Setelah puas beristirahat di kamar hotel, Gaby bangun ketika hari menjelang siang.
Dia tak menemukan keberadaan Gibran di dalam kamar hotel. Selimut yang dipakai lelaki itu untuk tidur masih tergeletak rapi di atas sofa.
Ya, Gaby yang menyuruh Gibran untuk tidur di sofa karena Gaby tidak mau tidur satu ranjang dengan Gibran.
Gaby meraih ponselnya di ranjang dan mendapati satu pesan masuk dari Gibran.
Gibran
Gue keluar sebentar, nggak usah nyariin!
Gaby berdecih jengkel.
Siapa juga yang mau nyariin lo! Kepedean banget!
Gumamnya dalam hati.
Dia melempar asal ponselnya tanpa berniat membalas pesan Gibran.
Gaby bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Dia hendak mandi.
Rencananya, Gaby ingin jalan-jalan berkeliling kota Seoul hari ini.
Pasti akan sangat menyenangkan.
*****
Sekali lagi, Gaby memastikan penampilannya di depan cermin.
Sebuah tank top polos putih yang sedikit transparan dengan bra berenda merah menyala di baliknya yang memperlihatkan bentuk bahu dan punggung Gaby yang bagus. Atasan itu dia padu padankan dengan rok mini ketat yang juga berwarna putih polos, memperlihatkan dengan jelas lekukan pinggul Gaby yang indah.
Rambut bergelombangnya dia kuncir kuda.
Gaby menambahkan beberapa aksesoris di pergelangan tangan dan lehernya. Terakhir dia menambahkan sebuah oversized sun glasses hitam kecoklatan yang menaungi bola mata indahnya dari silaunya cahaya matahari.
Sempurna.
I'ts very-very hot and sexy, right?
Gaby mulai melangkah keluar dari kamarnya.
Di lift dia bertemu dengan si lelaki penghuni kamar hotel sebelah yang di temuinya di balkon semalam.
Lelaki itu tampak berbeda dengan penampilannya yang maskulin dan rapi. Blazer yang melengkapi tubuh atletisnya membuat penampilannya terkesan lebih elegan.
Untuk beberapa saat pandangan mereka bertemu. Lelaki itu kembali melempar senyum setelah dia mengamati cepat penampilan Gaby dari ujung kaki hingga ujung kepala.
I'ts amazing...
Bisik lelaki itu dalam hati.
Dia mulai menyapa Gaby.
"Excuse me, you are the resident of the next room?" tanyanya ramah.
Ternyata, bukan hanya penampilannya saja yang oke, tapi suaranya juga bagus.
Pikir Gaby membatin.
Gaby membalas senyum lelaki itu. Dia mengangguk dan mengiyakan pertanyaan si lelaki tadi.
"My name is Jerry," kata lelaki itu lagi. Dia mengulurkan tangan mengajak berkenalan.
Gaby menyambut uluran tangan lelaki tampan bernama Jerry itu lalu memperkenalkan namanya juga.
"Gaby,"
"Kalau boleh aku tebak, pasti kamu orang Indonesia?" ucap Jerry lagi ketika pintu lift terbuka di lobi hotel.
Mereka melangkah bersama-sama keluar dari Lift.
"Dari mana kamu tahu?" tanya Gaby dengan tatapan takjub.
"Ya, aku memang tahu banyak hal, apalagi tentang wanita cantik seperti kamu," godanya disertai senyuman khas yang menggoda.
Gaby tertawa kecil. Meski dalam hati dia mengutuk gombalan receh lelaki bermata sipit yang bernama Jerry itu.
"Sedang ada keperluan apa di Korea?" tanya Jerry lagi.
"Aku sedang liburan," jawab Gaby apa adanya. Singkat, padat dan jelas. Gaby sedang malas berbasa-basi.
Lelaki itu tampak antusias membuka percakapan demi percakapan baru dengan Gaby. Sementara Gaby sendiri hanya sekedar iseng meladeni lelaki itu. Menjawab pertanyaan lekaki itu sambil lalu meski setelahnya Gaby sendiri ikut larut dalam obrolan panjang yang berhasil membuatnya tertarik pada sosok Jerry.
Saat itu mereka masih mengobrol di Loby.
Sebelum keluar Gaby ingin menikmati hidangan ala korea di La Yeon yang merupakan salah satu fasilitas menarik di Shilla hotel.
Dan Jerry terus saja mengekorinya.
Bahkan sampai pada kepergian Gaby yang berniat untuk berkeliling Seoul.
Jerry terus melancarkan aksi pendekatannya.
