Share

Bab 3. Hasrat Terpendam

Intan beranjak lagi dari tidurnya, ia meraba-raba tenggorokan dan berkata," Mau tidur malah haus."

Pintu toilet terbuka, tampaklah Edwin yang keluar dalam kondisi tanpa busana. Hanya pakaian dalam saja yang dia kenakan di badan kekarnya.

"Mas, mau ganti baju?"

"Iya, kamu belum tidur juga?"

"Aku haus, mau ke dapur dulu."

Intan lanjut menyambangi dapur ke lantai utama. Baru saja kakinya menuruni tangga, ia melihat sang mertua sedang duduk di sofa yang ruang tamu.

"Mama, belum tidur?" Tanya Intan menghampirinya.

"Saya gak butuh tidur. Oh iya, kamu betah jadi istri Edwin? Kalau gak betah ya tinggal bilang," ucap Rani. "Tapi, hati-hati lo, kalau bisa jangan buka pintu tengah malam ya? Suka ada apa-apanya di sini."

"Baru beberapa jam jadi istri Mas Edwin, belum kerasa indahnya," ucap Intan. 

Rani, sang mertua itu melengos dan duduk kembali di sofa.

Sementara itu, Intan lanjut ke dapur. Dia lantas meneguk segelas air hangat dan membawa sisanya ke dalam gelas khusus.

Bruk!

Sebuah wadah terjatuh dan menggelinding ke arah meja makan. 

"Itu kan gelas, kok bisa ke sana," gumam Intan. 

Tiba-tiba saja ada seorang pelayan yang masih berseragam hitam, rambutnya dikuncir mirip ekor kuda dan dia berjalan dengan kencang ke lantai dua.

"Bi, bibi, tunggu, aku mau minta tolong," pinta Intan, ia hendak menyusul pelayan itu.

"Intan, ada apa?" Rani terkejut mendengar suara Intan yang agak keras. 

"Mama? Barusan ada pelayan, rambutnya dikuncir, dia ke lantai ini tapi udah gak ada," ucap Intan. "Jam berapa mereka tidur?"

Rani, sang mertua mendekat pada Intan. Ia berkata," Ini malam pertama kamu, layanin tuh! Edwin udah nunggu. Udahlah, saya mau tidur dulu."

Lampu kristal dipadamkan, seketika seluruh ruangan menjadi redup. Intan kembali masuk ke kamarnya dan sudah mendapati Edwin terkapar di atas ranjang.

"Mas, kamu udah tidur duluan," ucap Intan. Ia menyimpan gelas berisi air hangat dulu di meja rias. 

Pintu kamar belum ditutup, dan tampaklah sosok pelayan yang masih berseragam itu melintas di depan kamar. 

Intan mencoba mengintip pelayan itu. Tiba-tiba saja ada angin dingin berhembus hingga membuatnya bergidik.

"Siapa ya barusan? Ini malam pertamaku dengan Mas Edwin, tapi udah banyak disuguhi pemandangan misterius di rumah ini," gumamnya. 

Intan kembali menutup pintu kamar pelan-pelan, lanjut memadamkan lampu dan mulai merebahkan badannya di samping kanan Edwin. Seraya memeluk dengan erat dan mengecup wajah tampan suaminya yang sudah tertidur pulas.

"Enggak ada yang spesial di malam pertama, aku merasa hampa, kenapa juga aku menerima pernikahan ini? Apa aku ini kena pelet seperti yang selalu dibicarakan mayoritas orang Indonesia?"

***

Satu minggu setelah pernikahan, momen yang selalu ditunggu-tunggu oleh Intan tak kunjung dia dapatkan. Dia sudah berusaha merayu Edwin sedemikian rupa. Mulai dari memeluk dengan erat, membuatkan makanan kesukaan dan bertutur kata lemah lembut. 

Namun, Edwin hanya menjawab perlakuan lembut istrinya dengan kalimat singkat. "Maaf, Sayang. Terimakasih atas kebaikannya, ya? Urusan itu kita lakukan buat nanti saja. Bukannya saya kurang jantan, tapi saya belum siap."

Intan hanya mengangguk pelan sambil menghela nafas dan berkata," Iya, enggak apa-apa, setidaknya aku selalu mendapatkan pelukan hangat dari kamu setiap hari. Bagiku sudah cukup."

Di waktu makan siang bersama, Intan duduk di samping kanan Edwin. Setelah itu, datanglah dua orang pelayan yang mendorong kursi roda Pak Erik. 

"Selamat siang, Papa," ucap Edwin.

