"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku.
"Ah, biasa saja, Mas."
"Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku.
"Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."
Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.
Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan.
Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa.
"Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku.
"Sukalah, bohong banget kalau aku bilang tidak suka. Makasih, ya Kak," ujar Isna seraya memainkan ponsel keluaran terbaru yang tadi aku berikan.
Aku mengangguk. Memilih duduk di samping Mama yang duduk berhadapan langsung dengan Isna.
"Kangen," ucapku seraya memeluk tubuh wanitaku itu.
"Mama pun sama. Kak, sampai kapan kamu akan terus berbohong?"
Aku menarik diri dari pelukan Mama. Menyugar rambutku yang hitam lurus.
"Sampai aku sudah tidak punya alasan lagi untuk berbohong. Mah, jangan tanyakan itu, aku takut," ujarku merajuk.
Bayangan perpisahan selalu jadi momok paling menakutkan saat aku membahas masalah ini. Aku teramat mencintai suamiku. Meskipun caraku memang salah dalam mendapatkan hatinya.
"Mama dan Papa hanya khawatir, jika nanti kamu akan kena masalah besar di kemudian hari. Jika harus Papa memberikan saran, sudahi semuanya. Jujur adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah."
"Tidak, Pah. Tidak untuk sekarang. Aku tidak mau kehilangan Mas Arfan. Aku sangat mencintai dia," ujarku membuat Papa menggelengkan kepala.
"Tapi caramu mencintai dia salah, Nak. Kamu salah."
"Aku tidak punya pilihan lain. Ini cara satu-satunya agar aku bisa dekat terus dengan Mas Arfan. Menjadi perisai dia dan menjadi penerang dia dalam dunia gelapnya. Tolong, jangan menyuruhku untuk jujur sekarang, aku tidak bisa," pungkasku seraya langsung berdiri dan pergi meninggalkan mereka.
Aku masuk kembali ke kamarku, dan langsung memeluk Mas Arfan yang tengah terlelap. Aku tidak mau kehilangan suamiku. Meskipun itu memang akan terjadi, tapi setidaknya bukan untuk sekarang. Aku tidak sanggup berpisah dengan suamiku. Sungguh.
Buru-buru aku mengusap kedua mataku yang baru saja mengeluarkan air, saat melihat ada pergerakkan dari suamiku.
"Tari."
"Iya, Mas?" kataku masih dalam posisi yang sama.
Memeluk dia, menenggelamkan wajahku di dadanya.
"Kamu baik-baik saja? Sepertinya suaramu, sedikit bergetar?"
Aku duduk, menyandarkan punggung pada sandaran ranjang. Dan hal itu pun dilakukan oleh Mas Arfan.
"Tidak apa-apa, baru saja aku habis makan rujak sama Isna. Jadi, agak beda suaranya. Nahan pedas, iya," ujarku beralasan.
"Jangan dibiasakan, Sayang." Mas Arfan meraba dan mengusap kepalaku. "Kita keluar, yuk. Aku ingin merasakan susana pedesaan," lanjutnya lagi membuatku terdiam beberapa saat.
"Sekarang, Mas?"
"Iya, sekarang."
Aku turun terlebih dahulu, kemudian membantu Mas Arfan dan memberikan tongkat padanya. Kami pun keluar dari rumah, hendak berkeliling ke halaman belakang.
"Meta! Kapan datang?"
Mas Arfan menghentikan langkahnya saat ada seseorang yang memanggilku.
"Meta? Apa di sini ada yang namanya Meta?" tanya Mas Arfan dengan wajah yang tidak biasa.
Aku meneguk ludah dengan susah payah. Aku memberikan isyarat pada teman sekaligus tetanggaku untuk tidak lagi bersuara.
"Aku ingin bertemu dengan wanita bernama Meta!" ujar Mas Arfan lagi seraya mengentakkan tanganku.
Aku terkesiap dengan kemarahan Mas Arfan setelah mendengar nama itu disebut.
Ya Tuhan, aku harus apa?
Dua gelas minuman serta satu piring red velvet terhidang di depan kami. Sesekali, tangan suamiku memberikan suapan ke dalam mulut ini. Tidak kuasa untuk menolak, aku menikmati setiap suapan yang dia berikan.“Manis?” tanyanya dengan senyum terindah.“Enggak,” jawabku.“Dasar pembohong. Kalau tidak manis, tidak mungkin kamu makan.”“Aku mau makan, bukan karena rasanya yang enak, tapi yang nyuapinnya teramat sangat manis. Hingga sampai ke sini,” ujarku seraya meraba dada.Tentu saja hal itu membuat Mas Arfan terkekeh seraya mengacak rambutku. Aku merengut karena rambut yang berantakan. Tapi, tidak marah karena aku memang sulit untuk marah padanya.Saat ini, akulah wanita paling bahagia. Bisa kembali kepada orang yang aku cinta, dan menghabisi waktu berdua.“Malam ini, kita nginap di sini. Besok pagi baru kita pulang,” ujarnya seraya kembali memberikan suapan untukku.“Tidak pulang juga tidak apa-apa. Aku lebih senang kita tinggal berdua.”“Tunggulah sebentar lagi, sampai aku benar-benar
