TULPA
3. Kelabu
Malam selanjutnya, saat aku tengah berkutat dengan alat tulisku. Sosok Kelabu datang dengan tiba-tiba. Bahkan, dia kini sudah berguling-guling di atas kasurku dengan santainya. Aku hanya menghiraukannya, toh dia tidak mengangguku. Saat asik menorehkan isi hati melalui kalimat-kalimat yang mendayu, Kelabu muncul di belakangku seraya berkata.
"Kau pandai menulis qoutes rupanya." Sontak saja aku menutup buku. Memejamkan mata, menahan malu. Dapat kurasakan, rasa panas menjalar hingga ke telinga. Antara malu dan senang akan pujian yang dilontarkan Kelabu.
"Kenapa kau datang lagi sih? Bukankah semalam kau menyetujui perkataanku bahwa pertemuan kita semalam hanyalah mimpi semata?" ketusku.
Kelabu yang semula menatap ke sekeliling kamarku, mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Itu, karena kau yang selalu memintaku untuk datang menemuimu," ujarnya santai, membuatku mendengus. "Kau mempunyai sesuatu untuk aku makan? Aku lapar," rengeknya seraya menepuk perut kurusnya.
Aku menghela napas. Sebelum akhirnya mengangguk. Seingatku, ada beberapa kue kering di tas sekolahku. Benar saja, ada terdapat lima kue kering sisa jajan sekolahku. Kulempar ke arahnya, yang dengan sigap Kelabu tangkap. Kedua matanya tampak mengkilap berbinar. Dengan segera dia duduk di kursi belajarku, sibuk menikmati kue kering yang kuberi.
Kutopang wajahku, menatapnya lekat-lekat. Kelabu itu tampan. Hanya saja, tubuhnya terlalu kurus dan pucat. Apa Kelabu jarang makan, sampai seperti itu? Kedua mataku terus bergerak, menilai sosok Kelabu. Mendengus, ketika mengingat bahwa pakaian yang Kelabu pakai sama seperti semalam. Kaos putih yang dibalut jaket hitam dengan celana jins hitam.
Kedua tanganku mengepal gemas, ketika melihat anak rambutnya yang mulai menutupi netra indah itu. Ingin sekali aku mencukurnya. Memangnya, Kelabu tidak risih akan rambutnya yang mulai memanjang itu?
"Qoutesmu indah-indah, aku bahkan bergetar ketika membacanya. Kau terlalu menjiwai setiap goresan yang kamu tuangkan. Aku suka itu."
Aku tersadar ketika suara Kelabu menusuk indera pendengaranku. Terbelalak, ketika mendapati Kelabu sedang asik dengan buku kumpulan qoutes yang aku buat selama ini. Rasa malu kembali menjalar, tetapi akhirnya aku memilih menepis rasa itu. Lagian, tidak ada gunanya lagi merasa malu, bukankah Kelabu sudah banyak membaca?
"Kelabu ... kau ini apa?" tanyaku pelan.
Kelabu terdiam. Sebelum akhirnya dia tersenyum tipis. Beranjak menuju ke arahku yang duduk di atas kasur. Kue kering sudah habis tak tersisa.
"Aku, pangeran yang akan menjaga tuan putrinya." Seperti tersihir, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari sosok Kelabu yang kini berdiri di depanku dengan senyum menawannya. "Aku adalah harapanmu, Kejora," lanjutnya. Tidak lupa, sebuah usapan lembut dia hadiahkan.
"Karena itu, aku di sini ... untukmu."
Detik itu juga, aku merasa sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Secercah warna mulai bergerak, menghiasi kehidupanku yang abu-abu. Dan, saat ini juga aku mulai membuka kedua tanganku, menyambut kedatangan Kelabu. Mungkin saja memang benar bahwa Kelabu adalah harapanku dan aku tidak akan membiarkan harapanku terbang jauh dari dekapanku.
***
Lagi, malam ini Kelabu datang menemuiku. Kuberikan beberapa kue kering yang sudah aku siapkan sebelumnya. Melihat betapa lahapnya dia memakan kue-kue kering yang kemarin aku berikan, dapat kusimpulkan bahwa dia menyukai kue kering. Benar saja, saat melihat beberapa kue kering di tanganku, dia langsung berbinar dan merebutnya begitu saja. Membuatku kesal, tetapi kekesalan itu tidak berlangsung lama. Melihatnya memakan kue-kue itu, membuatku tersenyum tanpa sadar. Kelabu tampak lucu.
