Home / Historical / TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA / Bab 5: Bayangan Kemanusiaan di Penjara

Share

Bab 5: Bayangan Kemanusiaan di Penjara

Author: Soeganx
last update Last Updated: 2023-11-30 16:10:49

Darto, penjaga berkulit gelap dan bertubuh tambun, sosok yang menonjolkan kehumanisan. Meskipun pekerjaannya memerlukan ketegasan, Darto tetap mendekati para tahanan dengan sikap empatik. Usianya yang sudah mencapai lima puluhan tahun memberinya pengalaman dan kebijaksanaan.

Pada pandangan pertama, orang mungkin menilai Darto dari penampilannya. Namun, di balik eksterior tersebut, Darto memiliki hati yang lembut. Ia sering memahami beban yang diemban oleh para tahanan dan berusaha memberikan dukungan.

Sikap humanis Darto tercermin dalam tindakannya membawa makanan dan kepeduliannya terhadap para tahanan. Ia melihat Awan yang tidak mau makan, tahu bahwa anak ini dalam tekanan yang besar. Darto berusaha memberikan sedikit kemanusiaan dalam situasi yang sulit.

Darto juga memiliki kebijaksanaan untuk memahami nuansa di antara para tahanan. Meskipun menjalankan tugasnya dengan tegas. Dirinya tidak segan untuk menunjukkan kepeduliannya dan mendengarkan mereka.

Darto melihat Awan yang terduduk di sudut sel dengan penuh perhatian. Wajahnya mencerminkan kekhawatiran. Tubuh Awan tampak lemas, menunjukkan bahwa ia terjebak dalam kesedihan yang mendalam. Darto memahami bahwa keadaan ini mempengaruhi kesehatan fisik dan mental para tahanan. 

Dengan suara lembut, Darto memanggil, “Awan, makanlah. Kesehatanmu penting, dan kamu harus menjaga kekuatanmu di dalam sini.” Ia kemudian mendekati Awan sambil membawa sepiring makanan. Bau harum masakan memenuhi sel, menciptakan kontras dengan dinginnya pagi di dalam penjara.

“Aku tahu ini sulit, tapi kamu harus tetap kuat,” lanjut Darto. Mencoba memberikan semangat kepada Awan. “Jangan biarkan keadaan di sekitarmu menghancurkan semangatmu. Makanlah, dan semoga esok akan menjadi hari yang lebih baik.”

Darto memberikan senyuman lembut, mencoba menghadirkan sedikit kehangatan. Ia tahu bahwa perannya bukan hanya sebagai penjaga, tetapi juga berusaha membantu sesama.

Awan mengangguk lemah, menghargai kepedulian dari Darto. “Terima kasih, Pak Darto,” ucap Awan dengan suara pelan. Darto menyusun mangkuk makanan di atas meja di sudut sel. Memberikan sedikit privasi kepada tahanan untuk menikmati hidangan mereka sendiri.

Purwo dan Ermono, meskipun merasa sedih, melihat Awan mencoba untuk menerima makanan. Purwo berkata, “Awan, mungkin makanan ini bisa membantumu mengatasi rasa khawatir dan kesedihan. Kita harus menjaga kesehatan kita, terutama di tempat seperti ini. 

Darto, sambil melihat keadaan mereka, memberikan senyuman lembut. “Ingatlah, anak muda, meskipun kita di sini, kita masih manusia. Kita punya hak untuk menjaga kesehatan dan mental kita. Jangan biarkan kesulitan ini merenggut segalanya dari dirimu.”

Darto meninggalkan sel dengan langkah yang mantap, pintu sel tertutup kembali. Meskipun terkurung, masih ada tetes-tetes kemanusiaan yang mungkin menjadi penyemangat bagi mereka.

Pintu sel terbuka dengan gemerincing logam yang menusuk telinga. Menciptakan dentuman keras yang memecah keheningan. Penjaga-penjaga masuk sel dengan langkah berat, sepatu bot mereka berdesis di lantai dingin. Suasana sel yang tadinya hening dan tegang, kini berubah menjadi penuh ancaman. 

