"Jahat kamu, Anand!" ucap seorang gadis. Yang sedang menangis tersedu-sedu di sudut sebuah taman di salah satu kampus terkenal di Jakarta.
"Siapa yang jahat? Aku atau kamu?" Anand malah balik bertanya."Ya, kamu lah! Masa aku? Aku kurang baik apa denganmu selama ini, Anand? Apakah perhatianku selama ini kurang cukup bagimu untuk mempertahankan hubungan kita?" tukas Arlyn, nama gadis cantik itu."Ya kuranglah! Aku tidak hanya butuh perhatian darimu! Tapi aku butuh lebih dari itu! Kamu tentu tahu apa maksudku, bukan? Tanpa aku menjelaskannya lagi." sergah Anand, semakin menyudutkan Arlyn.Tentu saja, Arlyn mengetahui maksud dari perkataan Anand. Sang kekasih menginginkan tubuhnya. Sejak semester satu mereka telah berpacaran. Namun tak pernah sekalipun Anand dapat menyentuh tubuh sang kekasih. Sampai mereka dinyatakan lulus kuliah saat ini.Tiga tahun terakhir, ternyata diam-diam Anand menjalin hubungan dengan seorang wanita yang juga kuliah satu kampus dengannya. Akan tetapi berbeda jurusan. Makanya Anand dapat melakukan semaunya kepada Arlyn."Kita putus!" ancam, Anand."Anand ... jangan. Aku sangat mencintaimu." Arlyn berusaha mempertahankan hubungannya dengan sang kekasih. Walaupun dia sangat tahu, jika lelaki itu telah berselingkuh di belakangnya dalam jangka waktu yang cukup lama. Arlyn terus memelas dan memohon di hadapan pria itu. Namun Anand tetap ngotot. Ingin putus dari sang kekasih.Lalu tiba-tiba Anand berkata,"Oh, jadi kamu nggak mau kita putus?""Iya, Anand. Hubungan kita hampir empat tahun lamanya. Sudah banyak yang kita lewati bersama." tutur Arlyn, penuh harap jika Anand mau mendengar permohonannya.Akal sehat Arlyn sepertinya tidak berjalan dengan baik saat ini. Dia lebih memikirkan kuantitas hubungan mereka yang telah terjalin lama tanpa mempedulikan kualitas dari masa pacaran mereka yang tidak ada artinya sama sekali dari pihak Anand, sang kekasih.Begitu baiknya Arlyn kepada Anand. Semua tugas-tugas kuliahnya dikerjakan oleh gadis itu. Bahkan tujuh puluh persen isi skripsi Anand adalah hasil otak Arlyn yang terkenal sebagai salah satu mahasiswi cerdas di kampus itu.Setelah lama terdiam, akhirnya pria itu angkat bicara kembali,"Baiklah, aku akan mempertahankan hubungan kita, asalkan kamu menuruti satu permintaanku.""Permintaan kamu?""Yap! Tepat sekali Arlyn ... Sayangku." tutur Anand, penuh kelicikan disetiap kalimat yang dirinya akan ucapkan berikutnya."Memangnya kamu mau menginginkan apa dariku?" tanya Arlyn, polos. Berharap Anand tidak meminta yang macam-macam darinya."Aku hanya memiliki satu permintaan! Aku menginginkan tubuhmu, Arlyn Virgolin!" ucap Anand sambil menatap Arlyn dengan tatapan mesum, miliknya.Arlyn seketika kaget dengan ucapan pria di depannya."Ka ... kamu?" Gadis asal Bandung itu, seolah-olah tak percaya dengan apa yang barusan Anand ucapkan.Arlyn masih sangat ingat, bagaimana Anand berjanji di depan ayahnya. Bahwa dia akan menjaga Arlyn dengan baik dan tidak akan menyentuhnya. Sampai mereka sah menjadi suami istri kelak. Dua tahun yang lalu saat keduanya liburan dari kampus. Anand ngotot ingin dikenalkan dengan keluarga Arlyn. Untuk itu sang kekasih, membawa Anand untuk menemui keluarga besarnya yang berada di Bandung.Arlyn mencoba untuk mengendalikan perasannya kembali. Dia ingin berbicara baik-baik dengan pria itu."Anand, apakah kamu tidak memiliki permintaan lainnya?" Arlyn terus saja berharap kepada pemuda brengsek itu."No! Aku tidak menginginkan yang lain. Aku hanya menginginkan itu saja."Arlyn kembali meneteskan air matanya. Tak percaya jika omongan Anand bisa se-ekstrim itu. Dia ingat betul bagaimana pria itu berjanji di hadapan