Negeri Seribu Pulau kini dilanda krisis ekonomi dan politik. Kota Bengawan, yang menjadi simbol ketenangan dan kekayaan budaya, kini menghadapi cobaan sulit. Gelombang krisis merambah dari ibukota, memasuki setiap jalan dan gang, menggoyahkan kehidupan warganya.
Di tengah gejolak ini, aksi massa dan perlawanan anti-pemerintah muncul sebagai harapan. Di sudut warung di depan kantor pusat informasi, Awan duduk menikmati makan siangnya.
Beberapa orang tiba tiba muncul. Orang bertubuh kurus dan tinggi memanggil pelayan untuk memesan kopi.
“Hai pak, buatkan kami kopi!” serunya
Pelayan, dengan senyuman ramah, menjawab, “Siap, pak!”
Sayup-sayup terdengar percakapan, gedung pusat informasi menjadi target aktivis demokrasi. Dari pembicaraan tersebut, diketahui bahwa pria-pria ini agen intelijen.
Pertukaran pandang singkat antara Awan dan agen intelijen menciptakan konflik yang misterius. Setelah beberapa saat, rombongan itu meninggalkan tanpa meninggalkan jejak. Awan, yang terus mengamati, merenungkan situasi krisis tersebut.
Selesai makan, Awan pergi menuju basecamp Terax. Tepat didepan Gedung Pusat Informasi, kerumunan aparat sibuk dengan olah TKP mencuri perhatiannya. Awan sempat berhenti, namun diusir oleh petugas yang berjaga.
“Hai, bocah! Kenapa kamu berdiri di situ? Ayo, cepat pergi!” tegur petugas dengan keras.
“Iya, Pak. Saya akan pergi,” jawab Awan.
Awan tiba di sebuah bangunan tua yang kusam dan angker. Saat pintu terbuka, kejutan menghampirinya. Sejumlah anak muda membawa senjata seolah siap menyerangnya.
“Hai, apa yang kalian lakukan? Apakah kalian semua sudah gila?” bentak Awan kepada para pemuda tersebut.
“Kalian ingin bersama-sama menyerang aku?” tambah Awan.
“Maaf, Awan. Kami tidak bermaksud melawanmu,” nawab Trenggono.
“Lalu kenapa kalian seperti mau perang dan menyerang siapa pun yang masuk kemari?” tanya Awan.
“Maaf, Awan. Kami hanya waspada,” jelas Trenggono.
“Kenapa kalian harus waspada?” tanya Awan.
“Tadi pagi, kita diserang sekelompok orang yang tidak dikenal bersenjata tajam,” jelas Trenggono.
“Siapa yang melakukan ini?” tanya Awan dengan emosi.
“Kami tidak tahu,” jawab Okto, pria berperawakan tinggi.
Lalu kenapa kita diserang?” imbuh Awan.
“Kelihatannya orang- orang ini dari kelompok baru. Aku sama sekali tidak mengenalinya,” jawab Trenggono.
Awan menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa geng Terax akan diserang oleh kelompok baru.
“Baiklah, aku mengerti,” jawab Awan.
Trenggono menceritakan semua yang terjadi. Bahwa sekelompok orang tidak dikenal menyerang secara tiba-tiba dengan brutal. Awan merasa bahwa serangan ini tidak biasa.
“Apakah kalian melihat tanda atau lambang apa pun dari kelompok penyerang?” tanya Awan.
“Tidak ada, Awan. Mereka mengenakan pakaian hitam dan menutupi wajahya.” jawab Trenggono.
“Aku akan menyelidiki ini,” kata Awan.
“Jangan keluar membawa senjata. Di luar banyak aparat berpatroli.” perintah Awan.
“Kakimu tidak apa-apa, Trenggono?” tanya Awan, menunjukkan kepeduliannya.
“Tidak apa-apa, Awan. Hanya terkena sabetan parang, lukanya tidak serius,” jelas Trenggono.
“Baiklah, kalian beristirahat dahulu. Namun, kita tetap harus waspada. Aku takut jika malam mulai gelap, akan kembali terjadi serangan,” kata Awan.
Malam menghinggapi gedung tua tersebut, membawa kegelapan dan ketegangan. Anak buah Awan terlihat kelaparan setelah seharian terjadi konflik. Awan menyadari hal tersebut.