“Ikut kami, bocah!” bentak salah satu penjaga dengan suara berat dan penuh arogansi. Sorot mata mereka seperti kilat yang menusuk kegelapan, memancarkan kekejaman yang tak terduga. Awan yang masih terduduk di kasurnya, mnyembunyikan getaran takut yang melintas di tubuhnya. 

Purwo, yang berusaha membela Awan, ditegur kasar oleh penjaga lain. “Pak, biarkan dia menyelesaikan makannya. Kasihan, sudah beberapa hari tidak makan.” 

Diam, kau tua bangka!" ucap penjaga itu sambil melontarkan tatapan tajam. Raut wajah penuh dengan kebencian yang terasa begitu nyata di udara dingin pagi itu. 

Tanpa kata-kata lagi, penjaga kasar itu menendang Purwo dengan kasar. Meraih tangan Awan, dan memaksanya berdiri. Kemudian, menyeret Awan keluar sel. Pintu ditutup kembali dengan dentingan logam yang menggelegar.

Meninggalkan Purwo serta Ermono dalam ketidakpastian yang semakin meresap dalam dinding-dinding penjara dingin. Awan diseret keluar dari selnya dengan penuh kekejaman melalui lorong-lorong gelap penjara. Setiap langkah terasa seperti pukulan yang menghantam tubuh Awan. Dia mencoba mempertahankan keseimbangan, tetapi kekuatan kasar penjaga membuatnya hampir tak berdaya.

Pandangan Awan melewati jeruji besi, melewati wajah-wajah tahanan lain yang terdengar berbisik-bisik. Desisan sepatu bot penjaga dan desingan rantai , menciptakan simfoni menakutkan menggema dalam gelap.

Purwo dan Ermono saling bertatapan dengan kekhawatiran yang dalam. Mereka merasa kehilangan dan tidak berdaya di tengah kekerasan ini. Dentingan logam pintu yang tertutup membekas di telinga mereka. Mengingatkan setiap dentingan bisa menjadi saksi penderitaan yang tak terduga di penjara ini. 

Kamu tahu apa yang terjadi sebenarnya terhadap anak ini?" tanya Purwo kepada Ermono. 

Ermono memandang Purwo dengan ekspresi campuran antara prihatin dan kebingungan. “Aku tidak tahu banyak, Pak.

Dia datang beberapa hari yang lalu. Kabarnya, terlibat dalam sesuatu yang besar. Namun, sejauh ini, dia tidak banyak bicara. Mungkin trauma atau takut.”

Ermono setuju, “Benar, Pak. Kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang situasinya. Mungkin dia butuh seseorang yang bisa dia percayai di sini.” 

Purwo mengangguk, wajahnya mengekspresikan kekhawatiran yang mendalam. “Kita harus mencoba membantu bocah itu. Tak mungkin dia bisa bertahan lama di sini dengan perlakuan seperti ini.”

Dengan tekad, Purwo dan Ermono merencanakan untuk membantu Awan. Mereka sadar bahwa mungkin ada cerita tragis yang perlu diungkap.

Ketika udara dingin dan suram menyelimuti , bayangan tubuh Darto muncul secara dramatis. Langkah kakinya menghasilkan suara desis sepatu bot yang menyatu dengan kesunyian pagi. Cahaya redup dari lampu-lampu penjara menyoroti wajah seriusnya. Menciptakan kontras yang mencolok di tengah kegelapan.

Pintu sel terbuka dengan gemerincing logam yang menusuk telinga, menciptakan dentuman keras. Langkah kaki berat menyusup masuk sel diiringi desisan kasar sepatu bot. Suasana berubah mendadak, atmosfer yang sebelumnya hening dan tegang kini terasa penuh ancaman.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 19 : Becak Harapan

    Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 18: Harapan dan Bantuan

    Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 17 : Kebenaran dan Keselamatan

    Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 16: Pertaruhan Gelap

    "Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 15 : Misteri Penjara

    Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer

  • TRAGEDI 98, PERUBAHAN SEORANG PEMUDA   Bab 14: Kematian Misterius

    Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status