Share

TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA
TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA
Penulis: Soeganx

Bab 1: Antara Keadilan dan Ketidakpastian

Negeri Seribu Pulau kini dilanda krisis ekonomi dan politik. Kota Bengawan, yang menjadi simbol ketenangan dan kekayaan budaya, kini menghadapi cobaan sulit. Gelombang krisis merambah dari ibukota, memasuki setiap jalan dan gang, menggoyahkan kehidupan warganya.

Di tengah gejolak ini, aksi massa dan perlawanan anti-pemerintah muncul sebagai harapan. Di sudut warung di depan kantor pusat informasi, Awan duduk menikmati makan siangnya.

Beberapa orang tiba tiba muncul. Orang bertubuh kurus dan tinggi memanggil pelayan untuk memesan kopi.

“Hai pak, buatkan kami kopi!” serunya

Pelayan, dengan senyuman ramah, menjawab, “Siap, pak!”

Sayup-sayup terdengar percakapan, gedung pusat informasi menjadi target aktivis demokrasi. Dari pembicaraan tersebut, diketahui bahwa pria-pria ini agen intelijen.

Pertukaran pandang singkat antara Awan dan agen intelijen menciptakan konflik yang misterius. Setelah beberapa saat, rombongan itu meninggalkan tanpa meninggalkan jejak. Awan, yang terus mengamati, merenungkan situasi krisis tersebut.

Selesai makan, Awan pergi menuju basecamp Terax. Tepat didepan Gedung Pusat Informasi, kerumunan aparat sibuk dengan olah TKP mencuri perhatiannya. Awan sempat berhenti, namun diusir oleh petugas yang berjaga.

“Hai, bocah! Kenapa kamu berdiri di situ? Ayo, cepat pergi!” tegur petugas dengan keras.

“Iya, Pak. Saya akan pergi,” jawab Awan.

Awan tiba di sebuah bangunan tua yang kusam dan angker. Saat pintu terbuka, kejutan menghampirinya. Sejumlah anak muda membawa senjata seolah siap menyerangnya.

“Hai, apa yang kalian lakukan? Apakah kalian semua sudah gila?” bentak Awan kepada para pemuda tersebut.

“Kalian ingin bersama-sama menyerang aku?” tambah Awan.

“Maaf, Awan. Kami tidak bermaksud melawanmu,” nawab Trenggono.

“Lalu kenapa kalian seperti mau perang dan menyerang siapa pun yang masuk kemari?” tanya Awan.

“Maaf, Awan. Kami hanya waspada,” jelas Trenggono.

“Kenapa kalian harus waspada?” tanya Awan.

“Tadi pagi, kita diserang sekelompok orang yang tidak dikenal bersenjata tajam,” jelas Trenggono.

“Siapa yang melakukan ini?” tanya Awan dengan emosi.

“Kami tidak tahu,” jawab Okto, pria berperawakan tinggi.

 Lalu kenapa kita diserang?” imbuh Awan.

“Kelihatannya orang- orang ini dari kelompok baru. Aku sama sekali tidak mengenalinya,” jawab Trenggono.

Awan menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa geng Terax akan diserang oleh kelompok baru.

“Baiklah, aku mengerti,” jawab Awan.

Trenggono menceritakan semua yang terjadi. Bahwa sekelompok orang tidak dikenal menyerang secara tiba-tiba dengan brutal. Awan merasa bahwa serangan ini tidak biasa.

“Apakah kalian melihat tanda atau lambang apa pun dari kelompok penyerang?” tanya Awan.

“Tidak ada, Awan. Mereka mengenakan pakaian hitam dan menutupi wajahya.” jawab Trenggono.

“Aku akan menyelidiki ini,” kata Awan.

“Jangan keluar membawa senjata. Di luar banyak aparat berpatroli.” perintah Awan.

“Kakimu tidak apa-apa, Trenggono?” tanya Awan, menunjukkan kepeduliannya.

“Tidak apa-apa, Awan. Hanya terkena sabetan parang, lukanya tidak serius,” jelas Trenggono.

“Baiklah, kalian beristirahat dahulu. Namun, kita tetap harus waspada. Aku takut jika malam mulai gelap, akan kembali terjadi serangan,” kata Awan.

Malam menghinggapi gedung tua tersebut, membawa kegelapan dan ketegangan. Anak buah Awan terlihat kelaparan setelah seharian terjadi konflik. Awan menyadari hal tersebut.

“Ayo, beberapa dari kalian pergi beli makanan,” kata Awan kepada sebagian anak buahnya. Jangan pergi sendirian, pergi berkelompok untuk keamanan kita."

