Share

Tukang 2

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-07-01 13:57:28

Langit sore masih menyisakan merah jingga saat Aluna masuk ke dalam kamar kosnya. Suara pintu kayu yang mengeluh perlahan saat ditutup terasa berbeda—terdengar lebih berat, lebih sunyi. Seolah dinding kamar ini tahu bahwa dunia di luar baru saja berubah.

Tas ranselnya diletakkan sembarangan ke atas kasur. Seragam gurunya terasa menempel lembap, tapi bukan karena keringat—melainkan ketegangan yang belum juga menguap.

Di luar jendela, kerumunan warga yang tadi ramai mulai bubar. Hanya tersisa satu dua suara ibu-ibu yang masih bergosip dari kejauhan.

Aluna menatap tembok putih kamarnya, matanya kosong. Foto-foto kecil yang menempel di papan gabus—kebersamaan dengan teman-teman kos, acara ulang tahun Dewi tahun lalu, selfie bersama Rani saat buka puasa bersama—semuanya terasa seperti potongan dari hidup orang lain.

"Rani... ditangkap," gumamnya, nyaris tak percaya. Wanita itu, yang suka ngasih tips skincare dan sering pinjam blender buat bikin jus detoks... ternyata dijemput p0l1si. Tangannya dib0rgol. Wajahnya bas4h air mata.

Suara pintu diketuk dua kali. Cepat. Ringan.

Aluna berbalik. Pintu terbuka sedikit, dan sosok mungil dengan rambut dikuncir dua masuk tergesa. Dina.

“Lun...” katanya sambil mend3s4h. “Kamu lihat tadi?”

Aluna mengangguk pelan. “Lihat.”

Dina menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya. “Aku nggak nyangka... Rani. Masa sih dia jualan 0b4t?”

Aluna duduk di tepi kasur, mer3m4s-r3m4s ujung kerudungnya. “Dia bahkan sering ikut pengajian di musholla belakang.”

“Ya itu, makanya,” gumam Dina sambil menaruh ponselnya di meja. “Kita tuh nggak tahu siapa yang kita ajak ngobrol setiap hari, Lun. Dunia sekarang g1l4. Hati-hati deh. Jangan gampang percaya sama orang.”

Tatapan Aluna men4jam, menelusup pelan ke wajah Dina. Kata-kata itu seperti menyelinap ke dalam da da, membelah keraguan. Tapi ia tak menjawab. Hanya mengangguk sekali.

Dina duduk di lantai, menyender ke kasur Aluna. “Aku tuh mikir, jangan-jangan... ya jangan-jangan ada yang ngawasin kita juga. Jangan sampai ada yang bawa-bawa nama kita.”

Aluna mencibir pelan. “Kamu kayak nyalahin Rani sepenuhnya. Gimana kalau dia cuma dijebak?”

Dina menghela napas, lalu berdiri. “Ya, semoga aja begitu. Tapi tetap, hati-hati, Lun. Teman tuh nggak semua kelihatan aslinya.”

Setelah Dina keluar, kamar Aluna kembali sepi. Tapi pikirannya gaduh. Wajah Haris, dengan senyum jail dan celemek batik kotor, berkelebat di benaknya. Lalu berubah menjadi Haris yang berdiri di balik jendela mobil, dengan rompi intel dan tatapan t4j4m.

Dan Aluna mulai bertanya-tanya...

Siapa sebenarnya yang harus dia percayai?

---

Pagi harinya, suara ayam tetangga bersahutan dengan bel sepeda anak SD. Jalanan depan sekolah sudah ramai. Guru-guru masuk ke ruang guru sambil mengobrol soal peristiwa kemarin.

Aluna melangkah pelan, pikirannya masih dibalut bayangan malam tadi.

Dan di sanalah dia. Seolah tak terjadi apa-apa.

Haris. Di depan gerobaknya.

Masih dengan rambut gondrong terikat. Masih dengan celemek batik yang sama. Masih dengan baskom besar berisi cilok rebus dan saus kacang beruap.

“Mari mari... cilok cinta untuk anak-anak cerdas!” serunya sambil menggoyang-goyangkan botol saus. “Bu Guru Cintaku juga boleh, diskon khusus hari Jumat!”

Aluna menahan napas. Dia tidak tahu harus kesal, bingung, atau malah lega. Langkahnya melambat saat melewati gerobak itu.

Dan tentu saja, Haris melihatnya.

“Bu Guru Cintaku!” sapanya dengan senyum lebar. “Aku kirain kamu udah pindah planet dari tadi nggak keliatan!”

Aluna mendengus pelan, mengamati Haris dengan sungguh - sungguh.

'Benarkah apa yang kulihat kemarin saat mas Haris memakai rompi hitam seperti p0l1si?' batin Aluna sambil mendekat ke arah baskom cilok yang menguarkan aroma gurih dan membuatnya lapar. Beberapa anak yang sudah selesai dilayani, tersenyum sejenak pada Aluna lalu pergi sambil menenteng plastik berisi cilok.

