Setelah kepergian mobil tentara, beberapa warga mulai mendekat, mencoba mencari tahu. Ada yang memberikan pertolongan kepada teman-teman Awan. Namun banyak juga yang mencibir, menganggap bahwa Awan mencari mati menentang pemerintah.
Trenggono, yang tetap teguh pada prinsipnya, berdiri di depan warga-warga yang mencibir. Dia berbicara dengan tegas, “Kami tidak akan tinggal dim melihat kezaliman! Awan tidak bersalah, dan kami akan membuktikannya. Jangan hanya berbicara tanpa tahu fakta.”
Warga-warga itu terkejut dengan keberanian Trenggono. Mereka saling pandang, tidak tahu harus berkata apa.
Trenggono melanjutkan, “Jika kalian tidak percaya, mari kita adu jotos! Aku akan membuktikan bahwa Awan tidak bersalah!”
Warga-warga itu hanya bisa diam, tidak berani menanggapi tantangan Trenggono. Mereka sadar bahwa Trenggono adalah pemuda yang tangguh dan tidak mudah ditakuti. Tiba-tiba, suasana tegang di antara warga terasa memuncak. Beberapa dari mereka yang mencibir Awan menjadi terdiam, menyadari ketegasan Trenggono.
“Saya akan hajar orang yang menyinyir Awan sekarang juga. Kalian semua, pikirkan baik-baik sebelum berbicara,” ujar Trenggono dengan mata yang memancarkan determinasi.
Namun, Okto yang bijak segera menarik Trenggono, “Trenggono, tidak perlu terlibat dalam pertengkaran. Kita harus tenang dan mencari cara untuk membantu Awan.”
Endi, meskipun masih terguncang oleh kejadian tersebut, mengangguk setuju, “Okto benar. Mari kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “
Trio Terax itu kemudian pergi meninggalkan warga yang masih ramai membicarakan insiden itu. Dalam perjalanan, mereka merenungkan langkah selanjutnya. Basecamp Terax mungkin berada dalam bahaya, an Awan berada di tangan tentara. Tapi tekad mereka tetap kuat untuk membuktikan kebenaran dan melindungi wilayah mereka.
Mereka harus mencari cara untuk menyelamatkan Awan dan memulihkan kehormatan Terax. Sambil melangkah menjauh dari keramaian, mereka merencanakan langkah-langkah untuk menyelamatkan Awan.
Dalam perjalanan Awan terus meronta, berusaha melepaskan tangannya dari borgol yang membelengunya. Melihat itu Komandan tertawa sambil berkata menghina kepada Awan, “Kamu gila ya, nak? Memang kamu Superman yang bisa memutuskan borgol dengan tangan kosong, timpalnya.”
Tiba-tiba, salah satu anak buah komandan tersebut menampar wajah Awan. Membenturkan kepala Awan terbentur ke pintu belang mobil. Awan hanya bisa merintih kesakitan, namun ia tetap berusaha untuk bertahan.
“Saya tidak akan menyerah selama saya benar.” Awan tertawa mencoba menyiasati.
Komandan mengeluarkan pistol mengokangnya di depan kepala Awan. Anak buahnya menunjukkan senjata tajam, ancaman mencekam.
Komandan itu melanjutkan, “Berani kamu melawan senjata ini? Jika bukan karena kamu anak kecil, kalian pasti sudah aku habisi sejak tadi di gedung tua itu. Aku masih memberimu kesempatan hidup, lebih baik kamu patuhi perintah kami jangan melawan.”
Seorang anak buah komandan, dengan kasar, menyela, “Iya, kamu jangan banyak omong! ” Sambil menjambak rambut Awan, menciptakan momen yang penuh tekanan.
Tak terasa mobil tersebut telah memasuki markas militer dengan penjagaan yang sangat ketat.