"Kebetulan aku tahu lokasi-lokasi menarik yang bisa dikunjungi di Seoul, kalau berminat, aku bisa memberimu tumpangan gratis ples menjadi pemandu wisatamu untuk hari ini," itulah penawaran gratis yang Jerry ajukan demi menarik hati dara cantik dihadapannya. Jerry jelas tak akan melepaskan begitu saja kesempatan emas yang ada di depan mata kepalanya untuk lebih mengenal sosok Gaby, mungkin jika beruntung Jerry akan mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar kata perkenalan.
Gabby tertawa.
Cara Gaby tertawa tak luput dari perhatian Jerry. Lelaki itu benar-benar dibuat mati penasaran pada Gaby. Semua hal yang ada pada diri Gaby membakar gairahnya.
Jerry pastikan, dia akan mendapatkan Gaby malam ini.
"Memangnya tidak merepotkan?" tanya Gaby sok sungkan. Padahal dalam hati dia cukup senang jika ternyata Jerry bersedia menemaninya berkeliling kota hari ini.
"Justru aku senang bisa menemanimu," ucap Jerry meyakinkan.
"Oke baiklah, let's go," ajak Gaby dengan gerakan kepalanya.
Mereka tertawa bersamaan.
*****
Gibran terus saja mundar-mandir di balkon kamar hotel ketika dilihatnya waktu tengah malam sudah lewat dan Gaby belum juga kembali.
Sore tadi sekembalinya Gibran ke hotel, Gibran tidak menemukan Gaby di sana.
Bahkan setelah dia menghubungi Gaby beberapa kali dan juga mengirimi istri palsunya berpuluh-puluh pesan singkat hanya untuk menanyakan di mana keberadaan Gaby. Sayangnya tak ada satu pun pesan Gibran yang dibalas oleh Gaby.
"Lo itu bener-bener nyusahin gue tau nggak!"
Maki Gibran sambil menatap foto Gaby di layar ponselnya.
Gibran hendak menelepon Gaby lagi tapi di saat yang bersamaan sebuah panggilan sudah lebih dulu masuk.
Panggilan dari Edward.
Gibran pun lekas mengangkatnya.
"Halo, bos?" sapa Edward ceria, seperti biasa.
"Ya, apaan?" balas Gibran malas. "Kalau lo telepon gue cuma mau laporan urusan kantor, mending nggak usah deh,"
Edward malah tertawa. "Tenang aja. Urusan kantor pokoknya beres sama gue,"
"Terus?"
"Gue dapet kabar terbaru tentang Mirella, Bos," beritahu Edward lagi.
Wajah Gibran yang tadinya acuh dan cuek, langsung serius. Dia menunggu kelanjutan kabar dari Edward dengan penuh antusiasme yang tinggi.
"Dari informasi yang berhasil gue dapatkan, ternyata, dulu itu Mirella pernah melakukan operasi wajah, Bos. Dia dibeli Freddy dari seorang laki-laki bernama Doni sewaktu usianya masih 15 tahun. Dia dibesarkan oleh Freddy dan dijadikan wanita simpanan Freddy. Lalu berita terakhir yang gue dapet, moga-moga nggak akan membuat lo syok ya," tutur Edward memenggal penjelasannya.
"Udah nggak usah pake drama! Cepet kasih tau yang lengkap," potong Gibran tidak sabaran.
"Dari kabar yang gue dapet, Freddy itu masih ada hubungan darah sama istri lo, Gaby..."
Kerutan di kening Gibran menjelas.
Kalau emang Freddy itu masih anggota keluarga Gaby, kenapa gue nggak tahu?
Pikir Gibran dalam hati.
Sepertinya, dia harus menanyakan hal tersebut pada Gaby.
Siapa tau, Gaby bisa membantunya.
Selesai menerima telepon dari Edward, Gibran masih terdiam di balkon kamar hotel.
Bayang-bayang wajah Mirella terus mengganggu benaknya.
Sulit dilupakan.
Walau kini wajah itu sudah berubah, tapi sorot mata Mirella sewaktu mereka bertemu di kafe beberapa hari yang lalu tak mampu membohongi Gibran.
Sorot mata sendu itu persis sekali dengan sorot mata Mimi.
Gadis kecil yang dulu seringkali bermain bersama Gibran di Bandung.
Gibran masih terdiam di tempat yang sama, masih dengan posisinya semula. Tatapannya mengawang jauh ke depan. Mencoba mengingat kembali detik-detik perpisahannya dengan Mimi sekitar tujuh belas tahun yang lalu.
*
"Lari Ib... Lari..." teriak seorang gadis kecil yang tubuhnya kini ditawan oleh sekelompok orang jahat yang baru saja melakukan aksi pembunuhan keji di sebuah gudang tua.
Tubuh gadis kecil itu terus meronta meski usahanya sia-sia. Dia sadar, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan para penjahat itu.
