TULPA
5. Bersamanya
Pagi ini cukup menggemparkan untukku. Bagaimana tidak? Sosok Kelabu sudah dengan rapi mengenakan seragam SMA yang sama denganku. Bahkan, dia dengan semangatnya berujar 'hai' saat pertama kali kumembuka mata. Tentu saja hal itu membuatku terkejut luar biasa, mengingat wajah Kelabu yang cukup dekat dengan wajahku saat itu.
Kini aku sudah siap dengan seragamku. Pertama kali keluar dari kamar mandi, dapat kulihat Kelabu yang tengah duduk di kursi belajarku seraya membaca buku pelajaranku. Tidak tahu pasti apakah dia benar-benar membacanya atau hanya membolak-balikkannya saja. Aku mendekat, mengajaknya untuk turun ke bawah. Beberapa kali memanggil nama mama, tetapi tidak ada sahutan. Kutatap Kelabu, dia masih setia berdiri di belakangku, mengerjap polos, membuatku gemas akan tingkahnya.
"Kau lapar?" tanyaku. Dia mengangguk lucu. Dengan segera aku menyiapkan roti selai untuknya dan untuk diriku sendiri. Sepertinya mama terlalu terburu-buru untuk menyiapkan sarapan seperti biasanya.
Dia menerima roti buatanku dengan senang. Tidak peduli dengan selai kacang yang menempel di sudut bibirnya. Sudut bibirku berkedut, tak tahan untuk melengkung–tersenyum. Aku tidak peduli dengan kunyahanku yang semakin melambat karena asik menatap Kelabu. Dengan waktu singkat, sarapan Kelabu habis tak tersisa, dia bahkan menjilat sudut bibirnya, membersihkan selai.
"Sudah!" ujarnya semangat. Aku hanya mengangguk dan mengambil tas sekolahku, siap untuk berangkat.
Setelah mengunci pintu, aku dan Kelabu berjalan beriringan. Perjalanan kami diisi dengan obrolan dan canda-tawa. Aku tidak peduli orang-orang yang kulalui menatapku aneh atau semacamnya. Hanya dengan adanya Kelabu, aku merasa bahagia dan berwarna. Tidak terasa, gedung sekolahku sudah terlihat. Seketika aku meredakan tawaku, bergantikan dengan wajah datar seperti biasanya. Kelabu pun seperti itu, dia tidak lagi membuat lelucon seperti tadi.
Mengembuskan napas panjang. Seperti biasa, menyiapkan diri untuk menikmati perbuatan mereka. Aku menoleh, ketika merasakan tangan kananku digenggam. Kelabu, menggandengku. Bahkan, dia menepuk pelan tangan kananku yang dia genggam, tersenyum, mencoba mengatakan padaku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum tipis.
Seperti biasa, setiap kali kumenginjakkan kaki di halaman sekolah, tatapan menghunus itu kudapatkan. Bisikan, cibiran, dan lontaran ketidaksukaan secara terang-terangan aku dengar. Dapat kurasakan genggaman Kelabu semakin mengerat. Kami terus melangkah, hingga terpaksa berhenti ketika Diana dan Rendy menghadang jalan kami. Aku menaikkan satu alis, menatap mereka malas.
"Selamat pagi, Gadis Gila! Kapan kamu bakal pindah dari sini?" tanya Diana santai. Aku mendengus.
"Bedebah," gumamku yang masih mampu didengar oleh sepasang kekasih itu. Aku tersenyum miring, saat melihat tangan Diana mengepal, bertanda dia mulai tersulut emosi.
"Kau bilang apa tadi?!" gertaknya.
"Bedebah!" tekanku.
Plak!
Kupejamkan kedua mataku, merasakan panas dan perih yang menjalar di pipi kananku. Saat mencoba meredakan rasa sakit yang kuterima, suara gedebuk disusul dengan rintisan kesakitan membuatku kembali menoleh. Di depan sana, Diana tersungkur dengan tidak elitnya. Kutatap Kelabu yang kini memasang ekspresi seram nan dingin. Bahkan, genggaman tangan kami terasa bergetar. Kelabu, marah. Tidak, dia sangat marah. Di hatiku yang paling dalam, aku merasa senang dan terlindungi karena tindakan Kelabu tadi.