Penjaga bersiaga penuh, sementara patroli mobil dan anjing-anjing penjaga menambah keangkeran markas tersebut. Mobil yang membawa Awan melintasi beberapa pos pemeriksaan. Dan melaju menuju bangunan bawah tanah yang lebih terasa seperti penjara militer.
Beberapa penjaga segera menghentikan mobil tersebut saat tiba di gerbang markas. Terlihat komandan regu turun dari mobil, menghampiri penjaga tersebut, dan menandatangani selembar surat. Kemudian penjaga tersebut mempersilahkan mobil tersebut masuk. Menuju bawah tanah yang terlihat remang-remang, menciptakan suasana yang suram serta seram.
“Kamu menjalani ajalmu di sini,” the ucap salah satu tentara yang menangkap Awan.
“Tugas kami hanya mengantarkan kamu sampai di sini. Selanjutnya adalah tugas para penjaga yang ada di gedung ini. Ingat, jangan banyak omong dan melawan jika kamu sudah bosan dengan nyawamu.”
“Terserah padamu,” timpal tentara lainnya, “kamu mengaku saja jika kamu salah. Jangan menyela pembicaraan, dan jangan pernah menolak perintah. Itu saja pesanku jika kamu masih ingin hidup. Banyak orang yang ada di sini tidak bisa pulang, serta gila atau cacat tubuhnya,” imbuh tentara itu.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi.” Tambahnya.
Awan mendengar ancaman tersebut, hatinya berdegup kencang. Ia merasa takut, namun tekadnya untuk bertahan dan membuktikan kebenarannya tetap teguh. Marno, tentara yang memberikan peringatan, terus memandangi Awan dengan ekspresi tanpa belas kasihan.
Mobil tersebut melaju masuk ke dalam kompleks bawah tanah yang semakin terasa mencekam.
“Tak usah banyak omong, tahanan!” seru seorang penjaga sambil membuka pintu mobil. Dengan kasar, mereka menarik Awan keluar dari mobil dan membawanya menuju sel tahanan. Awan terus meronta, namun kekuatan fisiknya tak sebanding dengan kebrutalan penjaga.
Mereka tiba di sebuah lorong gelap yang dihiasi pintu-pintu self. Setiap langkah membawa mereka lebih dalam ke dalam kompleks yang misterius ini. Awan bisa merasakan mata-mata setajam pisau melayang di udara, membuatnya semakin tak nyaman.
Suasana di sel terasa gelap dan pengap, seakan berada dalam gua yang suram. Dinding sel terbuat dari beton yang dingin dan kokoh. Dan lantainya terbuat dari semen yang kotor. Menyebabkan Udara di dalam sel terasa pengap dan panas, seperti berada di dalam oven.
Suara jeritan serta tangisan para tahanan sesekali terdengar, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Menjadikan dunia baru bagi Awan. Dinding-dinding kusam dan kotor seolah menyimpan berbagai cerita kegelapan. Awan meronta, tetapi penjaga yang brutal terus mendorong dan menendangnya dengan keras. Dengan kasar, penjaga mengunci pintu besi sel, membiarkan Awan terperangkap dalam bayang kegelapan.
Awan duduk di sudut sel, terborgol, merasakan dingin yang menusuk tulang. Suasana hening diiringi desiran angin kecil yang masuk melalui celah-celah pintu besi. Ia merenung, mencoba memahami bagaimana segalanya bisa berubah begitu cepat. Takdirnya, yang seolah-olah telah tertulis, kini terpampang di hadapannya.
Di luar sel, terdengar langkah kaki penjaga yang menjauh. Awan memandang ke langit-langit sel, berusaha mencari sinyal harapan di tengah kegelapan. Ia tahu, perjuangannya belum berakhir.
Dalam keheningan sel, Awan tersentak oleh bayangan-bayangan yang mendekat ke arahnya. Meskipun tangannya terborgol, naluri bertahan sebagai pemimpin geng membawa Awan bersiap menghadapi ancaman. Ia memasang kuda-kuda, siap melawan.
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p
"Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe
Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer
Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab