Share

Bab 7

"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku.

"Alhamdulillah baik, Bu."

"Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu. 

Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil. 

"Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan. 

Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini. 

"Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.

Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan menunggu dia membuang hajatnya. Setelah selesai, aku kembali menuntun Mas Arfan untuk pergi ke ruang makan. 

"Silahkan duduk, Mas."

"Terima kasih, Tari." Mas Arfan meraba kursi plastik yang ia duduki. 

Sedangkan aku, duduk di kursi kayu jati, tepat di sebelahnya.

Kedua orang tua serta adikku hanya menjadi penonton drama yang ada di depan mata mereka. 

Tidak pernah terpikirkan oleh Mama dan Papa, jika anak sulungnya akan menikah dengan seorang pria buta. 

Mereka sempat menentang keinginanku dan enggan memberikan restu saat aku mengatakan ingin menikah dengan Mas Arfan. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah aku menjelaskan semuanya kepada mereka, akhirnya restu itu datang. 

"Aku makan sendiri saja, Tari," ucap Mas Arfan saat aku akan menyuapinya. 

"Memang bisa?" tanya Isna yang langsung mendapatkan senggolan lengan dari Mama. 

"Bisa, Is. Cuman, kakakmu saja yang selalu berlebihan dalam melayaniku," jawab Mas Arfan membuatku tersenyum malu. 

"Yaudah, kalau Mas mau makan sendiri. Ini nasi, ayam goreng, dan ini cumi asam manis," ujarku mengarahkan tangan Mas Arfan ke piring yang sudah berisikan makanan. 

Suamiku mengangguk paham. Ia pun mulai menikmati makanannya setelah membaca doa terlebih dahulu. 

Mama, papa dan Isna melihatku dengan tatapan yang tidak bisa aku jabarkan. Ada rasa kasihan, juga sedih yang kulihat dari tatapan mereka padaku. 

Aku mengedipkan sebelah mata kepada mereka seraya tersenyum manis. Isyarat, bahwa aku baik-baik saja. 

"Isna masih kerja di Rumah Sakit Permata?" tanya Mas Arfan di sela suapannya.

"Masih, Mas. Aku tidak mau pindah-pindah tempat kerja. Sudah cocok di sana," ujar adikku.

"Gimana pulang perginya, Is? Jarak rumah sakit itu dari sini 'kan, jauh?"

Isna tidak langsung menjawab. Ia terlihat kebingungan dengan pertanyaan kakak iparnya itu.

"Ya ... mau gimana lagi, Mas. Kalau udah nyaman, sejauh apa pun pasti tetap dijalani. Perawat seperti Isna ini, pasti lebih memikirkan pasien daripada kenyamanan dirinya sendiri. Iya 'kan, Is?" ujarku membuat Isna mengembuskan napas lega. 

"Seandainya saja kita tinggal berdua, aku tidak keberatan jika Isna tinggal bersama kita. Jarak antara rumahku dan Rumah Sakit Permata 'kan, sangat dekat," ujar Mas Arfan lagi. 

Aku hanya bergumam seraya menunduk dalam menanggapi ucapan Mas Arfan. 

Sungguh, aku benar-benar istri yang durhaka. Terus berbohong dan menipu sesuka hatiku. Semoga Tuhan tidak menghukumku dengan kebodohanku ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status