Keheningan sesaat menggantung di antara mereka, sampai akhirnya Syamil meninju pintu kamar dengan amarah yang menggelegak.
"Jawab aku, Shanum! Kenapa kamu diam?"
Shanum terkejut mendengar bentakan Syamil yang menggelegar. Sekian tahun menikah, ini pertama kalinya Syamil marah sedemikian rupa kepadanya. Wajah suaminya itu terlihat memerah menahan berang. Dada Shanum berdebar kencang ketika Syamil datang mendekat.
"Kenapa kamu diam saja, ha? Ayo, jelaskan kepadaku, apa kamu benar-benar tidak membutuhkanku lagi?" Kali ini jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Wajah Syamil begitu dekat dengan wajah Shanum. Sementara tangan lelaki itu memegang bahu Shanum kuat.
"Sakit, Uda!" Shanum berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Syamil. Namun, lelaki itu kian memegang kuat, lalu mendorong tubuh Shanum hingga telentang di kasur.
"Sakit? Kamu bilang sakit? Mana yang lebih sakit, Num, dibanding dengan pengkhianatan yang kamu lakukan?" Kali ini Syamil menind
Rumah Gadang di Lubuak Ateh yang selama ini hanya lampu langkan-nya saja yang menyala, sekarang dari dalam rumah pun terlihat cahaya terang, pertanda ada orang di dalam rumah tersebut.Sudah begitu lama rumah itu tidak bernyawa setelah ditinggal mati oleh pemiliknya. Datuak Bandaro Sati dan istrinya Rosmawati adalah orang tua kandung Syamil. Keduanya meninggal dunia ketika akan menghadiri acara wisuda Syamil di Padang. Mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan di Silaiang, Lembah Anai.Hari yang seharusnya penuh dengan suka cita itu berubah menjadi duka cita yang sangat mendalam di hidup Syamil. Orang tua yang dia tunggu-tunggu tak kunjung datang, sementara acara sudah dimulai. Ketika ponselnya berdering, di saat itulah jantung hatinya seperti dicabut paksa dari tubuhnya.Kejadian yang terjadi di hari Sabtu itu, menjadi catatan kelam bagi Syamil. Tidak pernah dia merasa kehilangan seberat itu. Andai dia turu
Syamil turun dari tubuh Erna setelah selesai menuntaskan hasratnya yang membara. Kedatangan perempuan itu ke Rumah Gadang membuat kesedihan Syamil menguap begitu saja."Ada masalah apa Uda sama Shanum?" Erna menjadikan lengan Syamil sebagai bantal. Dari samping, dia mengagumi hidung mancung yang pria itu miliki. Jemari Erna mengelus lembut dari pangkal sampai ke ujung hidung Syamil yang bangir.Syamil menangkap tangan perempuan yang telah memyerahkan tubuhnya bulat-bulat itu, lalu mengecupnya lembut."Dia pulang terlambat, di antar oleh Gibran. Sebagai suami wajar aku bertanya kenapa dia terlambat. Namun, pertanyaanku malah membuatnya tersinggung. Ketika aku mengajaknya bercinta, dia terlihat enggan dan tidak antusias melayaniku. Tentu saja hatiku sakit diperlakukan demikian. Makanya, aku maki-maki dia bahkan aku mengancam untuk pergi. Dan Shanum sedikit pun tidak merespon kemarahanku. Bahkan di saat aku pergi dari rumah, tidak ada niatnya menahan langkahku. Buk
Baru saja Erna menghilang dari pandangan, Syamil kembali dikejutkan oleh ketokan di pintu rumahnya. Dia yang akan merebahkan badan di kasur, dengan malas kembali melangkah keluar dari kamar.Begitu pintu dia buka, seraut wajah menampakkan rasa tidak suka. "Kenapa bisa si Erna ada di sini?"Mimik muka Syamil langsung berubah mendengar pertanyaan tamunya itu. "Ada apa kamu ke sini? Bukankah semuanya sudah jelas? Seperti katamu sebelumnya, lebih baik kita urus urusan masing-masing. Jadi, apa pun yang Erna lakukan di rumahku, itu bukan urusanmu, Shanum!"Perempuan yang bukan lain Shanum adanya merasakan aura Syamil terasa begitu menekan. Dia tidak pernah melihat suaminya itu sedingin ini."Aku masih istrimu, Uda. Apa pun yang kamu lakukan dengan perempuan lain, itu juga menjadi urusanku. Minggir, aku mau masuk!" Shanum mendorong tubuh Syamil dan menerobos masuk ke dalam rumah.Sudah lama Shanum tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Matanya