"Lo–" Belum sempat Rendy mengeluarkan kalimatnya, teriakkan Pak Dedy, guru BK menggelegar. Membuat para murid yang menonton keributan yang kami ciptakan seketika menyingkir. Memperlihatkan Pak Dedy yang melangkah tegas ke arah kami.
"Kalian, ikut bapak!" tegasnya.
Diana dan Riyan mengekor, dengan Riyan yang memapah kekasihnya. Aku berdecih, bukannya yang terluka adalah wajahnya kenapa harus dipapah segala? Aku tersadar ketika Kelabu memanggil namaku. Wajahnya tidak seseram tadi, kini dia sudah seperti biasa. Seperti Kelabu yang kukenal. Menghela napas panjang, sebelum akhirnya turut mengekori langkah Pak Dedy.
***
Keluar dari ruang BK, aku berdecak kesal. Bagaimana tidak? Diana dan Riyan dinyatakan tidak bersalah dalam hal ini dan akulah yang mendapatkan hukuman. Uang benar-benar segalanya. Hukum dan keadilan sudah tidak mempan dan berguna lagi jika dibandingkan dengan uang. Mengingat kedua orang tua Diana dan Riyan yang notabene-nya donatur sekolah, membuat mereka lepas dari hukuman karena perbuatan mereka.
Kelabu di sampingku, menepuk-nepuk pucuk kepalaku seraya tersenyum. Sejak tadi genggaman tangan kami tidak pernah lepas. Kugembungkan kedua pipiku yang malah mendapatkan cubitan gemas darinya.
"Sudah lebih baik kita ke perpustakaan," ujarnya yang malah membuatku semakin kesal.
"Ih, ini harusnya hukuman buat mereka couple bedebah!" sungutku.
Kelabu menjentikkan jarinya di bibirku, membuatku mengaduh. Melotot, tidak terima dengan perbuatannya barusan. Tetapi melihat ekspresinya yang datar membuat nyaliku menciut. Dia seram kalau seperti itu, percayalah!
"Jangan berbicara kasar, Cantik." Aku membeku.
Ucapan Kelabu barusan tidak cukup baik untuk keadaan jantungku. Rasa panas mulai menjalar ke pipi hingga telingaku. Ah sialan, jangan bilang aku merona?! Tidak-tidak ini memalukan! Kubuang wajah ketika Kelabu menatapku. Astaga, malunya.
"Wajahmu merah, kamu demam?"
Kelabu bodoh! Bisa-bisanya dia berkata seperti itu! Ayolah aku sedang salah tingkah karena ucapannya! Tetapi, dia bahkan tidak menyadari itu. Tanpa menjawab, aku melenggang pergi. Genggaman tangan kami kulepas, tidak peduli dengan teriakkan Kelabu yang kebingungan akan sikapku! Sekarang aku hanya ingin menghindar bersitatap dengannya.
"Ya ampun ini gudang atau perpustakaan?" gerutuku. Di depanku sudah terdapat salah satu rak buku yang sangat kotor dan tidak rapi. Buku diletakkan asal-asalan begitu saja.
"Sudahlah kamu ini dari tadi menggerutu saja. Ayo, kita bersihkan bersama-sama," ajak Kelabu. Aku mengangguk saja.
Kuambil kemoceng yang berada di sana, mulai membersihkan rak buku. Sedangkan Kelabu, menata kembali buku-buku agar rapi. Sekali mendengar aku bersin, Kelabu langsung berhenti akan aktivitasnya dan bertanya apakah aku baik-baik saja? Lagi-lagi aku harus menahan salah tingkahku karena perbuatannya. Karena aku terus-menerus bersin, Kelabu berinisiatif untuk mengambil alih membersihkan debu dan aku menata buku. Aku mengiyakan. Karena tinggi badanku yang tidak setinggi Kelabu, aku perlu menaiki kursi tangga yang disediakan perpustakaan untuk menatap buku di bagian rak paling tinggi.