ayahnya. Ingatan itu masih terekam jelas di dalam memori otaknya, saat ini.Lalu Arlyn kembali berkata,"Ta-pi Anand, bukannya kamu sudah berjanji di depan Ayahku untuk tidak menyentuhku? Kecuali hubungan kita sudah resmi dan kita telah menikah. Kok sekarang kamu malah berbeda?""Ha-ha-ha. Itu bukan janji, Arlyn! Tapi omong kosongku belaka!""Omong kosong katamu, Anand?" Tiba-tiba Arlyn merasakan perasaan muak, melihat pria itu."Yap, omong kosong! Kenapa? Kamu nggak terima? Ya sudah kita putus saja, kalau gitu." "Anand, apakah kamu tidak ingat? Kamu berjanji di depan Ayahku, orang tuaku! Kamu kok malah mengatakan jika semua hanya omong kosong belaka? Itu sama saja kamu tidak menghargai Beliau!" Arlyn berkata tegas."Jadi kamu tidak mau Arlyn? Kita putus lho? Itu konsekuensinya. Aku akan pergi dari hidupmu. Bukan kah tadi kamu mengatakan jika dirimu sangat mencintaiku? Ayo berpikirlah lebih jernih lagi. Keluargamu kan berada di Bandung. Mereka tidak akan tahu apa yang telah kamu lakukan. Toh kamu tinggal di Jakarta, kan?" Anand mencoba membujuk Arlyn, dengan pemikiran-pemikirannya yang salah.Arlyn semakin menatap dalam-dalam ke arah Anand. Dia tak percaya sama sekali jika pria di depannya berani mengatakan hal tak senonoh itu kepadanya.Rasa kebencian kepada pria itu, semakin membuatnya tidak habis pikir dengan tingkah Anand yang hanya menginginkan tubuhnya saja."Anand, aku harap kamu jujur. Kamu masih mencintaiku atau tidak?" lirih Arlyn sedih, sambil menyeka air matanya."Ha-ha-ha. Tentu saja, Arlyn. Tapi kamu juga perlu tahu aku bukan hanya sekedar menginginkan cinta dari mu. Akan tetapi, aku juga butuh bukti cinta darimu, melalui tubuhmu!" ketus Anand, kembali mengintimidasi Arlyn.Gadis itu tak sanggup untuk berbicara. Dia semakin tenggelam dalam tangisannya."Lagian, ya. Pemikiran Ayahmu itu terlalu kuno! Zaman sudah canggih begini, semua serba bebas! Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi." ucap Anand, lagi."Bagaimana Arlyn? Kamu mau atau tidak?" Gadis itu tetap diam dan tak mau bicara. Dia tak habis pikir jika pria yang selama ini dirinya cintai, ternyata adalah pria bejat."Kamu kok diam saja? Katakan sesuatu! Aku tidak mengerti arti dari tangisanmu, saat ini!" Arlyn semakin terluka. Sikap Anand benar-benar telah berubah kepadanya."Baiklah, aku akan memberimu waktu untuk berpikir." tutur Anand.Dia pun lalu menyerahkan sebuah alamat hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan, kepada Arlyn. Sembari berkata,"Aku menunggumu di hotel ini. Nanti malam. Jika kamu tidak datang. Itu artinya kita putus." serunya, sambil berlalu dari hadapan Arlyn.Namun belum beberapa langkah Anand berjalan. Arlyn mencoba mengumpulkan akal sehat dan logikanya.Dia merasa sudah cukup untuk mengemis cinta Anand. Laki-laki itu telah merendahkan harga dirinya, terutama sang ayah. Arlyn tidak terima akan hal itu."Anand, tunggu!" ucapnya.Arlyn pun mengikuti langkah pria itu.Sementara sang kekasih tersenyum penuh kemenangan dia berpikir jika Arlyn mau mengikuti keinginannya. Anand segera menghentikan langkahnya.Lalu membalikkan badannya dan menghadap ke arah di mana Arlyn sedang berada."Ya ... Arlyn, Sayang. Apakah kamu berubah pikiran dan setuju?" seru Anand sambil tersenyum nakal, ke arah kekasihnya yang sangat menawan itu.Mendengar ucapan Anand itu. Membuat Arlyn semakin muak. Dia tak habis pikir. Kenapa bisa terjebak mencintai pria yang berada di hadapannya saat ini. Yang menurutnya tak lebih dari sampah.Arlyn kembali menyeka air matanya. Dia pun berjanji dari dalam hatinya. Jika hari ini, dirinya terakhir kali menangisi Anand.Dengan segera, Arlyn merobek-robek alamat