"Bu guru Cinta, kok melamun? Disapa muridnya diam saja? Sedang memikirkan c1c1lan apa memikirkan saya?" seloroh Haris. Aluna tersenyum kecut.

"Cilok sepuluh ribu. Campur antara tahu, cilok, siomay, Mas. Bumbunya seperti biasa," pinta Aluna.

Haris mendekat sedikit, menunduk, lalu berbisik. “Bu, bu guru pantun bukan sih?" tanya Haris.

Aluna mengerut kan dahinya.

"Hah, bukanlah! Saya manusia. Bukan pantun, Mas."

"Oh, saya kira pantun. Soalnya cakep sih," ujar Haris tertawa. Tangannya cekatan melayani permintaan cilok Aluna.

"Dih, Mas bisa saja." Aluna tertawa.

"Beneran loh. Ngomong ngomong, bu guru, make upnya pakai spidol kah?" tanya Haris sambil menuang bumbu cilok.

Aluna tertawa dan me ra ba pipinya. "Enggak dong. Memangnya bisa make up dengan spidol? Apa wajah saya aneh sehingga disangka make up dengan spidol?" tanya Aluna.

"Oh, saya kira make upnya dengan spidol. Karena cantiknya permanen," ujar Haris tersenyum sambil menyerahkan ciloknya pada Aluna.

"Nggombal mulu, Mas. Ini u4ngnya," ujar Aluna sambil menyerahkan u4ng sepuluh r1bu dari saku baju.

"Nggak usah, Bu guru. Kan saya bilang gratis. Bayarnya pakai nomor w******p saja," ujar Haris dengan mimik jenaka.

Aluna mendengus, tapi matanya melembut. Ada sesuatu dari nada suara Haris yang membuatnya sulit benar-benar marah.

"Hm, saya nggak bisa memberikan nomor w******p pada sembarang orang," ujar Aluna terus terang.

Haris menyerahkan tu5uk4n cilok. “Kalau begitu izinin saya... main ke kos.”

Aluna membelalak. “Hah?”

“Ya, buat kenalan sama temen kos Bu Guru yang belum saya kenal. Siapa tahu bisa nambah pelanggan.”

Aluna terdiam. J4ntungnya berdebar. Ini hanya rayuan konyol atau...

Atau misi baru?

Senyum Haris semakin lebar. “Gimana, Bu Guru Cintaku?”

Sebelum Aluna sempat menjawab, suara panggilan dari ruang guru terdengar.

“Bu Aluna, ditunggu kepala sekolah!”

Dia buru-buru melangkah pergi, menoleh sekali lagi ke belakang.

Dan Haris masih berdiri di sana, tersenyum manis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 8

    Cahaya lampu dapur yang temaram memantul samar di lantai keramik. Aluna duduk mematung, menatap bungkus plastik kecil yang terbuka sebagian di bawah meja. Serbuk putih di dalamnya tampak seperti bedak halus, tapi hatinya menolak percaya itu hal biasa. Suasana malam yang tadinya tenang berubah menegang, seperti udara yang membeku menjelang badai. Aluna berpikir cepat. Dia nyaris menunduk dan tangannya hampir terulur untuk menyentuh benda itu— "Aluna, sedang apa kamu?" Suara itu membuatnya tersentak. Aluna menoleh cepat. Dina berdiri di ambang pintu dapur, bayangan tvb vhnya memanjang karena cahaya dari ruang tengah. Gadis itu mengenakan piyama motif boneka, tampak berantakan seperti baru bangun tidur. "Aku... haus," jawab Aluna cepat, sambil berdiri dan meraih ceret air putih di atas meja. Dina tidak mengatakan apa-apa. Matanya sekilas melirik lantai, lalu kembali menatap Aluna. Tanpa senyum. Aluna buru-buru menuang air ke gelas dan meneguknya, lalu bergegas kembali ke kamarn

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 7

    Suara musik akustik masih mengalun dari pengeras suara di kafe itu. Aroma steak wagyu memenuhi udara, menggoda siapa pun yang lewat. Haris menatap Aluna dengan mata yang kini lebih serius. Tidak lagi dibalut canda. “Kamu yakin mau tahu jawabanku, Bu Guru?” tanyanya pelan. Aluna menegakkan tubuh. “Aku sudah lihat kamu dekat mobil polisi saat Rani ditangkap. Aku nggak bisa pura-pura nggak lihat.” Tatapan Haris tidak bergeming. Ia menarik napas, lalu perlahan bersandar ke kursi. “Kalau aku bilang... pekerjaanku memang punya pengaruh ke kehidupanmu, apa kamu tetap mau deket sama aku?” Aluna tidak langsung menjawab. Matanya mencari jawaban di wajah Haris, lalu akhirnya ia mengangguk pelan. “Iya. Tapi kalau pekerjaan itu negatif, atau… kamu terlibat dalam hal yang ilegal, aku nggak akan sanggup. Aku nggak mau dekat sama orang yang main belakang, apalagi main obat-obatan.” Haris tersenyum tipis, seakan sudah menduga. “Aku orang pertama yang paling benci sama barang haram itu, bu Guru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 6

    Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan di genangan air. Di seberang sana, tempat karaoke dengan lampu neonnya yang mencolok tampak hidup seperti sarang rahasia para pemuja malam. Klik. Aluna menurunkan ponsel, wajahnya tegang. Suara lalu lintas samar-samar terdengar, tapi semuanya seolah meredup oleh denyut keras di dadanya. Sebuah sentuhan ringan di bahunya menyadarkan Aluna dari kebekuan. “Eh, kenapa berhenti?” Haris mencondongkan tubuh, menatap wajah Aluna dari samping. “Dan… kamu baru aja motret apa barusan?” Aluna menelan ludah. “Mas… itu…” Ia mengangkat dagunya, menunjuk dengan lirih ke arah tempat karaoke. “Aku lihat mas Rendi. Calon suami Lita. Dia masuk ke sana… bareng cewek. Bajunya... minim banget.” Haris mengikuti arah pandang Aluna. Sebuah senyum kecil yang tidak menyenangkan muncul di sudut bibirnya, tapi menghilang secepat ia muncul. Ia menatap sejenak ke arah gedung karaoke, lalu berbalik menatap Aluna. “Ayo masuk dulu. Makan. Nanti kita bahas yang it

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 5

    Pintu pagar besi itu terbuka dengan dentingan kasar, seperti alarm yang merobek ketenangan malam. Langkah tergesa menghentak bebatuan kecil di depan halaman kos. Suara hak tinggi menjejak lantai semen—cepat, marah, pongah.“ALUNA! KELUAR KAMU!”Aluna berdiri dari kursinya, wajahnya kaku. Di ambang pintu, tubuhnya setengah tersembunyi di balik tirai. Haris ikut berdiri, bersandar santai pada kusen jendela dengan ekspresi datar. Hujan yang tadi rintik, kini reda, meninggalkan aroma tanah basah dan ketegangan yang menggantung di udara.Lita muncul dengan gaun terusan merah mencolok, rambut tergerai dan wajah berminyak karena tergesa. Begitu matanya menangkap sosok Haris yang berdiri di ruang tamu, langkahnya melambat.Matanya membesar. Pandangannya naik-turun mengamati Haris dari kepala sampai sepatu sneakers-nya.“Dia... siapa?” gumam Lita lirih, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Mbak... laki-laki ini... ngapain di sini?”Aluna mengangkat alis. “Seharusnya aku yang tanya, Lita. Kenap

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 4

    Langit sore menyisakan semburat oranye di balik awan tipis, sementara daun-daun trembesi di pinggir jalan bergoyang pelan diterpa angin. Suasana lengang itu pecah oleh suara gerobak cilok yang bergeser pelan—berhenti di depan seorang gadis yang berdiri dengan tangan terlipat di d4d4.“Aku ulangi, Mas,” kata Aluna sambil menatap lurus, “kamu boleh ke kosku, tapi dengan satu syarat.”Haris, yang masih memegang tv5uk cilok di tangan, memiringkan kepala. “Syarat? Ini bukan drama Korea, kan?”“Pura-pura jadi pacarku.”Haris seolah membeku. Sepotong cilok nyaris jatuh dari tv5uknya.“Pacar? Aku?” Ia menunjuk d4danya sendiri. “Yang rambutnya kayak guling habis jatuh ke selokan ini?”Aluna mengangguk pelan, matanya masih menatap serius. “Ayahku... dia mau jodohin aku sama orang yang nggak aku kenal. Anak relasinya. Sementara aku... aku cuma pengen hidupku sendiri. Pilihanku sendiri.”Haris masih menatapnya, ekspresinya mulai berubah. Dari bingung, menjadi sedikit iba.“Mas Haris, kamu tahu ng

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 3

    Langkah kaki Aluna terasa berat menyusuri lorong sekolah yang lengang. Suara langkahnya bergaung, menciptakan gema yang aneh, seolah-olah sekolah ini sedang menahan napas menantikan sesuatu. Dari kejauhan, pintu bertuliskan Kepala Sekolah tampak tertutup rapat, tapi Aluna tahu ini pertama kalinya kepala sekolah SD tempatnya bekerja memanggil nya selama 2 bulan bekerja di sana. Tok. Tok."Masuk," sahut suara berat dari dalam.Dengan napas yang ditahan, Aluna membuka pintu. Di balik meja besar dari kayu jati itu duduk Pak Bambang—kepala sekolah SMA Angkasa sekaligus… ayah kandungnya. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, wajah keras namun menyimpan sesuatu yang tak pernah tuntas: rasa bersalah.Aluna berdiri kaku.“Duduk,” perintah Pak Bambang tanpa menatap. Ia sibuk membolak-balik map berwarna merah di tangannya. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”Aluna menggeleng. “Tidak, Pak.”Pak Bambang menghela napas berat. “Kos tempat kamu tinggal… berurusan den

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status