Beberapa anak buahnya yang kelaparan setuju dengan antusias, bersama-sama meninggalkan basecamp. Beberapa saat kemudian, mereka kembali membawa aroma harum nasi goreng serta mie goreng.

“Segera bagi makanan untuk semua orang,” perintah Awan.

Saat sedang asyik makan, tiba-tiba pintu diketuk oleh seseorang. Semua orang di basecamp segera bersiaga. Dengan hati-hati, Awan mendekati pintu memegang parang siap menyerang.

Dengan perlahan, Awan membuka pintu. Saat terbuka, terlihatlah Endi berdiri di depan pintu. Wajah Awan sedikit lega melihat yang datang adalah Endi.

 “Awan, apa kabar?” sapa Endi.

“Aku baik, Endi. Masuklah,” jawab Awan.

Tanpa sengaja Endi melihat bungkusan makanan dan tak bisa menahan kelaparannya. Dengan penuh sopan, ia bertanya, “Adakah sisa untukku, Awan?”

“Iya, Endi. Kamu masih kami sisakan makanan. Silakan makan dulu,” jawab Awan. Sambil menikmati makanannya, Endi menceritakan keadaan teman-temannya yang telah mendapatkan perawatan.

Setelah menyelesaikan makan, Awan dan teman-temannya memutuskan untuk beristirahat. Awan tetap berusaha untuk terjaga, siap menghadapi segala kemungkinan malam ini. Trenggono, Okto, dan Endi tetap setia menemaninya.

Dari jauh, suara mobil semakin mendekat. Semakin lama, deru mesin terdengar semakin kuat hingga akhirnya berhenti di depan gedung. Awan segera memberi isyarat untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Trenggono, dengan langkah hati-hati, mengendap-endap dan melihat keluar dari celah pintu. Namun, tiba-tiba dia tersentak kaget, tidak tahu apakah yang seharusnya dilakukannya.

Awan, melihat reaksi Trenggono, segera bertanya, “Ada apa?” Mata mereka bertemu, dan ekspresi kebingungan tergambar di wajah Trenggono.

“Ada beberapa pria membawa senjata berlaras panjang,” jawab Trenggono.

Awan tidak percaya dan membentak, “Apa maksudmu, Trenggono? Mereka mengintip dari celah pintu, melihat pemandangan di luar. Bukankah mereka pasukan khusus?” Trenggono.

Tiba-tiba pintu yang sudah terlihat reot rubuh tepat di hadapan keempatnya. Belum sempat mereka bergerak, rentetan tembakan peringatan menghujani. Dengan cepat pasukan tersebut menerjang masuk sambil berteriak, “Jangan bergerak! Semua tiarap!”

Sontak, mereka semua segera merebahkan tubuh untuk tiarap, tidak ada satupun yang bergerak. Komandan pasukan, dengan suara tegasnya, bertanya, “Siapa yang bernama Awan?”

Semua tetap diam, tidak ada yang menjawab. “Brengsek, kalian bisu!” tambah komandan dengan nada frustrasi. Sekali lagi, tembakan diletuskan, “Jika tidak ada yang bicara, saya habisi kalian!”

Dalam keadaan terpaksa, Awan akhirnya angkat bicara, “Saya Awan. Apa yang kalian inginkan?”

Komandan pasukan, dengan sinis, menyahut, “Ah, akhirnya dia bicara. Kami datang untuk membawa kamu.”

“Aku tidak melakukan apa pun, kenapa kalian menangkapku?”. Awan mencoba membela diri.

“Kamu ikut kami ke kantor, nanti akan dijelaskan di sana,” jawab komandan.

“Tapi, Pak, saya tidak melakukan apa-apa. Apakah Bapak punya surat perintah menangkap saya?” bantah Awan.

“Banyak bicara,” sahut salah satu pasukan sambil melayangkan pukulan senapan ke perut Awan. Sontak, Awan terhempas ke lantai dan memuntahkan seteguk darah.

Sementara itu, yang lain digiring ke tengah ruang. Ada yang ditendang, diseret, dan dilempar. “Kalian jangan macam-macam, atau kalian kami habisi,” gertak komandan.

Sejurus kemudian, komandan tersebut memberi perintah untuk membawa Awan. Pemuda ini terus berjuang, namun sia-sia. Awan diseret dan dilempar ke dalam mobil tentara. Pintu mobil ditutup dengan keras, menghilangkan Awan dengan cepat dari pandangan teman-temannya.

Kini, hanya keheningan malam yang menyelimuti basecamp, meninggalkan ketidakpastian akan nasib Awan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status