Share

Bab 8

"Tari, tempat tidurmu besar juga, ya?" ujar Mas Arfan. Saat ini, kami memang tengah berada di kamarku. 

"Ah, biasa saja, Mas."

"Kasurmu lebar, loh, Tar. Sama kayak tempat tidur kita di rumah Mama," ujarnya lagi seraya meraba ranjangku.

"Sengaja dilebarin, Mas. Kamu tahu sendiri, kalau aku tidur bagaimana. Jadi, Ayah sengaja membeli kasur untukku yang ukurannya besar."

Mas Arfan terkekeh mendengarkan penjelasanku.

Untuk kesekian kalinya aku kembali berdusta. Lelah memang, tapi mau gimana lagi. Aku tidak punya pilihan lain untuk tetap mempertahankan posisiku dalam hati Mas Arfan. 

Waktu terus berjalan, hingga akhirnya suamiku kini terlelap. Aku membiarkan Mas Arfan seorang diri di kamarku, dan aku memilih menemui Mama dan Papa. 

"Suka, Is?" tanyaku saat melihat Isna tengah membuka hadiah dariku.

"Sukalah, bohong banget kalau aku bilang tidak suka. Makasih, ya Kak," ujar Isna seraya memainkan ponsel keluaran terbaru yang tadi aku berikan.

Aku mengangguk. Memilih duduk di samping Mama yang duduk berhadapan langsung dengan Isna. 

"Kangen," ucapku seraya memeluk tubuh wanitaku itu.

"Mama pun sama. Kak, sampai kapan kamu akan terus berbohong?" 

Aku menarik diri dari pelukan Mama. Menyugar rambutku yang hitam lurus. 

"Sampai aku sudah tidak punya alasan lagi untuk berbohong. Mah, jangan tanyakan itu, aku takut," ujarku merajuk. 

Bayangan perpisahan selalu jadi momok paling menakutkan saat aku membahas masalah ini. Aku teramat mencintai suamiku. Meskipun caraku memang salah dalam mendapatkan hatinya. 

"Mama dan Papa hanya khawatir, jika nanti kamu akan kena masalah besar di kemudian hari. Jika harus Papa memberikan saran, sudahi semuanya. Jujur adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah." 

"Tidak, Pah. Tidak untuk sekarang. Aku tidak mau kehilangan Mas Arfan. Aku sangat mencintai dia," ujarku membuat Papa menggelengkan kepala. 

"Tapi caramu mencintai dia salah, Nak. Kamu salah."

"Aku tidak punya pilihan lain. Ini cara satu-satunya agar aku bisa dekat terus dengan Mas Arfan. Menjadi perisai dia dan menjadi penerang dia dalam dunia gelapnya. Tolong, jangan menyuruhku untuk jujur sekarang, aku tidak bisa," pungkasku seraya langsung berdiri dan pergi meninggalkan mereka. 

Aku masuk kembali ke kamarku, dan langsung memeluk Mas Arfan yang tengah terlelap. Aku tidak mau kehilangan suamiku. Meskipun itu memang akan terjadi, tapi setidaknya bukan untuk sekarang. Aku tidak sanggup berpisah dengan suamiku. Sungguh.

Buru-buru aku mengusap kedua mataku yang baru saja mengeluarkan air, saat melihat ada pergerakkan dari suamiku. 

"Tari."

"Iya, Mas?" kataku masih dalam posisi yang sama. 

Memeluk dia, menenggelamkan wajahku di dadanya. 

"Kamu baik-baik saja? Sepertinya suaramu, sedikit bergetar?" 

Aku duduk, menyandarkan punggung pada sandaran ranjang. Dan hal itu pun dilakukan oleh Mas Arfan.

"Tidak apa-apa, baru saja aku habis makan rujak sama Isna. Jadi, agak beda suaranya. Nahan pedas, iya," ujarku beralasan. 

"Jangan dibiasakan, Sayang." Mas Arfan meraba dan mengusap kepalaku. "Kita keluar, yuk. Aku ingin merasakan susana pedesaan," lanjutnya lagi membuatku terdiam beberapa saat.

"Sekarang, Mas?" 

"Iya, sekarang."

Aku turun terlebih dahulu, kemudian membantu Mas Arfan dan memberikan tongkat padanya. Kami pun keluar dari rumah, hendak berkeliling ke halaman belakang. 

"Meta! Kapan datang?"

Mas Arfan menghentikan langkahnya saat ada seseorang yang memanggilku. 

"Meta? Apa di sini ada yang namanya Meta?" tanya Mas Arfan dengan wajah yang tidak biasa. 

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Aku memberikan isyarat pada teman sekaligus tetanggaku untuk tidak lagi bersuara. 

"Aku ingin bertemu dengan wanita bernama Meta!" ujar Mas Arfan lagi seraya mengentakkan tanganku. 

Aku terkesiap dengan kemarahan Mas Arfan setelah mendengar nama itu disebut. 

Ya Tuhan, aku harus apa? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status