Aku terpekik, ketika merasakan pijakanku goyah. Mendengar jeritanku, Kelabu sontak berbalik dan dengan sigap menangkap tubuhku yang sudah terjun bebas, siap menghantam kerasnya lantai. Di posisi ini, wajah kami sangat dekat. Kutatap manik mata hijaunya yang mengkilap. Waktu seakan berhenti, kami sama-sama terdiam di posisi masing-masing. Aku yang memegangi kedua bahu Kelabu dan Kelabu yang menahan punggungku agar tidak menghantam lantai.
"Eh, um makasih," ucapku gugup setelah sadar dari lamunan.
Sontak aku berdiri, menunduk menutupi gurat kemerahan yang sudah kupastikan kembali hadir di pipiku. Dapat kutangkap melalui ekor mata, Kelabu juga tampak canggung dengan keadaan. Dia kini menggaruk pipinya. Aku berdehem pelan, melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda. Mengingat kejadian barusan membuatku ingin menjerit sekeras mungkin. Astaga, seharian ini benar-benar tidak aman untuk jantungku. Kelabu benar-benar, argh ingin sekali kulempar ke laut. Eh, memangnya aku akan setega itu dengannya? Tentu saja tidak!
Jam terus berputar, siang hari sudah tergantikan akan langit berwarna keoranye-an. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjuk pukul tiga sore. Kulirik Kelabu yang tengah duduk di sampingku seraya melamun. Tidak sepertiku yang sudah banjir keringat, Kelabu masih terlihat semangat dan kuat. Bahkan, tidak kutangkap adanya keringat di wajahnya.
"Ayo pulang," ajakku. Dia menoleh lalu mengangguk.
Benar apa dugaanku, sekolah sudah sangat sepi. Hanya tersisakan anak-anak yang memiliki jadwal ekstrakurikuler saja yang terlihat berlalu-lalang.
"Besok kau akan sekolah lagi?" tanyaku, memastikan Kelabu akan datang ke sekolah atau tidak. Kelabu terdiam.
"Iya, bukankah aku sudah berkata padamu bahwa aku akan menjagamu? Dan sekarang adalah waktunya aku membuktikan ucapanku waktu itu," balasnya.
Aku tersenyum senang. Akhirnya setelah sekian lama berimajinasi akan datangnya sosok pangeran untuk menemaniku akhirnya terwujud. Kelabu datang dan aku senang akan hal itu.
TULPA6. Pengganggu"Ini hasilnya menjadi tiga bukan dua, Kelabu."Aku menghela napas panjang, ketika menatap Kelabu yang malah mengembungkan kedua pipinya seraya menggeleng tegas. Dia masih bersikukuh dengan jawabannya yaitu dua. Di saat, ditanya mengapa dia pilih dua, karena dia maunya kaya gitu. Mengingat hal itu, membuatku harus sabar mengajari cowok itu. Memilih mengangguk kecil, mengiyakan jawaban Kelabu. Lelah rasanya bila terus berdebat dengannya.Lihatlah, hanya dengan melihat senyum manisnya yang sekarang mengembang, rasa kekesalanku kepadanya seketika menghilang. Kini, dia mulai berkutat ke nomer lainnya. Ya, malam ini aku memutuskan untuk mengajarinya menghitung dan membaca. Untungnya, Kelabu adalah anak dengan tingkat kepahaman yang tinggi, jadi tidak membutuhkan waktu lama Kelabu dapat menguasainya. Jujur saja, aku cukup terkejut ketika dia menanyakan deretan angka-angka yang berada di buku pak
