Matahari baru saja terbit ketika Thomas bangun dari tidur yang sangat singkat. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri akibat pukulan yang diterimanya malam sebelumnya, namun rasa tanggung jawab untuk adiknya mendorongnya untuk tetap bangun. Ia melihat Jack dan Murphy yang masih tertidur pulas, wajah mereka yang pucat membuat hatinya semakin hancur. Thomas tahu bahwa setiap hari adalah perjuangan, dan hari ini adalah kesempatan pertama untuk memulai pekerjaan barunya di toko koran Paman Sam.
Dengan hati-hati, Thomas melangkah keluar dari reruntuhan rumah mereka, mengenakan jaket yang sudah compang-camping. Udara pagi yang dingin menyambutnya, memberikan sedikit kesegaran setelah malam yang penuh luka dan air mata. Dia menatap arah toko koran Paman Sam yang terletak di sudut jalan yang sama di mana mereka bertemu semalam. Toko itu terlihat sederhana, dengan jendela kaca besar yang dipenuhi oleh rak-rak koran terbaru. Aroma tinta dan kertas baru memenuhi udara, menciptakan suasana yang tenang dan berbeda dari keramaian pelabuhan.
Thomas melangkah masuk ke dalam toko dengan perasaan campur aduk. Dia disambut oleh senyuman hangat dari Sam, pria paruh baya yang sudah menjadi pengatur masa depannya. “Selamat pagi, Thomas. Bagaimana tidurmu?” tanya Sam sambil memberikan isyarat agar Thomas duduk di meja kecil di sudut toko.
Thomas mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa lelah dan sakitnya. “Pagi, Paman Sam. Saya tidur cukup, terima kasih.”
Sam menyodorkan sebuah buku catatan kecil kepada Thomas. “Hari ini, aku akan mengajarkanmu dasar-dasar pekerjaan di sini. Pertama-tama, mari kita mulai dengan menyapu lantai. Setelah itu, kau bisa mencoba menyemir sepatu pelanggan yang datang.”
Thomas menerima buku catatan itu dengan rasa ingin tahu. Dia membuka halaman pertama dan mulai membaca instruksi yang ditulis dengan rapi oleh tangan Sam. “Baiklah, saya siap.”
Thomas memulai tugasnya dengan menyapu lantai toko. Meskipun terlihat sederhana, dia melakukannya dengan penuh dedikasi dan ketelitian. Setiap gerakan sapu di gerakannya mencerminkan keinginannya untuk membuat adiknya bangga. Sam mengamati Thomas dengan seksama, terlihat puas dengan kerja keras yang ditunjukkan oleh anak muda itu.
Setelah beberapa saat, Sam memberikan instruksi selanjutnya. “Sekarang, mari kita coba menyemir sepatu pelanggan. Ini sedikit lebih menantang, tapi aku yakin kau bisa melakukannya.”
Thomas mengambil sapu tangan dan sepatu yang telah disiapkan oleh Sam. Dia mulai mengoleskan cream sepatu dengan hati-hati, memastikan setiap detail terlihat sempurna. Meski masih merasa lelah, rasa tanggung jawabnya untuk adiknya membuatnya terus maju. Sam berdiri di sampingnya, memberikan arahan dan pujian kecil di setiap langkah yang benar.
Hari-hari berlalu, dan Thomas mulai merasa lebih nyaman dengan pekerjaannya. Dia belajar banyak tentang berbagai jenis koran, cara mengatur stok, dan teknik menyemir sepatu yang lebih efisien. Kejujuran dan kerja kerasnya membuat Sam semakin percaya padanya, memberikan tanggung jawab yang lebih besar seiring waktu.
Pada minggu pertama, Thomas masih belum curiga apa pun tentang koran yang dia bawa setiap hari. Dia berpikir bahwa tugasnya hanya menyapu dan menyemir sepatu, tanpa menyadari peran lebih besar yang mungkin dimiliki oleh toko koran tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan beberapa koran yang dia bawa.
Setiap hari, setelah menyelesaikan tugasnya, Thomas diberi tanggung jawab untuk mengantar beberapa koran ke alamat tertentu di wilayah yang dikenal sebagai daerah gangster dan tempat prostitusi wanita (PSK). Awalnya, dia tidak menganggap hal itu sebagai masalah. Dia berpikir bahwa mungkin itu hanyalah pelanggan tetap atau tempat-tempat yang membutuhkan berita terbaru. Namun, semakin sering dia melakukannya, semakin banyak tanda-tanda bahwa sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi.