" Kakak ipar apa kabar? Pengantin baru kok dingin begitu," canda Erwin yang baru saja muncul dengan Elsa.

"Aku udah gak sabar pengen keponakan, biar di rumah ini rame," sambung Elsa.

"Jangan bercanda terus, kita mulai makan siang!" Tegas Rani yang juga baru menyambangi meja makan. "Duduk semuanya!"

Suara denting dari bunyi peralatan makan mulai bersahutan. Semua makanan yang tersaji mulai mereka santap. 

Intan melirik kepada ayah mertuanya yang terdiam membisu, namun tatapan matanya fokus ke hidangan makanan. Sesekali, bola matanya melirik ke arah Rani, istrinya sendiri.

"Papa gak makan?" Tanya Intan.

Kemudian salah satu pelayan menghampiri. Ia berkata," Pak Erik punya makanan khusus, bukan berupa makanan, tapi berupa vitamin, protein yang sudah berbentuk kapsul."

"Oh begitu ya. Oh iya, teman kamu yang suka keluyuran malam siapa ya? Dia pakai baju pelayan warna hitam, rambutnya dikuncir kayak ekor kuda, jalannya cepat banget. Di mana dia sekarang?" Tanya Intan.

Pelayan itu mengerutkan keningnya. "Di sini enggak ada pelayan yang dikuncir kayak ekor kuda."

"Intan, ini waktunya makan siang, fokus makan bukan bahas yang lain," protes Rani.

"Mama, bisa sopan sedikit? Dia kan menantu Mama," protes Elsa. 

Rani yang selalu ketus dan gampang tersinggung itu malah menggebrak meja. 

Plak!

"Kenapa? Keberatan dengan kehadiran istri saya ini?" Tanya Edwin. "Mau makan malah marah-marah!"

"Intan, kamu belum tahu semua rahasia keluarga ini, Kusumadinata punya cara khusus untuk mendapat kekayaan dan kehormatan, dan kamu salah satu orang yang akan terlibat, karena kamu pengantin baru, dalam waktu tiga bulan harus sudah tuntas," terang Rani.

Rani tertawa terbahak-bahak seorang diri.

"Apa maksudnya?" Tanya Intan.

"Enggak, Sayang. Enggak perlu dengerin dia, ibu saya ini memang agak gila," ucap Edwin.

Plak!

Rani menggebrak meja lagi. 

"Kalau bapakmu sehat pasti udah usir kamu dari rumah ini!" Bentak Rani.

"Mama, cukup!" Erwin melerai perdebatan itu. "Bukan mama yang menguasai rumah ini, tapi kita semua."

"Mama, maunya apa sih! Pengen perhiasan karena sebentar lagi mau undang teman arisan jadi biar pamer, ya? Atau pengen uang banyak," sindir Elsa. 

Tiba-tiba saja Rani memecahkan sebuah gelas di hadapan mereka hingga serpihannya menyebar.

"Kalian makan, bayar pajak rumah, bayar karyawan dari siapa? Lihat ayah kalian, dia sekarat!" Teriak Rani.

"Saya yang bayar semuanya," sahut Edwin. "Bisnis punya papa sudah bangkrut, saya bangun bisnis sendiri dari awal."

"Baik, gimana kalau mama jual rumah ini? Nunggu tiga bulan lagi keburu bangkrut! Gimana kalau ayah kalian yang jadi korbannya!" Gerutu Rani.

Semua saling bertatapan. 

"Sebenarnya ada apa ini?" Tanya Intan. "Jujur saja aku belum mengerti."

Semuanya terdiam, tidak mau menjawab pertanyaan Intan. 

"Sudahlah, aku mau ketemu teman dulu sekalian bahas bisnis. Mas, jagain istrinya, jangan sampai yang sekarang jadi korban berikutnya. Aku pergi dulu ya," pamit Erwin.

Tiba-tiba semuanya hening. Elsa kembali duduk di kursi sambil termenung. Edwin malah meneguk segelas jus. 

"Kalian bisa merasakan kehadiran dia, gak?" Tanya Rani. 

Wush.....

Angin dingin berhembus. 

"Ada angin di dalam rumah, enggak logis, di sini kan pake AC semua," gumam Intan. 

"Coba, lain kali Mama komunikasi sama makhluk itu, bilang sama dia kalau ini bukan waktunya," pinta Edwin.

Sementara itu, Intan mulai terisak-isak. Menghindar dari Edwin, lalu berkata," Mas, apa tujuan kamu nikahi aku? Jujur saja! Kamu manusia macam apa, Mas!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status