Share

4. Solusi untuk Selina

Malam menjelang, Selina masih belum keluar juga untuk makan malam. Ummi Sarah mencoba memberanikan diri memanggilnya sementara itu Ustaz Bashor sedang mengajar Alquran di masjid.

“Selina! Makan malam dulu Sayang!” 

Ummi Sarah mengetuk pintu kamar berbahan kayu jati Jepara dengan pelan. Namun Selina masih tak merespon.

“Duh, Selina jangan kayak gitu …” batin Ummi Sarah.

“Assalamualaikum!” sapa Ustaz Bashor tatkala masuk rumah.

“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Ummi Sarah.

“Bagaimana Selina sekarang?” tanya Ustaz Bashor melirik pintu kamar Selina yang menutup dari sore.

“Ya, seperti yang Abah lihat, belum dibuka, Selina juga gak nyahut dipanggil. Ya Allah, anak ini keras kepala … bagaimana mau menjelaskan duduk perkara, berbicara saja tidak mau,” gerutu Ummi Sarah.

“Sudahlah, Ummi biarin dulu dia sendiri, mungkin dia butuh waktu buat nenangin diri. Mudah-mudahan rasa kecewanya takkan lama dan dia pasti akan bertanya. Kalau perlu Abah akan panggil psikolog atau psikiater buat Selina agar dia bisa mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Abah ngerti ini situasi yang sulit baginya,”

Ustaz Bashor menghela nafas panjang. Dalam hati dia sangat mengkhawatirkan Selina saat ini. Namun, seperti biasa dia pandai menutupinya di depan sang istri khawatir cemburu karena dia lebih menyayangi Selina daripada anaknya yang lain. Alasannya karena Selina telah mengalami nasib malang dalam hidupnya.

“Tapi dia jadi gak makan malam. Sekarang pasti lapar. Ummi gak mau sampe dia kelaparan terus dibawa ke rumah sakit lagi,” tukas Ummi Sarah.

“Kalau lapar pasti dia pergi ke dapur, Ummi. Manusia bisa tahan gak makan sampe berminggu-minggu. Asalkan jangan sampe gak minum aja,”

“Ada dispenser sih di kamarnya,”

“Ya udah kalau gitu, jadi jangan terlalu khawatir. Tenang Ummi, pasti semua akan kembali normal lagi seperti sedia kala,”

“Ya udah, Abah aja yang makan dulu,” ucap Ummi 

Sarah.

“Adam?”

“Adam belum pulang Abah,” sahut Ummi Sarah.

Ustaz Bashor dan Ummi Sarah pun makan makanan yang sudah disajikan oleh ART di atas meja. Meskipun menu makan malam ini lezat, sate madura dengan saus kacang yang kental tapi bagi lidah mereka terasa hambar mengingat mereka senantiasa menikmati makan malam bersama. Dan malam ini Selina tidak ikut makan bersama.

Tak lama kemudian terdengar suara motor sport Adam yang meraung di halaman rumah.

“Bah, Adam udah pulang … Ummi kok jadi deg-degan,” ucap Ummi Sarah menaruh bekas tusukan sate ke atas piring. Dari tadi dia hanya mampu memakan dua tusuk sate tanpa nasi, itupun sembari sedikit melamun seperti seorang anak kecil yang kehilangan nafsu makannya.

“Tenang aja Ummi, Adam sekarang sudah jauh lebih baik, dia cukup bisa mengendalikan emosinya,” kata Ustaz Bashor menenangkan.

“Enak ya kalau jadi lelaki. Lelaki selalu mengedepankan logika sedangkan perempuan selalu saja pake perasaan,” desis Ummi Sarah.

“Gak gitu juga Ummi, menjadi lelaki dan perempuan bukanlah perbandingan dan pilihan. Keduanya sama, gak ada yang lebih enak satu sama lain,”

“Assalamualaikum …” ucap Adam sembari menguak daun pintu rumah. Dia menaruh helm fullface ke atas meja dan lantas berjalan menuju ruang makan di mana Ustaz Bashor dan Ummi Sarah berada sembari menenteng sebuah kantong kresek hitam.

“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Ustaz Bashor dan Ummi Sarah serempak. Adam langsung mengecup punggung tangan kedua orangtuanya dengan takzim.

“Mana Selin?” tanya Adam.

“Masih di kamar mengurung diri,” jawab Ummi Sarah. Adam pun langsung berjalan menuju kamar Selina dan mengetuk pintu kamarnya.

“Selina, Aa bawa martabak bangka kesukaanmu, makan yuk!” kata Adam di depan pintu kamar Selina. Adam rupanya berusaha membujuk sang adik.

Selina tidak tidur, dia menyimak perbincangan yang terjadi di luar kamarnya. Dia juga mendengar suara Adam. Namun hatinya masih sangat bersedih sehingga membuatnya merasa benar-benar terpuruk. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya kali ini. Dunia seolah tak berpihak padanya. Selama ini dia menjalani kehidupan normal dan penuh dengan corak kebahagiaan. Namun tiba-tiba sebuah hantaman besar datang mendera, memporak-porandakannya seketika. Saking merasa terpuruk dia tak sanggup berkata apa-apa.

“Adam, biarin Selina istirahat dulu,” ucap Ummi Sarah menepuk bahu Adam dari arah belakang.

“Tapi sampai kapan? Ummi, aku hanya takut kalau Selina tidak mau makan sama sekali, nanti dia bisa sakit,”

“Emang dia tidak makan, tapi insyaallah dia tidak apa-apa, nanti juga keluar kamar,” kata Ummi Sarah menenangkan. Padahal dalam hatinya dia juga tak kalah khawatir.

Adam pun kembali ke ruang makan untuk menyantap makan malam.

“Martabak buat Abah dan Ummi aja. Aku kira dia bisa dibujuk makan martabak,” ucap Adam enteng.

“Iya, niatmu sudah bagus. Tapi jika kamu yang mengalami kejadian seperti Selina, tentu kamu juga seperti dia, boro-boro mikirin makan, ah bahkan kamu mungkin lebih reaksioner,” timpal Ustaz Bashor sembari menarik kantong kresek berisi martabak.

“Gimana tadi sudah ketemu dengan Aqsa?” telisik Ummi Sarah.

“Udah, Ummi. Awalnya sih aku kecewa sama Aqsa, Ummi. Tapi ternyata bukan salah dia tidak melanjutkan taaruf. Kedua orangtuanya butuh waktu menerima Selina. Mungkin, ya, menurutku mereka berharap jika Selina itu anak kalian, tapi ternyata anak adopsi. Wajar sih mereka kaget,” papar Adam sembari menyendok nasi dalam piring berbahan melamin. Ummi Sarah dan Ustaz Bashor hanya sesekali saling melempar pandang. Mereka berharap Adam tidak mengetahui siapa jati diri ibundanya Selina. Mungkin Aqsa bersikap bijak tidak menceritakan hal tersebut.

“Makanya, jangan asal marah-marah! Nanti malah jadi salah paham. La taghdob walakal Jannah (janganlah marah maka bagimu surga). Kata Rasul, jangan marah-marah … kamu tidak bertanya dulu pada kami,” nasehat Ustaz Bashor.

“Benar apa kata Abah, Adam. Marah adalah luapan emosi yang sangat dibenci Allah dan Rasul-Nya. Kamu belum apa-apa udah emosian, suudzon lagi …” timpal Ummi Sarah mendorong piring berisi lalapan ke dekat Adam.

“Iya, Abah, Ummi, aku ngerti kok. Alhamdulillah, Allah menjaga emosiku. Kalau tidak mungkin aku sudah menghajar si Aqsa sampe babak belur,”

“Hus! Kalau ngomong jangan sembarangan … kayak preman aja, kalau santri Abah dengar malu-maluin,” sergah Ummi Sarah.

“Apa yang kamu lakukan saat marah Adam? Apakah kamu masih ingat apa yang Abah ajarkan?” ucap Ustaz Bashor.

“Masih ingat Abah, baca ta’awudz, berwudhu ...” jawab Adam.

“Baguslah kamu masih ingat,

Rasulullah bersabda: "Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta'awudz: A-'uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).”

“Ya mulai lagi deh ceramah,” batin Adam.

“Kadang teori sama praktik sulit Abah. Abah kayak nggak pernah merasa muda aja. Anak muda wajar emosian Abah,” cerocos Adam.

“Tidak ada pembenaran untuk itu Adam. Mau muda atau tua dianjurkan untuk menahan emosi. Bukan berarti tidak boleh marah tapi kita sebaiknya mengendalikan amarah kita dengan benar, jangan sampai amarah kita yang mengendalikan logika kita sehingga menyebabkan melakukan tindakan konyol,” papar Ustaz Bashor berusaha bijak.

“Terus jadi kelanjutannya apa?” tanya Ummi Sarah mengganti topik.

“Aqsa meminta waktu agar dia bisa memberi pengertian pada kedua orangtuanya …”

“Memberi waktu apa?” telisik Ummi Sarah.

“Sebentar …”

Glek, glek, glek

Adam meminum air putih.

“Aqsa tetap ingin menikahi Selina. Saat ini dia meminta waktu saja agar bisa memberi pengertian pada kedua orangtuanya agar mau menerima Selina sebagai calon menantunya. Ummi dan Abah tahu? Bahkan Aqsa sudah mempersiapkan segalanya …”

“Segalanya?” cicit Ummi Sarah.

“Iya, Aqsa sudah menyiapkan mahar berlian dan sudah membangun rumah mewah buat Selina … sebagai bentuk keseriusannya. Bagaimana menurut kalian?”

“Abah masih belum yakin Nak. Buat sementara Abah tidak mau ambil pusing soal jodoh, saat ini Abah hanya ingin berfokus pada persoalan Selina,”

“Ummi juga setuju dengan Abah, kita tunda dulu soal jodoh. Jodoh sudah ditentukan di lauhul mahfudz oleh Allah. Kita fokus pada apa yang dialami dan dirasakan Selina saat ini,” timpal Ummi Sarah.

“Baiklah, Ummi dan Abah, benar apa kata kalian. Tapi setidaknya, aku yakin jika Selina tahu soal ini maka dia akan sedikit terhibur. Selina menyukai Aqsa,” jelas Adam.

“Sepertinya kita harus hubungi Hawa, Abah. Mudah-mudahan Hawa bisa membujuk Selina. Ya, karena mereka sangat dekat dan sama-sama wanita,” ucap Ummi Sarah saat melirik ke dinding di hadapannya. Ada sebuah frame raksasa yang menampilkan foto keluarga besar Ustaz Bashor.

“Nah, itu dia. Benar apa kata Ummi, Abah. Aku akan segera menghubungi Teh Hawa,”

“Jangan!” kata Ustaz Bashor.

“Lah kok jangan?” sergah Ummi Sarah heran. Kalau bukan Hawa siapa lagi yang bisa membujuknya. Selina sudah terlanjur kecewa pada mereka.

Bersambung,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status