TULPA7. Rai dan Hilangnya Kelabu"Incess Rai datang! Karpet merahnya mana?!"Aku menatap malas pintu depan rumahku yang sudah berkali-kali diketuk oleh sepupuku, Rai. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa pintu tersebut tidaklah dikunci. Dengan malas, kumelangkah membuka pintu rumahku dengan terpaksa, mempersilahkan gadis dengan rambut panjang, bergelombangnya dengan bando merah bertengger cantik di atas kepalanya itu. Tangan kanannya sibuk, mengoleskan bedak yang dipegangnya seraya mengaca."Itu bedak belum luntur juga." Rai menatapku sinis."Iri bilang sepupu!" balasnya lalu melangkah berlenggak-lenggok memasuki rumahku.Aku menghela napas panjang, sudah dipastikan kehidupanku untuk dua minggu ke depan tidak akan tenang. Mengingat sifat dan sikap sepupuku ini. Lihatlah, bahkan sekarang Rai dengan santai duduk di sofa ruang tamu seraya melemparkan kopernya
TULPA8. KeanehanAku termangu, duduk di bawah pohon mangga yang baru berbunga. Angin silir menerpa, membuat beberapa anak rambutku turut berkibar. Mengembuskan napas sekali lagi, sudah satu minggu sosok Kelabu menghilang. Entah ke mana dirinya pergi, membuat isi hatiku turut bersedih. Aku merasa kesepian tanpanya. Sunyi, senyap. Kehidupanku terasa seperti semula. Di mana dia? Apakah dia mulai bosan berteman denganku? Atau ada sesuatu yang terjadi dengannya? Rasa cemas dan takut akhir-akhir ini berhasil membuat jam tidurku terganggu. Terkadang, pukul dua pagi aku terbangun, terkadang aku baru bisa terlelap pada pukul dua belas malam. Rai juga beberapa kali berhasil memergokiku yang tengah melamun dan berakhir dengan godaannya. "Sedang putus cinta ya?" Godanya waktu itu. Dan hanya kubalas dengan gumaman saja. Putus cinta? Aku pun tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Yang aku tahu, aku takut kehilangan Kelabu. "Jauhin dia."Aku sontak menoleh, menatap sengit sosok Kelam yang kini
TULPA9. ImajiBruk! Aku mengembuskan napas berat. Suara tawa menggelegar. Aku hanya bergumam pelan, meratapi nasibku yang masih saja menjadi korban bullyan mereka. Mencoba mempertahankan wajah biasa-biasa saja, aku segera bangkit seraya menepuk-nepuk pelan rok sekolahku yang sedikit berdebu karena terjatuh. Kali ini aku memang berangkat sendirian. Rai dengan kurang ajarnya meninggalkanku tanpa membangunkan aku. Ya, aku bangun kesiangan karena jam alarmku rusak semalam. "Woi!"Teriakkan Rai berhasil membuat mereka yang semula tertawa senang karena aku terjatuh dengan tidak elitenya segera bungkam. Mereka langsung membubarkan diri, tidak mau berhadapan dengan sepupuku yang entah mengapa akhir-akhir menjadi superhero untuk kehidupanku yang kelam. Ngomong-ngomong soal Kelam, cowok itu semakin bertingkah aneh. Setiap kali kudapati dia diam-diam memperhatikanku dari jarak jauh. "Ra, gapapa 'Kan?" Aku mengerjap. Tersadar akan lamunan. Dengan segera aku mengangguk untuk membalas pertanyaa
TULPA10. Mimpi“Kejora....” Aku menoleh. Suara Kelabu terdengar sangat menyenangkan. Ada apa dengan Kelabu? Apakah terjadi sesuatu dengannya? "Kejora...." Rintihan itu.... "Kelabu?" Aku memanggil. Coba mencari sosoknya. Saya sendiri dibuat bingung dengan suasana yang kini berada di sekelilingku. sebuah padang rumput, dengan beribu kunang-kunang yang berterbangan ke sana kemari. Angin kecil berhembus, bersamaan dengan suara Kelabu yang kembali terdengar. Seakan-akan angin yang telah mengantarkan suara Kelabu untukku melaluinya. "Kelabu?" Suaraku meninggi. Rasa takut dan bercampur menjadi satu. Aku mulai melangkah. Mengandalkan indera pendengarku, aku mencoba mencari sumber suara Kelabu. Kedua mataku menyipit. Mencoba dengan melihat sosok yang berbaring di sebuah pohon beringin yang berdiri kokoh beberapa meter di depanku. Siluet seseorang yang tengah menyandar di batang besar pohon itu. Entah mengapa, detak jantungku semakin cepat. Apa suara Kelabu yang berasal dari sana. Apakah
