“Aku rasanya ingin menjatuhkan diri dari lantai lima, Mas.” Tangis Mira pecah sejadi-jadinya.
“Untuk apa Mira?” Noval berusaha mempelajari situasi.“Aku ingin mengiris pergelangan tanganku.”“Kamu berbicara apa, Sayang?”“Tapi aku takut, itu sakit dan sangat berdosa.” Mira sesenggukan.“Mira jelaskan padaku, ada apa denganmu?”“Argh ... !“ Mira kembali berteriak mengeluarkan emosinya. Kemudian terdiam.“Aku akan menyusulmu sekarang, dimana kamu?” tanya Noval tidak sabar.“Tidak usah mas.”“Kalau begitu, tenangkan pikiranmu. Apa kamu mau membicarakan ini sekarang?”Mira terdiam, lidahnya terasa kaku tidak bisa mengeluarkan suara, pikirannya penuh kemelut sehingga susah untuk diajak berpikir.Noval akhirnya memahami situasi. “Oke, kita bicarakan besok ya! Kita akan bertemu lagi di sini, pagi, pukul sepuluh. Bisa ‘kan Sayang?”“Baiklah, Mas.”“Sekarang, cobalah tenangkan pikiranmu dan berusahalah tidur ya, Sayang! Sampai jumpa besok pagi.” Noval menutup teleponnya.Malam itu, malam yang sangat panjang dirasakan oleh Mira. Semakin dia berusaha memejamkan mata, semakin jelas bayangan kejadian tentang pertama kalinya dia bertemu dengan Leo.***Pagi akhirnya menampakkan wujudnya. Mira berusaha bangun dengan mata yang sangat berat, akibat menangis semalam. Dia ‘pun bergegas bersiap untuk bertemu dengan Noval, ingin menumpahkan semua perasaan dan pikirannya.Saat Noval bertemu Mira di kafe. “Bagaimana keadaanmu Mira? Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Noval penasaran sambil memegang tangan Mira.“Aku dijodohkan mas, oleh orang tuaku karena hutang 100 juta, dengan lelaki paling kaya di desaku. Leo namanya. Kemarin kami bertemu pertama kali, dia memiliki perangai yang buruk sama seperti wajahnya.” Air mata Mira mengalir deras, dia tidak dapat membendungnya lagi.Noval terdiam, kepalanya serasa berputar tak tentu arah. Kaget, bagai terkena petir di siang bolong.Mira gusar melihat reaksi wajah Noval. Dia berusaha menenangkan pikiran dengan menyeruput minuman yang telah dipesannya. Sesaat kemudian, matanya memercing, melihat sesosok lelaki. Sosok yang pernah dilihat dan dikenal, semakin dekat berjalan ke arahnya. Tiba-tiba,Bruak!Tangan lelaki itu memukul meja di depan Mira dan Noval, hingga minuman mereka hampir tumpah. Perilaku lelaki itu membuat mereka berdua sangat kaget dan ketakutan.“Mira, siapa lelaki ini? Berani-beraninya kamu berduaan di kafe dengannya! Bukankah kamu sudah dijodohkan denganku?!” bentak Leo membuat bulu kuduk Mira berdiri. Noval yang duduk disebelah Mira, tercengang melihat perilaku dan wajah Leo.Leo bersama dua orang temannya ternyata mengikuti Mira.“A-apa yang kamu lakukan di sini Leo?”“Sudah, jangan banyak bicara. Sekarang, ikut aku pulang! Lain kali, jangan pernah berduaan dengan siapapun lagi, kecuali denganku!” bentak Leo dengan menarik tangan Mira.Noval segera berdiri menarik tangan Mira yang satu lagi. “Jangan terlalu kasar dengan wanita Bung, itu tidak baik,” sahut Noval berusaha tenang.“Kamu jangan ikut campur!” seru Leo. Dengan sigap, dua teman Leo mendorong tubuh Noval hingga terduduk di kursi.Leo kemudian menarik kerah baju Noval dengan satu tangannya. Wajahnya didekatkan hingga guratan marah di matanya tampak, giginya digemeretakkan. “Kamu akan merasakan hantamanku, kalau berani mendekati Mira lagi. Mengerti!” hardik Leo sambil berlalu.
Mira terpaksa mengikuti Leo. Dia berjalan semakin menjauh, sambil memandang wajah Noval dengan memelas, tanpa mampu berucap apapun.
