Share

Celine dan Caroline

Celine tiba di kafe yang telah dijanjikan tepat pada jam makan siang. Dia ingin makan sedikit sebelum menemui adik yang telah lama tak ditemuinya. Awalnya, Celine terkejut. Untuk pertama kalinya sang adik mengajak bertemu. Di lubuk hatinya, ia senang akhirnya ia memiliki kesempatan untuk berbaikan dengan adiknya itu.

Jika boleh jujur, Celine sangat merindukan masa-masa dimana ia menghabiskan waktu dengan sang adik. Dunia model sangat keras. Sebelum mengenal Helena, ia tidak mempunyai satupun teman wanita di industri ini. Saat itulah ia benar-benar merindukan Caroline.

Celine bukannya tidak tahu-menahu terkait masalah keluarga besar Lee yang sering memojokkan Caroline. Bukan juga ia tak mau membela sang adik. Ia merasa cemoohan dari orang lain itu tidak penting. Jika Caroline memahami nilai dari dirinya sendiri, ia tak perlu berkecil hati.

Wanita 27 tahun itu pun mengiris waffle yang baru saja dihidangkan pelayan. Manis. Dengan hati berbunga ia menghabiskan seporsi waffle dan strawberry milkshake yang ia pesan. Memang bukan menu makan siang terbaik, tapi akan lebih cepat menghabiskan waffle daripada sepiring nasi padang. Ia harus bertemu adiknya dengan penampilan yang baik, bukan? Tidak mungkin Celine menemui sang adik dengan daging rendang yang terselip di gigi.

Tidak lama setelah Celine menghabiskan wafflenya, Caroline memasuki kafe tersebut. Ia mencari-cari sosok sang supermodel. Celine pun melambaikan tangan tinggi-tinggi sambil tersenyum. Caroline berjalan menuju meja kakaknya. “Sudah lama menunggu?” tanya Caroline sambil menarik kursi untuk duduk.

“Itu tak penting.” Celine memperhatikan penampilan adiknya. Blouse merah muda dipadu jeans usang, serta rambut hitam bergelombang dengan poni membingkai wajah imutnya. Meski cantik, penampilan adiknya terlihat lusuh. “Jadi, apa yang kau butuhkan dariku? Tak biasanya kau memintaku untuk menemuimu.”

Caroline hanya tersenyum, ia melambaikan tangan pada seorang pelayan. “Espresso, double shot,” Caroline melanjutkan, “Jangan terlalu kaku seperti itu kak.” Celine membalas, “Jangan bertele-tele. Aku tak punya waktu banyak untuk meladenimu.” “Biarkan aku tinggal denganmu.”

Celine menatap gadis yang lebih tua tiga tahun darinya itu dengan tatapan tak percaya. “Apa?” “Kau tak salah dengar. Biarkan aku tinggal denganmu. Lagipula kau akan menikah dan pergi bulan madu,” jawab Caroline santai. Pelayan yang tadi kembali ke meja mereka dan menaruh pesanan Caroline. Dengan santai Caroline menyeruput kopinya.

“Sebenarnya apa yang kau inginkan dariku?” tanya Celine geram. Ia merasakan Caroline memiliki rencana lain. Meski Caroline berpenampilan selayaknya gadis polos, ia tak akan bisa mengelabui kakak kandungnya itu.

“Kau lihat sendiri, aku hidup miskin selama ini. Aku hanya ingin menikmati hidup nyaman yang kau miliki,” ujar Caroline sambil menaruh cangkir Espressonya. “Atau kau mau aku mempublikasikannya pada media? Bahwa sang supermodel menelantarkan adik kandungnya?”

Celine mengepalkan tangan. Pupus sudah impian untuk berbaikan dengan adiknya. Pernikahannya sudah di ujung, ia tidak mau diterpa gosip-gosip yang akan membuat pernikahannya diundur atau batal. Celine menghela napas dalam-dalam, berharap keputusannya ini benar.

“Baiklah. Aku akan mengabulkan permintaanmu,” Caroline tersenyum. Ia tidak menyangka kakaknya bisa setuju dengan semudah ini. “Tapi aku punya syarat,” Celine melanjutkan, “Jangan sekali-sekali kau mendekati tunanganku.”

Bukan tanpa sebab, Celine merasa Caroline tak lebih dari orang asing. Mereka berdua sudah tidak pernah tinggal bersama lebih dari 10 tahun. Jangankan tinggal bersama, saling menghubungi pun rasanya enggan. “Tentu saja, untuk apa aku mendekati tunanganmu?”

"Dan ada syarat lain," lanjut Celine. Caroline hanya tersenyum sembari menopang dagu. "Katakan saja apa persyaratanmu." Celine menjawab, "Jangan menggunakan namaku untuk kepentinganmu. Aku akan memberikan semua yang kau butuhkan, tapi jangan memanfaatkan namaku."

Sejenak, wajah Caroline tampak membeku. Namun ia dengan cepat mengontrol ekspresinya. "Ah, tentu saja. Aku mendapatkan hidup yang kuinginkan. Jadi untuk apa aku melakukan itu," jawab gadis berusia 24 tahun itu sambil tersenyum.

Celine tak menghiraukan sang adik dan menaruh beberapa lembar uang di atas meja. Setelah itu ia beranjak dari tempat duduknya. “Ikut aku,” ucap Celine dengan nada datar. Tanpa babibu Caroline berdiri dan berjalan mengikuti sang kakak.

***

Sedangkan di ujung jalan, di seberang kafe, sebuah mobil hitam sedang mengintai. Dua orang pria di dalamnya mengawasi gerak-gerik dua wanita yang sedang keluar kafe. "Siapa dia?" tanya sang pria yang tampak lebih tua.

"Entahlah, tapi bukankah mereka terlihat agak mirip satu sama lain?" pria yang lebih muda kembali melempar pertanyaan. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kamera. Beberapa kali ia membidik kameranya ke arah kedua wanita tadi.

Pria muda itu melanjutkan, "Haruskah kita lapor ke bos sekarang? Bukankah tidak biasanya wanita itu menemui seseorang di tempat seperti ini?" "Jangan sekarang," cegah pria yang lebih tua.

Memang benar, tak biasanya supermodel itu bertemu dengan seseorang di tempat yang tidak memiliki penjagaan yang baik. "Kau, kirim foto gadis muda tadi ke markas. Suruh mereka untuk mencari tahu tentang gadis itu." Pria muda itu mengangguk.

Kedua wanita yang diintai tadi memasuki sebuah mobil dan pergi. Kedua pria dalam mobil itu pun mengikuti. "Sepertinya ini jalan menuju ke butik temannya." Priatua berdecih, kenapa sih ia harus bekerja dengan orang bawel seperti ini, pikirnya. "Jangan berisik dan lakukan saja pekerjaanmu."

Pria muda mengagguk lesu dan mengeluarkan tabletnya, "Fotonya dikirim ke markas?" Dahi pria tua itu berkerut, jengkel sekali tampaknya. "Iya, bodoh. Kirim ke markas dan suruh mereka cari tahu siapa gadis itu! Sekali lagi kau bertanya, kutendang kau keluar," ancamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status