Intan beranjak lagi dari tidurnya, ia meraba-raba tenggorokan dan berkata," Mau tidur malah haus."
Pintu toilet terbuka, tampaklah Edwin yang keluar dalam kondisi tanpa busana. Hanya pakaian dalam saja yang dia kenakan di badan kekarnya.
"Mas, mau ganti baju?"
"Iya, kamu belum tidur juga?"
"Aku haus, mau ke dapur dulu."
Intan lanjut menyambangi dapur ke lantai utama. Baru saja kakinya menuruni tangga, ia melihat sang mertua sedang duduk di sofa yang ruang tamu.
"Mama, belum tidur?" Tanya Intan menghampirinya.
"Saya gak butuh tidur. Oh iya, kamu betah jadi istri Edwin? Kalau gak betah ya tinggal bilang," ucap Rani. "Tapi, hati-hati lo, kalau bisa jangan buka pintu tengah malam ya? Suka ada apa-apanya di sini."
"Baru beberapa jam jadi istri Mas Edwin, belum kerasa indahnya," ucap Intan.
Rani, sang mertua itu melengos dan duduk kembali di sofa.
Sementara itu, Intan lanjut ke dapur. Dia lantas meneguk segelas air hangat dan membawa sisanya ke dalam gelas khusus.
Bruk!
Sebuah wadah terjatuh dan menggelinding ke arah meja makan.
"Itu kan gelas, kok bisa ke sana," gumam Intan.
Tiba-tiba saja ada seorang pelayan yang masih berseragam hitam, rambutnya dikuncir mirip ekor kuda dan dia berjalan dengan kencang ke lantai dua.
"Bi, bibi, tunggu, aku mau minta tolong," pinta Intan, ia hendak menyusul pelayan itu.
"Intan, ada apa?" Rani terkejut mendengar suara Intan yang agak keras.
"Mama? Barusan ada pelayan, rambutnya dikuncir, dia ke lantai ini tapi udah gak ada," ucap Intan. "Jam berapa mereka tidur?"
Rani, sang mertua mendekat pada Intan. Ia berkata," Ini malam pertama kamu, layanin tuh! Edwin udah nunggu. Udahlah, saya mau tidur dulu."
Lampu kristal dipadamkan, seketika seluruh ruangan menjadi redup. Intan kembali masuk ke kamarnya dan sudah mendapati Edwin terkapar di atas ranjang.
"Mas, kamu udah tidur duluan," ucap Intan. Ia menyimpan gelas berisi air hangat dulu di meja rias.
Pintu kamar belum ditutup, dan tampaklah sosok pelayan yang masih berseragam itu melintas di depan kamar.
Intan mencoba mengintip pelayan itu. Tiba-tiba saja ada angin dingin berhembus hingga membuatnya bergidik.
"Siapa ya barusan? Ini malam pertamaku dengan Mas Edwin, tapi udah banyak disuguhi pemandangan misterius di rumah ini," gumamnya.
Intan kembali menutup pintu kamar pelan-pelan, lanjut memadamkan lampu dan mulai merebahkan badannya di samping kanan Edwin. Seraya memeluk dengan erat dan mengecup wajah tampan suaminya yang sudah tertidur pulas.
"Enggak ada yang spesial di malam pertama, aku merasa hampa, kenapa juga aku menerima pernikahan ini? Apa aku ini kena pelet seperti yang selalu dibicarakan mayoritas orang Indonesia?"
***
Satu minggu setelah pernikahan, momen yang selalu ditunggu-tunggu oleh Intan tak kunjung dia dapatkan. Dia sudah berusaha merayu Edwin sedemikian rupa. Mulai dari memeluk dengan erat, membuatkan makanan kesukaan dan bertutur kata lemah lembut.
Namun, Edwin hanya menjawab perlakuan lembut istrinya dengan kalimat singkat. "Maaf, Sayang. Terimakasih atas kebaikannya, ya? Urusan itu kita lakukan buat nanti saja. Bukannya saya kurang jantan, tapi saya belum siap."
Intan hanya mengangguk pelan sambil menghela nafas dan berkata," Iya, enggak apa-apa, setidaknya aku selalu mendapatkan pelukan hangat dari kamu setiap hari. Bagiku sudah cukup."
