Home / Romansa / TULPA / 3. Kelabu

Share

3. Kelabu

Author: Kyna
last update Last Updated: 2021-11-19 22:05:15

TULPA

3. Kelabu

Malam selanjutnya, saat aku tengah berkutat dengan alat tulisku. Sosok Kelabu datang dengan tiba-tiba. Bahkan, dia kini sudah berguling-guling di atas kasurku dengan santainya. Aku hanya menghiraukannya, toh dia tidak mengangguku. Saat asik menorehkan isi hati melalui kalimat-kalimat yang mendayu, Kelabu muncul di belakangku seraya berkata. 

"Kau pandai menulis qoutes rupanya." Sontak saja aku menutup buku. Memejamkan mata, menahan malu. Dapat kurasakan, rasa panas menjalar hingga ke telinga. Antara malu dan senang akan pujian yang dilontarkan Kelabu. 

"Kenapa kau datang lagi sih? Bukankah semalam kau menyetujui perkataanku bahwa pertemuan kita semalam hanyalah mimpi semata?" ketusku. 

Kelabu yang semula menatap ke sekeliling kamarku, mengalihkan pandangannya kepadaku. 

"Itu, karena kau yang selalu memintaku untuk datang menemuimu," ujarnya santai, membuatku mendengus. "Kau mempunyai sesuatu untuk aku makan? Aku lapar," rengeknya seraya menepuk perut kurusnya. 

Aku menghela napas. Sebelum akhirnya mengangguk. Seingatku, ada beberapa kue kering di tas sekolahku. Benar saja, ada terdapat lima kue kering sisa jajan sekolahku. Kulempar ke arahnya, yang dengan sigap Kelabu tangkap. Kedua matanya tampak mengkilap berbinar. Dengan segera dia duduk di kursi belajarku, sibuk menikmati kue kering yang kuberi. 

Kutopang wajahku, menatapnya lekat-lekat. Kelabu itu tampan. Hanya saja, tubuhnya terlalu kurus dan pucat. Apa Kelabu jarang makan, sampai seperti itu? Kedua mataku terus bergerak, menilai sosok Kelabu. Mendengus, ketika mengingat bahwa pakaian yang Kelabu pakai sama seperti semalam. Kaos putih yang dibalut jaket hitam dengan celana jins hitam. 

Kedua tanganku mengepal gemas, ketika melihat anak rambutnya yang mulai menutupi netra indah itu. Ingin sekali aku mencukurnya. Memangnya, Kelabu tidak risih akan rambutnya yang mulai memanjang itu? 

"Qoutesmu indah-indah, aku bahkan bergetar ketika membacanya. Kau terlalu menjiwai setiap goresan yang kamu tuangkan. Aku suka itu."

Aku tersadar ketika suara Kelabu menusuk indera pendengaranku. Terbelalak, ketika mendapati Kelabu sedang asik dengan buku kumpulan qoutes yang aku buat selama ini. Rasa malu kembali menjalar, tetapi akhirnya aku memilih menepis rasa itu. Lagian, tidak ada gunanya lagi merasa malu, bukankah Kelabu sudah banyak membaca? 

"Kelabu ... kau ini apa?" tanyaku pelan. 

Kelabu terdiam. Sebelum akhirnya dia tersenyum tipis. Beranjak menuju ke arahku yang duduk di atas kasur. Kue kering sudah habis tak tersisa. 

"Aku, pangeran yang akan menjaga tuan putrinya." Seperti tersihir, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari sosok Kelabu yang kini berdiri di depanku dengan senyum menawannya. "Aku adalah harapanmu, Kejora," lanjutnya. Tidak lupa, sebuah usapan lembut dia hadiahkan. 

"Karena itu, aku di sini ... untukmu."

Detik itu juga, aku merasa sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan. Secercah warna mulai bergerak, menghiasi kehidupanku yang abu-abu. Dan, saat ini juga aku mulai membuka kedua tanganku, menyambut kedatangan Kelabu. Mungkin saja memang benar bahwa Kelabu adalah harapanku dan aku tidak akan membiarkan harapanku terbang jauh dari dekapanku. 

***

Lagi, malam ini Kelabu datang menemuiku. Kuberikan beberapa kue kering yang sudah aku siapkan sebelumnya. Melihat betapa lahapnya dia memakan kue-kue kering yang kemarin aku berikan, dapat kusimpulkan bahwa dia menyukai kue kering. Benar saja, saat melihat beberapa kue kering di tanganku, dia langsung berbinar dan merebutnya begitu saja. Membuatku kesal, tetapi kekesalan itu tidak berlangsung lama. Melihatnya memakan kue-kue itu, membuatku tersenyum tanpa sadar. Kelabu tampak lucu. 