hotel yang diberikan Anand kepadanya. Lalu mencampakkannya di hadapan pria itu. Anand yang melihat perbuatan Arlyn itu, seketika menjadi sangat geram. Dia terlihat mengepalkan tangannya, menahan emosi yang tiba-tiba meluap-luap dari dalam tubuhnya."Kita putus, Anand! Ternyata aku telah salah menilai mu selama ini! Empat tahun yang sia-sia. Waktuku terbuang untuk mengenalmu dan aku sangat menyesalinya!" tegas Arlyn, tanpa ampun."Apa? Kamu ingin putus dengan ku?" tanya Anand, sambil menatap ke arah Arlyn dengan menunjukkan pesona ketampanan yang dirinya miliki. "Ya, aku ingin putus. Aku lebih memilih mengakhiri hubungan denganmu. Pr
"Gilingan banget Lo, Bro! Cewek jenius sekelas Agnes bisa Lo kibulin! Salut! Salut, gue! Sumpah dah!" tukas, teman Jameso, yang juga seorang pria sepertinya."Iya, dong. Gue gitu, lho! Jameso, dilawan! Yang lain mah, lewat!" ucapnya, sambil mengibas-ngibaskan sejumlah rupiah berwarna merah yang baru saja Agnes berikan kepadanya."Ha-ha-ha." Keduanya pun tertawa terbahak-bahak. Menertawakan Agnes yang menurut keduanya, pintar tapi bodoh.Jameso terus saja membeberkan sikap Agnes kepadanya selama ini. Yang menurutnya sangat naif. Sampai tidak sadar jika telah ditipu olehnya.Namun tanpa keduanya sadari, Agnes mendengar semua perkataan Jameso yang dari tadi terus saja menghinanya.Agnes seketika merasa syok. Seolah-olah tak percaya jika Jameso yang nota bene adalah pria yang sangat dirinya cintai, ternyata telah membohongi dirinya selama tiga tahun, kebersamaan mereka."Hei, Bro! Jangan bilang Lo, tidak mencintai Agnes!" celutuk, temannya ingin tahu."Memang tidak!" jawab Jameso, penuh d
Sesampai di sebuah rumah sakit, Edward kembali menggendong gadis itu ala bridal style menuju ke dalam ruangan unit gawat darurat. "Dokter, tolong gadis ini, segera ditangani." ucapnya, lalu meletakkan tubuh Agnes, di salah satu tempat tidur yang berada di ruangan serba putih itu. Lalu dengan cepat beberapa suster dan juga dokter jaga mulai menangani Agnes yang sedang pingsan. Di beberapa bagian tubuhnya terdapat luka lecet karena terjatuh di atas aspal.Edward pun mulai menceritakan kronologi kenapa gadis itu bisa jadi pingsan.Namun tiba-tiba ponselnya berdering beberapa kali.Dia pun melihat, jika yang meneleponnya adalah klien perusahaannya. Edward pun ingat jika siang ini, dia harus menghadiri meeting penting.Lalu Edward menjelaskan kepada dokter jaga di UGD saat ini. Jika dia akan pergi sebentar. "Dok, semua pengobatannya. Tolong masukkan ke dalam tagihan saya." ucapnya. Lalu melirik sebentar gadis yang sedang dibersihkan luka-lukanya, itu. Kemudian Edward bersama sang asiste
"Kenapa, Kak Zem?" tanya Sari, kepada seniornya itu. Karena melihat wajah khawatirnya."Wah ... maaf ya Sari. Sepertinya aku harus pergi. Temanku kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di sebuah rumah sakit." sahutnya, lalu bersiap-siap meninggalkan tempat itu."Oh, baik Kak Zem. Sampai jumpa lagi, kapan-kapan." ucap Sari, lalu keduanya pun berpisah.Zemi Rania, segera berjalan ke area parkiran menuju ke mobilnya. Untung saja jalanan Jakarta agak lengang siang itu. Sehingga tak berapa lama dirinya sampai di rumah sakit.Setelah memarkirkan mobilnya dengan sempurna, dia pun segera masuk ke dalam rumah sakit itu. Zemi segera mencari keberadaan Agnes di UGD rumah sakit. Ruangan itu terlihat cukup luas.Setelah bertanya kepada salah seorang perawat. Akhirnya Zemi mengetahui tempat di mana Agnes, sedang dirawat.Dari kejauhan Zemi bisa melihat, sahabatnya Arlyn sedang menyuapi Agnes yang terlihat lemah. Dia sangat bersyukur ternyata temannya telah sadar dan tidak pingsan lagi."Ya ampun .
