TULPA15. Aku Ratunya"Ini terlalu mendadak untukku yang memiliki kapasitas otak yang pas-pasan. Jadi, tolong katakan padaku apakah ini kenyataan atau hanya imaji liarku semata?"_KejoraAku tertegun mendapati Kelam sudah siap sedia di depan rumahku dengan motor besarnya. Seulas senyum terbit di wajah tampannya ketika menyadari kehadiranku. Dengan segera dia memasukkan benda pipih yang sejak tadi dia genggam ke dalam sakunya, setelahnya turun dari kuda besinya dan berjalan ke arahku. "Pagi, Ra," sapanya ramah.Aku yang belum terbiasa akan sinkap lembut dan nada ramahnya hanya tersenyum canggung. Terlebih ketika Rai-sejak tadi tidak bisa diam menyenggol lenganku seraya tersenyum menggoda. Bibirnya bergerak pelan tanpa suara mengatakan, 'Pangeran telah datang dengan kuda besinya'. "Ayo berangkat bareng."Ajakan Kelam membuatku menoleh ke arah Rai. Memastikan apakah saudariku itu keberatan jika aku tinggal. Tetapi, respon Rai sangat santai. Dia mengibaskan tangan kanannya seraya mengara
Tulpa16. Samar"Ra?"Aku terkesiap, mendapati wajah Kelam begitu dekat di sampingku. Reflek aku menarik tubuh ke belakang, mengambil jarak. Tidak baik rasanya ketika sapuan lembut napas cowok itu menerpa wajahku. "Kamu melihat apa sih daritadi?"Nada kesal begitu kentara. Bahkan, alis Kelam kini menukik tajam. Netranya menatap tajam ke arahku, membuatku gelagapan. Sosok Kelabu yang berdiri beberapa meter dengan wajah pucat, berhasil menyita perhatianku tadi. Tidak ada seulas senyum pada laki-laki yang sangat kurindukan itu. Hanya ada tatapan tajam tetapi tampak berkaca-kaca. "Ra?!"Suara tinggi itu kembali membuatku tersadar. Dengan segera aku menoleh kembali ke arah Kelam yang kini menatapku kesal. Astaga, sepertinya aku membuat moodnya buruk. Aku menggigit bibir bawah, menunduk. Takut melihatnya menahan amarah yang mulai tersulut karena sikapku. "Ra ...."Nada suaranya melembut. Diikuti dengan gerakan kedua tangannya yang menggenggam kedua tanganku. Memberikan sapuan lembut di
TULPA17. Sesuatu yang Tidak DimengertiBrak!Kututup pintu kamar dengan keras. Berhasil membuat Bi Sum mendatangi kamarku dan mengetuk pintu. Bertanya apakah aku baik-baik saja yang langsung kujawab dengan 'Ya' dengan sedikit berteriak karena enggan membuka pintu. Setelahnya, terdengar suara langkah menjauh. Bi Sum meninggalkan pintu kamarku dan tubuhku meluruh di balik pintu kamar. Menenggelamkan kapal di kedua kaki, terisak pelan. Menangisi Kelabu. Menangisi takdirku. Dan menangisi semuanya. Sialnya, menangis dalam diam rupanya begitu menyakitkan bagiku. Bukannya merasa lega, tangisku malah semakin tergugu. Bahkan, napas ini mulai tersendat. Kenapa ... kenapa harus sesesak ini rasanya? "Kau memang cengeng ya?" Seseorang berucap, bersamaan dengan sapuan lembut jari-jemari seseorang yang berada di pucuk kepalaku. Tubuhku menegang sesaat. Sebelum akhirnya mendongak, menatap sosok yang kini berjongkok di depanku dengan senyum manisnya. "Hai?"Dia menyapa tenang. Seakan-akan sepert
TULPA18. Pesona Kelabu"Ra.""Kak."Aku menghela napas panjang. Rai sejak tadi mencoba mengajakku berbicara tapi suasana hatiku masih belum cukup baik untuk membuka suara. Kulepas genggaman sendok dan garpu, membuat dia benda yang terbuat dari alumunium itu berkeluntang di atas piring. Menimbulkan suara yang cukup keras. Setelahnya aku bangkit dengan cepat, suara gesekan kaki kursi dengan lantai terdengar. "Aku selesai," ucapku malas langsung berbalik meninggalkan Rai yang terdiam. Setengah hari ini aku memang dengan sengaja mendiami sepupuku itu. Bukan karena aku kesal kepadanya tetapi karena aku belum siap untuk mengobrol dengannya. Aku takut lepas kendali dan malah semakin memperburuk situasi. Kututup pintu kamar dan langsung duduk di kursi belajar. Membuka buku diary-ku yang sudah lama tidak kusentuh. Tanganku berhenti bergerak, membalik lembaran-lembaran buku diary-ku ketika melihat coretan asing di sana. Bibirku berkedut, tidak tahan membentuk garis melengkung. Coretan kasar
