. Bukannya tidak ingat, tapi orang-orang rumah sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Dan baru sekarang, Mas bisa datang. Itu, juga berkat Tari yang membawa Mas, ke sini," ujar Mas Arfan berbicara sendiri.

Aku hanya mendengarkan apa yang suamiku itu katakan. Ia tengah mengadu dan mengobrol, seolah-olah ada Saffa di depannya. 

"Saffa, Tari ini wanita yang baik, dia begitu menyayangi dan memperhatikan Mas. Tapi ... Mas belum tahu bagaimana wajahnya ini. Yang pasti, jika hatinya cantik, wajahnya pun sama. Seperti dirimu. Jika kamu melihat wajah Tari, kasih tahu Mas lewat mimpi, ya? Mas begitu penasaran dengan rupa istriku ini," tutur Mas Arfan seraya menarik tanganku lebih erat lagi. 

Seulas senyum dia suguhkan. Entah untukku, atau untuk Saffa yang jasadnya terkubur tanah. 

Dari sini, aku bisa melihat jika suamiku itu begitu menyayangi Saffa. Cara dia berucap, sudah menunjukkan bahwa wanita yang namanya tertulis di batu nisan, sungguh berarti untuknya. 

Setelah berbicara dengan nisan Saffa, Mas Arfan memintaku beralih ke nisan yang ada di sebelahnya. Yaitu makam Safiya–putrinya yang saat meninggal baru saja berusia tiga hari. 

"Kita akan ke mana sekarang?" tanyaku saat kami berjalan meninggalkan pemakaman.

Mas Arfan menghela napas panjang. Ia berhenti sejenak, lalu kembali melangkah menuju mobil. Tentunya, dengan arahan dariku.

"Ke rumah orang tuamu. Bukannya kamu merindukan mereka?" ujar Mas Arfan. 

Aku mengiyakan. Kami pun masuk ke dalam mobil, dan aku mulai melajukan kendaraan roda empat itu.

Tidak ada pembahasan selama perjalanan kami. Mas Arfan lebih banyak diam dan hanya berucap jika aku bertanya. Sepertinya, ia memang masih begitu mencintai Saffa. Terlihat dari wajah murung dia saat kami meninggalkan peristirahatan terakhir istri pertamanya itu.

"Kamu baik-baik saja, 'kan, Mas?" tanyaku untuk mencairkan suasana.

"Ya, tentu. Tidak ada alasan untukku tidak baik-baik saja bila bersamamu," jawabnya membuatku tersenyum lebar. Dia paling bisa membuatku tersipu.

Perjalanan yang seharusnya memakan waktu hanya dua puluh menit saja untuk sampai ke rumah orang tuaku, terpaksa harus dua kali lipat kami menempuhnya. Karena aku membawa Mas Arfan berputar-putar agar terasa lebih jauh dan lama. 

Setahu Mas Arfan, aku tinggal di desa yang berada di pinggiran kota. Dan itu, jaraknya lumayan jauh dari kediaman orang tua Mas Arfan.

"Masih lama, Tar?" tanya Mas Arfan. Ia sudah mulai gelisah. Mungkin pegal karena terus duduk.

"Sebentar lagi, Mas. Apa kamu lelah?" tanyaku.

"Ah, tidak. Aku hanya kebelet pipis." 

Aku terkekeh melihat suamiku yang seperti cacing kepanasan. Buru-buru aku membelokan mobil, memasuki perumahan di mana rumah orang tuaku berada. 

"Kita akan segera sampai. Sudah masuk ke jalan pedesaan," ujarku membuat Mas Arfan mengangguk. 

Jika ada istilah istri paling jahat, mungkin itu adalah sebutan yang cocok untukku. Aku terus berbohong untuk menutupi kebohonganku yang lainnya. 

"Kita sampai!" seruku seraya memarkirkan mobil.

Kedua orang tua dan adikku sudah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan kami. Aku turun terlebih dahulu, kemudian membantu Mas Arfan untuk turun.

"Mas, ini Ibu, dan ini Ayah," ucapku seraya mengarahkan tangan Mas Arfan kepada kedua orang tuaku. 

Suamiku mencium kedua punggung tangan itu secara bergantian. 

"Isna, masih bekerja?" tanya Mas Arfan. 

"Aku di sini, Mas. Aku kebagian masuk malam."

Mas Arfan tersenyum lebar mendengar jawaban dari adikku. 

"Ayo, kita masuk. Pasti kalian lelah 'kan, habis perjalanan jauh? Ibu sudah membuat makanan kesukaan kalian. Mari, Nak Arfan!" ajak ibuku dengan begitu lembutnya.

Suamiku masuk terlebih dahulu dengan diapit kedua orang tuaku. Sedangkan aku, memilih kembali menghampiri mobil dan memgambil sesuatu dari dalam sana. 

"Nih, untuk Suster Isna yang baik hati. Terima kasih sudah membantuku," ujarku memberikan paperbag seraya mengerlingkan mata.

"Ck', dasar jahat," ucap Isna seraya mencebikkan bibir. 

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status