Share

TUKANG CILOK TERNYATA INTEL
TUKANG CILOK TERNYATA INTEL
Auteur: ananda zhia

Tukang 1

Auteur: ananda zhia
last update Dernière mise à jour: 2025-07-01 13:56:59

"Bu, apa bedanya charger hp dengan bu guru?" tanya penjual cilok itu sambil menyiram kuah panas ke ciloknya di dalam tirisan baskom.

"Hm, beda lah, Mas! Charger hp kan benda. Aku manusia," ujar Aluna sambil menatap ke arah cilok di hadapan nya yang mengepul setelah tersiram kuah.

Penjual cilok itu tersenyum. "Hm, salah! Kalau charger hp kan ada tipe C, kalau bu Guru, tipe aku!" ujar penjual cilok itu tertawa.

Aluna melipat tangan di dada, menahan senyum. “Halah, Mas. Ngerayu mulu daritadi. Saya jadi takut nyicip, lho.”

Penjual cilok gondrong itu terkekeh sambil menggoyang-goyangkan baskom isi cilok rebusnya. Rambutnya panjang dan diikat ke belakang, dengan celemek batik yang penuh noda saus dan kecap. Tapi senyumnya... terlalu percaya diri untuk ukuran tukang cilok.

“Saya serius. Ini cilok warisan leluhur. Dulu kakek saya waktu jualan cilok bisa bikin nenek saya yang jadi kembang desa jatuh cinta dan akhirnya mereka menikah!

Kalau bu Guru jadi pelanggan saya, dijamin jatuh cinta pada saya!" seru penjual cilok itu bersemangat.

Aluna mengambil tu5ukan cilok dan mencelupkannya ke dalam saus kacang yang kental.

“Hmm... enak sih. Tapi belum bikin saya jatuh cinta,” katanya sambil mengunyah.

“Belum? Coba seminggu aja, Bu Guru. Biar nanti ketahuan siapa yang bener-bener nempel di hati, cilok saya atau mantan Ibu yang ghosting kemarin itu.”

Aluna melotot. “Lho, kok tahu soal mantan saya?”

Penjual cilok itu menjentikkan jari. “Int3lijen cilok, Bu. Kami bukan cuma jualan rasa, tapi juga informasi.”

Aluna hanya menggeleng gelengkan k3p4lanya sambil tersenyum kecil. Malas menanggapi lelucon tukang cilok. Tapi yang pasti cilok penjual baru itu sangat lezat.

Sejak hari itu, Aluna jadi pelanggan tetap. Setiap pulang mengajar di SD depan kosnya, dia menyempatkan mampir ke gerobak cilok gondrong. Entah karena ciloknya memang enak atau karena penjualnya yang terlalu kocak untuk diabaikan.

Namanya mengaku Mas Haris. Tapi anak-anak SD lebih suka memanggilnya “Mas Gondrong.” Dia suka melucu, menggoda semua guru perempuan, tapi entah kenapa cuma sama Aluna dia selalu manggil “Bu Guru Cintaku.”

Kadang Aluna kesel, kadang geli sendiri. Pernah suatu hari, Haris menyanyi keras-keras di depan gerobaknya:

“Bu Guru manis senyumnya, bikin cilok saya lumer...

Kalau Bu Guru nyengir, hati saya keb4kar kayak cabai rawit lima biji...”

Anak-anak SD ketawa ngakak, guru-guru lain melongo, sementara Aluna nyaris sembunyi ke balik pagar sekolah saking malunya.

Tapi dia tetap beli cilok sore itu.

Sebulan setelah kehadiran Haris di depan SD, lingkungan kos Aluna mendadak heboh.

Siang itu, suara sirene p0l1si meraung. Dua mobil p0lisi berhenti tepat di depan rumah kos sebelah, milik Mbak Rani, tetangga kos Aluna. P0lisi berseragam turun, membawa b0rg0l dan kamera. Warga sekitar berkerumun, para ibu-ibu membawa kursi plastik dan cemilan seperti sedang nonton sinetron live.

“Eh, itu kan Mbak Rani?”

“Lho, katanya kerja di toko roti?”

“Katanya punya bisnis online? Lah ini ditangkep p0lisi?”

Aluna berdiri di depan pagar kosnya, mem3luk buku catatan sambil melihat ke arah rumah sebelah. Di tengah kerumunan dan lampu biru polisi yang berkedip, dia nyaris tidak menyadari seseorang berdiri tak jauh darinya.

Gerobak cilok.

Masih di tempat biasa. Tapi Haris tidak menjajakan cilok.

