Dafa melingkarkan kedua tangannya di punggung Caca membuat gadis itu seketika melotot.
"Udah diem, pokonya aku gak mau pulang sebelum abang-abangmu pulang."
Caca mencoba melepaskan diri tapi sia-sia, Dafa justru mengeratkan pelukannya sambil terus makan snack.
"Ya udah lepas, gak usah peluk-peluk juga, nanti aku bilang ke Gara tau rasa kamu," ancam Caca agar Dafa segera melepaskannya.
"Dulu juga sering pelukan kan, malah kamu dulu yang mulai."
"Itukan dulu pas masih kecil, sekarang beda lagi."
"Apa bedanya?" Tanya Dafa menaik-turunkan alisnya mencoba menggoda Caca.
"Pokoknya beda, udah lepas."
"Gak, nanti aku kamu suruh pulang lagi."
"Ya iyalah inikan udah malem, nanti diomongin tetangga tau."
"Tetanggamu kan, aku."
"Emang di sini cuma ada rumahku sama rumahmu?" Sungut Caca.
"Bisa jadi."
"Dafa...,pokoknya pulang. Nanti dicariin bunda loh."
"Enggak, tadi bunda nyuruh aku jagain kamu kalo gak ada abang-abangmu, Bik Nuri juga lagi liburkan?"
"Ya udah aku gak bakal nyuruh kamu pulang tapi lepas dulu, badanku kayak mau remuk ini," rengeknya.
Dafa melonggarkan pelukannya dan menggeleng.
"Udahlah Ca diem, tidur aja. Aku jagain sampai abangmu pulang, biar nanti kamu dipindah sama mereka."
Caca pun mengalah, dia memejamkan matanya karena lelah seharian mengerjakan tugas kuliah yang tiada habisnya.
Orang tua Caca memilih tinggal di desa karena merasa lebih tentram, sedangkan abang pertamanya menjadi pengusaha dan memilih tinggal di korea. Mereka hanya sesekali pulang mengunjungi Caca dan abang kembarnya.
Dafa adalah anak tunggal, ayahnya seorang pilot dan ibunya seorang penerjemah lepas.
Orang tua mereka adalah sahabat dan rumahnya berdekatan, jadi sejak bayi Caca dan Dafa sudah bersama.
15 menit berlalu, Dafa melihat jam ternyata sudah pukul 21.45. Arga dan Gara belum juga pulang, dia menatap Caca yang terlelap di pelukannya.Dafa menidurkan Caca di sofa pelan-pelan kemudian bergegas ke kamar tamu untuk mengambil selimut yang biasanya selalu disiapkan disemua kamar di rumah ini. Karena sedari kecil sudah terbiasa bersama, dia pun tidak canggung lagi bila berada di rumah Caca, apalagi jika hanya mengambil selimut.
"Ternyata cantik juga," kekehnya sembari memandang wajah sang sahabat.
Melihat rambut Caca yang menutupi wajah, dia pun berinisiatif menyisipkannya ke belakang telinga."Nah gini kan tambah cantik."
Tak dapat dipungkiri jika gadis dihadapannya ini mempunyai wajah yang begitu menawan. Banyak laki-laki yang mencoba mendapatkan hatinya, namun akhirnya mereka mundur karena sikap sahabatnya yang terlampau dingin.
"Pengen gue pacarin, tapi sadar, pacar gue udah banyak." Dafa menipiskan bibirnya.
Menoleh ke kanan, kiri, belakang, atas. Aman, batinnya.
"Maaf ya Ca, cuma dikit kok," ucapnya lalu mencium pipi dan kening sahabatnya dengan pelan karena takut akan terbangun.
***
Jam baru menunjukkan pukul 4.45 ketika Caca merasakan gempa di kasurnya.
Ia membuka mata karena terkejut dan berteriak, "Astaghfirullah, gempa!"
Buru-buru turun dari kasur dan bersiap lari.
"Aww..." Dia menoleh ke belakang ketika merasakan sakit di kepalanya, ternyata Dafa pelakunya, lelaki itu sedang menarik rambutnya sambil tertawa.
Caca berteriak lagi mengajak sahabatnya keluar,
"Dafa, ayo keluar. Ada gempa!"Dafa yang masih berdiri di kasur pun tertawa. Caca terus mengoceh dan mencoba melepaskan tangan Dafa di rambutnya.
"Ayo Dafa keluar, jangan ketawa, nanti kita mati kalo terus disini!" Caca berteriak-teriak hampir menangis, suaranya sudah serak.
Dafa kembali terbahak, tetapi tak urung melepas cekalan tangannya di rambut gadis itu. Dia memegang kedua pipi Caca yang telah basah oleh air mata.
"Ngapain nangis Ca? Gempanya udah berhenti loh," ucapnya menahan tawa.
Dua kepala tiba-tiba menyembul dari balik pintu,penasaran akan drama pagi hari yang terjadi di kamar adiknya.
"Caca kenapa?" Tanya Arga penasaran.
"Heh! Lo apain adik gue?" Tanya Arga dengan wajah garang seolah-olah siap membunuhnya.