“Ayo, beberapa dari kalian pergi beli makanan,” kata Awan kepada sebagian anak buahnya. Jangan pergi sendirian, pergi berkelompok untuk keamanan kita."
Beberapa anak buahnya yang kelaparan setuju dengan antusias, bersama-sama meninggalkan basecamp. Beberapa saat kemudian, mereka kembali membawa aroma harum nasi goreng serta mie goreng.
“Segera bagi makanan untuk semua orang,” perintah Awan.
Saat sedang asyik makan, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. Semua orang di basecamp segera bersiaga. Dengan hati-hati, Awan mendekati pintu memegang parang siap menyerang.
Dengan perlahan, Awan membuka pintu. Saat terbuka, terlihatlah Endi berdiri di depan pintu. Wajah Awan sedikit lega melihat yang datang adalah Endi.
“Awan, apa kabar?” sapa Endi.
“Aku baik, Endi. Masuklah,” jawab Awan.
Tanpa sengaja Endi melihat bungkusan makanan dan tak bisa menahan kelaparannya. Dengan penuh sopan, ia bertanya, “Adakah sisa untukku, Awan?”
“Iya, Endi. Kamu masih kami sisakan makanan. Silakan makan dulu,” jawab Awan. Sambil menikmati makanannya, Endi menceritakan keadaan teman-temannya yang telah mendapatkan perawatan.
Setelah menyelesaikan makan, Awan dan teman-temannya memutuskan untuk beristirahat. Awan tetap berusaha untuk terjaga, siap menghadapi segala kemungkinan malam ini. Trenggono, Okto, dan Endi tetap setia menemaninya.
Dari jauh, suara mobil semakin mendekat. Semakin lama, deru mesin terdengar semakin kuat hingga akhirnya berhenti di depan gedung. Awan segera memberi isyarat untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.
Trenggono, dengan langkah hati-hati, mengendap-endap dan melihat keluar dari celah pintu. Namun, tiba-tiba dia tersentak kaget, tidak tahu apakah yang seharusnya dilakukannya.
Awan, melihat reaksi Trenggono, segera bertanya, “Ada apa?” Mata mereka bertemu, dan ekspresi kebingungan tergambar di wajah Trenggono.
“Ada beberapa pria membawa senjata berlaras panjang,” jawab Trenggono.
Awan tidak percaya dan membentak, “Apa maksudmu, Trenggono? Mereka mengintip dari celah pintu, melihat pemandangan di luar. Bukankah mereka pasukan khusus?” Trenggono.
Tiba-tiba pintu yang sudah terlihat reot rubuh tepat di hadapan keempatnya. Belum sempat mereka bergerak, rentetan tembakan peringatan menghujani. Dengan cepat pasukan tersebut menerjang masuk sambil berteriak, “Jangan bergerak! Semua tiarap!”
Sontak, mereka semua segera merebahkan tubuh untuk tiarap, tidak ada satupun yang bergerak. Komandan pasukan, dengan suara tegasnya, bertanya, “Siapa yang bernama Awan?”
Semua tetap diam, tidak ada yang menjawab. “Brengsek, kalian bisu!” tambah komandan dengan nada frustrasi. Sekali lagi, tembakan diletuskan, “Jika tidak ada yang bicara, saya habisi kalian!”
Dalam keadaan terpaksa, Awan akhirnya angkat bicara, “Saya Awan. Apa yang kalian inginkan?”
Komandan pasukan, dengan sinis, menyahut, “Ah, akhirnya dia bicara. Kami datang untuk membawa kamu.”
“Aku tidak melakukan apa pun, kenapa kalian menangkapku?”. Awan mencoba membela diri.
“Kamu ikut kami ke kantor, nanti akan dijelaskan di sana,” jawab komandan.
“Tapi, Pak, saya tidak melakukan apa-apa. Apakah Bapak punya surat perintah menangkap saya?” bantah Awan.
“Banyak bicara,” sahut salah satu pasukan sambil melayangkan pukulan senapan ke perut Awan. Sontak, Awan terhempas ke lantai dan memuntahkan seteguk darah.
Sementara itu, yang lain digiring ke tengah ruang. Ada yang ditendang, diseret, dan dilempar. “Kalian jangan macam-macam, atau kalian kami habisi,” gertak komandan.