Dia berdiri tegak, tangan di saku celana, menatap ke arah Aluna dengan senyum tipis.

Lalu, dia mengedipkan sebelah mata.

Aluna mengernyit.

Haris berbalik, mengambil helm hitam dari gerobaknya, lalu berjalan cepat menuju arah belakang kos. Gerobaknya ditinggal begitu saja.

Beberapa detik kemudian, seorang pria tampan berjas kulit muncul dari arah yang sama, membuka papan nama bertuliskan “Haris Cilok Mantul” dan mengangkatnya masuk ke dalam mobil hitam.

“Eh, itu siapa?”

“Mana Mas Gondrong?”

“Lho, gerobaknya diangkat, kenapa tuh?”

Aluna mundur selangkah, bingung. Jantungnya berdetak cepat. Semua terasa aneh. Terlalu rapi. Terlalu cepat.

Polisi mulai membawa Mbak Rani ke mobil. Perempuan itu menangis, sambil meronta. “Saya cuma dititipin barang! Saya nggak tahu isinya apaa...”

Dan saat itu, dari arah mobil polisi, Haris menurunkan kaca jendela sekilas. Bukan dengan celemek batik dan sendok cilok di tangan, tapi dengan rompi hitam.

Aluna membeku.

“Oh, jangan bilang dia...” gumamnya pelan.

Haris menatap ke arah Aluna sekilas. Kali ini tak ada senyum, tak ada rayuan. Wajahnya serius. Matanya t4jam.

Tapi sesaat sebelum mobilnya menghilang, dia sempat menoleh kembali dan—untuk terakhir kalinya sore itu—mengangkat alis dengan gaya usil.

Next?

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (1)
goodnovel comment avatar
solehatun rayhan
assalamualaikum Thor aku pendatang baru
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 32 (Tamat)

    Kilau matahari sore menimpa dedaunan flamboyan di taman tengah Rumah Sakit Kartika, menciptakan bayang-bayang bergerigi yang menari di atas bangku kayu panjang. Di sanalah Aluna duduk, jemarinya putih karena terlalu erat menggenggam ponsel yang tak kunjung memberi dengung kehidupan. Sejak fajar ia menekan nomor Haris—dua puluh… mungkin tiga puluh kali—namun layar selalu memantul pesan sama: nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.Ia mengecup punggung tangan, mencoba menahan getar, bukan karena marah, melainkan takut. Apa Haris berubah pikiran? Apa semua janji di telepon malam itu sekadar angin? Air mata panas menganak sungai, menetes satu-satu ke rok plisket warna lilac.Sebuah sentuhan lembut jatuh di pundaknya.Aluna tersentak. Ia mendongak dan berhadapan dengan wajah pucat Lita—gaun rumah sakit masih membalut tubuh kurusnya, botol infus bergoyang di tiang besi yang diseret pelan. “Mbak… kenapa nangis?” Suara Lita serak, setipis benang.Aluna buru-buru menyeka pipi. “Ah, nggak apa-

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 31

    Benang hujan masih menggantung tipis-tipis di udara Samarinda ketika dua lampu tembak polisi memecah gulita jalan tanah di pinggir Sungai Mahakam. Bau kayu basah dan getah damar menguar, menempel di kulit seperti keringat kedua. Dari balik kabin Hilux hitam, Ragil mencondongkan tubuh—punggungnya dirapatkan ke dashboard—sementara Haris, berbalut rompi antipeluru yang baru saja dipinjam dari Polresta, memeriksa senapan SS2-V4 dengan gerakan hafal.Di radio genggam, suara Kompol Irawan terdengar parau: “Tim Alfa, 600 meter dari titik, tunggu aba-aba. Target di dalam rumah panggung hijau atap seng. Posisi dua orang dewasa bersenjata. Lampu belakang menyala, indikator ada genset tetap hidup.”Dada Haris berdegup keras namun teratur—ritme yang sama setiap kali ia melangkah ke wilayah abu-abu di antara hidup dan mati. Perutnya masih terasa perih bekas makan malam yang terburu-buru, dua roti tawar dingin yang dipaksa masuk demi operasi malam ini.Ragil melirik jam di pergelangan tangan. 23:11

