Share

Tukang 3

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-01 13:57:56

Langkah kaki Aluna terasa berat menyusuri lorong sekolah yang lengang. Suara langkahnya bergaung, menciptakan gema yang aneh, seolah-olah sekolah ini sedang menahan napas menantikan sesuatu. Dari kejauhan, pintu bertuliskan Kepala Sekolah tampak tertutup rapat, tapi Aluna tahu ini pertama kalinya kepala sekolah SD tempatnya bekerja memanggil nya selama 2 bulan bekerja di sana.

Tok. Tok.

"Masuk," sahut suara berat dari dalam.

Dengan napas yang ditahan, Aluna membuka pintu. Di balik meja besar dari kayu jati itu duduk Pak Bambang—kepala sekolah SMA Angkasa sekaligus… ayah kandungnya. Seorang pria paruh baya dengan rambut mulai memutih di pelipis, wajah keras namun menyimpan sesuatu yang tak pernah tuntas: rasa bersalah.

Aluna berdiri kaku.

“Duduk,” perintah Pak Bambang tanpa menatap. Ia sibuk membolak-balik map berwarna merah di tangannya. “Kamu tahu kenapa kamu dipanggil ke sini?”

Aluna menggeleng. “Tidak, Pak.”

Pak Bambang menghela napas berat. “Kos tempat kamu tinggal… berurusan dengan p0l1si.”

Aluna mengangkat alis.

“Salah satu teman kosmu, Rani, tertangkap karena kasus n4r k0 ba.” Suara Pak Bambang terdengar tajam. “Kamu beruntung tidak ikut diseret.”

Aluna terdiam, berusaha menahan diri untuk tidak memprotes ucapan sang ayah.

“Kamu harus pindah kos. Lebih baik… pulang ke rumah.”

Seketika itu juga, d4d4 Aluna terasa sesak. Pulang? Ke rumah itu? Ke rumah yang kini bukan lagi miliknya sejak ada perempuan lain yang menempati posisi ibunya?

“Aku… nggak bisa,” ucap Aluna perlahan.

Pak Bambang akhirnya menatapnya langsung. Tatapannya men u 5uk. “Kenapa? Apa kamu lebih memilih tinggal di lingkungan rusak daripada di rumah sendiri?”

“Rumah itu… bukan rumahku lagi, Pak.” Suara Aluna bergetar. “Ada Tante Rita… dan Lita.”

Pak Bambang terdiam. Rahang kirinya menegang.

“Lita sudah merebut calon suamiku. Dan Tante Rita— Ibu tiriku itu, sejak awal tak pernah benar-benar menerima aku.”

“Aluna—” suara Pak Bambang meninggi, tapi ia buru-buru menenangkan diri. Ia memejamkan mata sejenak, menahan sesuatu yang nyaris meledak.

“Aku hanya ingin sendiri, Pak. Menjalani hidupku dengan caraku.”

Pak Bambang bersandar di kursi. Suasana menjadi hening sejenak sebelum ia berbicara lagi, kali ini dengan suara yang lebih pelan tapi menusuk.

“Satu hal lagi.”

Aluna menatapnya.

“Jangan terlalu dekat dengan tukang cilok itu.”

Aluna membeku.

Pak Bambang mencondongkan tubvh. “Aku tahu dia sering nongkrong di pagar sekolah, pura-pura jualan. Kamu pikir aku nggak tahu? Dia bukan orang yang pantas untukmu.”

“Tapi Mas Haris—”

“Sudah.” Suara Pak Bambang memotong taja m. “Dia bukan anak yang baik. Bukan dari keluarga yang kaya. Rambutnya gondrong dan matanya jelalatan. Tidak ada masa depan untukmu dengan orang seperti itu. Lebih baik, kamu pulang dan ikut mempersiapkan pernikahan Lita dua minggu lagi.”

Suasana hening, tangan Aluna terkepal, tapi dia berusaha untuk tetap diam.

"Besok pulang dan bapak akan menjodohkan mu dengan lelaki pilihan bapak!" instruksi Pak Bambang tegas.

Aluna menunduk. Kata-kata itu menyayat perasaannya lebih dalam daripada yang bisa ia bayangkan.

“Keluar.”

“Pak...”

“Keluar sekarang, Aluna!”

Tanpa berkata lagi, Aluna berdiri. Ia mengatupkan rahangnya, menahan air mata yang sudah menggantung di pelupuk. Pintu itu terasa sangat berat saat ia membukanya. Tapi ia tahu, yang lebih berat adalah rasa kecewa dalam hatinya. Pada ayahnya. Pada hidupnya.

**

Langit sudah mulai berwarna jingga saat Aluna melangkah keluar dari gerbang sekolah. Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Hatinya penuh dengan rasa tak menentu. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sebuah gerobak cilok berdiri di bawah pohon besar.