19. PenjagaAku mengernyit, ketika mendapati Rai sudah duduk manis di ruang tamuku dengan mama. Sepertinya mereka habis terlibat obrolan serius, terlihat dari ekspresi keduanya yang langsung berubah ketika menyadari kedatanganku. Ada apa? Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku? "Lo lama banget sih, Ra. Gue sampek lumutan nungguin lo." Rai menggerutu, sedangkan aku hanya mengedikkan bahu acuh. "Lagian ngapain kamu ke sini?" Aku melangkah, memperkecil jarak. Mendekati sang mama untuk segera pamit pergi ke sekolah. Mama tersenyum, menyambutku. Mamaku baru saja pulang kemarin siang dengan Kelam. Seperti yang dijanjikan cowok itu, Kelam menjemput dan mengantar mamaku dengan selamat. "Jemput lo lah! Disuruh cowok lo," ketus Rai berhasil mengalihkan atensiku ke arahnya. Sepupuku itu menggeser tubuhku, turut menyalimi mamaku. Kunaikkan satu alisku, memangnya Kelam tidak akan menjemputku? Kalau tidak bisa kenapa dia tidak mengabariku? "Woi buruan malah bengong!" Aku terkejut, mendapa
20. KericuhanAku mengernyit, mendapati segerombolan murid kelas lain yang berlarian menuju ke kelasku. Seketika pemikiran buruk menghantui pikiranku. Apakah terjadi sesuatu? Teringat akan keberadaan Rai yang kutinggal sejenak karena aku harus melakukan tugas dari guru untuk membantunya membawakan tumpukan kertas ulangan tadi, membuatku mengkhawatirkannya juga. Walau Rai adalah tipe cewek bar-bar berkedok genit, tetap saja aku merasa khawatir dengannya. Jangan-jangan Rai mendapatkan bully dari murid lain? Tidak ada yang tahu bukan? Mengingat dia sering membelaku selama ini, mungkin saja mereka juga mulai berani mengganggu saudariku itu. Tidak! Jangan sampai! Langkahku bergerak, tergesa-gesa. Degup jantungku berdetak tidak karuan. Terlebih ketika jarak kelasku semakin dekat. Benar saja, kelasku sudah ramai dengan murid-murid kelas lain. Bersusah payah aku mencoba menerobos lautan manusia itu. Tidak peduli tubuh kecilku sesekali terdorong bahkan hampir saja terjerembab karena suasana
21. Sikap Aneh sang Mama"Ra, psst Ra bangun."Aku melenguh, merasa terganggu dengan suara yang terus memanggilku dan menyuruhku untuk segera terbangun dari alam mimpi. Kedua mataku menyipit, terasa begitu berat untuk kembali membuka lebar kelopak mata. Mulut terbuka lebar–menguap. Mengerjap sekali lagi, memastikan objek di depanku yang masih terlihat kabur. Sebuah tangan kekar membungkam mulutku yang siap menjerit karena terkejut. Kedua bola mataku membola, begitu lebar. Tubuhku menegang, mendapati Kelabu yang duduk di sampingku. Dia menaikkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah bibirnya, memberi kode agar aku tidak berteriak. Reflek aku mengangguk cepat. Bekapan tangannya melonggar sebelum akhirnya menjauh dari mulutku. Hening, kami saling pandang, mencoba merekam jelas sosok satu sama lain. Kelabu masih sama, hanya saja wajahnya cukup pucat. Tubuhnya pun mengurus, apakah dia sakit? Rambutnya sudah mulai memanjang lagi. Padahal terakhir kami bertemu, dia masih cukup baik walau k
22. SayangTuhan sepertinya sedang berbaik hati kepadaku. Satu minggu ke depan, Kelam tidak akan menemanimu di sekolah seperti biasa. Karena keributan yang dia lakukan kemarin, membuatnya mendapatkan skorsing selama satu minggu. Tetapi, sosok Kelabu kini menggantikan Kelam. Seperti sekarang ini, Kelabu tampak tampan dengan memakai seragam yang sama denganku. Entah mengapa melihatnya yang berpenampilan seperti itu, membuatku teringat masa-masa di mana pertama kami bertemu. Pertemuan yang terdengar lucu sekaligus misterius. Aku bahkan yakin seratus persen jika aku menceritakannya kepada mama, mama akan menganggapku hanya berhalusinasi saja. [Ra, aku antar ya?] Pesan itu masih belum kubalas hingga dua menit yang lalu. Padahal biasanya pesan yang dikirimkan oleh Kelam akan kubalas kurang dari satu menit. Tetapi, sepertinya tidak berlaku pada saat ini. Aku termangu, mencoba menimbangkan tindakan yang kupilih. Jika aku mengiyakan tawaran Kelam, maka dia akan bertemu dengan Kelabu. Kutat