Gibran terus berlari dengan deraian air matanya saat beberapa komplotan penjahat itu mengejarnya dibelakang.
Bayangan wajah Mimi yang menangis saat dia sempat beberapa kali mendapati pukulan dari para penjahat itu terus berputar-putar dalam ingatan Gibran. Belum lagi saat Gibran kembali teringat pada rintihan minta tolong seorang wanita yang tengah di gantung paksa oleh para penjahat itu.
Gibran sempat mengabadikan kejadian itu dalam kamera ponselnya saat para penjahat itu sedang melakukan aksinya, hingga dia dan Mimi pun berhasil dibekuk oleh para penjahat itu. Namun Mimi berhasil mengalihkan perhatian para penjahat itu melalui aksi nekat nan heroiknya, hingga akhirnya dia memberikan kesempatan Gibran untuk menyelamatkan diri dengan mempertaruhkan keselamatannya.
Dan ucapan terakhir Mimi saat itu masih lekat dalam ingatan Gibran.
"Kamu harus bebas, Ib. Kamu harus terus mencari Ayah kamu. Kamu harus ketemu sama Ayah kamu. Kamu harus bahagia. Aku akan cari cara supaya kita bisa melarikan diri dari sini. Kamu jangan takut ya?"
*
Tanpa terasa, satu titik air mata Gibran meleleh di pipinya. Meski dia langsung menyekanya dengan cepat.
Hingga akhirnya, dia berucap lirih dalam hati.
Banyak yang bilang kalau kamu udah mati, tapi hatiku yakin, kamu masih hidup, Mi...
Aku akan terus mencari kamu...
Bahkan sampai aku mati!
Bisik Gibran dalam hati.
*****
Semoga suka...
Jangan lupa tinggalkan jejak ya...
Seorang lelaki turun dari mobil sambil memapah seorang wanita mabuk.Susah payah dia membawa wanita itu kembali ke kamar hotelnya setelah mereka cukup bersenang-senang sepanjang hari ini."Kita mau kemana sih? Gue ngantuk... Gue haus..." gumam si wanita dalam keadaannya yang setengah sadar."Ya, sesampainya di kamar kamu bisa langsung tidur, oke?" ucap si lelaki.Si lelaki memasuki lift menuju lantai 10 hotel tempat dia menyewa kamar.Sekelebat bayangan adegan panas yang sempat terjadi antara dirinya dengan si wanita di mobil tadi membuatnya kembali dilanda gairah. Dia benar-benar harus menuntaskan semuanya dengan wanita di pelukannya itu malam ini.Tak cukup baginya hanya sekedar cumbuan bibir biasa. Dia menginginkan lebih.Pintu lift terbuka di lantai 10, si pria hendak melangkah keluar, tapi seorang pria lain yang berdiri di balik lift hendak memasuki l
Freed Cafe & Bar, itulah nama Kafe yang kini didatangi oleh Gibran. Salah satu Kafe elit ternama di kawasan Jakarta.Edward bilang, Kafe ini milik Freddy.Sesampainya di sana, Gibran mendapati keadaan Kafe sore itu cukup ramai.Dia sudah berjalan berkeliling tapi tak ditemukannya sosok yang dia cari.Sampai akhirnya, sebuah tepuk tangan riuh pengunjung kafe mengalihkan perhatian Gibran saat berpuluh-puluh pasang mata di sana menatap terkesima pada seorang wanita yang baru saja keluar dari backstage dan kini dia berdiri anggun di atas panggung kecil di ujung kafe dengan pakaiannya yang bisa dibilang, sangat sexy.Dan wanita itulah yang sedari tadi Gibran cari-cari.Dia Mirella.
