Share

Bab 7

Author: Pena_yuni
last update Last Updated: 2022-04-08 13:25:09

"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku.

"Alhamdulillah baik, Bu."

"Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu. 

Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil. 

"Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan. 

Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini. 

"Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.

Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan menunggu dia membuang hajatnya. Setelah selesai, aku kembali menuntun Mas Arfan untuk pergi ke ruang makan. 

"Silahkan duduk, Mas."

"Terima kasih, Tari." Mas Arfan meraba kursi plastik yang ia duduki. 

Sedangkan aku, duduk di kursi kayu jati, tepat di sebelahnya.

Kedua orang tua serta adikku hanya menjadi penonton drama yang ada di depan mata mereka. 

Tidak pernah terpikirkan oleh Mama dan Papa, jika anak sulungnya akan menikah dengan seorang pria buta. 

Mereka sempat menentang keinginanku dan enggan memberikan restu saat aku mengatakan ingin menikah dengan Mas Arfan. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah aku menjelaskan semuanya kepada mereka, akhirnya restu itu datang. 

"Aku makan sendiri saja, Tari," ucap Mas Arfan saat aku akan menyuapinya. 

"Memang bisa?" tanya Isna yang langsung mendapatkan senggolan lengan dari Mama. 

"Bisa, Is. Cuman, kakakmu saja yang selalu berlebihan dalam melayaniku," jawab Mas Arfan membuatku tersenyum malu. 

"Yaudah, kalau Mas mau makan sendiri. Ini nasi, ayam goreng, dan ini cumi asam manis," ujarku mengarahkan tangan Mas Arfan ke piring yang sudah berisikan makanan. 

Suamiku mengangguk paham. Ia pun mulai menikmati makanannya setelah membaca doa terlebih dahulu. 

Mama, papa dan Isna melihatku dengan tatapan yang tidak bisa aku jabarkan. Ada rasa kasihan, juga sedih yang kulihat dari tatapan mereka padaku. 

Aku mengedipkan sebelah mata kepada mereka seraya tersenyum manis. Isyarat, bahwa aku baik-baik saja. 

"Isna masih kerja di Rumah Sakit Permata?" tanya Mas Arfan di sela suapannya.

"Masih, Mas. Aku tidak mau pindah-pindah tempat kerja. Sudah cocok di sana," ujar adikku.

"Gimana pulang perginya, Is? Jarak rumah sakit itu dari sini 'kan, jauh?"

Isna tidak langsung menjawab. Ia terlihat kebingungan dengan pertanyaan kakak iparnya itu.

"Ya ... mau gimana lagi, Mas. Kalau udah nyaman, sejauh apa pun pasti tetap dijalani. Perawat seperti Isna ini, pasti lebih memikirkan pasien daripada kenyamanan dirinya sendiri. Iya 'kan, Is?" ujarku membuat Isna mengembuskan napas lega. 

"Seandainya saja kita tinggal berdua, aku tidak keberatan jika Isna tinggal bersama kita. Jarak antara rumahku dan Rumah Sakit Permata 'kan, sangat dekat," ujar Mas Arfan lagi. 

Aku hanya bergumam seraya menunduk dalam menanggapi ucapan Mas Arfan. 

Sungguh, aku benar-benar istri yang durhaka. Terus berbohong dan menipu sesuka hatiku. Semoga Tuhan tidak menghukumku dengan kebodohanku ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 46

    Dua gelas minuman serta satu piring red velvet terhidang di depan kami. Sesekali, tangan suamiku memberikan suapan ke dalam mulut ini. Tidak kuasa untuk menolak, aku menikmati setiap suapan yang dia berikan.“Manis?” tanyanya dengan senyum terindah.“Enggak,” jawabku.“Dasar pembohong. Kalau tidak manis, tidak mungkin kamu makan.”“Aku mau makan, bukan karena rasanya yang enak, tapi yang nyuapinnya teramat sangat manis. Hingga sampai ke sini,” ujarku seraya meraba dada.Tentu saja hal itu membuat Mas Arfan terkekeh seraya mengacak rambutku. Aku merengut karena rambut yang berantakan. Tapi, tidak marah karena aku memang sulit untuk marah padanya.Saat ini, akulah wanita paling bahagia. Bisa kembali kepada orang yang aku cinta, dan menghabisi waktu berdua.“Malam ini, kita nginap di sini. Besok pagi baru kita pulang,” ujarnya seraya kembali memberikan suapan untukku.“Tidak pulang juga tidak apa-apa. Aku lebih senang kita tinggal berdua.”“Tunggulah sebentar lagi, sampai aku benar-benar

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 45

    “Tar, nanti kita akan tinggal dengan mama dan papa lagi, ya? Kamu tidak keberatan, “kan?“Memangnya, kenapa jika kita tinggal di rumah kamu, Mas?” tanyaku.Pria yang memakai kemeja warna putih itu mengalihkan pandangan pada bunga anggrek yang tumbuh subur di halaman rumah. Saat ini, aku dan Mas Arfan tengah menikmati udara segar di teras rumah.“Sebenarnya tidak apa-apa, jika aku sudah benar-benar sembuh dari trauma itu. Untuk saat ini, aku masih sering ... berubah-ubah. Mood-ku kadang baik, kadang buruk. Emosiku juga sering meledak dan ... aku tidak mau nantinya akan menyakiti kamu. Apalagi di rumah itu banyak sekali kenangan dia.”“Maaf,” ucapku setelah Mas Arfan menjelaskan.Mas Arfan hanya diam tidak merespon kata maafku. Mungkinkah sebenarnya dia memang belum bisa memaafkanku. Dan dia melakukan semua ini hanya untuk anak dalam kandunganku?Bisa saja.“Mas—“Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat Mas Arfan menyuruhku diam dengan memberikan isyarat lewat tangannya. Sedangkan tatapa