Di waktu makan siang bersama, Intan duduk di samping kanan Edwin. Setelah itu, datanglah dua orang pelayan yang mendorong kursi roda Pak Erik.
"Selamat siang, Papa," ucap Edwin.
" Kakak ipar apa kabar? Pengantin baru kok dingin begitu," canda Erwin yang baru saja muncul dengan Elsa.
"Aku udah gak sabar pengen keponakan, biar di rumah ini rame," sambung Elsa.
"Jangan bercanda terus, kita mulai makan siang!" Tegas Rani yang juga baru menyambangi meja makan. "Duduk semuanya!"
Suara denting dari bunyi peralatan makan mulai bersahutan. Semua makanan yang tersaji mulai mereka santap.
Intan melirik kepada ayah mertuanya yang terdiam membisu, namun tatapan matanya fokus ke hidangan makanan. Sesekali, bola matanya melirik ke arah Rani, istrinya sendiri.
"Papa gak makan?" Tanya Intan.
Kemudian salah satu pelayan menghampiri. Ia berkata," Pak Erik punya makanan khusus, bukan berupa makanan, tapi berupa vitamin, protein yang sudah berbentuk kapsul."
"Oh begitu ya. Oh iya, teman kamu yang suka keluyuran malam siapa ya? Dia pakai baju pelayan warna hitam, rambutnya dikuncir kayak ekor kuda, jalannya cepat banget. Di mana dia sekarang?" Tanya Intan.
Pelayan itu mengerutkan keningnya. "Di sini enggak ada pelayan yang dikuncir kayak ekor kuda."
"Intan, ini waktunya makan siang, fokus makan bukan bahas yang lain," protes Rani.
"Mama, bisa sopan sedikit? Dia kan menantu Mama," protes Elsa.
Rani yang selalu ketus dan gampang tersinggung itu malah menggebrak meja.
Plak!
"Kenapa? Keberatan dengan kehadiran istri saya ini?" Tanya Edwin. "Mau makan malah marah-marah!"
"Intan, kamu belum tahu semua rahasia keluarga ini, Kusumadinata punya cara khusus untuk mendapat kekayaan dan kehormatan, dan kamu salah satu orang yang akan terlibat, karena kamu pengantin baru, dalam waktu tiga bulan harus sudah tuntas," terang Rani.
Rani tertawa terbahak-bahak seorang diri.
"Apa maksudnya?" Tanya Intan.
"Enggak, Sayang. Enggak perlu dengerin dia, ibu saya ini memang agak gila," ucap Edwin.
Plak!
Rani menggebrak meja lagi.
"Kalau bapakmu sehat pasti udah usir kamu dari rumah ini!" Bentak Rani.
"Mama, cukup!" Erwin melerai perdebatan itu. "Bukan mama yang menguasai rumah ini, tapi kita semua."
"Mama, maunya apa sih! Pengen perhiasan karena sebentar lagi mau undang teman arisan jadi biar pamer, ya? Atau pengen uang banyak," sindir Elsa.
Tiba-tiba saja Rani memecahkan sebuah gelas di hadapan mereka hingga serpihannya menyebar.
"Kalian makan, bayar pajak rumah, bayar karyawan dari siapa? Lihat ayah kalian, dia sekarat!" Teriak Rani.
"Saya yang bayar semuanya," sahut Edwin. "Bisnis punya papa sudah bangkrut, saya bangun bisnis sendiri dari awal."
"Baik, gimana kalau mama jual rumah ini? Nunggu tiga bulan lagi keburu bangkrut! Gimana kalau ayah kalian yang jadi korbannya!" Gerutu Rani.
Semua saling bertatapan.
"Sebenarnya ada apa ini?" Tanya Intan. "Jujur saja aku belum mengerti."
Semuanya terdiam, tidak mau menjawab pertanyaan Intan.
"Sudahlah, aku mau ketemu teman dulu sekalian bahas bisnis. Mas, jagain istrinya, jangan sampai yang sekarang jadi korban berikutnya. Aku pergi dulu ya," pamit Erwin.