“Aluna!” seru seseorang.

Haris melambai dari balik gerobaknya. Ia mengenakan kaos abu-abu pudar dan celana jeans robek di lutut. Wajahnya seperti biasa: ceria, santai, dan penuh semangat hidup yang tak bisa dibeli di supermarket mana pun. Rambut panjang nya dicepol rapi ke atas.

“Baru keluar dari ruang kepala sekolah ya? Ditegur karena sering bolos?”

Aluna tertawa kecil, meski tawanya pahit. “Enggak. Masalah lain.”

Haris menyajikan seporsi cilok dan menyodorkannya. “Gratis hari ini, buat gadis cantik yang kelihatan habis dimarahi.”

Aluna menerima cilok itu. “Makasih, Mas.”

Setelah melayani satu dua pembeli lain, Haris mendekat lagi. “Eh, boleh main ke kosanmu lagi nggak? Aku bisa bantu apapun masalah Bu Guru! Mungkin bu Guru sedang butuh teman curhat, atau butuh dv1t?" tanya Haris dengan tawanya yang renyah.

Aluna terdiam. Matanya menerawang ke arah langit. Di balik senja yang indah, pikirannya berputar cepat. Ia teringat kata-kata Pak Bambang. Tentang Haris. Tentang rumah.

Dan di saat itulah, sebuah ide muncul di k3palanya.

Haris bisa datang ke kos… asalkan…

Ia menoleh, matanya berbinar aneh.

“Mas Haris…”

“Ya?”

“Kamu boleh ke kosku. Tapi dengan satu syarat.”

“Apa?” Haris mengangkat alis, sedikit gugup.

Aluna mendekat, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Suaranya pelan, nyaris berbisik.

“Mas harus pura-pura jadi pacarku.”

Haris melongo. “Hah?”

“Sampai aku bisa bikin ayahku percaya kalau aku bisa pilih masa depanku sendiri,” lanjut Aluna, sorot matanya t4jam.

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 32 (Tamat)

    Kilau matahari sore menimpa dedaunan flamboyan di taman tengah Rumah Sakit Kartika, menciptakan bayang-bayang bergerigi yang menari di atas bangku kayu panjang. Di sanalah Aluna duduk, jemarinya putih karena terlalu erat menggenggam ponsel yang tak kunjung memberi dengung kehidupan. Sejak fajar ia menekan nomor Haris—dua puluh… mungkin tiga puluh kali—namun layar selalu memantul pesan sama: nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.Ia mengecup punggung tangan, mencoba menahan getar, bukan karena marah, melainkan takut. Apa Haris berubah pikiran? Apa semua janji di telepon malam itu sekadar angin? Air mata panas menganak sungai, menetes satu-satu ke rok plisket warna lilac.Sebuah sentuhan lembut jatuh di pundaknya.Aluna tersentak. Ia mendongak dan berhadapan dengan wajah pucat Lita—gaun rumah sakit masih membalut tubuh kurusnya, botol infus bergoyang di tiang besi yang diseret pelan. “Mbak… kenapa nangis?” Suara Lita serak, setipis benang.Aluna buru-buru menyeka pipi. “Ah, nggak apa-

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 31

    Benang hujan masih menggantung tipis-tipis di udara Samarinda ketika dua lampu tembak polisi memecah gulita jalan tanah di pinggir Sungai Mahakam. Bau kayu basah dan getah damar menguar, menempel di kulit seperti keringat kedua. Dari balik kabin Hilux hitam, Ragil mencondongkan tubuh—punggungnya dirapatkan ke dashboard—sementara Haris, berbalut rompi antipeluru yang baru saja dipinjam dari Polresta, memeriksa senapan SS2-V4 dengan gerakan hafal.Di radio genggam, suara Kompol Irawan terdengar parau: “Tim Alfa, 600 meter dari titik, tunggu aba-aba. Target di dalam rumah panggung hijau atap seng. Posisi dua orang dewasa bersenjata. Lampu belakang menyala, indikator ada genset tetap hidup.”Dada Haris berdegup keras namun teratur—ritme yang sama setiap kali ia melangkah ke wilayah abu-abu di antara hidup dan mati. Perutnya masih terasa perih bekas makan malam yang terburu-buru, dua roti tawar dingin yang dipaksa masuk demi operasi malam ini.Ragil melirik jam di pergelangan tangan. 23:11