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 44

    Hari ini menjadi hari terindah bagiku. Entahlah, meski aku dan dia sudah bukan suami istri, tapi semua tentang dia membuatku bahagia.“Ah ....” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang. Kupandangi langit-langit kamar seraya terus tersenyum kegirangan.Namun, kembali aku menekuk wajah saat mengingat percakapan kami di mobil tadi. Aku meminta dia untuk merujukku, tapi entah akan dia turuti atau tidak.Harapanku memang kita bersama, tapi jika dia tidak mau, aku bisa apa.Beberapa saat diam di dalam kamar, aku turun ke bawah saat mendengar suara Mama dan Papa tengah berbincang.“Mama dan Papa dari mana?” tanyaku.Aku duduk di sofa yang berada dengan kedua orang tuaku yang duduk bersisian.“Dari acara teman Papa. Kata Bibi, tadi kamu dari rumah sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?” Papa balik bertanya.“Baik,” jawabku singkat.Mama dan Papa menelisik memindai wajahku dengan lekat.“Kandunganmu?” Kini Mama yang bertanya.“Baik, Mah. Semuanya sehat. Aku dan anakku.” Aku menjawab dengan pas

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 43

    “Mas Arfan ...,” lirihku nyaris tak bersuara.Beberapa kali aku mengerjapkan mata untuk memastikan jika mataku tidak salah melihat. Semakin aku dekat, dia semakin jelas terlihat.“M—Mas ...,” ucapku tercekat.“Mau periksa kandungan, ‘kan? Ayo, naik.”Tanpa menoleh, tanpa berbasa-basi, Mas Arfan menyuruhku masuk ke mobilnya.Sikapnya masih begitu dingin, tapi entah kenapa aku tidak mempermasalahkan hal itu. Seperti ada magnet yang menarik, aku pun langsung masuk tanpa penolakan.“Mas, tahu dari mana aku hamil?” tanyaku setelah mobil melaju.“Harusnya aku tahu lebih dulu, bukannya malah tahu dari orang lain. Aku ayahnya, bukan?” ujar Mas Arfan membuatku menunduk seraya menggigit bibir.Aku tidak menjawab pertanyaannya. Memilih diam memperhatikanku jalanan yang lengang tanpa kemacetan.Mungkin Mas Arfan marah karena aku terkesan menyembunyikan kehamilanku. Aku juga paham, kalau dia masih menganggapku sebagai orang dibalik meninggalnya istri dan anaknya. Jadi, diam adalah pilihan terbaik

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 42

    “Sembuh? Apa Mas Arfan sakit?” tanyaku penuh selidik.Hati kecilku masih begitu sangat peduli. Rasa khawatir tiba-tiba muncul membuatku semakin risau akan kesehatan ayah dari cabang bayi yang aku kandung.“Ah, tidak-tidak. Arfan hanya sedang berkonsultasi dengan psikolog, mengenai ... trauma yang dia derita,” jawab Alvin kemudian.“Trauma?” Kembali aku bertanya.“Iya. Kecelakaan yang dulu dialami Arfan, membuat dia trauma. Bukan karena benturan hebat, tapi kebencian dia terhadapmu yang tak wajar. Ya ... semacam pobia gitu.”Sekarang aku mendapatkan jawaban atas pesan yang dia kirim padaku, yang katanya dia bilang sedang berjuang. Jadi, itu perjuangan dia? Berjuang untuk sembuh dari traumanya terhadapku.Ada setitik rasa bahagia karena Mas Arfan mau berusaha memperbaiki hubungan kami. Jika ia memutuskan untuk berobat, itu artinya dia memang ingin kembali menjalin hubungan denganku.Tidak terasa kedua sudut bibir ini terangkat membayangkan jika nanti aku dan Mas Arfan bisa kembali tanpa

  • TETAPLAH BUTA, SUAMIKU   Bab 41

    Di dalam kamar yang temaram, aku meringkuk di atas pembaringan yang luas. Namun, mataku enggan terpejam membuat pikiranku terus melayang jauh.Awal mula masalah dalam hidupku, keputusan menebus kesalahan, hingga pernikahan yang dilandasi kebohongan menari indah seperti potongan sebuh film.Rindu. Rasa itu tiba-tiba muncul tanpa aku undangan.Teringat dengan pesan yang tadi dia kirimkan, aku pun mengambil ponsel untuk melihat ada tidaknya pesan balasan dari dia.“Huft ....” Aku mengembuskan napas kasar.Ternyata tidak ada pesan darinya.Namun, mataku memicing saat melihat Mas Arfan mengunggah sebuah foto di story WhatsApp-nya.Sebuah buku kecil di atas meja yang tak lain adalah buku diary-ku. Catatan hatiku yang aku tulis di sana.Sebuah pesan tiba-tiba masuk membuatku cepat-cepat membukanya.[Tunggu. Aku tengah berjuang.]Lagi, Mas Arfan mengirimkan pesan yang tidak bisa aku mengerti.Apa yang sedang dia perjuangan?Aku?Senyumku tiba-tiba terukir seraya terus melihat pesan darinya. T

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status