Share

Bab 4: Dalam Pelukan Kegelapan, Berkobarlah Semangat Pemberontakan

Melihat Awan, beberapa tahanan mulai terprovokasi dan menghajar penjaga tersebut. Awan duduk santai, memperhatikan keributan yang terjadi di sel. Sementara itu, Purwo dan Ermono berusaha menghentikan kebrutalan para tahanan.

“Berhenti, kalian!” teriak Purwo lantang, mencoba menghentikan kekerasan yang terjadi. “Jangan sampai penjaga ini tewas, atau nasib kalian akan berakhir tragis.” 

Namun, beberapa tahanan tidak menghiraukan peringatan Purwo dan terus menyerang. Situasi semakin kacau, penjaga lain yang mendengar segera datang untuk menyelamatkan rekan mereka. Awan yang awalnya santai langsung disergap oleh beberapa penjaga. Meskipun berusaha melawan, akhirnya ia dilumpuhkan.

Awan yang telah berhasil dikendalikan oleh penjaga, kemudian dibawa ke sel bawah tanah. Di sana, Awan mengalami serangkaian penyiksaan yang sadis dan kejam. Tubuhnya yang telah lelah dan terluka membuatnya semakin rentan terhadap siksaan tersebut. Meskipun demikian, semangat perlawanan Awan tidak pernah padam.

Ketika kepala penjara tahu tentang penyiksaan, ia terkejut dan langsung memerintahkan penghentian. Menyadari kebrutalan tersebut tidak manusiawi, terutama karena Awan masih sangat muda. 

Malam yang kelam menyelimuti penjara bawah tanah itu. Awan, yang tubuhnya terasa lelah dan terluka, duduk termenung di sudut sel yang dingin. Dalam keheningan yang terasa begitu berat, datanglah suara langkah kaki yang menghampiri. Seorang penjaga membuka pintu sel dengan kasar, memperlihatkan wajahnya yang penuh kebencian.

“Kau pikir kau bisa melawan kami, bocah?” tanya penjaga sambil menyeringai. Awan hanya menatapnya dengan mata yang penuh tekad. 

Di tengah penyiksaan, seorang penjaga meneruskan perintah komandan untuk menghentikan penyiksaan.

“Kau beruntung, bocah. Kali ini kepala penjara menyelamatkan pantatmu,” kata penjaga dengan nada merendahkan.

Awan hanya diam, tapi dalam hatinya, api perlawanan masih menyala. Kepala penjara mungkin menghentikan penyiksaan, tetapi tidak dengan tekad Awan untuk melawan ketidakadilan.

Setelah penyiksaan, kondisi fisiknya semakin memburuk, tetapi semangatnya untuk melawan tetap tak tergoyahkan. Dia dipindahkan kembali ke sel utama, menjadi saksi dari realitas kekejaman terhadap tahanan. Awan kini bersemangat melawan ketidakadilan atas kekejian yang terjadi di balik tembok penjara.

Pada keesokan harinya, Purwo dan Ermono menyambut Awan dengan keprihatinan. Purwo menatapnya serius sebelum akhirnya berkata, “Awan, ini baru awal dari perjuangan kita.”

“Aku tidak akan mundur. Mereka mungkin bisa menyiksa tubuhku, tapi semangatku tetap utuh,” jawab Awan dengan mantap. 

Ermono menambahkan, “Kita harus lebih waspada dan bersatu. Bersama, kita bisa mengungkap kebenaran dan menghadapi sistem ini.” 

Purwo tersenyum, “Kau punya semangat yang luar biasa, Awan. Kita akan bersama-sama melawan mereka, demi keadilan.”

Dalam keheningan sel bawah tanah yang menyelimuti, ketiga pria ini merencanakan strategi perlawanan. Meski terikat borgol dan dipenjara dalam kegelapan, semangat mereka tidak bisa dipadamkan. Di balik jeruji besi, tumbuh persatuan yang menjadi cahaya di tengah kegelapan penjara.

Pagi yang kelam menyambut Awan di sel bawah tanah itu. Tubuhnya terasa kaku dan lelah akibat penyiksaan semalam. Namun, semangat perlawanannya masih menyala, dan tekad untuk mengungkap kebenaran semakin kuat. 

Ketika pintu sel terbuka, seorang penjaga masuk dengan wajah datar. “Kamu diajak ke ruang interogasi. Jangan banyak tingkah atau kamu tahu akibatnya,” ujar penjaga dengan nada kasar. 