Seorang anak perempuan berumur delapan tahun sedang menangis terisak di pinggir jalan tepat di depan sebuah rumah kontrakan sederhana di seberang jalan rumahnya di kawasan Cicadas, Bandung.Dia terus memegangi lehernya yang terasa begitu sakit dan perih akibat sundutan puntung rokok yang di tekan begitu kuat di kulitnya hingga kulit itu mengalami luka bakar yang cukup serius.Dia terus menerus menatap ke arah rumah kontrakan di depannya. Berharap penghuni rumah itu keluar dan memberinya pertolongan seperti biasa. Sebab hanya mereka yang bersedia menolongnya dibanding dengan tetangga-tetangganya yang lain. Mungkin mereka bukannya tidak perduli, tapi mereka hanya tak ingin terlibat masalah dengan ke dua orang tua bocah perempuan itu, terlebih dengan ayahnya."Mimi?" panggil suara seorang bocah laki-
Gibran pulang ke rumah dengan wajah kusut.Setelah memarkirkan lamborghininya di garasi, Gibran masuk ke dalam rumahnya.Kedatangannya disambut oleh Mbok Sumi, pembantu yang selama ini dipercaya keluarganya untuk mengurus rumah peninggalan Kakek dan Nenek Gibran di Raffles.Rumah ini dulu pernah ditempati oleh sang Papah, Hardin dengan istri pertamanya, tapi tidak lama, sebab setelah mereka bercerai dan sang Papah menikahi almarhumah Ibunya, ke dua orang tua Gibran memilih tinggal di Bandung.Dan sejak itulah rumah ini kosong."Den Gibran, mau makan? Biar Mbok siapkan," ucap Mbok Sumi saat itu."Nggak usah Mbok, saya nggak laper. Saya mau langsung istirahat aja. Besok pagi-pagi saya ada urusan," jelas Gibran.Mbok Sumi cuma manggut-manggut sementara Gibran langsung berlalu menuju kamarnya di lantai dua.Saat Gibran memasuki kamar, dia tida
"Jangan! Jangan! Jangan sakiti Gaby Ayah... Gaby mohon... Apa salah Gaby? Jangan Ayah... Jangaaaaan!"Gaby terbangun dari tidurnya pasca mimpi buruk yang kembali dia alami.Ini mimpi buruk ke dua yang dia alami akhir-akhir ini.Parahnya, dalam mimpinya kali ini, Gaby harus kembali dihadapkan dengan kenangan terburuk yang pernah dia alami sepanjang hidupnya.Kenangan mengerikan di saat dirinya hampir saja kehilangan kehormatannya. Kehilangan satu-satunya harta berharga yang dia miliki sebagai seorang wanita.Sepertinya Gaby harus kembali mendatangi Dokter Milan. Dokter Milan adalah seorang psikolog yang merangkap sebagai psikiater. Berkat bantuan Dokter Milanlah, Gaby bisa terbebas dari rasa trauma masa lalu sebelumnya. Dan Gaby sendiri bingung kenapa sekarang mimpi-mimpi itu kembali mengusik ketenangan hidupnya lagi.Gaby meraih ponselnya di nakas dan mulai mengirim pesan
Sejak hari di mana Gaby dengan begitu tega membiarkan Gibran berjibaku dengan rasa sakit akibat kehabisan stok obat, hubungan antara Gaby dan Gibran semakin renggang. Ke duanya memang tinggal dalam satu atap namun seperti orang yang tidak saling kenal. Gaby dengan segala ego dan gengsinya yang lebih memilih diam dari pada meminta maaf atas kesalahannya, sementara Gibran yang memang sudah tak lagi perduli apapun mengenai Gaby. Kekecewaannya pada Gaby sudah mencapai titik klimaks dan Gibran tak ingin hal itu justru membuat kondisi kesehatannya menjadi down, itulah sebabnya lelaki itu lebih memilih untuk diam. "Hari ini gue mau ke Bandung, Rayyan baru balik dari London, gue mau nengok dia sekalian ziarah ke makam Mamah," beritahu Gibran saat dirinya kini sarapan bersama
Malam ini, Gibran dan Gaby terpaksa menginap di Bandung, di kediaman orang tua Gibran karena ulah Dinzia.Dinzia yang menahan kepulangan Gibran saat itu dengan alasan remaja itu sangat merindukan sosok Kakak lelaki satu-satunya itu.Sementara Gibran sendiri memang paling tidak bisa menolak permintaan Dinzia, adik kesayangannya.Malam itu Dinzia menangis dipelukan Gibran.Akibat percakapan di meja makan tadi yang membahas tentang Luwi, Dinzia jadi terbawa suasana. Mendadak dia rindu Luwi. Almarhumah ibunya..."Zia kangen Mamah, Kak..." bisik Zia dipelukan Gibran.Saat itu mereka sedang bercakap di tepi kolam renang.Mereka duduk di tepi kolam renang dengan kak
Hampir dua minggu berlalu. Gibran belum juga mendapati titik terang dalam penyelidikannya mengenai Mirella. Wanita itu terus saja berkelit dengan beribu alasan yang dimilikinya setiap kali Gibran mencoba untuk menemuinya. Mirella tetap bersihkeras mengatakan bahwa dia tidak mengenal Gibran dan dia bukan Mimi. Padahal, Gibran sudah berhasil mengumpulkan beberapa fakta akurat yang membuatnya semakin meyakini bahwa Mirella adalah Mimi. Pertama, tanda luka bakar di sekitar tengkuk Mirella. Ke dua, ketika tanpa sengaja Mirella mengucapkan kata 'Ib' sewaktu memanggil namanya dan ke tiga, Gibran menemukan sebuah buket bunga tulip baru di makam sang Ibunda ketika kemarin Gibran berziarah ke sana bersama Gaby. Saat Gibran mengkonfirmasi hal itu pada keluarga besarnya di Bandun