Komandan merenung sejenak, mencoba menyusun potongan informasi yang ada di hadapannya. “Apakah ada alasan khusus yang membuat kamu terlibat dalam situasi ini? Ada tekanan dari pihak lain, atau mungkin ada motif tertentu?”
Awan tetap tenang. “Tidak ada alasan atau tekanan, Pak. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya berada di sini. Dan saya tidak melakukan apa pun yang dapat merugikan siapa pun.”
Keheranan di wajah Komandan semakin mendalam. Masih ada misteri yang perlu dipecahkan sebelum mereka dapat menemukan akar masalah ini. Komandan mengerutkan kening, wajahnya mencerminkan kebingungan.
“Bukankah menurut berkas ini, keluarga Anda memiliki latar belakang penting di masa lalu?” tanya Komandan dengan suara yang penuh keraguan.
Awan tersenyum pahit. “Maafkan saya, Pak, tapi itu tidak benar. Saya hanya seorang anak jalanan, tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang mulia.”
Komandan menatap Awan dengan intensitas, mencoba memahami kebenaran di balik kata-kata tersebut. Dia kembali merenung sejenak sebelum akhirnya berkata, “Ada ketidaksesuaian di sini. Kami akan menyelidiki lebih lanjut tentang informasi yang ada. Tapi sekarang, saya perlu tahu kebenaran dari Anda, Awan. Apakah Anda terlibat dalam insiden ini atau tidak?”
Awan tetap tenang, matanya menatap langsung ke mata Komandan. “Saya bersumpah, Pak, saya tidak terlibat dalam apa pun yang dapat merugikan siapapun. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa berada di sini.”
Komandan mengangguk, seakan mencoba memahami sisi cerita Awan. Pertanyaan serta ketidakpastian masih menggelayuti ruangan interogasi itu. Menandakan bahwa misteri di balik keterlibatan Awan masih belum terpecahkan sepenuhnya.
Wajah Komandan menjadi semakin suram mendengar penjelasan Awan. Dia memeriksa kembali berkas-berkas di hadapannya. Mencari bukti atau keterangan yang dapat memverifikasi klaim Awan.
“Kamu dituduh melakukan vandalisme di gedung pusat informasi, Awan. Pemimpin partai penguasa marah dan menuntut penyelesaian tuntas atas masalah ini,” ujar Komandan.
Awan tampak terkejut. “Saya tidak melakukan apa-apa, Pak! Saya tidak tahu apa-apa tentang vandalisme di gedung pusat informasi. Saya hanya mencoba bertahan hidup di jalanan. Mengapa saya harus melakukan sesuatu yang bisa merugikan saya sendiri?”
Komandan terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Awan. “Apakah kamu yakin bahwa tidak ada yang menyuruhmu melakukan hal ini, Awan? Apakah kamu mungkin menjadi korban dari rencana seseorang?”
Awan menggelengkan kepala dengan tegas. “Saya benar-benar tidak tahu apa-apa, Pak. Saya tidak punya hubungan dengan partai atau siapa pun.”
Komandan terlihat merenung, mungkin mencoba menyusun potongan-potongan informasi yang ada. “Kami perlu menyelidiki lebih lanjut. Tapi sementara itu, saya memerintahkan untuk menjaga kamu dengan ketat. Kami harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam insiden ini.”
Komandan menatap Awan dengan tegas, menegaskan keterlibatan yang diduga kuat. “Sebaiknya kamu mengakui saja, Awan. Jangan menyembunyikan sesuatu dari kami. Kalau kamu berusaha menyembunyikan sesuatu, kamu akan menyesalinya.”
Awan merasa tekanan dari pernyataan Komandan, tetapi dia tetap kukuh. “Saya tidak melakukan apa-apa, Pak. Saya tidak tahu apa-apa tentang insiden ini. Saya tidak bersalah.”
Komandan mengangkat alisnya dengan skeptis. “Kami memiliki bukti yang menyatakan sebaliknya, Awan. Jika kamu terus menyembunyikan keterlibatanmu, konsekuensinya bisa sangat serius.”
