"T-Tim pemburu kembali!" teriak seorang anak kecil dari menara kayu di utara desa.
Teriakan itu langsung menggema ke seluruh penjuru Desa Kayu. Dalam hitungan detik, penduduk yang sedang memperbaiki pagar, menambal atap, atau mengolah ladang, semua berlarian menuju lapangan tengah. Di tengah riuh itu, Xu Ming yang masih bersandar di ranjang pondok, menggenggam tongkat kayu di sisinya. Wajahnya pucat, tapi matanya bersinar penuh semangat.
"Nenek Hua... tolong tuntun aku ke sana," pintanya, suaranya lirih namun tegas.
Nenek Hua mendengus seolah ingin memarahinya, tapi pada akhirnya ia hanya menghela napas panjang. Dengan sabar, ia memapah Xu Ming berdiri, membiarkannya bersandar di tongkat, dan bersama-sama mereka berjalan menuju kerumunan yang semakin padat.
Saat mereka tiba, pemandangan yang menghangatkan hati terbentang di hadapan mereka. Liang Fei, Qi Bao, Lei Shan, dan Duan Wu seluruh anggota Tim Pemburu tengah berdiri gagah, meskipun tubuh mereka lusu
Perburuan seratus esensi monster dihentikan sementara waktu, Desa kayu hari ini Tengah menghadapi kejadian besar yang akan dilakukan. Terobosan para anggota tim pemburu, akan dimulai hari ini. Di sisi lapangan, Han Su berdiri dengan tangan bertolak pinggang, tatapannya penuh semangat. Ia melirik ke empat sahabatnya yang duduk santai di atas batu besar."Bagaimana kondisi kalian?" serunya sambil merangkul bahu Liang Fei. "Sudah siap melakukan terobosan, bukan?"Liang Fei, yang wajahnya sedikit tegang hanya menyeringai dan menepuk dada berpura-pura seperti pria kuat. "Siap kapan saja, Kakak Han! Tubuh ini sudah gatal ingin meledak."Lei Shan, yang duduk tak jauh, tertawa mengejek, "Hmph, jangan membual. Kakak Kedua ini semalaman tak bisa tidur! Istrinya sampai menggerutu di depan rumahku. Katanya, 'Suamiku grasak-grusuk kayak anak kecil, muter-muter terus, gak mau tidur!'"Suara cekikikan kecil terdengar. Qi Bao hanya menahan tawanya sambil mengangguk setuj
Liang Fei menggosok tengkuknya, lalu mendesah pelan. “Itu... benar-benar lebih parah dari yang kuperkirakan.”Ia melirik sejenak ke arah tangan kanannya, mengencangkan kepalan, memastikan semuanya masih utuh. Kulit di beberapa ruas jarinya masih memerah, tapi rasa nyeri yang tersisa seperti pengingat: bahwa ia telah melewati sesuatu yang nyaris tak mungkin.Lei Shan, yang duduk bersandar di batang pohon tua tak jauh darinya, hanya mengangguk sambil membenarkan ikat kepalanya yang longgar. “Tapi syukurlah, Kakak Kedua. Setelah kau berhasil, kita berempat akhirnya resmi menjadi pendekar Taraf Empat.”Suasana diam sejenak, seperti membiarkan kalimat itu mendarat di dada masing-masing. Pelan, Duan Wu berdiri, meregangkan bahu yang masih terasa kaku. Sendi bahunya berbunyi pelan saat diputar.“Hampir saja...,” gumamnya. “Tak terasa, genap enam puluh lima hari kita berkutat di sini.” Ia melirik ke arah Qi Bao yang
“Hnghh... ada yang aneh... aliran Dao di tubuhmu meningkat?” suara serak Liang Fei terdengar memecah keheningan senja. Matanya menyipit, mengamati Xu Ming yang duduk bersila di atas batu datar.Aura hangat dan gemuruh halus mengalir dari tubuh pemuda itu, seperti suara sungai kecil yang baru menemukan jalur alirannya. Daun-daun kering bergetar lembut di sekelilingnya, digerakkan oleh hembusan angin tipis bercampur esensi Dao yang tersebar di udara.Xu Ming membuka matanya perlahan. Sorot matanya kini jauh lebih dalam, seperti cermin yang baru diasah kembali. Kilau cahaya senja terpantul samar di pupilnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seberkas cahaya tipis melapisi energi Dao yang berkilat di kulitnya sebelum menghilang, meninggalkan jejak keheningan yang sarat makna.“Aku menembus Taraf Dua tingkat menengah,” ujarnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Sepertinya... karena pertarungan bert