"Kau tahu saja apa kesukaanku. Besok-besok, sediakan kue kering lagi untukku," ujarnya di sela-sela aktivitas makannya.
Aku berdecak, pura-pura merasa tidak suka akan tingkahnya. Walau sebenarnya, di hatiku yang paling dalam tanpa disuruh pun aku akan melakukannya.
"Itu pun kalau kau datang lagi," balasku.
"Tentu saja aku akan datang ke sini!" ujarnya menggebu-gebu.
Aku hanya mengedikkan bahu. Hubungan kami perlahan membaik dan cukup dekat. Aku tidak pernah membahas asal-usulnya atau alasannya berada di sini. Karena aku, tidak membutuhkan semua itu. Aku sadar, aku membutuhkan Kelabu, karena itu aku akan menjaga ucapanku baik-baik, takut-takut dia tersinggung dan memilih meninggalkanku. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi.
"Kenapa namamu Kelabu?" tanyaku asal.
Kelabu mengedikkan bahu. "Tanyakan saja pada pemberi namaku," balasnya.
"Memangnya siapa yang memberi nama itu padamu?"
Dia bergerak, mengusap bibirnya. Membersihkan dari sisa-sisa kue kering yang menempel di sudut bibirnya.
"Aku tidak tahu," balasnya santai.
Aku berdecak. Kulemparkan boneka ke arahnya. Dia memekik kesal berbeda denganku yang terbahak keras. Melihat ekspresi kesalnya, entah mengapa membuatku bahagia. Mungkin karena tidak terima, dia membalas melemparkan boneka itu kepadaku. Tetapi, karena aku sigap menghindar, lemparannya melenceng. Kujulurkan lidahku, berhasil memancing emosinya. Dia berteriak kesal, lalu mengejarku. Terjadilah aksi kejar-kejaran di dalam kamarku yang gelap.
"Ke sini kamu Kejora!" teriaknya.
"Coba kejar kalau bisa!" balasku.
Suara ketukan pintu berhasil membuat kegiatan kami terhenti. Aku dan Kelabu saling tukar pandang. Kuberi kode agar dia bersembunyi dan dia menurut. Setelah dirasa aman, aku melangkah, membuka pintu kamar. Kudapati sosok mamaku yang menatapku cemas dan bingung.
"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya. Sontak aku mengangguk. Dapat kulihat, mama menghela napas panjang.
"Mama mendengar suara kegaduhan di dalam kamarmu, kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari mama 'Kan?" Sekali lagi aku menggeleng. Membuat mama mengangguk, walau aku tahu bahwa mama tengah berperang dengan pikirannya yang berkecamuk.
"Baiklah, sekarang tidurlah. Ingat, besok kamu harus pergi ke sekolah," ujar mama. Aku lagi-lagi mengangguk saja. Kututup pintu kamar, setelah melihat punggung mama menjauh dari kamarku.
Mengembuskan napas panjang. Aku baru saja berbohong kepada mamaku. Tentu saja itu tidak mudah. Kuperhatikan ke sekeliling, hening. Di mana Kelabu?
"Kelabu keluarlah. Mamaku sudah pergi," ujarku.
Tidak lama kemudian, sosok Kelabu terlihat. Rupanya dia mengumpat di dalam lemariku. Dia mengangguk, mengekor di belakangku. Kami duduk berhadapan. Hening, tidak ada kalimat yang terlontar dari bibir kami. Aku bingung harus berucap apa, tiba-tiba saja topik pembicaraan yang sudah kutata tapi lenyap begitu saja.
"Benar kata mamamu, sebaiknya kamu tidur Kejora," ujar Kelabu. Aku mendesah pelan.
"Aku masih ingin bersamamu. Lagian, kenapa kamu tidak ikut ke sekolahku saja sih?" gerutuku. Kelabu hanya diam.
"Kejora, ayo tidur ini sudah malam," ujarnya sekali lagi. Aku menurut dan segera beranjak menaiki kasurku. Kutatap Kelabu yang kini berpindah duduk di kursi belajarku. Menatapku. Dia tersenyum tipis.
