"Kamu bukan orang biasa, 'kan? Ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku. Benar?" ujar Mas Arfan membuatku kembali bungkam.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Aku menetralkan detak jantungku menjadi lebih tenang lagi.
"Ya, aku memang bukan orang biasa. Aku wanita luar biasa, yang sudah diajarkan mandiri sejak kecil. Kamu pasti bingung 'kan, karena baru tahu jika aku bisa nyetir mobil?"
Wajah Mas Arfan semakin tidak bersahabat saat aku mengucapkan kata itu. Dalam pikirannya, mungkin aku ini telah menipu dia. Padahal ... memang seperti itu. Tapi, tidak semuanya.
"Kamu membohongiku?" tanyanya.
"Tidak!" sanggahku dengan cepat, "Aku hanya belum menceritakan ini padamu."
"Sejak kapan bisa nyetir?" tanya Mas Arfan lagi.
"Sudah sejak dulu. Aku pernah cerita sama kamu 'kan, kalau aku ini terlahir dari keluarga yang sederhana. Orang tuaku hanya petani sayur, dan aku dituntut untuk bisa mengerjakan semuanya sendiri. Termasuk, mengendarai mobil. Awalnya aku diajarkan ayah, agar bisa mengirimkan sayuran hasil panen ke pasar. Sementara ayah, harus terus berada di kebun mengurus sayuran yang baru ditanam," jelasku panjang lebar.
Mas Arfan diam, mendengarkan kalimat yang keluar dari bibirku. Sama sekali tidak nampak wajah kaget lagi dari suamiku itu. Mungkin dia sudah paham dan percaya dengan apa yang aku katakan barusan.
Syukurlah, memang itu yang aku inginkan.
"Apa kamu masih mencurigaiku, Mas?" Aku bertanya seraya melirik ke arahnya.
"Tidak. Sepertinya aku memang belum mengetahui semuanya tentang istriku. Maaf," jawab Mas Arfan dengan seulas senyum.
Memang. Dia memang tidak tahu semua tentangku. Dan aku harap, dia tidak akan pernah tahu segalanya.
"Tak apa, Mas. Apa kita bisa langsung berangkat?"
Mas Arfan menganggukkan kepala menjawab pertanyaanku. Aku pun menyalakan kembali mesin mobil dan tancap gas untuk pergi ke tempat yang sudah kami rencanakan.
Jalanan begitu lengang, dan aku sangat menikmati perjalanan ini. Yang biasanya kami akan pergi bersama supir atau di supirin sama Alvin, sekarang kami bisa merasakan pergi berdua tanpa orang lain.
Sangat menyenangkan. Kenapa tidak terpikir olehku untuk melakukan ini sejak dulu. Mungkin aku tidak akan terkurung terlalu lama di dalam rumah, jika Mas Arfan mengetahui kemandirianku yang satu ini.
"Mas, sebentar lagi kita akan sampai," ucapku.
Mas Arfan menganggukkan kepala dan bersiap dengan mengambil tongkatnya.
Setelah sampai, aku membantu Mas Arfan untuk turun. Kami berjalan saling bergandengan menuju pusara istri dan anak dari suamiku.
"Duduk di sini, Mas." Aku menyimpan kursi kecil tepat di samping makam Saffa, agar Mas Arfan bisa duduk dengan nyaman.
"Terima kasih, Tari."
Tersenyum adalah jawabanku. Meskipun Mas Arfan tidak bisa melihat itu, setidaknya aku melakukan semuanya dengan ikhlas.
Aku dan Mas Arfan mulai memanjatkan doa untuk kedua wanita yang dulu begitu disayangi suamiku itu. Jujur, ada sedikit rasa cemburu saat melihat Mas Arfan meraba dan mengelus nisan Saffa.
Dalam bayanganku, suamiku tengah membelai rambut istri pertamanya dengan begitu sayang. Buru-buru aku memalingkan wajah menepis perasaan yang tidak biasa ini.
"Berikan tanganmu, Tar."
Aku mengulurkan tangan, lalu menggenggam tangan Mas Arfan yang sudah mengudara mencari tanganku.
"Saffa, maafkan Mas, ya karena sudah lama tak datang ke sini. Bukannya tidak ingat, tapi orang-orang rumah sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Dan baru sekarang, Mas bisa datang. Itu, juga berkat Tari yang membawa Mas, ke sini," ujar Mas Arfan berbicara sendiri.
Aku hanya mendengarkan apa yang suamiku itu katakan. Ia tengah mengadu dan mengobrol, seolah-olah ada Saffa di depannya.