"Yang Mulia! Ini… ini tidak mungkin…"Suara itu melengking, menggema di seluruh aula megah Istana Langit Emas, ruang suci tempat para peramal bintang, penasihat agung, dan ahli sihir kekaisaran berkumpul. Lantai dari batu giok putih berkilau memantulkan cahaya obor yang bergoyang, namun ketenangan aula itu hancur ketika suara penasihat tertua, Mo Tian, mengguncang udara.Mo Tian, lelaki tua berjubah ungu berhiaskan simbol bintang dan naga langit, menjatuhkan gulungan sutra ke lantai. Kedua tangannya gemetar, dan napasnya terengah seolah baru melihat bayangan maut sendiri.Raja Xuan, duduk di singgasana naga dengan tatapan tajam bagaikan elang, menyipitkan mata.“Bicaralah, Mo Tian. Jangan mengulur waktu dengan keluhan tua.”Mo Tian berlutut. “Ampun, Yang Mulia. Ramalan telah turun dari langit… Tiga malam berturut-turut, konstelasi Qian Long dan Bintang Surga Ketujuh bertabrakan dalam garis merah darah. Langit mengirimkan pertanda…”Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kata. “Dalam
Hujan deras mengguyur dataran Luoyuan. Aroma tanah basah bercampur darah membekas di udara, menggantung seperti kabut pekat. Hembusan angin membawa suara denting logam dan teriakan prajurit yang bercampur nyaring dengan gelegar petir dari langit kelam. Di tengah-tengah medan yang porak-poranda oleh jejak kaki kuda dan tubuh bergelimpangan, seorang pria berdiri dengan tombak naga panjang berbalut energi dao, menghadap ratusan pasukan kekaisaran.Komandan Zhao mengangkat tangan, menghentikan pasukannya saat melihat sosok berjubah kelabu berdiri sendirian di ujung tebing kecil.“Pendekar,” katanya, suaranya menggema di udara lembap. “Sebutkan namamu. Aku tidak membunuh seseorang tanpa tahu siapa yang kuhabisi.”Sosok berjubah itu tidak bergerak. Rintik hujan jatuh di pundaknya, tapi ia berdiri tegak, seperti bayangan batu yang menyatu dengan alam. Beberapa saat sunyi, lalu pria itu mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya masih muda, tapi sorot matanya... seperti danau yang menyimpan ribu
Di pinggiran Lembah Huoyan, sekitar seratus mil dari Desa Kayu, tim pemburu sedang menjalankan misi.“Ada getaran Dao kuat dari arah lembah barat!” seru Han Su, pemimpin Tim Pemburu Desa Kayu. Ia adalah pria paruh baya dengan tubuh kekar berbalut rompi kulit binatang buas. Wajahnya tegas, dagunya ditumbuhi jenggot kasar, dan matanya tajam seperti elang. Di punggungnya tergantung pedang lebar bersarung hitam, senjata khas pendekar yang telah mencapai Taraf 4 - Dao Vein Awakening.Empat orang pemburu lainnya segera mengelilinginya. Liang Fei, pemburu termuda namun paling gesit, memiliki rambut kuda panjang dan senjata sabit ganda yang tergantung di pinggang. Qi Bao, bertubuh tambun tapi bermata tajam, adalah ahli jebakan dan pengintai. Lalu ada Lei Shan dan Duan Wu, saudara seperguruan dengan tombak panjang dan teknik gerakan cepat. Semuanya berada di puncak Taraf 3 - Dao Core Formation, dan tengah menanti waktu untuk menerobos ke taraf selanjutnya.“Gemuruh itu... bukan tanah longsor,”