"Kau tahu saja apa kesukaanku. Besok-besok, sediakan kue kering lagi untukku," ujarnya di sela-sela aktivitas makannya. 

Aku berdecak, pura-pura merasa tidak suka akan tingkahnya. Walau sebenarnya, di hatiku yang paling dalam tanpa disuruh pun aku akan melakukannya. 

"Itu pun kalau kau datang lagi," balasku. 

"Tentu saja aku akan datang ke sini!" ujarnya menggebu-gebu. 

Aku hanya mengedikkan bahu. Hubungan kami perlahan membaik dan cukup dekat. Aku tidak pernah membahas asal-usulnya atau alasannya berada di sini. Karena aku, tidak membutuhkan semua itu. Aku sadar, aku membutuhkan Kelabu, karena itu aku akan menjaga ucapanku baik-baik, takut-takut dia tersinggung dan memilih meninggalkanku. Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. 

"Kenapa namamu Kelabu?" tanyaku asal. 

Kelabu mengedikkan bahu. "Tanyakan saja pada pemberi namaku," balasnya. 

"Memangnya siapa yang memberi nama itu padamu?" 

Dia bergerak, mengusap bibirnya. Membersihkan dari sisa-sisa kue kering yang menempel di sudut bibirnya. 

"Aku tidak tahu," balasnya santai. 

Aku berdecak. Kulemparkan boneka ke arahnya. Dia memekik kesal berbeda denganku yang terbahak keras. Melihat ekspresi kesalnya, entah mengapa membuatku bahagia. Mungkin karena tidak terima, dia membalas melemparkan boneka itu kepadaku. Tetapi, karena aku sigap menghindar, lemparannya melenceng. Kujulurkan lidahku, berhasil memancing emosinya. Dia berteriak kesal, lalu mengejarku. Terjadilah aksi kejar-kejaran di dalam kamarku yang gelap. 

"Ke sini kamu Kejora!" teriaknya. 

"Coba kejar kalau bisa!" balasku. 

Suara ketukan pintu berhasil membuat kegiatan kami terhenti. Aku dan Kelabu saling tukar pandang. Kuberi kode agar dia bersembunyi dan dia menurut. Setelah dirasa aman, aku melangkah, membuka pintu kamar. Kudapati sosok mamaku yang menatapku cemas dan bingung. 

"Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanyanya. Sontak aku mengangguk. Dapat kulihat, mama menghela napas panjang. 

"Mama mendengar suara kegaduhan di dalam kamarmu, kamu tidak menyembunyikan sesuatu dari mama 'Kan?" Sekali lagi aku menggeleng. Membuat mama mengangguk, walau aku tahu bahwa mama tengah berperang dengan pikirannya yang berkecamuk. 

"Baiklah, sekarang tidurlah. Ingat, besok kamu harus pergi ke sekolah," ujar mama. Aku lagi-lagi mengangguk saja. Kututup pintu kamar, setelah melihat punggung mama menjauh dari kamarku. 

Mengembuskan napas panjang. Aku baru saja berbohong kepada mamaku. Tentu saja itu tidak mudah. Kuperhatikan ke sekeliling, hening. Di mana Kelabu? 

"Kelabu keluarlah. Mamaku sudah pergi," ujarku. 

Tidak lama kemudian, sosok Kelabu terlihat. Rupanya dia mengumpat di dalam lemariku. Dia mengangguk, mengekor di belakangku. Kami duduk berhadapan. Hening, tidak ada kalimat yang terlontar dari bibir kami. Aku bingung harus berucap apa, tiba-tiba saja topik pembicaraan yang sudah kutata tapi lenyap begitu saja. 

"Benar kata mamamu, sebaiknya kamu tidur Kejora," ujar Kelabu. Aku mendesah pelan. 

"Aku masih ingin bersamamu. Lagian, kenapa kamu tidak ikut ke sekolahku saja sih?" gerutuku. Kelabu hanya diam. 

"Kejora, ayo tidur ini sudah malam," ujarnya sekali lagi. Aku menurut dan segera beranjak menaiki kasurku. Kutatap Kelabu yang kini berpindah duduk di kursi belajarku. Menatapku. Dia tersenyum tipis. 

"Tidurlah, tidak usah kamu pikirkan tentang esok hari."

Aku mengangguk. Membalas senyumannya. Tidak lama kemudian, alam mimpi mulai menyapaku. 

Bersambung .... 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TULPA   94. Ending

    94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan

  • TULPA   93. Menuju Ending

    93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k

  • TULPA   92. Bahagia yang Sederhana

    92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala

  • TULPA   91. Kilas Kisah Gelang

    91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru

  • TULPA   90. Belajar Bersama

    90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur

  • TULPA   89. Berdamai

    89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status