"Saffa, Tari ini wanita yang baik, dia begitu menyayangi dan memperhatikan Mas. Tapi ... Mas belum tahu bagaimana wajahnya ini. Yang pasti, jika hatinya cantik, wajahnya pun sama. Seperti dirimu. Jika kamu melihat wajah Tari, kasih tahu Mas lewat mimpi, ya? Mas begitu penasaran dengan rupa istriku ini," tutur Mas Arfan seraya menarik tanganku lebih erat lagi.
Seulas senyum dia suguhkan. Entah untukku, atau untuk Saffa yang jasadnya terkubur tanah.
Dari sini, aku bisa melihat jika suamiku itu begitu menyayangi Saffa. Cara dia berucap, sudah menunjukkan bahwa wanita yang namanya tertulis di batu nisan, sungguh berarti untuknya.
Setelah berbicara dengan nisan Saffa, Mas Arfan memintaku beralih ke nisan yang ada di sebelahnya. Yaitu makam Safiya–putrinya yang saat meninggal baru saja berusia tiga hari.
"Kita akan ke mana sekarang?" tanyaku saat kami berjalan meninggalkan pemakaman.
Mas Arfan menghela napas panjang. Ia berhenti sejenak, lalu kembali melangkah menuju mobil. Tentunya, dengan arahan dariku.
"Ke rumah orang tuamu. Bukannya kamu merindukan mereka?" ujar Mas Arfan.
Aku mengiyakan. Kami pun masuk ke dalam mobil, dan aku mulai melajukan kendaraan roda empat itu.
Tidak ada pembahasan selama perjalanan kami. Mas Arfan lebih banyak diam dan hanya berucap jika aku bertanya. Sepertinya, ia memang masih begitu mencintai Saffa. Terlihat dari wajah murung dia saat kami meninggalkan peristirahatan terakhir istri pertamanya itu.
"Kamu baik-baik saja, 'kan, Mas?" tanyaku untuk mencairkan suasana.
"Ya, tentu. Tidak ada alasan untukku tidak baik-baik saja bila bersamamu," jawabnya membuatku tersenyum lebar. Dia paling bisa membuatku tersipu.
Perjalanan yang seharusnya memakan waktu hanya dua puluh menit saja untuk sampai ke rumah orang tuaku, terpaksa harus dua kali lipat kami menempuhnya. Karena aku membawa Mas Arfan berputar-putar agar terasa lebih jauh dan lama.
Setahu Mas Arfan, aku tinggal di desa yang berada di pinggiran kota. Dan itu, jaraknya lumayan jauh dari kediaman orang tua Mas Arfan.
"Masih lama, Tar?" tanya Mas Arfan. Ia sudah mulai gelisah. Mungkin pegal karena terus duduk.
"Sebentar lagi, Mas. Apa kamu lelah?" tanyaku.
"Ah, tidak. Aku hanya kebelet pipis."
Aku terkekeh melihat suamiku yang seperti cacing kepanasan. Buru-buru aku membelokan mobil, memasuki perumahan di mana rumah orang tuaku berada.
"Kita akan segera sampai. Sudah masuk ke jalan pedesaan," ujarku membuat Mas Arfan mengangguk.
Jika ada istilah istri paling jahat, mungkin itu adalah sebutan yang cocok untukku. Aku terus berbohong untuk menutupi kebohonganku yang lainnya.
"Kita sampai!" seruku seraya memarkirkan mobil.
Kedua orang tua dan adikku sudah berdiri di depan pintu menyambut kedatangan kami. Aku turun terlebih dahulu, kemudian membantu Mas Arfan untuk turun.
"Mas, ini Ibu, dan ini Ayah," ucapku seraya mengarahkan tangan Mas Arfan kepada kedua orang tuaku.
Suamiku mencium kedua punggung tangan itu secara bergantian.
"Isna, masih bekerja?" tanya Mas Arfan.
"Aku di sini, Mas. Aku kebagian masuk malam."
Mas Arfan tersenyum lebar mendengar jawaban dari adikku.
"Ayo, kita masuk. Pasti kalian lelah 'kan, habis perjalanan jauh? Ibu sudah membuat makanan kesukaan kalian. Mari, Nak Arfan!" ajak ibuku dengan begitu lembutnya.
Suamiku masuk terlebih dahulu dengan diapit kedua orang tuaku. Sedangkan aku, memilih kembali menghampiri mobil dan memgambil sesuatu dari dalam sana.
