Share

2. Siapa Dia?

TULPA

2. Siapa Dia? 

Malam ini, lebih dingin dari biasanya. Walau begitu, tidak membuatku bergerak sedikit pun. Kutatap halaman rumahku yang tidak terlalu luas, ah tidak. Lebih tepatnya aku tidak sepenuhnya menatap hamparan yang penuh bunga-bunga itu. Pikiranku melayang jauh, sejauh harapanku. Jika dipikir-pikir, kehidupanku sungguh memuakkan. Mengingat semua kejadian yang terjadi di sekolah, membuatku mendengus kasar. 

Hei, memangnya salah seorang gadis berusia lima belas tahun ini berharap suatu hari ada seorang pangeran yang menolongnya dari cengkraman para monster berkedok teman sekelas? Saat pemikiran itu berlalang buana, angin kencang berhembus, menabrak wajahku. Sontak saja mataku terpejam sesaat, merasakan hawa dingin. Merasa ada seseorang yang berdiri di belakang, membuatku dengan segera berbalik. Benar saja, jika diperhatikan baik-baik, ada seseorang berdiri di dalam kamarnya yang gelap gulita. Mengandalkan sinar rembulan yang menerobos masuk melalui jendela yang terbuka, mataku menajam, mencoba melihat dengan jelas siapa sosok itu. Namun nihil, semuanya tampak buram. 

"Siapa kau?" tanyaku waspada. 

Hening. Aku hanya bisa bergeming seraya menatap sosok tersebut. Kedua kakiku terasa kaku untuk digerakan. 

"Apa yang kamu pikirkan tentangku?" Bukannya menjawab, seseorang itu bertanya balik. Membuat kerutan di dahiku tercetak. 

"Kau ...." Aku terdiam, mencoba menilai sosok itu. "Anak laki-laki yang berusia tidak jauh dariku?" balasku ragu. 

Samar, dapatku lihat sosok itu mengangguk dua kali. Setelahnya, suara langkah kaki terdengar, disusul dengan sosoknya yang perlahan terlihat jelas. Tanpa sadar kumenahan napas. Ujung kedua kakinya perlahan terlihat jelas karena terpaan sinar rembulan, disusul dengan tubuhnya hingga akhirnya, sempurnalah sosok itu terlihat jelas. 

Aku terpaku. Benar saja, sosok itu adalah anak laki-laki yang berusia tidak jauh dariku. Dia tinggi, dengan tubuh yang cukup dibilang kurus. Rambut hitam legamnya sudah mulai menutupi kedua netranya yang berwarna hijau kekuningan. Netra itu berkilat. Indah dan menyejukkan, bahkan aku sampai larut ke dalamnya. Tampan. 

Mengerjapkan kedua mataku, mencoba menyadarkan diri dari kekaguman. Tatapanku menajam, memasang posisi siaga. Siapa yang tidak waspada ketika mendapati orang asing di kamarnya? 

"Siapa kau?!" tanyaku. 

Dia tersenyum. Membuat kadar ketampanannya bertambah. Bahkan aku mulai goyah akan sikap kewaspadaanku. Berhenti bersikap seperti orang bodoh, Kejora! Lihatlah di depanmu ada orang asing yang tiba-tiba masuk di kamarmu entah dari mana! 

"Aku ... Kelabu."

Hening. 

"Kelabu?" gumamku. 

Siapa Kelabu? Apa aku mengenalnya? Sepertinya tidak ada anak laki-laki di sekitar rumahnya yang bernama Kelabu. Atau dia teman kecilnya dulu? Ah, tidak mungkin. Mengingat sifatku yang pendiam dan sulit bergaul dengan orang lain, kecil kemungkinan aku memiliki teman kecil. 

"Aku tak mengenalmu! Siapa kamu?! Dan, darimana kamu bisa sampai di sini?!"