“Tar, nanti kita akan tinggal dengan mama dan papa lagi, ya? Kamu tidak keberatan, “kan?“Memangnya, kenapa jika kita tinggal di rumah kamu, Mas?” tanyaku.Pria yang memakai kemeja warna putih itu mengalihkan pandangan pada bunga anggrek yang tumbuh subur di halaman rumah. Saat ini, aku dan Mas Arfan tengah menikmati udara segar di teras rumah.“Sebenarnya tidak apa-apa, jika aku sudah benar-benar sembuh dari trauma itu. Untuk saat ini, aku masih sering ... berubah-ubah. Mood-ku kadang baik, kadang buruk. Emosiku juga sering meledak dan ... aku tidak mau nantinya akan menyakiti kamu. Apalagi di rumah itu banyak sekali kenangan dia.”“Maaf,” ucapku setelah Mas Arfan menjelaskan.Mas Arfan hanya diam tidak merespon kata maafku. Mungkinkah sebenarnya dia memang belum bisa memaafkanku. Dan dia melakukan semua ini hanya untuk anak dalam kandunganku?Bisa saja.“Mas—“Aku tidak melanjutkan kata-kataku saat Mas Arfan menyuruhku diam dengan memberikan isyarat lewat tangannya. Sedangkan tatapa
Hari ini menjadi hari terindah bagiku. Entahlah, meski aku dan dia sudah bukan suami istri, tapi semua tentang dia membuatku bahagia.“Ah ....” Aku menjatuhkan bobot tubuhku pada ranjang. Kupandangi langit-langit kamar seraya terus tersenyum kegirangan.Namun, kembali aku menekuk wajah saat mengingat percakapan kami di mobil tadi. Aku meminta dia untuk merujukku, tapi entah akan dia turuti atau tidak.Harapanku memang kita bersama, tapi jika dia tidak mau, aku bisa apa.Beberapa saat diam di dalam kamar, aku turun ke bawah saat mendengar suara Mama dan Papa tengah berbincang.“Mama dan Papa dari mana?” tanyaku.Aku duduk di sofa yang berada dengan kedua orang tuaku yang duduk bersisian.“Dari acara teman Papa. Kata Bibi, tadi kamu dari rumah sakit. Gimana keadaan kamu sekarang?” Papa balik bertanya.“Baik,” jawabku singkat.Mama dan Papa menelisik memindai wajahku dengan lekat.“Kandunganmu?” Kini Mama yang bertanya.“Baik, Mah. Semuanya sehat. Aku dan anakku.” Aku menjawab dengan pas
“Mas Arfan ...,” lirihku nyaris tak bersuara.Beberapa kali aku mengerjapkan mata untuk memastikan jika mataku tidak salah melihat. Semakin aku dekat, dia semakin jelas terlihat.“M—Mas ...,” ucapku tercekat.“Mau periksa kandungan, ‘kan? Ayo, naik.”Tanpa menoleh, tanpa berbasa-basi, Mas Arfan menyuruhku masuk ke mobilnya.Sikapnya masih begitu dingin, tapi entah kenapa aku tidak mempermasalahkan hal itu. Seperti ada magnet yang menarik, aku pun langsung masuk tanpa penolakan.“Mas, tahu dari mana aku hamil?” tanyaku setelah mobil melaju.“Harusnya aku tahu lebih dulu, bukannya malah tahu dari orang lain. Aku ayahnya, bukan?” ujar Mas Arfan membuatku menunduk seraya menggigit bibir.Aku tidak menjawab pertanyaannya. Memilih diam memperhatikanku jalanan yang lengang tanpa kemacetan.Mungkin Mas Arfan marah karena aku terkesan menyembunyikan kehamilanku. Aku juga paham, kalau dia masih menganggapku sebagai orang dibalik meninggalnya istri dan anaknya. Jadi, diam adalah pilihan terbaik
“Sembuh? Apa Mas Arfan sakit?” tanyaku penuh selidik.Hati kecilku masih begitu sangat peduli. Rasa khawatir tiba-tiba muncul membuatku semakin risau akan kesehatan ayah dari cabang bayi yang aku kandung.“Ah, tidak-tidak. Arfan hanya sedang berkonsultasi dengan psikolog, mengenai ... trauma yang dia derita,” jawab Alvin kemudian.“Trauma?” Kembali aku bertanya.“Iya. Kecelakaan yang dulu dialami Arfan, membuat dia trauma. Bukan karena benturan hebat, tapi kebencian dia terhadapmu yang tak wajar. Ya ... semacam pobia gitu.”Sekarang aku mendapatkan jawaban atas pesan yang dia kirim padaku, yang katanya dia bilang sedang berjuang. Jadi, itu perjuangan dia? Berjuang untuk sembuh dari traumanya terhadapku.Ada setitik rasa bahagia karena Mas Arfan mau berusaha memperbaiki hubungan kami. Jika ia memutuskan untuk berobat, itu artinya dia memang ingin kembali menjalin hubungan denganku.Tidak terasa kedua sudut bibir ini terangkat membayangkan jika nanti aku dan Mas Arfan bisa kembali tanpa
Di dalam kamar yang temaram, aku meringkuk di atas pembaringan yang luas. Namun, mataku enggan terpejam membuat pikiranku terus melayang jauh.Awal mula masalah dalam hidupku, keputusan menebus kesalahan, hingga pernikahan yang dilandasi kebohongan menari indah seperti potongan sebuh film.Rindu. Rasa itu tiba-tiba muncul tanpa aku undangan.Teringat dengan pesan yang tadi dia kirimkan, aku pun mengambil ponsel untuk melihat ada tidaknya pesan balasan dari dia.“Huft ....” Aku mengembuskan napas kasar.Ternyata tidak ada pesan darinya.Namun, mataku memicing saat melihat Mas Arfan mengunggah sebuah foto di story WhatsApp-nya.Sebuah buku kecil di atas meja yang tak lain adalah buku diary-ku. Catatan hatiku yang aku tulis di sana.Sebuah pesan tiba-tiba masuk membuatku cepat-cepat membukanya.[Tunggu. Aku tengah berjuang.]Lagi, Mas Arfan mengirimkan pesan yang tidak bisa aku mengerti.Apa yang sedang dia perjuangan?Aku?Senyumku tiba-tiba terukir seraya terus melihat pesan darinya. T