"Gimana kabar orang tuamu, Nak Arfan?" tanya ibuku kepada suamiku.
"Alhamdulillah baik, Bu."
"Syukurlah. Oh, iya tadi kami sudah menyiapkan makanan untuk kalian. Kalian pasti belum pada makan, 'kan? Mari, kita ke ruang makan," ajak wanita yang telah melahirkanku itu.
Aku dan Mas Arfan mengangguk bersamaan. Namun, sebelum kami pergi ke ruang makan, Mas Arfan memintaku untuk mengantarnya ke kamar kecil.
"Tar, apa rumahmu ini sangat besar? Rasanya jauh sekali dari ruang tamu sampai ke kamar mandi," tutur Mas Arfan.
Aku sedikit menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Sulit untuk aku menjabarkan rumah yang telah aku tinggali selama hampir dua puluh tujuh tahun ini.
"Hanya perasaanmu saja, Mas. Ini, kita sudah sampai di depan kamar mandi," ujarku seraya membuka pintu.
Aku mengantarkan suamiku masuk ke dalam, dan menunggu dia membuang hajatnya. Setelah selesai, aku kembali menuntun Mas Arfan untuk pergi ke ruang makan.
"Silahkan duduk, Mas."
"Terima kasih, Tari." Mas Arfan meraba kursi plastik yang ia duduki.
Sedangkan aku, duduk di kursi kayu jati, tepat di sebelahnya.
Kedua orang tua serta adikku hanya menjadi penonton drama yang ada di depan mata mereka.
Tidak pernah terpikirkan oleh Mama dan Papa, jika anak sulungnya akan menikah dengan seorang pria buta.
Mereka sempat menentang keinginanku dan enggan memberikan restu saat aku mengatakan ingin menikah dengan Mas Arfan. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah aku menjelaskan semuanya kepada mereka, akhirnya restu itu datang.
"Aku makan sendiri saja, Tari," ucap Mas Arfan saat aku akan menyuapinya.
"Memang bisa?" tanya Isna yang langsung mendapatkan senggolan lengan dari Mama.
"Bisa, Is. Cuman, kakakmu saja yang selalu berlebihan dalam melayaniku," jawab Mas Arfan membuatku tersenyum malu.
"Yaudah, kalau Mas mau makan sendiri. Ini nasi, ayam goreng, dan ini cumi asam manis," ujarku mengarahkan tangan Mas Arfan ke piring yang sudah berisikan makanan.
Suamiku mengangguk paham. Ia pun mulai menikmati makanannya setelah membaca doa terlebih dahulu.
Mama, papa dan Isna melihatku dengan tatapan yang tidak bisa aku jabarkan. Ada rasa kasihan, juga sedih yang kulihat dari tatapan mereka padaku.
Aku mengedipkan sebelah mata kepada mereka seraya tersenyum manis. Isyarat, bahwa aku baik-baik saja.
"Isna masih kerja di Rumah Sakit Permata?" tanya Mas Arfan di sela suapannya.
"Masih, Mas. Aku tidak mau pindah-pindah tempat kerja. Sudah cocok di sana," ujar adikku.
"Gimana pulang perginya, Is? Jarak rumah sakit itu dari sini 'kan, jauh?"
Isna tidak langsung menjawab. Ia terlihat kebingungan dengan pertanyaan kakak iparnya itu.
"Ya ... mau gimana lagi, Mas. Kalau udah nyaman, sejauh apa pun pasti tetap dijalani. Perawat seperti Isna ini, pasti lebih memikirkan pasien daripada kenyamanan dirinya sendiri. Iya 'kan, Is?" ujarku membuat Isna mengembuskan napas lega.
"Seandainya saja kita tinggal berdua, aku tidak keberatan jika Isna tinggal bersama kita. Jarak antara rumahku dan Rumah Sakit Permata 'kan, sangat dekat," ujar Mas Arfan lagi.
Aku hanya bergumam seraya menunduk dalam menanggapi ucapan Mas Arfan.
Sungguh, aku benar-benar istri yang durhaka. Terus berbohong dan menipu sesuka hatiku. Semoga Tuhan tidak menghukumku dengan kebodohanku ini.
"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku."Ah, biasa saja, Mas.""Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku."Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa."Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku."Sukalah,
"Mas, mau ke mana?" tanyaku saat Mas Arfan melangkahkan kaki. Namun, bukan ke depan, melainkan ke samping di mana ada seorang wanita tengah berdiri terpaku di tempatnya."Aku ingin bertemu Meta. Dia harus bertanggung jawab atas tindakan konyolnya yang telah membuatku seperti ini. Juga, dia yang sudah membuat kedua orang terkasihku tiada."Kilatan amarah begitu terpancar dari wajah Mas Arfan. Napasnya memburu dengan dada yang naik turun. Ia kembali melangkah tak tentu arah."Mas, jangan gegabah. Nama yang tadi dipanggil, bukan Meta yang kamu maksud," ujarku mencekal lengannya."Jangan menghalangiku, Tari. Aku harus bertemu dengannya!" Untuk yang kedua kali, Mas Arfan mengentakkan tanganku.Namun, aku tidak mau kalah darinya. Aku kembali mencekal lengan suamiku dengan sekuat tenaga. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya, hingga membuat dia diam tak lagi berontak.