Langit masih diliputi semburat ungu ketika Xu Ming berdiri di tanah basah, napasnya menggantung dalam udara pagi yang dingin. Kedua tangannya mengepal, lalu perlahan membentuk segel dasar pelatihan napas."Tiga... dua... satu..." bisiknya.Pukulan lurus dilontarkan ke batang kayu tua yang tergantung dengan tali rotan. BUK! Tubuh mungilnya terpental setengah langkah ke belakang. Telapak tangannya berdarah lagi.Dari kejauhan, Nenek Hua muncul dengan langkah tertatih, membawa kantung obat. Rambutnya yang abu tersapu angin pagi saat ia menghela napas."Setiap pagi seperti ini… selalu saja tanganmu berdarah," gumamnya sambil membuka gulungan kain kasa.Di sampingnya, Kakek Mozi bersandar pada tongkat bambu, matanya tetap tertuju pada Xu Ming."Anak itu keras kepala, ya?" komentar Hua sambil duduk di atas batu."Bukan hanya keras kepala," jawab Mozi, tersenyum kecil. "Tulangnya masih muda, tapi semangatnya… seperti baja tua yang telah ditempa ratusan kali.""Kau juga yang menanamkan itu pa
“Kau yakin anak-anak itu siap?”Suara Nenek Hua terdengar pelan, tapi tajam, saat ia menyusun gulungan daun pahit ke dalam mangkuk tembaga. Asap tipis mengepul, membawa aroma yang menusuk hingga ke paru-paru.Kakek Mozi, berdiri di bawah pohon plum tua, tak langsung menjawab. Ia hanya menatap bocah yang duduk bersila di ujung pelataran altar batu. Xu Ming, diam, mata terpejam, napas lambat tapi berat, seperti menahan sesuatu di dalam tubuhnya.“Tidak ada yang pernah benar-benar siap, Hua,” kata Mozi akhirnya. “Tapi jika bahkan tulang-tulang muda Desa Batu kita tak mampu menanggung kerikil pertama di kaki mereka ini, kita yang tua ini hanya bisa berdoa…”Nenek Hua mendengus pelan. “Kau bicara seperti dewa, Pak Tua. Aku hanya ingin semua anak-anak ini menerobos dengan lancar. Termasuk Xu Ming... Aku sudah menganggapnya seperti cucuku sendiri. Aku hanya ingin dia menggenggam erat keinginannya, apa pun yang terjadi nanti.”Keduanya mengangguk sepakat, lalu berjalan pelan menuju altar batu
“Hnghh... ada yang aneh... aliran Dao di tubuhmu meningkat?” suara serak Liang Fei terdengar memecah keheningan senja. Matanya menyipit, mengamati Xu Ming yang duduk bersila di atas batu datar.Aura hangat dan gemuruh halus mengalir dari tubuh pemuda itu, seperti suara sungai kecil yang baru menemukan jalur alirannya. Daun-daun kering bergetar lembut di sekelilingnya, digerakkan oleh hembusan angin tipis bercampur esensi Dao yang tersebar di udara.Xu Ming membuka matanya perlahan. Sorot matanya kini jauh lebih dalam, seperti cermin yang baru diasah kembali. Kilau cahaya senja terpantul samar di pupilnya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Seberkas cahaya tipis melapisi energi Dao yang berkilat di kulitnya sebelum menghilang, meninggalkan jejak keheningan yang sarat makna.“Aku menembus Taraf Dua tingkat menengah,” ujarnya pelan, seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Sepertinya... karena pertarungan bert
Liang Fei menggosok tengkuknya, lalu mendesah pelan. “Itu... benar-benar lebih parah dari yang kuperkirakan.”Ia melirik sejenak ke arah tangan kanannya, mengencangkan kepalan, memastikan semuanya masih utuh. Kulit di beberapa ruas jarinya masih memerah, tapi rasa nyeri yang tersisa seperti pengingat: bahwa ia telah melewati sesuatu yang nyaris tak mungkin.Lei Shan, yang duduk bersandar di batang pohon tua tak jauh darinya, hanya mengangguk sambil membenarkan ikat kepalanya yang longgar. “Tapi syukurlah, Kakak Kedua. Setelah kau berhasil, kita berempat akhirnya resmi menjadi pendekar Taraf Empat.”Suasana diam sejenak, seperti membiarkan kalimat itu mendarat di dada masing-masing. Pelan, Duan Wu berdiri, meregangkan bahu yang masih terasa kaku. Sendi bahunya berbunyi pelan saat diputar.“Hampir saja...,” gumamnya. “Tak terasa, genap enam puluh lima hari kita berkutat di sini.” Ia melirik ke arah Qi Bao yang