Zemi segera membaca kartu nama pria itu,"Rahez Finley. Nama yang indah." gumamnya, pelan."Cih! Gue nggak butuh laki-laki, lagi!" serunya. Lalu Zemi segera membuang kartu nama pria itu di dalam tong sampah yang berada di dekatnya.Sesampai di kasir, Zemi ingin segera melunasi tagihan rumah sakit sahabatnya. Namun sang kasir berkata,"Maaf, Mbak. Tagihan untuk pasien bernama Agnes Amora telah dilunasi semuanya." tuturnya."Apa?" Kaget, Zemi."Mbak nggak salah orang kan? Nama teman saya, Agnes Amora.""Tidak, Mbak. Saya nggak salah. Memang pasien bernama, Agnes Amora.""Okay. Baiklah kalau begitu." Zemi pun kembali melangkah menuju ke ruangan UGD.Sesampai di sana. Dia pun segera memberitahukan kepada Agnes. Jika semua biaya rumah sakit telah dilunasi."Hah? Tapi siapa yang melunasinya, Zem?" tanya Agnes, ikut bingung juga."Kata kasir tadi, namanya, Tuan Edward Wilson. Apakah Lo kenal orang itu?" sergah Zemi, kepada temannya.Agnes berpikir sebentar. Dia samar-samar ingat, jika ada ses
Kembali ke rumah sakit,Rahez baru saja tiba di ruang VVIP tempat sang Oma sedang dirawat.Diruangan itu, Ada dua orang wanita yang paling dirinya sayangi di dunia ini, sedang fokus menatap layar lebar di depannya. Sebuah iPad milik Asisten Frans, menjadi daya tarik keduanya. Sampai-sampai keduanya tidak mengetahui jika Rahez sudah berada di tempat itu.Namun sang asisten menyadari jika atasannya telah sampai di ruangan itu."Tuan Muda?" kaget, Frans. Dia buru-buru keluar dari ruangan mewah itu, dengan alasan mau mengurus obat-obatan untuk Oma Rika."Rahez ... cucu Oma? Kamu sudah lama datang?" tanya Oma Rika, senang melihat cucunya sudah berada di situ."Aku baru saja, sampai, Oma," ucap, Rahez. Lalu mendekati ranjang di mana sang nenek sedang terbaring lemah."Rahez, kamu kalau sudah tiba dari tadi, kok nggak menyapa Oma dan Mami? Kamu ini, kebiasaan banget, deh!" gerutu Mami Gita, kepada putranya."Maaf ... Mi, Oma. Lagian dari tadi Oma dan Mami fokus ke iPad. Memangnya lagi liha
Namun Edward harus menelan rasa kecewa setelah mengetahui jika gadis itu telah dijemput oleh keluarganya."Sial banget, gue!" umpatnya, pelan. Tidak ada informasi yang berarti tentang gadis itu. Edward hanya mengetahui namanya, Agnes Amora. Gadis berbibir seksi, yang telah mampu membuatnya penasaran setengah mati.Edward lalu ke luar dari rumah sakit itu dengan langkah gontai. Diikuti Mark, sang asisten."Bagaimana, Bos? Apakah kita pulang sekarang?" tanya Mark kepada atasannya, yang terlihat sedang galau."Yap! Kita pulang. Emangnya Lo mau berkemah di sini?" ketus, Edward."Puas Lo, gue kehilangan jejaknya?" ucap Edward, lalu berjalan masuk ke dalam mobil dan membating pintunya dengan keras."Yaelah, Bos Edward. Si Agnes Amora yang hilang di telan bumi. Malah gue yang kena semprot! Elah ... gini amat hidup gue!" tuturnya, lalu ikut masuk ke dalam mobil.Sepanjang perjalanan pulang ke kediamannya. Edward memilih diam dan memejamkan matanya. Entah kenapa bayangan gadis itu, semakin n
"Sabtu depan? Memangnya kita mau ke mana Bunda?" tanya Edward, penasaran."Temani Bunda, arisan." "Apa? Arisan? Ketemu ibu-ibu dong? Yang bener aja deh, Bund. Aku kan anak lajang. Bukan ibu-ibu, seperti Bunda. Nggak mau, ah! Bunda pasti tahu kan, jika hari Sabtu jadwalku untuk bermain golf." Edward mencoba untuk mengelak.Karena dia tahu betul maksud sang ibu. Yang ingin menjodohkannya dengan anak, dari ibu-ibu arisan itu."Ayolah, Ed. Kali ini saja. Setelah itu. Kita ziarah ke makam Ayah. Sudah lama kita tidak mengunjungi Beliau." ucap sang ibu, penuh harap.Mendengar jika mereka akan berziarah ke makam ayahnya. Hati Edward sedikit teriris sakit. Dia ingat betul disaat-saat terakhir ayahnya hidup. Edward tidak ada di samping Beliau. Sepertinya, dia harus mengalah kali ini kepada sang ibunda.Lalu dengan bijak Edward pun berkata,"Baiklah, Bund. Sabtu depan aku akan mengosongkan jadwalku. Aku akan temani Bunda ke mana pun Bunda perginya. Hanya saja, Bunda juga perlu tahu. Sampai kap