Alih-alih takut, Dafa justru tersenyum dan menyuruh kakak kembar Caca masuk. Dia menceritakan semuanya, membuat Caca sadar bahwa dia telah dikerjai. Segera saja gadis itu menatap Dafa dengan tajam seperti pedang yang siap menghunus. Dia balas menjambak rambut Dafa dan memukul-mukul pundak lelaki itu.
"Dafa sialan! Sini aku hajar kamu biar tau rasa," ucapnya, meski sang kakak mencoba memisahkan.
"Udah-udah Ca, kasian Dafa udah kayak orang gila tuh. Udah, kamu mandi atau cuci muka sana tadi belum cuci muka kan?"
Caca mengangguk dengan muka ditekuk sedangkan Dafa yang sedang memegang rambutnya kesakitan lantas segera melotot kaget. Ia menatap nanar kedua tangannya.
"Astaga aku lupa Ca, kamu kan belum cuci muka kenapa aku pegang pipimu tadi."
Caca yang tadinya cemberut kini tertawa, tanpa sengaja, tetangganya yang menyebalkan ini sudah mendapat karma.
"Bun!" Fenti yang sedang memetik anggur di belakang rumah menatap heran pada anak semata wayangnya yang kini berjalan kearahnya dengan wajah tertekuk dan kedua tangan diangkat. "Kenapa, nak?" Buru-buru ia menghampiri anaknya karena takut terluka. "Kotor bun, jijik banget, tadi habis megang muka Caca yang belum dicuci," adu nya dengan wajah hampir menangis. Beginilah Dafa, kalau diluar garang tapi kalau di rumah cengeng dan manja. Apalagi kalau sama Caca, bisa lebih manja ketimbang dengan sang bunda. "Yaampun... bunda kira kenapa, yaudah dicuci sana, kok malah kesini." "Bunda kok biasa aja sih," kata Dafa nanar. "Terus gimana? lagian salah kamu sendiri Caca baru bangun udah dipegang-pegang mukanya." "Bun tapi jijik loh, niatnya kan mau ngerjain." "Yaudah tinggal dicuci, bunda mau lanjut metik anggur." "Bunda gak mau marahin Caca gitu?" Tanya Dafa ketika sang bunda sudah membalikkan badan.
Dafa mengacak rambutnya kesal, jujur dia malu, takut jika gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil itu akan marah, tapi tidak dapat dipungkiri kalau dia juga senang. Kucing mana yang tidak akan senang bila dikasih ikan, meskipun secara tidak sengaja, namun ia bisa menyentuh benda empuk milik sahabatnya itu. Tak jauh berbeda dengan di lapangan tadi, Caca yang telah pulang kini menelungkupkan badannya di ranjangnya dan membenamkan kepalanya di bantal."Huaa... aku malu," ucapnya dengan tangan kanan memukul-mukul kepala menggunakan bantal, sedangkan tangan kirinya ia tindih untuk melindungi bagian tubuhnya yang tadi disentuh sahabatnya."Aku harus gimana ini, nanti gak berani ketemu dong," ucapnya lagi, wajahnya masih merah dengan air mata hampir keluar."Kenapa aku gampang nangis kalau sama dia sih, kenapa tadi disentuh juga, hiks..." Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya luruh juga, padahal jika bersama orang lain dia tidak s
"Astaga ini gimana bisa? Duh, tombol hapus mana lagi, astaga udah dibaca!" Ucap Dafa kelimpungan ketika melihat pesan yang tidak sengaja ia kirim ke Caca sudah menampilkan centang dua berwarna biru."Mampus," ujarnya sembari mengacak rambutnya kasar, dia menatap nanar layar ponselnya.Tak lama kemudian Caca membalas pesannya, gadis itu menanyakan ia akan pergi kemana sampai tiga hari.Karena merasa sudah terlanjur, dia pun menjelaskan akan menjenguk Rian di Depok. Dia juga menjelaskan kalau teman satu jurusannya di kampus itu sedang koma karena mengalami kecelakaan hebat.[Kok lama banget?] Dafa membaca pesan sahabatnya yang diakhiri dengan emoticon menangis. Dia terkekeh pelan.[Sekalian nyari pacar, biar gak jomblo kayak kamu.] Bunyi pesan yang ia tulis pada layar ponsel kemudian menyentuh tombol send.Dafa mendelik kesal melihat balasan sahabatnya. [Dasar buaya!]"Enak aja, baru pacaran lima belas kali kok udah dibilang