TULPA11. Kue Kering HarapanKutopang menggunakan kedua tanganku. Menatap keluar jendela. Siluet matahari yang mulai terbenam, menjadi titik pandanganku. Walau nyatanya, pikiranku bukan tengah mengagumi keindahan hari ini. aku menatap kedua mataku saat sapuan halus dari angin sakit saat menyapanya. Memang dengan sengaja jendela kamarku kubuka lebar, setidaknya itu bisa membuat pikiranku lebih segar. "Non, ada telepon dari nyonya," suara Bibi Sum membuatku tersadar darilamunan. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuju ke lantai pertama karena telepon rumah terletak di sana. Beberapa hari tanpa memberi kabar kepadaku, membuatku yakin mama. Apakah mama istirahat dengan baik di sana? "Halo, Bu?" Aku membuka suara. "Sayang, kepulangan mama diundur dua hari. Apakah kamu baik-baik saja di sana dengan Rai? Ngomong-ngomong Bibi Sum sudah kembali bekerja bukan?" tanya mama bertubi-tubi. Aku mengangguk, walau aku tahu mama tidak akan melihatnya. "Kami baik-baik saja, Ma. Iya Bibi sudah kembali
TULPA12. Cewek Gue! Pagi ini, aku berangkat ke sekolah sendirian. Rai tiba-tiba jatuh sakit. Tadi pagi dia berkata padaku bahwa dia merasa tidak enak badan. Benar saja saat kucek, dia mengalami demam. Tidak ada sosoknya, sudah dipastikan mereka akan melakukan semena-mena lagi padaku. Ibaratnya, Rai itu adalah pengganti sosok Kelabu yang selama ini akan menjagaku saat dirundung. Sepupuku itu walau terkesan centil, dia juga memiliki sifat bar-bar dan mulut pedas. "Lihat mainan kita berangkat sendirian, Sayang." Suara itu berhasil membuat tubuhku menegang. Mencoba rileks, aku mendongak. Benar saja di kursi depan kelas duduk sepasang kekasih bullying yang selama ini sudah jarang menggangguku karena kehadiran Rai. Mencoba tidak peduli, aku mempercepat langkah. Segera melewati mereka. Tetapi, rupanya mereka sudah sangat rindu denganku sehingga tidak ingin melepaskanku begitu saja. Kucengkeram kuat, kedua tali tasku. Mencoba mengurangi rasa takut yang mulai bergelayar di tubuhku. Jangan
Tulpa13. Menghabiskan Malam [Aku sudah di depan rumahmu.]Pesan singkat yang dikirimkan Kelam kepadaku, berhasil membuat kedua bola mataku membola. Kenapa Kelam ke rumahku malam-malam begini? Dengan rasa penasaran sekaligus cemas kubalas pesan itu dengan pertanyaan. [Ngapain?]Tidak membutuhkan waktu lama, pesanku langsung terbalas. Aku menemukan dahi ketika melupakan sesuatu. Benar juga, bukankah tadi di rooftop Kelam mengatakan bahwa dia akan menjemputku untuk menonton. Entah menonton apa yang dia maksud. [Kita akan menonton.]Kutatap baca sekali lagi pesan itu. Dengan segera kuturun ke bawah, mendapati Bibi Sum yang telah membukakan pintu untuk Kelam. Bibi Sum tampak tersenyum menggoda ke arahku, aku mencoba tidak peduli. Dan langsung menghampiri Kelam. Bibi Sum memang ditugaskan untuk menemaniku dengan Rei dua puluh empat jam alias Bibi Sum menginap di rumahku karena perintah mama. Tidak seperti biasanya di mana Bibi Sum akan langsung pulang setelah selesai dengan pekerjaannya