Tiba-tiba semuanya hening. Elsa kembali duduk di kursi sambil termenung. Edwin malah meneguk segelas jus.
"Kalian bisa merasakan kehadiran dia, gak?" Tanya Rani.
Wush.....
Angin dingin berhembus.
"Ada angin di dalam rumah, enggak logis, di sini kan pake AC semua," gumam Intan.
"Coba, lain kali Mama komunikasi sama makhluk itu, bilang sama dia kalau ini bukan waktunya," pinta Edwin.
Sementara itu, Intan mulai terisak-isak. Menghindar dari Edwin, lalu berkata," Mas, apa tujuan kamu nikahi aku? Jujur saja! Kamu manusia macam apa, Mas!"
Saking kagetnya, Edwin sampai menampar wajah Nala karena yang dia lihat adalah sosok hitam berwajah datar."Pak, hentikan! Jangan pukul saya!" Teriak Nala."Kamu setan di rumah ini, pergi kamu!" Teriak Edwin.Suara teriakan Edwin dan Nala sampai menggema di seluruh ruangan, terdengar hingga ke lantai utama. Tak lama kemudian, datang Erwin dan Amel sampai berlari menyambangi lantai dua dan mereka menemukan Edwin sedang menjambak Nala. Erwin bergegas memisahkan mereka berdua. Sampai Erwin terkena hantaman tangan Edwin."Mas, jangan, Mas! Kasihan dia, Mas!" Pinta Erwin."Diam, dia setan. Ngapain juga ada di kamar Mama!" Teriak Edwin."Mas, dia Nala. Hentikan!" Teriak Erwin. Saking emosinya, dia sampai menghantam tangan Edwin yang menjambak rambut Nala.Sejenak, suasana kembali tenang. Namun, rambut Nala sudah gimbal dan wajahnya agak lebam. Amel memeluknya dengan erat dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.Edwin pun baru sadar bahwa yang baru saja dia jambak adalah Nala. Dia langsung
Kemudian, beberapa warga berkerumun di depan rumah. Mereka hendak menghentikan Rudi yang akan melesatkan peluru. Nahas, Rudi memberontak dan memaki-maki orang sekitarnya."Pergi kalian semua! Jangan diem di depan rumah gue, sialan!"Salah satu warga menghampiri Edwin. Seorang pria berambut putih berkata," Pak, dia memang agak stress, sebaiknya bapak pulang saja."Semua warga yang berkerumun menyuruh Edwin untuk pulang demi keamanan. Namun, langkahnya terhenti oleh wanita gemuk yang bernama Mpok Mia yang baru saja datang."Rud, lo kenapa marah-marah gitu?""Mpok, itu anak-anak Kusumadinata yang dulu jadi majikan anak lo yang mati, itu dia!"Mpok Mia menoleh, tapi seperti ragu mendekat."Bu, boleh kita bicara sebentar saja," pinta Edwin. "Iya, iya, boleh. Tapi jangan di sini, ini rumah adik saya," jawab Mpok Mia. Tiba-tiba Rudi mengerang kesakitan di bagian dada kirinya. Dia melunglai lemas dan memuntahkan darah.Mpok Mia bergegas menolong adiknya yang berteriak-teriak kesakitan. Semu
Intan bersikeras mendekati Nala. ART itu belum juga menyahut meski majikan sudah meninggikan suara untuk memanggil. Intan pun hendak mencolek punggung Nala. Namun dia ragu. Lantas, Nala tertawa cekikikan dan mulai menengadahkan kepalanya ke atas. "Nala, kamu baik-baik saja, kan?" "Babu kayak saya ini nggak ada artinya buat kalian," sahut Nala lantang. "Apalagi di depan nenek tua yang haus kekayaan." "Maksud kamu apa, Nala?" Tanya Intan. "Dasar majikan bodoh!" Hardik Nala. Amel baru saja masuk kamar, dia tersentak kaget menyaksikan Nala yang bergelagat aneh sampai membuatnya bernafas tersengal-sengal. "Bu, kayaknya Nala kerasukan deh," ucapnya. Kemudian, Nala menoleh, menunjukkan wajah yang pucat dan mata yang putih. Dia menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba saja, Nala muntah, lehernya seperti tercekik, dia berteriak kesakitan sampai terjatuh dan menggulingkan badannya di lantai. "Astaghfirullah, Nala!" Teriak Intan. Akhirnya, Nala batuk-batuk, memuntahkan cairan hi
