Share

Chapter 2

     Keesokan harinya, seluruh pembesar istana duduk menanti dengan tegang. Mereka menatap bergairah kedua pangeran di pusat ruangan yang kini tengah duduk anggun sembari menanti waktu pertandingan dimulai. 

     Setelah segalanya siap, Kaisar Jing Xing berdiri, serta-merta berseru. “Pertandingan kita mulai.”

     Hao Shi dan Ming Shi segera mengangkat pena masing-masing dan menuliskan kata demi kata di helaian kertas yang telah tersaji di depan mereka. Dengan sepenuh hati mereka menulis, berusaha mengeluarkan segenap kemampuan yang mereka miliki. Kaisar Jing Xing mengamati kedua puteranya yang begitu tekun melaksanakan amanatnya, hatinya tersenyum penuh kepuasan, sekaligus kegundahan.

     Waktu berlalu seakan sekejap, dan tibalah waktunya mengumpulkan. Kedua pangeran meletakkan pena masing-masing dengan tenang seraya menyerahkan kertas jawaban esai kepada seorang kasim, yang meletakkannya di atas baki khusus berbentuk persegi empat. 

     Tiba-tiba si kasim tersandung, lantas terjatuh. Baki yang ia pegang ikut jatuh pula dan isinya terserak keluar. Dengan panik, ia lekas-lekas mengangkat kertas-kertas yang berceceran itu sambil terus memohon maaf, “Maafkan hamba Yang Mulia maafkan hamba”

     Kaisar mengibaskan tangannya, “Meminta maaf tidak akan mengembalikan keadaan seutuh semula.”

     Si kasim tersenyum rikuh. “Terima kasih atas kemurahan hati Yang Mulia.” Lekas ia menyerahkan baki tersebut kepada sang Kaisar yang mengambilnya dengan gerakan anggun. Kaisar tersenyum lebar melihat hasil karya Ming Shi, yang ditulis dengan huruf ukiran indah nan elok dipandang mata, pula mengguratkan kata-kata penuh ide yang amat menggugah. Segera ia membalik kertas selanjutnya, bagaimanapun ia amat penasaran dengan tulisan karya Hao Shi.

     Begitu ia melihat tulisan Hao Shi, matanya terbelalak lebar seakan nyaris copot. 

     Bukan disebabkan karena rasa kagum dan salut, namun oleh karena kemarahan. Semakin ia baca baris demi baris, kemarahannya pula semakin menjadi-jadi. Mukanya menjadi merah padam, ia siap meledak saat itu juga.

     “Hao Shi” Kaisar berkeriut murka. “Bagaimana mungkin aku bisa mempunyai anak durhaka sepertimu. Sungguh sial...”

     Hao Shi segera menyadari ada yang tidak beres, “Ayahanda, maksud Ayahanda, esai yang Ananda tulis kurang berkenan di hati Ayahanda?...”

     Dengan penuh amarah Kaisar melempar kertas esai tersebut, hingga menampar tepat ke wajah Hao Shi. Seluruh aula langsung gaduh.

     “Lancang benar kau masih bisa bertanya kalem begitu, anak durhaka! Oh benar-benar keterlaluan padahal dalam pertandingan paling penting seperti ini tapi kau!”

     Hao Shi benar-benar kebingungan. Dipandanginya kertas esai karangannya seteliti mungkin. Tapi sebetulnya, tidak sampai butuh satu detik untuk membuatnya terbelalak penuh kengerian.  Kerongkongannya tiba-tiba serasa tercekat. Butuh waktu lama sampai ia menemukan suaranya kembali, tapi rasa-rasanya itu juga masih tidak kedengaran mirip suaranya, “Ayahanda... Ini Ini fitnah!”

     “Fitnah?!? Kau yang memfitnah!!! Kaupikir aku tak tahu tulisanmu, hah?! Kau pikir, aku ini buta huruf?! Bodoh?! Dungu?! Sampai tak bisa membedakan tulisan anak sendiri?!?”