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 30

    Hujan baru saja reda ketika Lita masuk ke dalam ruang operasi. Aroma tanah basah bercampur udara antiseptik menyelimuti lorong IGD yang sunyi. Langkah kaki Haris menggema perlahan saat ia berjalan menuju kursi tunggu, membawa bayang-bayang luka dan peluru yang nyaris merenggut nyawa Lita.Haris meraih ponsel dan menelepon ke nomor yang sudah sangat dihafalnya, nomor Aluna. "Assalamualaikum, Mas! Ada apa telepon malam malam begini?" tanya Aluna. Suaranya terdengar panik. Dia perlahan menyiapkan hati jika sewaktu waktu mendengar kabar yang kurang menyenangkan. "Waalaikumsalam, kamu belum tidur? Sekarang sudah lewat tengah malam," sahut Haris. Ada rasa rindu dalam nada suaranya, rindu sekaligus lelah tapi tetap harus profesional."Mana mungkin aku bisa tidur jika pikiranku kemana - mana, Mas? Apa ada kabar dari Lita?" tanya Aluna to the poin."Ya ada, Lita sudah ditemukan. Kamu mau mendengar berita baik atau buruknya lebih dulu?" tanya Haris pelan.Aluna berpikir sejenak. "Berita buru

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 29

    “Aku nggak tahu apa-apa! Kalian salah orang!”Ratna meraung sambil menggeliat di kursi interogasi. Kakinya diperban dan masih berlumur darah segar. Tangannya diborgol ke meja besi dingin. Nafasnya memburu, tapi matanya penuh benci saat menatap Ragil yang berdiri di seberangnya.“Kami salah orang?” Ragil mengangkat alis. Ia mencondongkan tubuh, meletakkan tumpukan foto di meja. Foto orang orang yang hilang. Foto Dina saat 'diculik' dari rumah sakit yang diperoleh dari cctv lorong rumah sakit. Foto Rere—Ratna sendiri—bersama perempuan lain di bandara.“Kamu pikir kami bodoh?” suaranya tajam. “Kamu pikir semua orang yang kamu jual ke Kamboja itu nggak punya orang tua? Kamu pikir semuanya bisa kamu kubur dengan paspor palsu dan nama baru?”Ratna mendengus. “Aku nggak nyulik siapa-siapa. Mereka semua ikut sendiri. Mereka pengangguran! Mereka minta kerja! Aku bantu.”“Kerja?” Ragil mengetuk foto Dina yang ditemukan meninggal dengan sebagian besar organ tubuhnya yang hilang. “Ini hasil dari

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 28

    Beberapa saat sebelumnya, Haris memelototi layar laptopnya dengan mata merah dan kantung mata membengkak. Jam digital di sudut kanan bawah menunjukkan pukul 02.43 dini hari. Matanya terpaku pada layar Facebook—grup demi grup pencari kerja yang dipenuhi postingan lowongan kerja luar negeri dengan iming-iming gaji menggiurkan dan foto-foto perempuan cantik yang terasa terlalu sempurna untuk jadi nyata.Di sampingnya, Ragil menyesap kopi hitam dari cangkir kertas. “Kamu yakin ini jalurnya?” tanyanya sambil melirik layar.Haris tak menjawab langsung. Ia mengetik cepat, menyamar dengan akun palsu bernama “Rama Syahputra”—lengkap dengan foto profil seorang pria parlente yang ia edit dari foto model luar negeri. Di bio-nya tertulis: “Fresh graduate. Siap kerja. Tertarik ke luar negeri.”“Kalau Rendi dan Rara itu mainnya online, pasti ada jejak digital. Bahkan setipis apapun. Kita tinggal sabar dan konsisten,” ucap Haris lirih.Ragil mengangguk, meski keraguan jelas terpampang di wajahnya.S

  • TUKANG CILOK TERNYATA INTEL   Tukang 27

    Sementara itu, di tempat lain, Lita perlahan membuka mata. Kepalanya berat, tubuhnya lemas. Ruangan di sekelilingnya tampak asing—gelap, hanya cahaya lampu redup di atas kepala. Bau amis dan pengap menyeruak dari setiap sudut. Dindingnya dari triplek tipis, dan ia bisa mendengar suara pria tertawa dari ruangan sebelah.Tubuhnya terbaring di atas matras tipis. Tangan kanannya diborgol ke tiang ranjang besi.“Selamat bangun, sayang.”Lita menoleh pelan. Rendi duduk di kursi kayu, menatapnya dengan wajah tenang namun mata yang tajam seperti silet.“Apa… ini… di mana aku…?” gumam Lita.“Kita udah jauh dari rumah petak itu. Di gudang tempat penghubung biasa kumpul. Kamu tenang aja. Sebentar lagi, kita akan ‘berangkat’ ke tempat yang lebih baik. Kamboja.”Lita mendadak sadar. Nafasnya tercekat.“Kamu gila… Kamu jual aku? Kamu suami aku, mas Rendi!”“Kamu ngintip pembicaraan yang bukan urusanmu. Kamu kirim pesan suara, padahal aku udah peringatkan. Maaf, Ta. Ini bukan soal cinta lagi. Ini so

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status