Pada suatu hari, setelah mengantarkan koran ke salah satu alamat, Thomas melihat sekelompok pria yang tampak garang berkumpul di sebuah gang kecil. Mereka berdiri di belakang mobil mewah yang parkir di pinggir jalan, tampak serius dan waspada. Thomas merasa ada sesuatu yang salah, tetapi dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya dan kembali ke toko.
Namun, rasa curiga itu semakin menghinggapi dirinya. Dia mulai memperhatikan bahwa setiap koran yang dia bawa selalu dikirim ke tempat-tempat yang sama, dan sering kali dihadapkan dengan orang-orang yang tampak berbahaya. Beberapa kali, dia mendengar percakapan yang aneh melalui jendela kaca toko, orang-orang membicarakan transaksi rahasia dan pertemuan di lokasi-lokasi tersembunyi.
Suatu malam, setelah menyelesaikan tugasnya, Thomas duduk di meja kecil di sudut toko, merenung tentang apa yang telah dia lihat. Sam masuk ke dalam toko, membawa segelas teh panas. “Kau terlihat berpikir keras, Thomas. Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Sam sambil meletakkan teh di meja.
Thomas menatap Sam dengan ragu. “Saya hanya bertanya-tanya mengapa koran ini selalu diantar ke tempat-tempat yang sepertinya... rumit,” jawabnya perlahan.
Sam tersenyum bijaksana, tetapi tidak memberikan jawaban langsung. “Kau mungkin melihat lebih dari yang kau pikirkan, Thomas. Tapi ingatlah, setiap pekerjaan memiliki tanggung jawabnya sendiri. Yang penting adalah kau melakukan tugasmu dengan jujur dan sepenuh hati.”
Thomas mengangguk, tetapi rasa penasihat Sam membuatnya semakin penasaran. Dia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar toko koran biasa yang dijalankan oleh Sam. Mungkin, toko koran tersebut memiliki peran yang lebih besar di dunia bawah kota London.
--------------> Bersambung
Ia menghindari pukulan lurus dengan gerakan slipping, memiringkan kepala hanya beberapa inci dari tinju George.Hook kanan datang cepat, tetapi Thomas mengangkat sikunya untuk menangkis, merasakan benturan yang nyaris mematahkan tulangnya.Saat tendangan putar melesat, Thomas melompat mundur, menggunakan momentum George untuk memperhitungkan serangan balasan.Dan di situlah momen itu datang.Saat sikutan George mengarah ke lehernya, Thomas menurunkan tubuhnya, merendah, lalu meluncurkan uppercut langsung ke ulu hati George.DUG!Untuk pertama kalinya, George terdorong mundur.Thomas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan kecepatan yang ia pelajari dari pertarungan ke-99, ia menyerang balik.Elbow strike ke rahang.Tendangan rendah ke lutut.Sebuah pukulan straight ke arah dada.Namun, George bukan lawan yang mudah. Saat serangan ketiga hampir mengenai, George tiba-tiba berbalik, menggunakan energi Thomas sendiri untuk menjatuhkannya dengan teknik grappling.Thomas terhuyung, teta
Serigala itu tidak sendiri. Ada lima ekor lain yang mengintainya dari balik pepohonan.Thomas tahu bahwa ia harus bertarung.Ia mengambil tongkat besar yang terbakar di ujungnya dan mengayunkannya ke arah serigala pertama. Hewan itu mundur, tetapi lima lainnya bergerak mendekat. Ia tidak bisa melawan mereka semua.Pilihannya hanya satu "Lariiiii."Dengan cepat, ia berbalik dan berlari melewati hutan, napasnya tersengal. Ia melompati akar pohon, menerobos semak-semak, sementara suara cakar-cakar tajam mendekatinya dari belakang. Ia tidak bisa berhenti.Setelah hampir satu menit penuh berlari, ia melihat celah sempit di antara dua batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia meluncur masuk dan menekan tubuhnya ke dalam ruang kecil itu. Serigala-serigala itu berhenti di luar, menggeram marah, tetapi tak bisa menjangkaunya.Ia menunggu, menahan napas, hingga akhirnya suara mereka menghilang.Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia menyadari satu hal: tempat ini tidak akan memberinya belas kasihan. J