Ternyata lelah juga terus berbohong. Ingin rasanya mengakhiri, tapi membayangkan perpisahan dengan Mas Arfan, mengurungkan niatku untuk jujur.Aku belum siap kehilangan pria ini. Pria yang sudah memberikan warna baru dalam hidupku."Mas, sudah sore. Kita pulang, yuk!""Pulang? Jadi, kita tidak jadi ke kebun ayah?""Lain kali saja, ya? Takutnya orang rumah pada khawatir karena kita perginya lama," ujarku lagi.Inginnya aku, kita bisa menginap di sini. Tapi sepertinya akan repot jika semua orang rumah harus bersandiwara sepertiku. Aku tidak ingin menyeret kedua orang tuaku dalam kebohongan yang telah aku ciptakan."Yasudah, ayo kita temui ibu dan ayah untuk berpamitan."Aku menuntun tangan Mas Arfan, membawanya berjalan menemui kedua orang tuaku yang tengah menikmati acara televisi.
Senja mulai datang, langit mulai menggelap. Hariku sebentar lagi akan berakhir, berganti dengan malam di mana waktunya untuk menanamkan mimpi.Kuangkat kepala menghirup udara sebanyak mungkin, untuk menetralkan perasaan yang tidak menentu. Dua tangan menyusup memeluk pinggangku, setelah tadi kudengar hentakkan tongkat yang beradu dengan lantai."Kenapa masih berdiri di sini? Katanya mau menutup jendela, tapi malah diam," bisik seorang pria yang membuatku selalu merasa takut.Takut kehilangannya."Aku sedang menikmati angin sore di sini. Rasanya ... sangat segar," ucapku seraya mengusap dan menggenggam tangannya yang melingkar indah di perutku."Sudah mau maghrib, tidak baik masih membuka pintu. Tutup, Sayang."Aku tidak lagi berucap. Kututup jendela dan gorden berwarna hitam itu. Warna kesukaan suamiku, setelah dia kehilangan penglihatannya.
"Berkhianat. Aku tidak akan memaafkan pengkhianatan apa pun alasannya."Ada sedikit rasa lega saat Mas Arfan mengucapkan kata khianat. Aku tidak melakukan itu, dan itu artinya Mas Arfan akan memaafkanku atas kebohongan ini.Aku punya kesempatan untuk tetap bersama dia, jika nantinya dia tahu tentangku yang sebenarnya.Ya, aku masih punya peluang untuk menerima maaf darinya."Kenapa, sih kamu bertanya hal itu? Apa kamu melakukan suatu kesalahan, Mentari?""A ... em, enggak, Mas. Aku hanya berpikir jika caraku melayani suami, menyiapkan keperluanmu, selalu merasa kurang. Jadi ... aku ingin meminta maaf soal itu," ucapku seraya menahan napas.Dadaku kembang kempis khawatir jika Mas Arfan akan mencurigaiku. Rasanya hidupku tidak tenang jika terus berdusta."Kamu selalu saja berkata seperti itu. Kamu harus t
"Apa itu yang jatuh?" tanya Mas Arfan.Sedang ketiga pasang mata lainnya, hanya melihat tanpa bersuara."Kaget, ya sampai sendok pun kamu jatuhkan," ucap Alvin dengan senyum sinisnya.Aku tidak menjawab. Memilih mengambil sendok yang berada di lantai, lalu membawanya ke dapur. Menyimpannya di wastafel, dan aku mengambil sendok yang baru."Maaf, tadi tanganku kesemutan," ucapku setelah kembali ke tempat makan."Tak apa, Sayang. Mungkin tanganmu masih lelah setelah nyetir tadi. Dan soal donor mata, sebaiknya jangan dibicarakan sekarang, Mah. Aku sedang nyaman berada di posisi ini. Biarlah, jika harus buta selamanya. Toh, istriku pun tidak keberatan dengan kebutaan ini."Seperti dihujani air es, hatiku terasa sejuk mendengar jawaban dari Mas Arfan."Tapi, Fan. Ini kesempatan, lho." Mama kembali b
Dadaku berdetak kencang saat Alvin memanggil dengan nama kecilku.Mataku tajam melihat ke arahnya. Ingin rasanya aku menelan dia bulat-bulat dan melenyapkan dia beserta dengan ucapannya."Kenapa? Tidak suka aku memanggilmu dengan nama itu?" ujarnya lagi seraya menelengkan kepala.Jika saja punya keberanian, aku ingin melemparkan gelas di tanganku ke kepalanya."Ada masalah apa kamu denganku, Al? Sepertinya kamu selalu mencari-cari kesalahanku."Kuberanikan diri menatap mata elangnya. Perlahan, aku mendekati dia dan ikut duduk tepat di depannya. Sengaja aku melakukan ini agar dia tidak menyebut nama itu lagi yang nantinya akan terdengar oleh Mas Arfan."Mencari salahmu?" Alvin terkekeh. "Tanpa harus aku cari, kesalahanmu sudah nampak dan banyak. Sekarang, katakan padaku, Paramita Mentari alias Meta, alias Tari. Apa tujuanmu datang dan m
***"Awaaass!!"Ciiittt ...!Bunyi ban mobil yang beradu dengan aspal terdengar menderit saat mobil sedan berwarna hitam itu berhenti dengan mendadak.Buru-buru aku menghampiri mobil, membungkukkan badan dan mengambil makhluk kecil yang terkulai lemas di kolong kendaraan roda empat itu."Hey!" Aku mengebrak kaca mobil dengan sangat keras.Emosiku memuncak saat melihat ternyata kaki anak kucing yang kini dalam gendonganku terluka. Dan itu, gara-gara pengendara mobil yang sembrono."Buka! Lihat, nih akibat perbuatanmu yang ugal-ugalan!" ujarku seraya mengacungkan anak kucing ke arah mobil yang kacanya sudah terbuka."Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Saya sedang buru-buru."Seorang pria dengan pakaian rapi dan jas mahalnya keluar dari dalam mobil seraya menangkupkan kedua