Shanum berlari di tengah malam buta itu seperti dikejar setan. Gelapnya malam bukan halangan baginya untuk menerjang apa pun yang dia temukan di depan sana. Dia tidak menyangka, baru saja keluar dari rumah Syamil, listrik padam, menjadikan semuanya gelap gulita.Sudah bukan rahasia lagi, kalau lewat dari jam sebelas malam, aura di kampung kecil itu sangat mencekam. Tidak ada lagi orang yang masih terjaga. Masing-masing diri sudah merebahkan badan di atas pembaringan.Lolongan anjing saling bersahut-sahutan. Bagaikan rintihan serigala yang kehilangan kawanannya di belantara dunia. Angin berembus lirih, ranting-ranting pohon saling bergesekan, menimbulkan bunyi-bunyian yang mampu membuat bulu kuduk meremang.Dari Rumah Gadang di Lubuak Ateh ke Payobada--rumah Shanum--sebenarnya tidaklah
Gibran tidur dengan gelisah. Hatinya tidak tenang. Tidak tahu apa sebabnya. Namun, bayangan Shanum kerap membayang di matanya. Seolah-olah perempuan yang dia suka itu sedang butuh dia malam ini."Apa yang terjadi dengan Shanum? Apa Syamil menyakitinya? Lelaki itu kurasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Wajahnya memang terlihat ramah dan bersahabat, tapi sorot matanya jelas menyiratkan kebencian ketika menatapku. Apa dia sudah tahu kalau aku dan Shanum bermain api di belakangnya?"Hati Gibran terus bertanya-tanya. Selepas pulang dari mengantar Shanum, ketika dia sudah selesai membersihkan badan dan mulai berbaring di kasur, perasaan tidak enak menyelinap, seolah-olah ada firasat buruk yang terjadi dengan karyawan cantiknya itu."Apa sebaiknya kuhubungi saja dia? Mumpung baru jam sem
Kokok ayam jantan membangunkan Shanum dari tidur yang lelap. Dia merasa aneh ketika merasakan punggungnya hangat dan seperti ada yang memeluk tubuhnya dari belakang.Perlahan-lahan Shanum menyingkap selimut dan berbalik menghadap ke orang yang memeluknya. Mata Shanum melotot.Dia segera membekap mulutnya sendiri, berusaha meredam teriakan yang akan keluar dari mulutnya."Uda Syamil?" Shanum mendesis dan berusaha melepaskan pelukan Syamil. "Uda, bangun!"Mata Syamil mengerjap, senyuman menghiasi bibirnya. "Selamat pagi, Sayang?"Shanum tidak percaya dengan penglihatannya. Namun, ini nyata. Syamil benar-benar ada di sampingnya saat ini. Tersenyum dengan wajah bahagia. "Bagaimana Uda bi
Etek Jawinar kehilangan akal. Dia tidak menduga rencananya gagal total. Andai saja Erna tidak jatuh hati ke Syamil, tentu semuanya akan berjalan sesuai dengan yang dia kehendaki. Dia merutuki kebodohan anak perempuannya itu."Kamu bodoh, Erna! Kenapa kamu malah menjual dirimu ke si Syamil? Apa yang kamu dapatkan dari dia, ha? Dia itu hanya benalu! Lelaki yang tidak bisa lagi diharapakan. Miskin! Kamu malah dengan gampangnya menyerahkan kehormatanmu kepadanya. Tidakkah otakmu itu kamu pakai, Erna? Bukankah sudah kukatakan semua rencanaku? Aku ingin mereka hengkang dari kampung ini, tapi kamu mengacaukan semuanya. Kamu benar-benar anak yang tidak tahu diuntung!" Etek Jawinar memukul-mukul dadanya sambil meratap. Sementara Erna bersandar ke dinding seraya menjambak rambutnya. Dia benar-benar pusing dan bingung. Semua ucapan ibunya semakin membuat pikirannya buntu. TETESAN AIR MATA membasahi
Ojek yang Shanum tumpangi akhirnya sampai di pasar Batusangkar. Setelah membayar ongkos, dia bergegas menuju toko. Namun, matanya tiba-tiba melihat Erna sedang berjalan tergesa di seberang jalan di depannya. Wajah perempuan itu terlihat seperti selesai menangis. Shanum dengan cepat memakai masker.Karena penasaran, Shanum mengikuti Erna secara sembunyi-sembunyi. Perasaannya semakin tidak enak ketika dia lihat sepupunya itu berjalan menuju arah toko tempatnya bekerja."Ada keperluan apa Erna ke toko? Apa dia kenal dengan Uda Gibran?" Rasa ingin tahu begitu kuat Shanum rasakan. Dia agak kesulitan menguntit Erna. Namun, dia yang sudah hapal seluk beluk di tempat itu, berhasil menjaga jarak beberapa meter dari toko Gibran."Erna?"Shanum