Dapat kulihat, pancaran manik hijau itu menyendu. Membuatku mengernyit. Kelabu mulai melangkah, mendekat. Membuatku sontak mundur ke belakang. Mengumpat pelan ketika merasakan punggungku, menabrak dinding jendela. 

"Kau mengenalku. Aku, Kelabu dan untuk pertanyaan terakhirmu, kau tidak perlu tahu. Sekarang, yang terpenting adalah aku menemukanmu, Kejora Amara."

Saat itu juga, jantungku rasanya akan berhenti berdetak. Kelabu, mengetahui namaku? Bagaimana bisa? Otak kecilku tidak bisa memahami semua perkataannya. 

Sebuah jentikan tepat di depan wajahku, membuatku tersentak. Dapat kudapati Kelabu yang terkekeh, menertawakan ekspresiku yang kuyakini seperti orang menahan boker. Aku mendengus, tanpa memperdulikan Kelabu, aku melangkah menuju ke kasur empukku. Aku yakin, Kelabu tengah mengekoriku, tetapi aku tidak peduli. Toh, aku tidak mengenalinya walau Kelabu berkata bahwa aku mengenalnya, tetap saja aku tidak mengingat adanya kenangan mengenainya. Jadi, tidak salah bukan bila aku menganggap Kelabu orang asing? 

"Kau mau apa?" Pertanyaan Kelabu membuat kegiatanku yang siap menuju alam mimpi pun tertunda. 

"Kau bisa melihatnya sendiri 'Kan? Aku mau tidur!" ketusku. 

Dapat kutangkap sudut bibir Kelabu berkedut, kedua matanya menajam dengan salah satu alis terangkat. Dengan wajah tertekuk, dia melompat ke kasur lalu duduk bersila.

"Tidak bisa! Kau mau menghiraukanku? Aku jauh-jauh ke sini untuk bertemu denganmu!" sungutnya. Jangan lupakan tangannya yang sudah dengan nakalnya menarik-narik, tangan kananku agar aku duduk. Dengan sebal aku menurut, duduk menghadapnya. 

"Dengar ini baik-baik. Pertama, aku tidak mengundangmu ke rumahku dan kedua, aku tidak mengenalmu. Jadi, silahkan pergi dari kamarku!" Wajah Kelabu semakin masam. Tetapi, aku tidak peduli. 

Tapi, bila diingat-ingat, kedatangan Kelabu seperti sebuah keajaiban. Kelabu datang tepat setelah umurku beranjak lima belas tahun, di mana lagi-lagi aku berharap ada pangeran yang datang menemuiku. Terlebih, kemunculan Kelabu pun aneh, aku tidak tahu asal-usulnya. Ini seperti mimpi. 

"Kau berpikir ini mimpi?"

Mendengar itu, sontak aku menoleh. Menatap sosok Kelabu yang kini bertopang dagu dengan kepalan tangan kanannya yang bertumpu pada lipatan tangan kiri. Apakah dia bisa membaca pikiran seseorang? 

"Jika bisa, aku akan berharap ini hanya mimpi."

Tidak lucu rasanya bila mengingat seorang anak laki-laki di kamarmu. Dan tambah tidak lucu lagi jika tiba-tiba ibumu masuk ke dalam kamarmu yang di dalamnya terdapat seorang laki-laki. Bisa-bisa, ibu akan berpikir yang tidak-tidak. Itu tidak lucu, sungguh! 

Kelabu mengangguk. Dia menegakkan posisi duduknya. "Kalau itu maumu, baiklah. Anggap kejadian ini dan selanjutnya hanyalah mimpimu. Selamat tidur, Kejora," ujar Kelabu. 

Belum sempat aku membalas, tiba-tiba kedua mataku terasa begitu berat. Aku mencoba menghilangkan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang. Tetapi, semua itu percuma saja. Kegelapan perlahan menarik kesadaranku. Gerbang alam mimpi perlahan terbuka, menyambutku untuk bermain-main di dalamnya. 

Bersambung .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status