Sejurus kemudian, komandan tersebut memberi perintah untuk membawa Awan. Pemuda ini terus berjuang, namun sia-sia. Awan diseret dan dilempar ke dalam mobil tentara. Pintu mobil ditutup dengan keras, menghilangkan Awan dengan cepat dari pandangan teman-temannya.
Kini, hanya keheningan malam yang menyelimuti basecamp, meninggalkan ketidakpastian akan nasib Awan.
Setelah kepergian mobil tentara, beberapa warga mulai mendekat, mencoba mencari tahu. Ada yang memberikan pertolongan kepada teman-teman Awan. Namun banyak juga yang mencibir, menganggap bahwa Awan mencari mati menentang pemerintah. Trenggono, yang tetap teguh pada prinsipnya, berdiri di depan warga-warga yang mencibir. Dia berbicara dengan tegas, “Kami tidak akan tinggal dim melihat kezaliman! Awan tidak bersalah, dan kami akan membuktikannya. Jangan hanya berbicara tanpa tahu fakta.” Warga-warga itu terkejut dengan keberanian Trenggono. Mereka saling pandang, tidak tahu harus berkata apa. Trenggono melanjutkan, “Jika kalian tidak percaya, mari kita adu jotos! Aku akan membuktikan bahwa Awan tidak bersalah!” Warga-warga itu hanya bisa diam, tidak berani menanggapi tantangan Trenggono. Mereka sadar bahwa Trenggono adalah pemuda yang tangguh dan tidak mudah ditakuti. Tiba-tiba, suasana tegang di antara warga terasa memuncak. Beberapa dari mereka yang mencibir Awan menjadi terdiam,
Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya. “Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?” Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.” Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami. “Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius. Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri. Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba
Dalam pantauan ketat itu, Darto muncul. Dengan sikap tenang, ia mendekat. “Kenapa kalian berdiri di depan pintu?” tanyanya, suaranya seperti angin sejuk yang menusuk ketidakpastian. Kami hanya mencari angin, Pak," jawab Ermono. Darto menatap Ermono, seakan mencoba membaca setiap ekspresi yang terpantul di wajahnya. “Kalian hanya mencari angin?” ulang Darto, suaranya mengejek. “Saya di sini sudah puluhan tahun, jangan pikir kalian bisa menyembunyikan sesuatu dariku.” Ermono dan Purwo saling berpandangan, menyadari bahwa Darto tidak mudah dikelabui. Meskipun suasana tegang memenuhi sel, Darto tidak kehilangan sikap tegasnya. Ia mendekati Ermono, memandanginya dengan penuh pengetahuan tentang tingkah laku para tahanan. “Bocah itu tidak seperti yang lain, ya?” goda Darto, mencoba menggali informasi lebih lanjut. “Saya tahu ketika ada yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Jadi, apa yang sedang terjadi?” Ermono terdiam, mencoba merumuskan jawaban yang tidak akan membocorkan terla
Komandan merenung sejenak, mencoba menyusun potongan informasi yang ada di hadapannya. “Apakah ada alasan khusus yang membuat kamu terlibat dalam situasi ini? Ada tekanan dari pihak lain, atau mungkin ada motif tertentu?”Awan tetap tenang. “Tidak ada alasan atau tekanan, Pak. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya berada di sini. Dan saya tidak melakukan apa pun yang dapat merugikan siapa pun.”Keheranan di wajah Komandan semakin mendalam. Masih ada misteri yang perlu dipecahkan sebelum mereka dapat menemukan akar masalah ini. Komandan mengerutkan kening, wajahnya mencerminkan kebingungan.“Bukankah menurut berkas ini, keluarga Anda memiliki latar belakang penting di masa lalu?” tanya Komandan dengan suara yang penuh keraguan.Awan tersenyum pahit. “Maafkan saya, Pak, tapi itu tidak benar. Saya hanya seorang anak jalanan, tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang mulia.”Komandan menatap Awan dengan intensitas, mencoba memahami kebenaran di balik kata-kata tersebut. Dia kembali