"Nih, untuk Suster Isna yang baik hati. Terima kasih sudah membantuku," ujarku memberikan paperbag seraya mengerlingkan mata.
"Ck', dasar jahat," ucap Isna seraya mencebikkan bibir.
Bersambung
"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku."Alhamdulillah baik, Bu.""Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil."Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini."Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan m
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku."Ah, biasa saja, Mas.""Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku."Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa."Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku."Sukalah,
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya."Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah."Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya."Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku."Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!""Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?""Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan."Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.
Senja mulai datang, langit mulai menggelap. Hariku sebentar lagi akan berakhir, berganti dengan malam di mana waktunya untuk menanamkan mimpi.Kuangkat kepala menghirup udara sebanyak mungkin, untuk menetralkan perasaan yang tidak menentu. Dua tangan menyusup memeluk pinggangku, setelah tadi kudengar hentakkan tongkat yang beradu dengan lantai."Kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau menutup jendela, tapi malah diam," bisik seorang pria yang membuatku selalu merasa takut.Takut kehilangannya."Aku sedang menikmati angin sore di sini. Rasanya ... sangat segar," ucapku seraya mengusap dan menggenggam tangannya yang melingkar indah di perutku."Sudah mau maghrib, tidak baik masih membuka pintu. Tutup, Sayang."Aku tidak lagi berucap. Kututup jendela dan gorden berwarna hitam itu. Warna kesukaan suamiku, setelah dia kehilangan penglihatannya.
"Berkhianat. Aku tidak akan memaafkan pengkhianatan apa pun alasannya."Ada sedikit rasa lega saat Mas Arfan mengucapkan kata khianat. Aku tidak melakukan itu, dan itu artinya Mas Arfan akan memaafkanku atas kebohongan ini.Aku punya kesempatan untuk tetap bersama dia, jika nantinya dia tahu tentangku yang sebenarnya.Ya, aku masih punya peluang untuk menerima maaf darinya."Kenapa, sih kamu bertanya hal itu? Apa kamu melakukan suatu kesalahan, Mentari?""A ... em, enggak, Mas. Aku hanya berpikir jika caraku melayani suami, menyiapkan keperluanmu, selalu merasa kurang. Jadi ... aku ingin meminta maaf soal itu," ucapku seraya menahan napas.Dadaku kembang kempis khawatir jika Mas Arfan akan mencurigaiku. Rasanya hidupku tidak tenang jika terus berdusta."Kamu selalu saja berkata seperti itu. Kamu harus t
"Apa itu yang jatuh?" tanya Mas Arfan.Sedang ketiga pasang mata lainnya, hanya melihat tanpa bersuara."Kaget, ya sampai sendok pun kamu jatuhkan," ucap Alvin dengan senyum sinisnya.Aku tidak menjawab. Memilih mengambil sendok yang berada di lantai, lalu membawanya ke dapur. Menyimpannya di wastafel, dan aku mengambil sendok yang baru."Maaf, tadi tanganku kesemutan," ucapku setelah kembali ke tempat makan."Tak apa, Sayang. Mungkin tanganmu masih lelah setelah nyetir tadi. Dan soal donor mata, sebaiknya jangan dibicarakan sekarang, Mah. Aku sedang nyaman berada di posisi ini. Biarlah, jika harus buta selamanya. Toh, istriku pun tidak keberatan dengan kebutaan ini."Seperti dihujani air es, hatiku terasa sejuk mendengar jawaban dari Mas Arfan."Tapi, Fan. Ini kesempatan, lho." Mama kembali b
Dadaku berdetak kencang saat Alvin memanggil dengan nama kecilku.Mataku tajam melihat ke arahnya. Ingin rasanya aku menelan dia bulat-bulat dan melenyapkan dia beserta dengan ucapannya."Kenapa? Tidak suka aku memanggilmu dengan nama itu?" ujarnya lagi seraya menelengkan kepala.Jika saja punya keberanian, aku ingin melemparkan gelas di tanganku ke kepalanya."Ada masalah apa kamu denganku, Al? Sepertinya kamu selalu mencari-cari kesalahanku."Kuberanikan diri menatap mata elangnya. Perlahan, aku mendekati dia dan ikut duduk tepat di depannya. Sengaja aku melakukan ini agar dia tidak menyebut nama itu lagi yang nantinya akan terdengar oleh Mas Arfan."Mencari salahmu?" Alvin terkekeh. "Tanpa harus aku cari, kesalahanmu sudah nampak dan banyak. Sekarang, katakan padaku, Paramita Mentari alias Meta, alias Tari. Apa tujuanmu datang dan m