Awan, yang masih terbatas oleh borgol, mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu setiap kata-kata bisa berisiko, tetapi tekadnya melawan ketidakadilan tetap kuat.

Dibimbing oleh penjaga, Awan menuju ruang interogasi yang dingin. Seorang perwira tinggiduduk di balik meja dengan tumpukan berkas di depannya. Sorot matanya tajam dan penuh otoritas.

“Kamu Awan, bukan?” tanya perwira tersebut tanpa basa-basi. 

Awan mengangguk, “Ya, saya Awan.”

Perwira itu melemparkan berkas-berkas di mejanya. “Kamu dituduh melakukan subversi terhadap pemerintah, berkonspirasi dengan kelompok oposisi. Apa kamu mengakui semua tuduhan ini?”

Awan menatap perwira tersebut dengan tatapan tajam. “Saya tidak terlibat dalam apa pun dari yang Anda tuduhkan. Saya hanya seorang pemuda yang mencari keadilan.”

Perwira itu tersenyum sinis. “Cerita klasik anak muda yang bermimpi tinggi. Di sini, hukum yang berlaku adalah hukum pemerintah. Jangan berpikir kamu bisa lepas begitu saja.”

Dalam proses interogasi yang berlanjut, Awan tetap teguh pada pendiriannya. Ia menolak untuk mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Perwira yang kesal dengan sikap Awan, akhirnya memerintahkan agar Awan kembali ke selnya. 

Kembali di sel, Awan duduk termenung. Dia sadar perjuangannya belum berakhir, dan dia bersumpah dalam hati untuk terus melawan. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mereka yang menjadi korban ketidakadilan.

Keadaan di sel tahanan terasa suram, terlebih di pagi yang dingin dan menusuk itu. Meskipun dingin menusuk tulang, para tahanan tetap tertidur lelap di bawah selimut tipis.

Dalam keheningan, suara gemeretak gigi dan suara napas berembun menjadi serambi lagu tidur. Meskipun berada dalam kondisi yang keras, para tahanan tetap bermimpi tentang kebebasan. 

Pintu sel terbuka perlahan, memecah keheningan pagi yang dingin. Penjaga berpakaian tebal memasuki koridor dengan wajah tanpa ekspresi. Mereka berpatroli melewati sel penuh kehidupan terkekang besi dingin, menjalankan tugas tanpa emosi.

Para tahanan, tetap bersikukuh mempertahankan momen langka tidur mereka. Wajah-wajah yang terpapar cahaya remang-remang di dalam sel memperlihatkan beban hidup yang dipikul. 

Awan, pejuang jalanan, tertidur di sel tahanan yang dingin. Dalam mimpinya, ia kembali ke pelukan keluarganya.Dalam alam mimpi itu, ia mengigau, memanggil ibunya yang belum lama ia temui. Mungkin, dalam lamunan itu, ia bisa kembali merasakan hangatnya pelukan orang yang dicintainya.

Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, tersemat khawatir yang mendalam. Awan khawatir akan keadaan orang tuanya yang mengetahui ia dipenjara. Purwo dan Ermono, teman seperjuangannya, merasakan kekhawatirannya. Mereka menghampiri Awan yang terbangun di sudut sel dengan wajah sedih. Tanpa ragu, Purwo dan Ermono segera mendekati Awan dan dengan lembut membangunkannya.

Purwo serta Ermono menghampiri Awan yang tengah sedih. Mereka memberikan air dan dukungannya. Suasana di dalam sel terasa hening dan dingin. Wajah Awan terlihat sedih dan kebingungan. Purwo dan Ermono terlihat khawatir.

Awan duduk di ujung kasurnya, memeluk lututnya erat-erat. Tatapan matanya kosong, seolah tenggelam dalam pikiran yang jauh. 

Purwo mencoba menyapa Awan, “Nak, kita harus tetap kuat. Kita belum tahu apa yang akan terjadi, tapi kita harus menjaga semangat.” Ermono menambahkan, “Benar, Awan. Kita tidak sendiri. Kita memiliki satu sama lain.”

Meskipun mencoba memberi semangat, suasana sedih dan kekhawatiran masih mewarnai sel itu. Mereka merindukan kebebasan, merindukan kehangatan keluarga, dan merindukan hidup di luar penjara. Saat itulah, pintu sel terbuka perlahan, membawa sedikit sinar harapan ke dalam kegelapan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status