Setelah berenang di sungai yang jernih dan sejuk, Sera, Lia, dan Mira membasuh tubuh mereka dengan air sungai, lalu mengeringkan diri di bawah sinar matahari yang hangat. Mereka memandangi sungai itu dengan hati yang puas, menikmati kejernihan dan keindahannya yang memanjakan mata.“Air sungainya sungguh segar, Guys!” tutur Mira kepada kedua sahabatnya.“Yes benar banget Mira, aku juga ngerasanya begitu,” balas Lia.“Guys … kita seperti putri duyung yang sedang berjemur di bawah sinar matahari sore di sebuah pulau yang tak berpenghuni. He-he-he!” seru Sera sambil tersenyum jenaka.“Bisa aja Lo, Sera!” timpal Mira.“Yaiyalah, Guys. Kita kan para bidadari di pulau impian ini!” ujar Sera lagi.“Bidadari kesasar, yang terdampar di pulau, kali ….” tukas Lia.“Ha-ha-ha!” Ketiganya pun tertawa bersama.Ketiga gadis itu pun kemudian berjalan menuju pondok kecil yang terletak di tepi sungai. Tubuh mereka masih basah dan rambut mereka masih menggantung lembab. Para gadis berjalan dengan langkah
Di tengah pulau terpencil yang dipenuhi dengan pepohonan rindang dan kesunyian alami. Hezki dan Ronald telah menyiapkan perangkap ayam hutan sejak tadi pagi. Kini, saat matahari mulai tenggelam dan semilir angin sore mulai berhembus, keduanya mengecek perangkap ayam hutan tersebut.Kedua pria tampan itu menatap dengan penuh kegembiraan perangkap ayam hutan yang mereka pasang. Yang akhirnya berhasil menangkap dua ekor ayam jago. Senyum merekah terukir di wajah keduanya, terpancar dari keberhasilan mereka memasang perangkap dengan cerdik.Ronald dan Hezki kemudian berlari menuju perangkap, wajah mereka berseri-seri. Kedua pemuda tersebut kemudian membuka perangkap itu dengan hati-hati. Dua ekor ayam jago berwarna merah dan hitam tampak berusaha melawan, namun sia-sia."Wow, Bro Hezki, lihat itu! Kita berhasil, dua ekor ayam!" ujar Ronald, matanya berbinar penuh antusiasme.Hezki tersenyum lebar, "Yes, Bro Ronald! Akhirnya kita punya makan malam yang lezat. Mari kita cepat ambil ayam-aya
Setelah Ronald berhasil menyembelih ayam hitam, sekarang giliran Hezki untuk mencoba. Dia mengambil ayam merah dan melakukan proses yang sama seperti yang telah diajarkan Lia. "Bro Hezki, Bro Ronald, kalian berdua sudah melakukannya dengan baik.” "Terima kasih, Lia. Kami sangat berterima kasih atas bantuanmu." "Ya, Lia. Kamu benar-benar membantu kami. Terima kasih banyak." ucap kedua pemuda itu secara bergantian kepadanya.Sementara Mira dan Sera masih tetap berada di pondok. Kedua gadis itu merasa ketakutan melihat ayam yang sedang disembelih. Selanjutnya, Ronald dan Hezki terlihat menguliti bulu-bulu ayam tadi. Lagi-lagi sesuai instruksi dari Lia. Setelahnya kedua pria itu membersihkan dua ekor ayam tadi di dalam aliran sungai. Lia, Mira, Sera, Ronald, dan Hezki kembali dari hutan dengan penuh kegembiraan. Mereka membawa berbagai barang bawaan yang melimpah, menunjukkan keberhasilan mereka dalam menjelajahi hutan Pulau Asu.
“Edu, puisimu sangat indah. Sungguh aku sangat menyukainya,” ucap Lia dari kesungguhan hatinya.“Benarkah Lia?” tanya Edu tak percaya.“Iya, Edu ….”“Jadi … jawaban kamu, bagaimana Lia?” tanya sang pria masih dengan hati yang berdebar-debar.“Sebenarnya aku juga mulai mengagumimu sejak kebersamaan kita dimulai dari atas kapal, sampai kita terdampar di pulau ini. Menurutku kamu adalah seorang pria tangguh dan berani serta berjiwa tanggung jawab besar. Siapa sih perempuan yang tidak terpesona dengan semua kharismamu itu, termasuk aku ….” “Jadi … Lia?” ulang Edu.“A … aku juga mencintaimu, Edu.” ucap Lia sambil tersenyum malu-malu menatap pria yang tepat berada di depannya.“Lia …. Ternyata kamu menyimpan perasaan yang sama denganku?” tanya Edu masih tak percaya.Gadis itu menganggukkan kepalanya pertanda jika apa yang dirinya katakan barusan, adalah benar adanya.Secara spontan Edu memeluk Lia erat-erat.