Elsa meringis ketika mendapati kedua tangan kakak kandungnya yang berlumuran darah sambil melambaikan tangannya seperti meminta tolong. "Elsa!" Teriak Edwin.Elsa bergegas menolong. Kemudian, menghampiri jendela. Sayangnya, Edwin semakin menjauh sampai Elsa kesulitan meraih tangan kakaknya itu."Elsa! Sadar, Els!" Teriak Dhea.Dalam pandangannya, Elsa menyaksikan Edwin hendak melompat, seperti mau bunuh diri. Di saat itulah, Elsa nekad meraih tangan kakaknya. "Mas, jangan lompat!" "Elsa, jangan lompat!" Teriak mahasiswa yang menolongnya.Elsa terus memberontak ketika semua mahasiswa menahan badannya. "Itu kakak gue jatuh ke bawah! Mas Edwin, jangan lompat, Mas!"Bruk!Akhirnya, Elsa berhasil melompat lalu terjatuh ke atap lantai satu dan tergeletak pingsan.Satu jam kemudian, Elsa baru bisa membuka kedua matanya. Yang dia lihat hanya ruangan serba putih dan lampu neon yang menerangi ruangan."Elsa, syukurlah, kamu udah sadar," ucap Intan. "Kak, mana Mas Edwin? Dia baik-baik saja,
Kamar mendiang Nenek Diah tampak berantakan, kumuh dan bau pesing. Ada air menggenang di lantai dan dikerumuni kumbang. "Mas, ada apa?" Sahut Elsa. Baru saja membuka pintu, dia langsung muntah-muntah. "Bau banget!""Mas, pagi-pagi udah teriak," keluh Intan. "Ada apa--"Intan terbelalak dan langsung menutup hidungnya. Dia bergegas mengambil masker untuk menutupi mulut dan penciumannya."Mas, gue mau ngopi, ngapain manggil gue?""Lihat, perbuatan siapa di sini?" Spontan, Erwin menyemburkan kopi dari mulutnya. "Bau banget!"Tak lama kemudian, Intan menghampiri sambil menyodorkan masker penutup mulut dan hidung. Kendati, agar mereka leluasa memeriksa kondisi di dalam kamar yang sudah kosong itu."Ini bukan air biasa, ini air seni," gumam Edwin. "Masa di sini ada yang pipis," gerutu Elsa. "Jijik banget!"Lalu, mereka mendongak ke atas, mendapati CCTV yang sudah pecah dan serpihannya berhamburan di lantai. "Oh, dia merusak cctv dulu sebelum beraksi, itu pelaku cerdik juga ya," gumam Er
Tiba-tiba saja Elsa memuntahkan cairan berwarna cokelat. Dia batuk-batuk sampai tidak kuat menahan rasa sakitnya. "Kita ke RS sekarang, sambil nengok Papa," ajak Intan. Malam yang gelap, terpaksa mereka bertandang ke RS. Semula, Elsa tampak parah dan pucat pasi, namun ketika di perjalanan dia seperti bukan orang sakit.Setelah diobservasi dan cek laboratorium, hasilnya tidak ditemukan penyakit apapun. "Kalau begini ya enggak usah ke RS," protes Elsa. "Aku mau nengok Papa dulu."Mereka bertiga lantas mengunjungi ruang ICU. Orang tua yang mereka rindukan masih terkapar lemah di atas ranjang, berselimut kain putih dan hidung yang dipasang selang oksigen."Mau sampai kapan Papa kayak gini! Sadar dong, Pa!" Gerutu Elsa. "Papa harus pulang, harus sehat lagi, jangan pergi dulu, Pa! Elsa kangen."Elsa meringis, terisak-isak sampai suara tangisnya menggema di seluruh ruangan."Elsa, udah kita pulang sekarang. Jangan nangis di sini, Papa kan udah ada yang ngurus, kita percayakan urusan sama