Share

Bab 3

  Dafa melingkarkan kedua tangannya di punggung Caca membuat gadis itu seketika melotot.

"Udah diem, pokonya aku gak mau pulang sebelum abang-abangmu pulang."

Caca mencoba melepaskan diri tapi sia-sia, Dafa justru mengeratkan pelukannya sambil terus makan snack.

"Ya udah lepas, gak usah peluk-peluk juga, nanti aku bilang ke Gara tau rasa kamu," ancam Caca agar Dafa segera melepaskannya.

"Dulu juga sering pelukan kan, malah kamu dulu yang mulai."

"Itukan dulu pas masih kecil, sekarang beda lagi."

"Apa bedanya?" Tanya Dafa menaik-turunkan alisnya mencoba menggoda Caca.

"Pokoknya beda, udah lepas."

"Gak, nanti aku kamu suruh pulang lagi."

"Ya iyalah inikan udah malem, nanti diomongin tetangga tau."

"Tetanggamu kan, aku."

"Emang di sini cuma ada rumahku sama rumahmu?" Sungut Caca.

"Bisa jadi."

"Dafa...,pokoknya pulang. Nanti dicariin bunda loh."

"Enggak, tadi bunda nyuruh aku jagain kamu kalo gak ada abang-abangmu, Bik Nuri juga lagi liburkan?"

"Ya udah aku gak bakal nyuruh kamu pulang tapi lepas dulu, badanku kayak mau remuk ini," rengeknya.

Dafa melonggarkan pelukannya dan menggeleng.

"Udahlah Ca diem, tidur aja. Aku jagain sampai abangmu pulang, biar nanti kamu dipindah sama mereka."

Caca pun mengalah, dia memejamkan matanya karena lelah seharian mengerjakan tugas kuliah yang tiada habisnya.

Orang tua Caca memilih tinggal di desa karena merasa lebih tentram, sedangkan  abang pertamanya menjadi pengusaha dan memilih tinggal di korea. Mereka hanya sesekali pulang mengunjungi Caca dan abang kembarnya.

Dafa adalah anak tunggal, ayahnya seorang pilot dan ibunya seorang penerjemah lepas.

Orang tua mereka adalah sahabat dan rumahnya berdekatan, jadi sejak bayi Caca dan Dafa sudah bersama.

  15 menit berlalu, Dafa melihat jam ternyata sudah pukul 21.45. Arga dan Gara belum juga pulang, dia menatap Caca yang terlelap di pelukannya. 

Dafa menidurkan Caca di sofa pelan-pelan kemudian bergegas ke kamar tamu untuk mengambil selimut yang biasanya selalu disiapkan disemua kamar di rumah ini. Karena sedari kecil sudah terbiasa bersama, dia pun tidak canggung lagi bila berada di rumah Caca, apalagi jika hanya mengambil selimut.

"Ternyata cantik juga," kekehnya sembari memandang wajah sang sahabat.

Melihat rambut Caca yang menutupi wajah, dia pun berinisiatif menyisipkannya ke belakang telinga.

"Nah gini kan tambah cantik."

  Tak dapat dipungkiri jika gadis dihadapannya ini mempunyai wajah yang begitu menawan. Banyak laki-laki yang mencoba mendapatkan hatinya, namun akhirnya mereka mundur karena sikap sahabatnya yang terlampau dingin.

"Pengen gue pacarin, tapi sadar, pacar gue udah banyak." Dafa menipiskan bibirnya.

  Menoleh ke kanan, kiri, belakang, atas. Aman, batinnya. 

"Maaf ya Ca, cuma dikit kok," ucapnya lalu mencium pipi dan kening sahabatnya dengan pelan karena takut akan terbangun.

***

   Jam baru menunjukkan pukul 4.45 ketika Caca merasakan gempa di kasurnya. 

Ia membuka mata karena terkejut dan berteriak, "Astaghfirullah, gempa!" 

Buru-buru turun dari kasur dan bersiap lari.

"Aww..." Dia menoleh ke belakang ketika merasakan sakit di kepalanya, ternyata Dafa pelakunya, lelaki itu sedang menarik rambutnya sambil tertawa.

Caca berteriak lagi mengajak sahabatnya keluar,

"Dafa, ayo keluar. Ada gempa!" 

Dafa yang masih berdiri di kasur pun tertawa. Caca terus mengoceh dan mencoba melepaskan tangan Dafa di rambutnya.

"Ayo Dafa keluar, jangan ketawa, nanti kita mati kalo terus disini!" Caca berteriak-teriak hampir menangis, suaranya sudah serak.

 Dafa kembali terbahak, tetapi tak urung melepas cekalan tangannya di rambut gadis itu. Dia memegang kedua pipi Caca yang telah basah oleh air mata.

"Ngapain nangis Ca? Gempanya udah berhenti loh," ucapnya menahan tawa.

Dua kepala tiba-tiba menyembul dari balik pintu,penasaran akan drama pagi hari yang terjadi di kamar adiknya.

"Caca kenapa?" Tanya Arga penasaran.

"Heh! Lo apain adik gue?" Tanya Arga dengan wajah garang seolah-olah siap membunuhnya.

Alih-alih takut, Dafa justru tersenyum dan menyuruh kakak kembar Caca masuk. Dia menceritakan semuanya, membuat Caca sadar bahwa dia telah dikerjai. Segera saja gadis itu menatap Dafa dengan tajam seperti pedang yang siap menghunus. Dia balas menjambak rambut Dafa dan memukul-mukul pundak lelaki itu.

"Dafa sialan! Sini aku hajar kamu biar tau rasa," ucapnya, meski sang kakak mencoba memisahkan.

"Udah-udah Ca, kasian Dafa udah kayak orang gila tuh. Udah, kamu mandi atau cuci muka sana tadi belum cuci muka kan?" 

Caca mengangguk dengan muka ditekuk sedangkan Dafa yang sedang memegang rambutnya kesakitan lantas segera melotot kaget. Ia menatap nanar kedua tangannya.

"Astaga aku lupa Ca, kamu kan belum cuci muka kenapa aku pegang pipimu tadi."

Caca yang tadinya cemberut kini tertawa, tanpa sengaja, tetangganya yang menyebalkan ini sudah mendapat karma.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status