Perburuan seratus esensi monster dihentikan sementara waktu, Desa kayu hari ini Tengah menghadapi kejadian besar yang akan dilakukan. Terobosan para anggota tim pemburu, akan dimulai hari ini. Di sisi lapangan, Han Su berdiri dengan tangan bertolak pinggang, tatapannya penuh semangat. Ia melirik ke empat sahabatnya yang duduk santai di atas batu besar."Bagaimana kondisi kalian?" serunya sambil merangkul bahu Liang Fei. "Sudah siap melakukan terobosan, bukan?"Liang Fei, yang wajahnya sedikit tegang hanya menyeringai dan menepuk dada berpura-pura seperti pria kuat. "Siap kapan saja, Kakak Han! Tubuh ini sudah gatal ingin meledak."Lei Shan, yang duduk tak jauh, tertawa mengejek, "Hmph, jangan membual. Kakak Kedua ini semalaman tak bisa tidur! Istrinya sampai menggerutu di depan rumahku. Katanya, 'Suamiku grasak-grusuk kayak anak kecil, muter-muter terus, gak mau tidur!'"Suara cekikikan kecil terdengar. Qi Bao hanya menahan tawanya sambil mengangguk setuj
"T-Tim pemburu kembali!" teriak seorang anak kecil dari menara kayu di utara desa.Teriakan itu langsung menggema ke seluruh penjuru Desa Kayu. Dalam hitungan detik, penduduk yang sedang memperbaiki pagar, menambal atap, atau mengolah ladang, semua berlarian menuju lapangan tengah. Di tengah riuh itu, Xu Ming yang masih bersandar di ranjang pondok, menggenggam tongkat kayu di sisinya. Wajahnya pucat, tapi matanya bersinar penuh semangat."Nenek Hua... tolong tuntun aku ke sana," pintanya, suaranya lirih namun tegas.Nenek Hua mendengus seolah ingin memarahinya, tapi pada akhirnya ia hanya menghela napas panjang. Dengan sabar, ia memapah Xu Ming berdiri, membiarkannya bersandar di tongkat, dan bersama-sama mereka berjalan menuju kerumunan yang semakin padat.Saat mereka tiba, pemandangan yang menghangatkan hati terbentang di hadapan mereka. Liang Fei, Qi Bao, Lei Shan, dan Duan Wu seluruh anggota Tim Pemburu tengah berdiri gagah, meskipun tubuh mereka lusu
Suasana di pondok Nenek Hua membeku dalam ketegangan. Kata-kata tentang "seratus monster taraf tiga" bergema dalam pikiran semua orang, menimbulkan rasa takut yang mencekik. Namun Xu Ming, yang masih bersandar lemah di ranjang, perlahan menggenggam erat selimutnya. Tatapan matanya yang buram kini mulai menunjukkan kilatan tekad."Aku... akan bertarung," bisiknya.Nenek Hua membungkuk, wajahnya penuh kekhawatiran. "Ming'er, kau bahkan berdiri saja belum kuat. Bagaimana mungkin…"Han Su maju selangkah, wajahnya serius. "Tidak. Kali ini kami yang berburu." Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "Tapi kami tak bisa berjanji seberapa lama waktu yang kami butuhkan untuk menyelesaikan pemburuan seratus esensi monster taraf tiga. Kami hanya bisa menjanjikan, paling banyak dua esensi dalam sehari, dan paling sedikit satu."Xu Ming terdiam. Di matanya tergambar konflik batin yang dalam. Ia tahu, setiap hari yang berlalu adalah taruhan pada harapan tipi
Suasana dalam pondok kecil Nenek Hua yang sederhana itu terasa hening dan berat. Aroma ramuan pahit dan asap dupa memenuhi udara, membuat napas terasa berat. Di ranjang kayu besar di tengah ruangan, Xu Ming, pahlawan kecil Desa Kayu, masih terbaring dengan wajah pucat pasi. Tubuhnya lemah, namun nafasnya perlahan mulai stabil setelah seminggu penuh dalam ketidaksadaran.Di sisi tempat tidur, Kakek Mozi duduk berjaga. Matanya yang tua namun tajam mengawasi Xu Ming dengan penuh kekhawatiran. Ia belum meninggalkan sisi ranjang itu sejak Xu Ming ambruk pasca pertempuran berdarah oleh organisasi bandit taring serigala yang membantai seluruh desa itu.Tiba-tiba, jari Xu Ming yang kurus bergerak sedikit. Kelopak matanya bergetar... lalu perlahan terbuka. Kakek Mozi, yang hampir tertidur, langsung melonjak berdiri, matanya membelalak penuh kegembiraan. Suaranya pecah, penuh emosi."Hua! Ming'er! Xu Ming terbangun! Hua, cepat kemari! Dia bangun!" teriaknya keras.