Awan tetap pada pendiriannya. “Saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya tidak terlibat dalam vandalisme itu, Pak.”
Suasana di ruangan itu tetap tegang, dan Komandan tampak tidak mempercayai pernyataan Awan. Pemeriksaan lebih lanjut dan pengungkapan kebenaran tampaknya menjadi langkah berikutnya. Guna mengungkap misteri di balik keterlibatan Awan dalam insiden tersebut.
Awan menatap penjaga yang menghina dengan ekspresi marah, tapi tetap kukuh pada pendiriannya. “Saya tidak akan mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat. Saya tidak terlibat dalam insiden tersebut,” tegasnya.
Komandan mengangkat tangannya memberi isyarat agar penjaga itu tenang. “Kita butuh fakta dan bukti yang kuat sebelum menuduh seseorang. Mari kita lanjutkan penyelidikan ini dengan objektif dan adil,” ucap Komandan dengan serius.
Awan mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Dia tahu bahwa situasinya sulit. Tetapi dia tidak ingin mengakui kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Ruangan itu dipenuhi oleh ketegangan, semua orang menunggu perkembangan kasus ini.
Penjaga yang marah melangkah mendekati Awan, menatapnya dengan sinis. “Sudahlah, bocah tengik! Jangan berpura-pura tidak tahu. Kami tahu kamu yang melakukan semua ini,” ucapnya dengan nada merendahkan.
Awan menatap penjaga itu tanpa rasa takut, ekspresi marah tetap terpancar dari matanya. “Saya tidak melakukan apa-apa, dan tidak akan mengakui kesalahan yang tidak saya perbuat. Jangan tuduh saya tanpa bukti yang jelas,” tegasnya.
Penjaga itu tertawa kasar. “Bukti? Kami punya bukti yang cukup untuk menangkapmu dan menghancurkan hidupmu, bocah jalanan!”
Awan merasa semakin terhina, tetapi dia tetap bersikeras pada kebenarannya. “Saya bukanlah dalang dari insiden ini. Jika Anda memiliki bukti, tunjukkanlah. Saya tidak takut menghadapi kebenaran.”
Komandan mencoba meredakan situasi. “Kita butuh penyelidikan yang teliti dan adil. Jangan mengambil langkah-langkah sembarangan. Setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil.” Tetapi ketegangan di ruangan itu masih belum hilang, dan semuanya menunggu perkembangan berikutnya.
Komandan memandang serius, menyadari bahwa situasi ini perlu diselesaikan dengan cepat. Sebelum kedatangan pemimpin tinggi negara di Kota Bengawan. “Kapten, urus anak ini. Buat dia bicara jujur. Kita tidak punya waktu, terutama dengan kedatangan Presiden dan pemimpin partai. Keamanan kota ini tidak boleh terancam.”
Kapten memberikan salam hormat dan berkata, “Saya akan menanganinya, Komandan. Kami akan segera mendapatkan kebenaran dari anak ini.”
Sementara Komandan memberikan arahan, kepala penjaga menyambutnya dengan lugas. “Siap, Jenderal. Kami akan menyelesaikan masalah ini dengan cepat dan tanpa gangguan.”
Komandan menambahkan, “Ingatlah, stabilitas keamanan di daerah ini bergantung pada penyelesaian masalah ini. Tidak ada ruang untuk kegagalan.”