Ia menggoreskan bilahnya ke telapak tangannya sendiri. Darah segar menetes ke dalam gelas kosong di tengah mereka.Tanpa ragu, Flynn mengambil pisau itu dan mengikuti, menyayat telapak tangannya sendiri sebelum meneteskan darahnya ke dalam gelas. "Setiap misi, setiap pertempuran, setiap kejatuhan… kita tetap satu."Alex, dengan tatapan penuh tekad, mengulangi ritual yang sama. "Kita tidak akan pernah berdiri sendirian. Kita adalah satu jiwa dalam empat tubuh."Akhirnya, Thomas mengambil pisau itu, merasakan dinginnya baja di kulitnya sebelum menyayat telapak tangannya sendiri. Darahnya bercampur dengan darah saudara-saudaranya, mengukuhkan sumpah yang lebih kuat dari sekadar kata-kata.Ia mengambil gelas itu, memutarnya pelan sebelum meneguknya. Darah hangat mengalir di tenggorokannya, bukan sebagai simbol kelemahan, tetapi sebagai bukti tak terbantahkan bahwa mereka telah memilih jalan yang sama. Tanpa ragu, gelas itu berpindah ke Alex, lalu ke Diego, dan terakhir ke Flynn. Mereka me
Setelah berminggu-minggu menjalani latihan intensif di akademi, Thomas mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi lebih cepat, lebih kuat, dan lebih waspada. Namun, dalam setiap latihan, ia juga mulai menyadari batasannya. Meskipun telah melalui berbagai skenario pertempuran, Thomas tahu bahwa ia masih jauh dari kata siap untuk menghadapi ancaman Black Dawn yang sesungguhnya.Sebuah komunikasi rahasia terjadi di salah satu markas Heptagon. Mr. Ice, salah satu The Council, telah berbicara dengan George Simbian secara langsung."Anak itu punya potensi," kata Mr. Ice dengan suara dingin khasnya. "Tapi dia belum siap. Jika dia ingin bertahan dalam perang berikutnya, dia harus menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa."George menyilangkan tangan. "Kau ingin aku melatihnya secara khusus?""Ya. Tapi aku tidak ingin kau menawarkan diri. Jika Thomas benar-benar siap, dia akan datang kepadamu sendiri."George mengangguk paham. "Baik. Jika dia cukup cerdas untuk menyadari kelemahannya,
Thomas tersenyum, tetapi ia tahu ada kebenaran dalam ucapan mereka. Ia memang berubah. Setelah melihat kematian, menyaksikan bagaimana Heptagon mengendalikan dunia kriminal, dan mengalami langsung pertarungan brutal, ia tidak bisa kembali menjadi siswa biasa yang hanya menjalani pelatihan tanpa memahami konsekuensinya.Keesokan harinya, Thomas kembali ke rutinitas akademi tetapi dengan nuansa yang berbeda. Di lapangan latihan, setiap tatapan yang diarahkan padanya terasa berat. Sebagian besar siswa lain melihatnya dengan rasa hormat, beberapa dengan iri, dan yang lain dengan waspada.Tidak seperti biasanya, Saat sesi Latihan kali ini, George Simbian adalah instruktur hari itu menggantikan Antonov, dan dia telah menanti terlebih dahulu dilapangan. "Hayooo….berkumpul lebih cepat, PARA BAJINGAN, kalian fikir kita sedang-piknik". Mendengar teriakan George. para siswa panik, berlari dan segera cepat membentuk barisan. Diego mendengar suara yang tidak asing baginya, spontan menepuk jidatn
Langit malam di Afrika Selatan terbentang luas, bertabur bintang yang bersinar di atas kota Johannesburg. Thomas berdiri di balkon kamar hotelnya, menghirup udara malam yang segar, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan yang ditawarkan kota ini. Sudah dua minggu sejak operasi besar-besaran Heptagon menghancurkan Black Dawn di Afrika, tetapi jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa ini bukanlah akhir. Perang yang sebenarnya baru saja dimulai.Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Thomas menoleh dan melihat Sebastian N'Dour berdiri dengan tangannya disilangkan di dada, ekspresi wajahnya tetap setenang biasanya."Kau seharusnya menikmati malam terakhir di Afrika sebelum kembali ke akademi," ujar Sebastian.Thomas mengangguk pelan. "Sulit untuk merasa lega ketika kita tahu bahwa ini belum selesai."Sebastian tersenyum tipis dan mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya sebuah pisau berbilah hitam dengan ukiran tribal khas Afrika. Ia menyerahkannya kepada Thomas."Ini sebagai kenang-kenan