"Bing'er... Aku mohon... tolong aku..."Kabut darah menggantung di atas Desa Kayu. Tubuh Xu Ming terkapar, hampir tanpa nyawa. Dunia berputar di sekelilingnya suara teriakan, benturan senjata, semua memudar menjadi dengung sepi. Dalam kehampaan itu, sebuah suara lembut menggema dari dalam dirinya. Seperti bisikan hangat di musim dingin.“Istirahatlah, Nak. Serahkan sisanya pada yang mulia ini…”Seperti petir dalam keheningan, energi es meledak dari tubuh Xu Ming. Pilar cahaya biru keperakan menghantam langit. Angin menderu. Butiran salju pertama jatuh di musim panas yang membara ini. Xu Ming melayang perlahan, tubuhnya diselimuti kabut es yang bergolak. Luka-lukanya berhenti berdarah. Aura es membekukan udara di sekelilingnya.Matanya membuka, seluruhnya putih, bersinar seperti bintang beku. Sebuah suara, bukan suara Xu Ming, menggema dari bibirnya, berat, penuh wibawa.“Berani sekali kalian para tikus seperti kalian menyen
"Habisi setiap kepala yang ada di desa ini! Basuh pedang kalian dengan darah segar ini! Yang membunuh paling banyak akan mendapatkan arak segar paling banyak!!"Suara raungan penuh haus darah itu mengguncang langit pagi. Dari balik kabut hutan, ratusan sosok bandit berjubah kulit, bertaring serigala di dada mereka, menerjang dengan senjata berkilat. Panji Taring Serigala berkibar hitam, mengotori udara yang sebelumnya damai.Desa Kayu, tempat sederhana di sudut dunia, kini dibanjiri tawa kejam, jeritan ketakutan, dan denting senjata yang bersimbah darah. Para warga, meski minim latihan bertarung, mengangkat senjata seadanya. Pisau, cangkul, tongkat. Tubuh-tubuh kecil bertarung dengan gigi terkatup dan darah mendidih. Tua, muda, pria, wanita, semua mempertaruhkan hidup mereka.Dari pusat desa, Pak Tua Mozi melangkah maju. Wajah keriputnya dipenuhi guratan waktu, namun matanya bersinar tajam. Ia menghentakkan tongkat bambunya ke tanah."Lindungi desa kayu k
"Teknik Manifestasi Dao: RAUNGAN HARIMAU KUMBANG!"Raungan menggelegar membelah langit. Sosok raksasa Harimau Kumbang setinggi seratus kaki muncul di belakang Han Su. Mata emasnya bersinar tajam, cakar hitam berkilauan, dan setiap gerakannya membuat bumi di bawah kaki mereka bergetar. Kawanan Serigala Bulan Perak yang semula menggempur tanpa henti kini terdiam membeku. Naluri mereka berteriak bahaya. Beberapa serigala yang lebih kecil mundur instingtif, ekor mereka menekuk di antara kaki.Han Su melangkah maju. Aura Dao Qi miliknya meledak seolah badai. Setiap langkah yang ia ambil, tanah retak dan udara mendesir liar. Dengan satu teriakan keras, Han Su mengayunkan tombaknya."Mundur, makhluk rendahan!"BRUAAAAK! Cakar Harimau Kumbang raksasa itu menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut berbentuk setengah lingkaran. Puluhan Serigala Bulan Perak terlempar seperti daun kering, tubuh mereka membentur pohon, batu, dan tanah keras dengan suara patah yang