"Tidurlah, tidak usah kamu pikirkan tentang esok hari."
Aku mengangguk. Membalas senyumannya. Tidak lama kemudian, alam mimpi mulai menyapaku.
Bersambung ....
TULPA4. Obat Penenang"Kejora, ayo sarapan!"Teriakan mama membuatku mempercepat gerakan menyisir rambutku. Dengan sedikit terburu-buru, kugapai tas sekolahku dan segera menuruni anak tangga menuju ruang makan. Sesampainya di sana, kulihat mama tengah mengolesi satu helai ratu lapis dengan selai kacang kesukaanku. Mama tersenyum, menyambut kedatanganku."Pagi," sapaku."Pagi juga," balas mama.Kududuk di bangku, mengambil satu lapis roti yang sudah disiapkan oleh mamaku. Mama juga sama, dia tengah menikmati sarapannya. Suara dering telepon milik mama, mengalihkan atensi kami. Mama dengan segera bangkit untuk mengangkat telepon. Aku hanya memandangnya seraya mengigit roti milikku. Aku mengernyit, ketika mendapati mama yang tampak terburu-buru setelah mengangkat telepon."Maaf, Kejora hari ini mama tidak bisa mengantarmu ke
TULPA5. BersamanyaPagi ini cukup menggemparkan untukku. Bagaimana tidak? Sosok Kelabu sudah dengan rapi mengenakan seragam SMA yang sama denganku. Bahkan, dia dengan semangatnya berujar 'hai' saat pertama kali kumembuka mata. Tentu saja hal itu membuatku terkejut luar biasa, mengingat wajah Kelabu yang cukup dekat dengan wajahku saat itu.Kini aku sudah siap dengan seragamku. Pertama kali keluar dari kamar mandi, dapat kulihat Kelabu yang tengah duduk di kursi belajarku seraya membaca buku pelajaranku. Tidak tahu pasti apakah dia benar-benar membacanya atau hanya membolak-balikkannya saja. Aku mendekat, mengajaknya untuk turun ke bawah. Beberapa kali memanggil nama mama, tetapi tidak ada sahutan. Kutatap Kelabu, dia masih setia berdiri di belakangku, mengerjap polos, membuatku gemas akan tingkahnya."Kau lapar?" tanyaku. Dia mengangguk lucu. Dengan segera aku menyiapkan roti selai untuknya dan
TULPA6. Pengganggu"Ini hasilnya menjadi tiga bukan dua, Kelabu."Aku menghela napas panjang, ketika menatap Kelabu yang malah mengembungkan kedua pipinya seraya menggeleng tegas. Dia masih bersikukuh dengan jawabannya yaitu dua. Di saat, ditanya mengapa dia pilih dua, karena dia maunya kaya gitu. Mengingat hal itu, membuatku harus sabar mengajari cowok itu. Memilih mengangguk kecil, mengiyakan jawaban Kelabu. Lelah rasanya bila terus berdebat dengannya.Lihatlah, hanya dengan melihat senyum manisnya yang sekarang mengembang, rasa kekesalanku kepadanya seketika menghilang. Kini, dia mulai berkutat ke nomer lainnya. Ya, malam ini aku memutuskan untuk mengajarinya menghitung dan membaca. Untungnya, Kelabu adalah anak dengan tingkat kepahaman yang tinggi, jadi tidak membutuhkan waktu lama Kelabu dapat menguasainya. Jujur saja, aku cukup terkejut ketika dia menanyakan deretan angka-angka yang berada di buku pak
TULPA7. Rai dan Hilangnya Kelabu"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca."Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis."Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku.Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya
TULPA8. KeanehanAku termangu, duduk di bawah pohon mangga yang baru berbunga. Angin silir menerpa, membuat beberapa anak rambutku turut berkibar. Mengembuskan napas sekali lagi, sudah satu minggu sosok Kelabu menghilang. Entah ke mana dirinya pergi, membuat isi hatiku turut bersedih. Aku merasa kesepian tanpanya. Sunyi, senyap. Kehidupanku terasa seperti semula. Di mana dia? Apakah dia mulai bosan berteman denganku? Atau ada sesuatu yang terjadi dengannya? Rasa cemas dan takut akhir-akhir ini berhasil membuat jam tidurku terganggu. Terkadang, pukul dua pagi aku terbangun, terkadang aku baru bisa terlelap pada pukul dua belas malam. Rai juga beberapa kali berhasil memergokiku yang tengah melamun dan berakhir dengan godaannya. "Sedang putus cinta ya?" Godanya waktu itu. Dan hanya kubalas dengan gumaman saja. Putus cinta? Aku pun tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Yang aku tahu, aku takut kehilangan Kelabu. "Jauhin dia."Aku sontak menoleh, menatap sengit sosok Kelam yang kini
TULPA9. ImajiBruk! Aku mengembuskan napas berat. Suara tawa menggelegar. Aku hanya bergumam pelan, meratapi nasibku yang masih saja menjadi korban bullyan mereka. Mencoba mempertahankan wajah biasa-biasa saja, aku segera bangkit seraya menepuk-nepuk pelan rok sekolahku yang sedikit berdebu karena terjatuh. Kali ini aku memang berangkat sendirian. Rai dengan kurang ajarnya meninggalkanku tanpa membangunkan aku. Ya, aku bangun kesiangan karena jam alarmku rusak semalam. "Woi!"Teriakkan Rai berhasil membuat mereka yang semula tertawa senang karena aku terjatuh dengan tidak elitenya segera bungkam. Mereka langsung membubarkan diri, tidak mau berhadapan dengan sepupuku yang entah mengapa akhir-akhir menjadi superhero untuk kehidupanku yang kelam. Ngomong-ngomong soal Kelam, cowok itu semakin bertingkah aneh. Setiap kali kudapati dia diam-diam memperhatikanku dari jarak jauh. "Ra, gapapa 'Kan?" Aku mengerjap. Tersadar akan lamunan. Dengan segera aku mengangguk untuk membalas pertanyaa
TULPA10. Mimpi“Kejora....” Aku menoleh. Suara Kelabu terdengar sangat menyenangkan. Ada apa dengan Kelabu? Apakah terjadi sesuatu dengannya? "Kejora...." Rintihan itu.... "Kelabu?" Aku memanggil. Coba mencari sosoknya. Saya sendiri dibuat bingung dengan suasana yang kini berada di sekelilingku. sebuah padang rumput, dengan beribu kunang-kunang yang berterbangan ke sana kemari. Angin kecil berhembus, bersamaan dengan suara Kelabu yang kembali terdengar. Seakan-akan angin yang telah mengantarkan suara Kelabu untukku melaluinya. "Kelabu?" Suaraku meninggi. Rasa takut dan bercampur menjadi satu. Aku mulai melangkah. Mengandalkan indera pendengarku, aku mencoba mencari sumber suara Kelabu. Kedua mataku menyipit. Mencoba dengan melihat sosok yang berbaring di sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh beberapa meter di depanku. Siluet seseorang yang tengah menyandar di batang besar pohon itu. Entah mengapa, detak jantungku semakin cepat. Apa suara Kelabu yang berasal dari sana. Apakah
TULPA11. Kue Kering HarapanKutopang menggunakan kedua tanganku. Menatap keluar jendela. Siluet matahari yang mulai terbenam, menjadi titik pandanganku. Walau nyatanya, pikiranku bukan tengah mengagumi keindahan hari ini. aku menatap kedua mataku saat sapuan halus dari angin sakit saat menyapanya. Memang dengan sengaja jendela kamarku kubuka lebar, setidaknya itu bisa membuat pikiranku lebih segar. "Non, ada telepon dari nyonya," suara Bibi Sum membuatku tersadar darilamunan. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuju ke lantai pertama karena telepon rumah terletak di sana. Beberapa hari tanpa memberi kabar kepadaku, membuatku yakin mama. Apakah mama istirahat dengan baik di sana? "Halo, Bu?" Aku membuka suara. "Sayang, kepulangan mama diundur dua hari. Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan Rai? Ngomong-ngomong Bibi Sum sudah kembali bekerja bukan?" tanya mama bertubi-tubi. Aku mengangguk, walau aku tahu mama tidak akan melihatnya. "Kami baik-baik saja, Ma. Iya Bibi sudah kembali