Semua orang yang berada di kafe mengamati mereka. Noval berusaha tetap tenang duduk di kursinya, karena tidak ingin menjadi pusat perhatian massa. Namun, batinnya serasa dicabik-cabik. Sedih perih tak terkira, diputuskan setelah dua tahun berpacaran bersama Mira, dengan cara tidak terduga dan mengagetkan.“Lepaskan!” teriak Mira sambil menarik tangannya yang sejak tadi ditarik Leo.Leo membuka pintu belakang mobilnya dan memaksa Mira untuk segera masuk, kemudian dia duduk disebelah Mira. Kedua temannya mengikuti masuk ke bagian depan mobil. “Diam,” lirih Lelaki gagah itu sambil meletakkkan jari telunjuknya pada bibir Mira.“Apa kamu tidak bisa bertindak lebih lembut, tidak kasar seperti ini?” tanya Mira.“Inilah aku Mira, kamu akan belajar memahaminya.”Mira diam mengernyitkan dahi, memandang Leo penuh kesal, sambil berusaha mengatur nafasnya, yang sejak tadi naik turun cepat tidak beraturan. Dia membuang muka ke arah depan mobil, menyilangkan tangannya dan berusaha duduk dengan tenang disebelah Leo.Dalam perjalanan, mereka terdiam, hening, tidak bersuara.Leo akhirnya menurunkan Mira tepat di depan rumah Mira. “Ingat, pesanku tadi!” ucap Leo singkat.“Iya, akan kuingat,” jawab Mira lirih.“Bagus, karena aku akan selalu mengawasimu,” ucap Leo sambil menunjuk kedua matanya, dengan jari telunjuk dan jari tengah di tangan kanannya. Segera setelah itu, Leo beserta temannya melajukan mobil dengan cepat.Mira segera berlari masuk ke dalam rumah mencari kedua orang tuanya. “Bapak Ibu, Leo tadi marah-marah memergoki aku dengan Mas Noval di kafe. Aku dipaksa pulang naik mobilnya. Dia juga berkata akan selalu mengawasiku. Aku takut sekali.” Mira menangis sejadi-jadinya di bahu ibunya. Ibu menepuk pundak anak satu-satunya itu sedangkan Bapak hanya diam terpaku.“Sabar ya, Nak! Nasi telah menjadi bubur, mau tidak mau kamu harus menerima perjodohan ini. Mau tidak mau, kamu juga harus menerima Leo,” ucap Ibu sambil mengelus kepala anak kesayangannya itu. Tidak lama kemudian,Tok, tok, tok!Bapak, Ibu dan Mira saling berpandangan penuh tanya, siapa gerangan yang bertamu di saat tidak tepat seperti ini?Bapak segera mengambil langkah cepat menuju ruang tamu untuk membuka pintu. “Siapa ya?” tanya Bapak di balik pintu.“Mira ada pak?”Mira sangat mengenal suara itu, lalu dia bergegas menuju pintu, membukanya. “Mas Noval, bagaimana bisa tahu rumah Mira? Mengapa datang ke sini, Mas?” tanya Mira dengan wajah panik.“Aku tadi menelepon Reni, sahabatmu. Bertanya kepadanya tentang alamat rumahmu.”“Aku sangat khawatir denganmu Mira, apa kamu tidak apa-apa? Maafkan? Tadi mas hanya diam terpaku melihatmu diseret oleh Leo,” jawab Noval penuh kecemasan.“Masuklah mas, tidak enak kalau berbicara di depan pintu begini.”“Bapak, Ibu perkenalkan ini yang namanya Mas Noval,” kata Mira sambil berjalan menuju ke kursi tamu.Noval mencium punggung tangan Bapak dan Ibu Mira. Kemudian Bapak mempersilahkan Noval untuk duduk di kursi tamu.“Aku baik-baik saja mas, secara fisik,” jawab Mira, matanya berkaca-kaca.“Aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Apakah kamu masih mencintaiku, Mira? Kalau iya, aku akan berusaha membayar hutang bapakmu ke Leo. Perjodohan ini bisa dibatalkan, dan tentu saja kita bisa melanjutkan hubungan ini.” “Tidak bisa Noval. Apa kata orang di desa ini nanti. Kami dianggap tidak bisa memegang omongan sendiri, malu,” jawab Ibu penuh pengharapan agar Noval bisa memahami keadaan keluarga mereka saat ini.Noval terdiam, berpikir sebentar. kemudian sedikit menganggukkan kepalanya.“Maaf Nak Noval, sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertamu ke sini,” tutur Bapak memecahkan keheningan.“Mira sekarang dalam masa pengawasan.”“Oleh siapa Pak?” tanya Noval.“Oleh Leo,” tegas Ibu.Mira menundukkan kepalanya. Rasa jengkel, malu, sedih bercampur jadi satu. Air mata tanpa suaranya mengalir begitu deras. Bapak, Ibu dan Noval hanya bisa mengamatinya dengan wajah sedih tanpa bisa berkata-kata. Tiba-tiba, mereka dikagetkan dengan suara gemuruh riuk ramai banyak orang.“Permisi Pak, Bu!” Suara teriakan dari luar membuat mereka yang berada di dalam ruang tamu, merasa tidak nyaman. Bapak dan Ibu kemudian keluar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi?“Loh, Pak RT, Pak Agus, Pak Bambang. Ada apa ini ramai-ramai datang ke sini?” tanya Bapak penuh kecemasan.“Begini Pak, kami dengar dari warga, katanya ada yang berdua-duaan di rumah Bapak? Apa betul demikian? Karena Bapak sendiri tahu, di desa kita ini dilarang berdua-duaan, ditakutkan nanti terjadi hal yang tidak diinginkan,” ungkap Pak RT panjang lebar diikuti riuh suara warga yang berada di belakangnya.Bapak dan Ibu saling berpandangan, wajah mereka seketika berubah pucat pasi.“Siapa yang melapor seperti itu pak?” tanya Ibu memelas.Sesosok laki-laki gagah diikuti oleh banyak orang dibelakangnya, berjalan dengan sangat percaya diri, memecah kerumunan warga. “Aku yang melapor!” teriaknya.Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran