Share

Ta'aruf Before Married #7

Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati.

“Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran.

Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti.

Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin sedikit meringankan tanggung jawab mereka dengan mendapat beasiswa pendidikan.

“Hei, Kira, gimana kalau kita jalan-jalan?” tanya Reina.

“Jalan-jalan?”

“Iya! Ke Jatim Park atau sekadar keliling-liling Batu, atau mau lebih niat lagi kita bisa ke Bromo!” lanjut Reina penuh semangat.

“Kayaknya aku yang bertarung, tapi kamu yang seneng-seneng, yaa,” ucapku.

“Hehe, menikmati masa muda. Oh iya, gimana kalau kita ajak Radit juga! Ku telpon dulu, ya.” Saat Reina hendak mengambil ponselnya, seketika tanganku dengan tanpa sadar meraih tangannya.

“Eh, bentar!” ucapku.

“Loh, kenapa Kira?” tanyanya.

“Aku pikir ada baiknya kita aja yang jalan-jalan. Nggak perlu sampe ngajak Radit.”

“Hmm, tapi apa serunya kalau cuma berdua.” Aku tak tahu harus mengelak apa.

“Tunggu dulu, Kira…,” Reina menatapku lamat-lamat.

“Kamu nggak lagi ngindarin Radit, ‘kan, Ra?” tanyanya.

“Ha, menghindari maksudnya? Nggak, kok, nggak menghindar.” Bodohnya aku. Jelas sekali tingkahku terlihat sangat gugup saat ini. Namun sepertinya keberuntungan berpihak padaku. Aku terselamatkan oleh mama yang tiba-tiba masuk ke kamar kami.

“Hee, kalian mau jalan-jalan? Kok nggak ajak-ajak Mama, sih?” Sepertinya beliau mendengar apa yang dari tadi kami bicarakan dari luar.

“Apa, sih, Ma. This is ladies night,” Ladies night padahal tadi dia mau ngajak Radit, pikirku.

“Ya, jangan gitu, dong. Sekali-sekali kita keluar bareng gitu. Udah lama banget! Terakhir pas lebaran kemaren, kan?” ucap Mama.

“Hmm, kalau gitu, Mama tambahin, yaa.” Reina sepertinya tidak mau melewatkan kesempatan untuk menguras dompet mamanya.

“Hee, itu mah pemerasan! Kapan kamu yang beliin Mama, Rei,”

“Tapi ada topi yang aku pengen beli, Ma!”

Malam itu, aku terselamatkan dari pertanyaan Reina. Tapi aku paham bahwa keberuntungan belum tentu datang dua kali. Aku hanya berharap ta’aruf ini bisa cepat selesai. Agar bisa dengan cepat aku mengambil keputusan. Jika ta’aruf kutolak, aku bisa dengan mudah menyembunyikan semua ini dari Reina. Tapi jika aku menerima? Sebaiknya yang ini nanti saja kupikirkan.

Setelah diputuskan, kami pun pergi ke pusat perbelanjaan dekat alun-alun kota Malang. Malam itu alun-alun terlihat begitu ramai dengan cahaya lampu menerangi sepenjuru taman. Terlihat semua orang sangat menikmati waktu-waktu mereka bersama orang-orang yang mereka sayang.

Di dalam pusat perbelanjaan, Reina dan Mama langsung berlomba-lomba melihat-lihat sekitar. Anak dan ibu memang tidak ada bedanya.

“Ini, Mah, topi yang kumau.” Reina menjulurkan topi merek terkenal yang ia sempat lihat di serial drama India yang tengah ia tonton saat ini.

“Topi apaan ini, Nak, 800 rebu! Kamu, loh, pake hijab ngapain beli topi!” seru Mama.

“Tapi, Mah, topinya tuh bagus. Kemaren pas nonton film India pemeran utamanya pake topi itu!”

“Nak, kita beli di pasar aja, yaa,”

“Nggak mauuuu!!!” Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka berdua sepanjang perjalanan. Seolah melihat seorang gadis berusia lima tahun merengek kepada ibunya meminta dibelikan boneka.

“Kira… sini, Nak!” panggil Mama.

“Ini kira-kira cukup tebal, nggak, ya?” Mama memperlihatkan sebuah mantel tebal padaku.

“Kok diem aja? Untuk ke Jepang ini, ke Jepang! Kamu bakal kesana pas musim dingin, ‘kan?” ujarnya.

“Tapi, Ma, kan belum pasti,” balasku.

“Kira, kamu harus optimis. Kamu sudah berjuang dengan sangat baik. Begadang, baca banyak buku, bahkan sampe pingsan. Jadi nggak boleh ada satu kata pesimis sedikit pun yang Mama mau dengar dari mulut kamu. Percaya, berdoalah. Tuhan paling tahu kerasnya kamu berusaha, Nak.”

“Makasih, Mah.” Betapa beruntungnya aku punya dua ibu yang sangat menyayangiku.

“Lagian, ini limited edition, lucu lagi. Kalo nggak beli sekarang nanti diambil orang. Coba gih, coba!” Aku mengambil mantel dari pegangan Mama dan mencobanya di ruang ganti.

Uwaw,” ucap mereka berdua.

“Gimana?” tanyaku.

“Bukan kayak wibu. Mirip orang Jepang asli,” jawab Reina.

Arigatou,” balasku sumringah.

Setelah selesai berbelanja, kami pun pergi makan malam. Makan malam yang hangat dengan penuh tawa dan senyuman dari orang-orang yang kusayang. Kami mengobrol panjang, obrolan-obrolan receh seputar kampus dan dosen killer.

Setelah perut penuh terisi, kami kembali ke mobil. Suaraku menutup pintu mobil diikuti dengan suara notifikasi ponselku. Sebuah pesan masuk yang kulihat dari Ustadzah Fisha.

“Maaf baru balas. Selamat karena telah menyelesaikan penelitianmu. Semoga mendapat hasil terbaik, ya,” balas Ustadzah Fisha. Karena aku duduk di belakang, aku jadi tidak perlu khawatir dengan Reina.

“Terimakasih, Ustadzah,” balasku.

Ustadzah Fisha tidak membahas apapun tentang kelanjutan ta’aruf-nya. Seperti tanggal atau kapan aku ingin mulai. Beliau benar-benar hanya memberikan selamat.

“Apakah beliau ingin aku yang inisiatif?” pikirku.

Aku membuka aplikasi travel, melihat harga tiket kereta pekan depan. Sepertinya cukup murah. Aku berencana mengambil libur untuk mata kuliah hari rabu hingga jumat. Hari senin juga libur karena tanggal merah. Aku rasa di tanggal-tanggal tersebut adalah waktu yang tepat untuk pulang. Aku bisa berangkat selasa sore dan sampai di Bekasi Rabu pagi. Pulang dan mungkin jalan-jalan sebentar, sekaligus menyiapkan segala hal yang perlu kusiapkan untuk tahap awal ta’aruf.

Aku mengirimi perencanaanku pada Ustadzah. Beliau jawab, “Oke” dan tinggal menunggu jadwal keberangkatan Radit.

“Sudah sampai,” ucap Mama, ketika mobil sudah terparkir di depan rumah.

“Tolong garasinya, ya!” Aku dan Reina keluar menggeser pagar garasi.

“Pakaiannya taro di mesin cuci dulu, yaa. Biar dicuci dulu,”

“Iya, Mah!” Setelah itu, kami langsung lompat ke kasur kami masing-masing. Hari yang melelahkan, tapi juga hari yang menyenangkan.

“Hei, Kira, nanti kalau udah di Jepang jangan lupa beliin sushi asli sana, yaa.”

“Yaelah, di Malang juga banyak!”

“Yaa, aku pengen tahu rasa yang asli gimana?”

“Waduh! Apakah Reina sudah mulai terjangkit virus jejepangan?” ejekku.

“Apaan, dah! Kalo gue nontonnya Narto, oke lu bilang gue gitu, haha,”

“Naruto, woy, Naruto.”

Malam yang panjang itu, berganti menjadi pagi. Rutinitas kuliah-pulang kuliah-pulang pun kurasakan kembali. Jujur, lega juga ketika penelitian itu selesai. Aku jadi tidak perlu begadang semalaman mengerjakan berlembar-lembar naskah. Tapi waktu-waktu yang kuhabiskan membuat proposal pun juga menyenangkan. Ribet, tapi menyenangkan. Yaa, semoga saja, kerja kerasku terbayarkan. Jepang! I will meet you soon!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status