“Lia, bagaimana jika kita kembali kepada teman-teman?” tutur Edu kepada kekasih hatinya.“Boleh, Du. Siapa tahu mereka butuh bantuanmu untuk memasak ayam bakar,” sahut Lia.“Baiklah kalau begitu, ayo kita ke sana!” seru Edu sambil meraih tangan Lia dan menggenggamnya dengan erat.Edu dan Lia berjalan berdampingan menuju ke tepian pantai yang terletak di sisi lain pulau, setelah mereka berdua menikmati kolak buatan Edu. Matahari yang telah terbenam, memberikan sentuhan keemasan pada langit senja yang indah yang telah berubah menjadi langit malam bertaburan bintang-bintang. Angin pantai yang sejuk menyapu lembut rambut keduanya saat mereka melangkah menuju ke arah teman-temannya. Saat Edu dan Lia mendekati tepian pantai, keduanyz dapat melihat empat teman mereka, Mira, Sera, Ronald, dan Hezki, sedang duduk di sekitar api unggun. Mereka sedang memanggang daging ayam hutan yang telah masuk perangkap dan ditangkap oleh Hezki dan Ronald sore tadi.
Pagi yang indah menyambut Ronald dan Sera di pantai Pulau Asu. Udara segar dan deburan ombak memberikan kesan romantis yang tak terlupakan. Saat matahari mulai muncul dari ufuk timur, Ronald merasa inilah saat yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Sera.Dengan dukungan kedua temannya, Hezki dan Edu yang telah mengungkapkan isi hati mereka kepada para gadis favoritnya. Kini tiba saatnya bagi Ronald untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Sera.Beberapa saat yang lalu, Ronald mengetuk pintu kamar para gadis yang berada di atas kapal. Dia menyebut nama Sera beberapa kali yang tiba-tiba saja membangunkan gadis itu.Sera lalu membuka pintu kamar, dengan masih berwajah bantal. Gadis itu sangat kaget melihat Ronald yang telah berdiri di depan kamar para gadis.“Ya ampun, Bro Ronald! Aku pikir kamu siapa!” kaget Sera.“He-he-he. Maaf jika aku mengagetkan dirimu,” sahut Ronald dengan ceria.“Iya …
Dalam kegelapan malam di Jakarta, ketika hamparan langit dipenuhi cahaya gemerlap kota yang tak pernah tidur, tiga keluarga terpisah tetap bersatu dalam doa dan harapan yang sama. Mereka adalah Keluarga Sera, Mira, dan Lia. Di setiap detik yang berlalu, seakan-akan membawa serpihan harapan yang terus membara dalam dada mereka.Di sudut ruang tamu rumah Sera, Papa Theo duduk di kursi goyang kayu dengan rasa gelisah yang tak bisa tersembunyi di wajahnya. Mama Nara duduk di sebelahnya, tangan keduanya terjalin erat, mencerminkan kekuatan mereka dalam menghadapi masa sulit ini. "Sera, kamu di mana sekarang?" bisik Papa Theo sambil menundukkan kepala, suaranya penuh keputusasaan.“Papa, kita tidak boleh putus asa seperti itu. Mama yakin, Sera, Lia, dan Mira pasti baik-baik saja saat ini,” tukas Nyonya Nara mencoba menguatkan suaminya.“Tapi, Ma. Sudah terlalu lama putri kita berada di lautan luas sana, entah bagaimana nasibnya sekarang,” lirih Pa
Malam pun tiba, para orang tua berkumpul di ruang keluarga yang ada di vila. Di atas perapian yang hangat, mereka saling berbagi cerita kenangan tentang putri-putrinya. Meskipun air mata kadang-kadang mengalir jatuh tanpa diduga, namun mereka menemukan kekuatan dalam kebersamaan itu."Pada akhirnya, yang penting adalah kita harus tetap bersama," ucap Papa Herman dengan suara yang penuh keyakinan."Kita tidak akan pernah kehilangan harapan, karena kita adalah keluarga,” seru Papa Bagas menambahkan.Kata-kata itu memenuhi ruangan dengan kehangatan yang luar biasa. Di tengah kegelapan malam yang menyelimuti vila, cahaya harapan dan kebersamaan mereka masih tetap bersinar terang.Dalam keheningan malam, di tengah gemuruh hutan yang gelap dan suara kicauan burung-burung malam, para orang tua merasa sedikit lega, lebih kuat, dan siap untuk menghadapi apa pun yang mungkin akan terjadi di masa depan. Karena dengan kebersamaan, mereka tahu bahwa cinta