      Hao Shi menundukkan kepalanya, memandang kertas esai tersebut dengan lebih cermat. Memang benar itu tulisannya. Itu adalah esai yang ia karang saat tengah mabuk berat. Kala itu, ia teramat benci pada ayahnya. Ayahnya banyak menerapkan peraturan licik, bahkan sadis dan tidak berperikemanusiaan hanya untuk mencapai ambisinya. Ia tidak suka melihat ayahnya memakai topeng malaikat suci di luaran padahal sebenarnya merupakan setan jahat. Dan dalam keadaan larut sepenuhnya dalam pengaruh alkohol, ia menulis esai itu. Ia sendiri tidak sadar tanggal berapa ataupun tahun kapan ia menulisnya. Yang jelas, semestinya takkan ada seorangpun yang bisa menemukan esai tersebut karena ia telah membuangnya sejauh mungkin.

     Karena isinya memang terlalu berbahaya. Dengan terang-terangan dan kata-kata yang amat membakar emosi, Hao Shi mengutuk segala kebijakan ayahnya. Ia bahkan menyebut ayahanya tidak pantas menjadi rakyat paling jelata sekalipun, hanya pantas menjadi garong sadis bertopeng malaikat. Disebutkannya pula kebiasaan ayahnya yang suka bermain cinta di luaran, sengaja mengumumkan ibundanya sebagai satu-satunya isteri resmi hanya untuk mendapat pujian salut dari seluruh penjuru, padahal wanita simpanannya jauh lebih banyak dibandingkan Kaisar yang memiliki selir paling banyak sekalipun. Dan masih banyak kejelekan-kejelekan lainnya, yang membuat wajah sang Kaisar merona merah karena marah bercampur malu.

     “Aku… tidak sudi melihatmu lagi! Pengawal seret dia keluar lemparkan dia ke Istana Dong Tang!” 

     Pejabat istana kontan terbeliak. Istana Dong Tang terletak di Chong Zhou, kota luar perbatasan antara Han dan Khanate, negeri musuh utama negeri Han yang terkenal barbar dan ganas. Mereka sering menyerang dan membunuhi penduduk Chong Zhou. Istana itu sendiri keadaannya amat jauh dari kata nyaman; ia merupakan puing-puing reruntuhan yang sudah sangat melapuk, kotor, berdebu, dan kini menjadi sarang binatang. Pada musim panas, terik matahari merasuki jendela-jendela dan membuat para penghuninya bisa merasakan suasana neraka tanpa perlu mati terlebih dahulu. Pada musim dingin, angin es dan salju datang menyiksa, tajam serta membekukan. Mereka semua tahu, Istana Dong Tang khusus diperuntukkan untuk mengurung para bangsawan yang telah dibuang dari istana. Dan kondisinya selalu para bangsawan yang malang itu tidak dapat hidup bertahan lebih dari satu bulan, kalau bukan mati karena keadaan cuaca yang mengenaskan atau kelaparan, pasti karena tewas dibunuh penjahat Khanate.

     Tiba-tiba Hao Shi merasakan pandangannya kosong. Saat para pengawal istana menariknya keluar, ia berjalan bagaikan boneka yang telah kehilangan rohnya. Para pejabat istana menggeleng-geleng pertanda kasihan.

     “Dengan ini aku putuskan, Pangeran Kedua Han Ming Shi mewarisi tahta Negeri Han, menjadi Kaisar penerus yang sah!” Kaisar mengumumkan. 

    “Tapi Ayahanda... Bagaimana dengan kakak?” Ming Shi terbata.

     “Tidak perlu kau urusi anak durhaka itu! Cukup warisi takhta dan jadilah pemimpin yang baik sekarang!”

     “Baik, Ayahanda...” Ming Shi kelihatan sangat tidak enak hati, namun sebaliknya hatinya tertawa riang. Karena ia bukan hanya berhasil mewarisi tahta Kekaisaran Han, tapi juga menyingkirkan kakaknya - saingan utamanya - sampai ke titik di mana kakaknya itu tidak akan bisa melawannya bagaimanapun ia berusaha. 

     Keesokan harinya, Han Ming Shi melalui upacara penobatan Kaisar yang mewah dan spektakuler, resmi dinobatkan sebagai Kaisar Han ke-25 dengan gelar Wen Xing. Ia menjadi Kaisar pada usia 23 tahun.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status