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Keesokan paginya, Kapten Haris memanggil seluruh timnya untuk rapat darurat. "Kita memiliki dua tugas. Menemukan siapa yang bertanggung jawab atas kematian Bagas. Dan menyelidiki konspirasi yang mungkin terjadi di dalam penjara ini. Saya tidak ingin ada yang melanggar perintah untuk merahasiakan kasus ini," ucap Kapten Haris serius.Tim penyelidik mulai bergerak, memeriksa setiap sudut penjara dengan cermat. Mereka menggali informasi dari tahanan dan petugas, mencoba menyusun puzzle yang semakin kompleks.Sementara itu, Kapten Bagyo dari polisi militer kembali untuk memeriksa kemajuan penyelidikan."Waktu terus berjalan, Kapten Haris. Saya harap ada perkembangan positif," kata Kapten Bagyo tanpa basa-basi.Kapten Haris menatap Kapten Bagyo dengan tekad, "Kami sedang bekerja keras, Kapten Bagyo. Tapi ini bukan tugas yang mudah."Kapten Bagyo mengangguk dan pergi, meninggalkan Kapten Haris dengan beban yang semakin berat. Ia merasa tekanan dari dua arah. Tekanan untuk menjaga rahasia p
"Dia tampaknya terkejut saat saya bertanya mengenai tahanan lain yang mengetahui kasus ini," kata Kapten Bagyo.Ketika Kapten Bagyo berbicara secara tegas kepada Sersan Darto, terlihat pertemuan rahasia yang dilakukannya dengan salah seorang tahanan menjadi sorotan."Sersan Darto, saya butuh klarifikasi dari Anda. Pertemuan rahasia dengan narapidana bukan hal yang seharusnya terjadi," kata Kapten Bagyo.Sersan Darto terlihat semakin gelisah. "Ini hanya pembicaraan sepele, Kapten. Saya tidak tahu apa-apa," kata Sersan Darto. Namun, Kapten Bagyo memutuskan untuk menginvestigasi lebih lanjut mengenai pertemuan tersebut.Selama penggalian kuburan Bagas dan otopsi, beberapa petunjuk muncul. Namun, sebagian dari petunjuk tersebut tampaknya sengaja dipalsukan atau diatur untuk mengalihkan perhatian.Saat Kapten Bagyo bersiap untuk pergi, ia memberikan ancaman terbuka kepada Kapten Haris dan para petugas penjara."Saya akan kembali, Kapten Haris. Jangan sampai ada yang berusaha menghalangi pe
Kapten Haris dengan wajah serius mengumpulkan seluruh personel membahas kasus misterius kematian Bagas. Ketegangan mewarnai udara, dan seluruh anggota tim tampak cemas. Dengan tegas, Kapten Haris melontarkan pertanyaan keras, "Siapa yang melakukan ini?" Suaranya memecah keheningan ruangan, namun tidak ada yang berani menjawab, menunduk dalam ketakutan. Pertanyaan berikutnya diarahkan kepada Letnan Teguh, perwira yang bertugas sebagai komandan piket malam. Kapten Haris ingin tahu mengapa Letnan Teguh berjaga di blok C tempat Bagas ditahan, sedangkan seharusnya ia bertanggung jawab di semua blok. "Letnan Teguh, saya ingin bertanya. Mengapa Anda berjaga di blok C malam itu? Bukankah Anda seharusnya bertanggung jawab di semua blok?" "Maaf, Kapten. Saya bertanggung jawab di semua blok. Namun, malam itu Sersan Jamal yang seharusnya berjaga sakit, jadi saya yang menggantikannya." "Apakah Sersan Jamal sudah memberikan surat izin dari dokter?" Kapten Haris tampak heran dan langsung memer
Matahari semakin menunjukkan taringnya dengan panas terik yang menyengat. Sel di dalam penjara terasa semakin pengap. Membuat Awan dan kedua seniornya, Purwo dan Ermono, merasa tidak nyaman. Mereka mondar-mandir di sel karena kepanasan."Aduh, pengap banget ya. Apa akan turun hujan?" tanya Awan."Tidak, cuaca memang panas akhir-akhir ini," jawab Ermono.Waktu makan siang sudah lewat, namun jatah makanan dari penjaga belum kunjung datang. Purwo bertanya, "Kenapa penjaga belum mengirimkan jatah makan?"Awan mencoba mengintip dari pintu sel. Berharap bisa melihat apakah Pak Darto, penjaga yang biasanya mengantar makanan, sudah datang. Saat kepala Awan menempel di pintu sel, tiba-tiba ia terkejut dan berteriak kaget."Hai, ngapain kamu ngintip kaya gitu, Awan?" tanya Darto sambil tertawa."Maaf Pak Darto, saya mengintip karena mencari Bapak. Tumben sudah siang Bapak belum datang," jawab Awan."Wah, baru kali ini kamu merindukanku Awan?" canda Darto."Iya, Pak, saya sudah kelaparan," jawab