Melihat Awan, beberapa tahanan mulai terprovokasi dan menghajar penjaga tersebut. Awan duduk santai, memperhatikan keributan yang terjadi di sel. Sementara itu, Purwo dan Ermono berusaha menghentikan kebrutalan para tahanan. “Berhenti, kalian!” teriak Purwo lantang, mencoba menghentikan kekerasan yang terjadi. “Jangan sampai penjaga ini tewas, atau nasib kalian akan berakhir tragis.” Namun, beberapa tahanan tidak menghiraukan peringatan Purwo dan terus menyerang. Situasi semakin kacau, penjaga lain yang mendengar segera datang untuk menyelamatkan rekan mereka. Awan yang awalnya santai langsung disergap oleh beberapa penjaga. Meskipun berusaha melawan, akhirnya ia dilumpuhkan. Awan yang telah berhasil dikendalikan oleh penjaga, kemudian dibawa ke sel bawah tanah. Di sana, Awan mengalami serangkaian penyiksaan yang sadis dan kejam. Tubuhnya yang telah lelah dan terluka membuatnya semakin rentan terhadap siksaan tersebut. Meskipun demikian, semangat perlawanan Awan tidak pernah padam
Darto, penjaga berkulit gelap dan bertubuh tambun, sosok yang menonjolkan kehumanisan. Meskipun pekerjaannya memerlukan ketegasan, Darto tetap mendekati para tahanan dengan sikap empatik. Usianya yang sudah mencapai lima puluhan tahun memberinya pengalaman dan kebijaksanaan. Pada pandangan pertama, orang mungkin menilai Darto dari penampilannya. Namun, di balik eksterior tersebut, Darto memiliki hati yang lembut. Ia sering memahami beban yang diemban oleh para tahanan dan berusaha memberikan dukungan. Sikap humanis Darto tercermin dalam tindakannya membawa makanan dan kepeduliannya terhadap para tahanan. Ia melihat Awan yang tidak mau makan, tahu bahwa anak ini dalam tekanan yang besar. Darto berusaha memberikan sedikit kemanusiaan dalam situasi yang sulit. Darto juga memiliki kebijaksanaan untuk memahami nuansa di antara para tahanan. Meskipun menjalankan tugasnya dengan tegas. Dirinya tidak segan untuk menunjukkan kepeduliannya dan mendengarkan mereka. Darto melihat Awan yang te
Kepala penjaga memberikan hormat dan bergerak cepat untuk mengurus Awan. Ruangan itu kembali ditinggalkan dalam keheningan, tetapi ketegangan tetap menggelayuti udara. Semuanya menunggu hasil dari interogasi cepat yang akan menentukan jalannya peristiwa mendatang.Kepala penjaga, setelah berbicara dengan Komandan, mendekati Awan dengan sikap yang lebih tenang. “Nak, kamu sebaiknya segera bekerja sama dengan kami. Dengan usia kamu yang masih sangat muda, kamu bisa mendapatkan keringanan hukuman. Jangan biarkan dirimu berakhir tragis karena melawan.”Awan, meskipun masih merasa marah dan tidak bersalah, merenung sejenak. Dia tahu bahwa situasinya sulit. Kata-kata kepala penjaga menyiratkan kemungkinan konsekuensi yang lebih buruk jika dia terus melawan.“Saya tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya tidak mau mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat,” jawab Awan dengan tegas.Kepala penjaga menggeleng. “Kamu mungkin tidak tahu seberapa besar tekanan yang sedang terjadi di sini, nak. Kami in
Sersan Jamal dan dua kopralnya berjalan ke arah Awan. Mereka mengepung Awan dan menatapnya dengan tatapan tajam. “Hai, bocah,” kata Sersan Jamal. “Kamu takut?” Awan menatap Sersan Jamal dengan tatapan berani. “Aku tidak takut,” katanya. Sersan Jamal tersenyum sinis. “Oh, ya?” katanya. “Lalu mengapa kamu terlihat seperti pengecut?” Kopral Joko dan Kopral Bayu tertawa. Mereka kemudian menarik kaki Awan dan memaksanya duduk di kursi. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal. “Kamu tidak akan bisa lolos.” Awan menggelengkan kepala. “Aku tidak bersalah,” katanya. Sersan Jamal meninju perut Awan dengan keras. Awan meringis kesakitan, tetapi dia tidak menyerah. “Ayo, mengaku saja,” kata Sersan Jamal lagi. “Atau kamu akan merasakan sakit yang lebih parah lagi.” Kopral Joko menampar pipi Awan. Awan kembali meringis kesakitan, tetapi dia tetap diam. Sersan Jamal menarik kursinya dan duduk di atasnya. Dia meletakkan kakinya di atas jempol kaki Awan dan menekannya dengan keras. Awan berte