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 30

    Hujan baru saja reda ketika Lita masuk ke dalam ruang operasi. Aroma tanah basah bercampur udara antiseptik menyelimuti lorong IGD yang sunyi. Langkah kaki Haris menggema perlahan saat ia berjalan menuju kursi tunggu, membawa bayang-bayang luka dan peluru yang nyaris merenggut nyawa Lita.Haris meraih ponsel dan menelepon ke nomor yang sudah sangat dihafalnya, nomor Aluna. "Assalamualaikum, Mas! Ada apa telepon malam malam begini?" tanya Aluna. Suaranya terdengar panik. Dia perlahan menyiapkan hati jika sewaktu waktu mendengar kabar yang kurang menyenangkan. "Waalaikumsalam, kamu belum tidur? Sekarang sudah lewat tengah malam," sahut Haris. Ada rasa rindu dalam nada suaranya, rindu sekaligus lelah tapi tetap harus profesional."Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku kemana - mana, Mas? Apa ada kabar dari Lita?" tanya Aluna to the poin."Ya ada, Lita sudah ditemukan. Kamu mau mendengar berita baik atau buruknya lebih dulu?" tanya Haris pelan.Aluna berpikir sejenak. "Berita buru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 29

    “Aku nggak tahu apa-apa! Kalian salah orang!”Ratna meraung sambil menggeliat di kursi interogasi. Kakinya diperban dan masih berlumur darah segar. Tangannya diborgol ke meja besi dingin. Nafasnya memburu, tapi matanya penuh benci saat menatap Ragil yang berdiri di seberangnya.“Kami salah orang?” Ragil mengangkat alis. Ia mencondongkan tubuh, meletakkan tumpukan foto di meja. Foto orang orang yang hilang. Foto Dina saat 'diculik' dari rumah sakit yang diperoleh dari cctv lorong rumah sakit. Foto Rere—Ratna sendiri—bersama perempuan lain di bandara.“Kamu pikir kami bodoh?” suaranya tajam. “Kamu pikir semua orang yang kamu jual ke Kamboja itu nggak punya orang tua? Kamu pikir semuanya bisa kamu kubur dengan paspor palsu dan nama baru?”Ratna mendengus. “Aku nggak nyulik siapa-siapa. Mereka semua ikut sendiri. Mereka pengangguran! Mereka minta kerja! Aku bantu.”“Kerja?” Ragil mengetuk foto Dina yang ditemukan meninggal dengan sebagian besar organ tubuhnya yang hilang. “Ini hasil dari

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 28

    Beberapa saat sebelumnya, Haris memelototi layar laptopnya dengan mata merah dan kantung mata membengkak. Jam digital di sudut kanan bawah menunjukkan pukul 02.43 dini hari. Matanya terpaku pada layar Facebook—grup demi grup pencari kerja yang dipenuhi postingan lowongan kerja luar negeri dengan iming-iming gaji menggiurkan dan foto-foto perempuan cantik yang terasa terlalu sempurna untuk jadi nyata.Di sampingnya, Ragil menyesap kopi hitam dari cangkir kertas. “Kamu yakin ini jalurnya?” tanyanya sambil melirik layar.Haris tak menjawab langsung. Ia mengetik cepat, menyamar dengan akun palsu bernama “Rama Syahputra”—lengkap dengan foto profil seorang pria parlente yang ia edit dari foto model luar negeri. Di bio-nya tertulis: “Fresh graduate. Siap kerja. Tertarik ke luar negeri.”“Kalau Rendi dan Rara itu mainnya online, pasti ada jejak digital. Bahkan setipis apapun. Kita tinggal sabar dan konsisten,” ucap Haris lirih.Ragil mengangguk, meski keraguan jelas terpampang di wajahnya.S

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 27

    Sementara itu, di tempat lain, Lita perlahan membuka mata. Kepalanya berat, tubuhnya lemas. Ruangan di sekelilingnya tampak asing—gelap, hanya cahaya lampu redup di atas kepala. Bau amis dan pengap menyeruak dari setiap sudut. Dindingnya dari triplek tipis, dan ia bisa mendengar suara pria tertawa dari ruangan sebelah.Tubuhnya terbaring di atas matras tipis. Tangan kanannya diborgol ke tiang ranjang besi.“Selamat bangun, sayang.”Lita menoleh pelan. Rendi duduk di kursi kayu, menatapnya dengan wajah tenang namun mata yang tajam seperti silet.“Apa… ini… di mana aku…?” gumam Lita.“Kita udah jauh dari rumah petak itu. Di gudang tempat penghubung biasa kumpul. Kamu tenang aja. Sebentar lagi, kita akan ‘berangkat’ ke tempat yang lebih baik. Kamboja.”Lita mendadak sadar. Nafasnya tercekat.“Kamu gila… Kamu jual aku? Kamu suami aku, mas Rendi!”“Kamu ngintip pembicaraan yang bukan urusanmu. Kamu kirim pesan suara, padahal aku udah peringatkan. Maaf, Ta. Ini bukan soal cinta lagi. Ini so

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status