"Kirain cuma main ke Cafe atau gramedia," ucap Gara tak habis pikir dengan tempat yang dituju adiknya. Memang sih mereka ada di Bandung, tetapi jarak antara rumah mereka dengan Situ Cisanti cukup jauh, bahkan perjalanannya bisa menempuh waktu sekitar 4 jam. Kalau tau begini, dia pasti akan menyuruh pengawal untuk memantau Caca. "Samperin gak?" Tanya Arga setelah cukup lama. "Kayaknya gak usah deh, kalo ada apa-apa Caca juga bisa langsung pencet gelangnya," jawab Gara saat teringat gelang tanda bahaya yang dipakai Caca. Saat merasa terancam adiknya bisa langsung memencet tombol kecil yang ada di gelangnya setelah itu akan ada pengawal yang jumlahnya puluhan bahkan terkadang ratusan datang membantunya, mereka sudah disiapkan oleh kakak pertamanya. Gelang itu sebenarnya memiliki bentuk seperti gelang pada umumnya sehingga musuh tidak akan tau fungsinya. "Hmm ... Yaudah," balas Arga mengambil ponselnya kemudian kembali ketempat semula. ***
"Yang punya pacar suruh putusin aja Ca," ucap Fey seenaknya.Caca menggeleng tidak terima, "gak bakal gue kenalin ke kalian.""Ganteng mana sama si kembar anak Darmajaya sekaligus ketua geng UKS Ca?" Tanya Fey menyebutkan dua pemuda populer yang kuliah di salah satu kampus terkenal di kota mereka."Nah iya tuh, setau gue sampai saat ini cowok yang gantengnya gak manusiawi itu ya cuma mereka," kata Naya menimpali."Setara kok," jawab Caca tersenyum, tidak mungkin ia mengaku bahwa si kembar dari Darmajaya sekaligus ketua UKS itu adalah abang yang dia maksud.*** Caca pulang dari Situ Cisanti jam 7 malam. Saat ini dia sedang duduk di depan meja rias, mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Caca melirik ponselnya yang berbunyi, ternyata Dafa menelfon."Halo.""Lagi apa Ca?" Tanya Dafa dengan riang, sepertinya dia sudah melupakan kejadian kemarin padahal Caca masih sedikit malu."Habis mandi nih," jawab Caca sekenanya
Dafa membalas pelukan bundanya. "Mana bisa jauh dari bundaku tersayang ini, sehari aja udah kangen," candanya mencoba menggoda sang bunda. Fenti melepas pelukannya dan menatap tajam anaknya, " Kamu pasti ngebut ya naik motornya?" Dafa meringsut takut, mau menyangkal takut dosa, membenarkan takut telinga jadi korban. "Kenapa diem aja?" Tanya Fenti lagi. "Duh bun, gimana ya? Sebenernya gak mau ngebut, tapi kalo pelan pasti ditinggal sama yang lain," balas Dafa yang tentu saja bohong. "Kamu itu..." Fenti memelintir telinga anaknya membuat sang empu mengaduh kesakitan. "Aduh duh bun, ampun bun. Lain kali gak bakal ngebut kok." "Tiap hari kamu juga bilang gitukan? Tetep aja kalo naik motor masih suka ngebut." "Janji deh bun, janji gak bakal ngebut lagi." "Kalo gak kepepet, iyakan? Bunda udah hapal apa yang mau kamu bilang kalo lagi kayak gini." Muka Dafa sudah merah hampir menangis.
Dafa dan Caca sudah sampai di area parkir Rumah Stroberi. Lelaki itu melirik jam di pergelangan tangannya, pukul 11.23."Ayo turun."Setelah membayar tiket, mereka langsung ke kebun stroberi. Ekspresi bahagia tercetak jelas di wajah Caca, sedari tadi gadis itu terus tersenyum."Seneng banget Ca?"Caca menatap Dafa dan mengangguk."Lihat ini, besar dan merah banget, jadi pengen cepet-cepet makan." Caca menunjukkan buah stroberi yang baru ia petik ke hadapan Dafa.Selesai memetik dan menimbang stroberi, mereka bergegas ke restoran yang ada di Rumah Stroberi dan memilih tempat duduk dengan nuansa oriental."Berasa lagi kencan," kata Dafa yang kemudian disusul tawa Caca."Perasaan dari dulu pergi berdua juga biasa aja," balas Caca sambil menyuap nasi kedalam mulutnya."Yah ... gak asik kamu Ca, kan cuma becanda."Caca terkekeh."Nanti pulangnya beli martabak dulu ya," kata Dafa menatap mata s
"Emang ada yang mau kenal sama kamu?" Caca mengambil tisu dan mengelap bibirnya, hidungnya bahkan terasa sakit setelah tersedak. "Makanya pelan-pelan kalau minum, ada dong," balas Dafa dengan ekspresi khawatir bercampur bangga. Caca menyindir, "Sial banget itu cewek, mau-maunya kenalan sama kamu." "Kok sial sih, anugerah dong Ca. Beruntung banget loh dia bisa kenalan sama cowok ganteng kayak aku." Caca bertingkah seolah akan muntah, jijik saat mendengar tingkat percaya diri sahabatnya yang terlalu tinggi. "Antara jijik dan najis dengernya." Mata Dafa mendelik tak suka. "Gaya banget sok-sokan jijik sama muntah gitu, coba tanya bunda! Aku ganteng atau gak." "Oke, nanti aku tanya bunda." "Kamu gak penasaran gitu, gimana muka cewek yang aku omongin tadi?" Tanya Dafa dengan alis terangkat sebelah. "Emang kayak mana? Paling juga menor kayak biasanya," balas Caca ketika mengingat beberapa perempua