Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi.
Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin. Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya. Ada bayangan gelap yang menyelimuti pikirannya—suara tawa kasar para serdadu, sosok Letnan Rembrandt dengan mata birunya yang tajam, dan lebih dari itu, rasa bersalah yang tak tertahankan sejak malam itu. “Apa yang sudah aku perbuat?” Bisikan itu kembali muncul, seperti sebuah mantra yang tak bisa diusir. Seperti arwah yang terus membayanginya, mengingatkan pada keputusan yang telah ia buat, yang kini menjadi aib yang tak bisa ia singkirkan begitu saja. Setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menjalani hidupnya dengan Wiratama, hatinya selalu diguncang oleh perasaan bahwa ia tak bisa lagi menjadi seorang istri yang pantas. Terlebih, perasaan gelisah yang terus berkembang semakin kuat seiring berjalannya waktu. Ada sesuatu yang terasa tidak beres, meski ia tak bisa memahaminya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketakutannya akan pernikahan yang akan datang. Sesuatu yang lebih gelap dari perasaan bersalah yang menimpanya. Setelah pertemuan itu, seiring dengan persiapan pernikahan yang semakin intens, Cempaka merasa dirinya semakin terperangkap. Waktu terus bergerak, namun ia merasa semakin terjepit. Setiap hari, rumah Adipati Aryotedjo dipenuhi oleh keramaian: abdi dalem yang mempersiapkan segala hal untuk pernikahan, pakaian yang harus dijahit, dan segala kebutuhan yang harus disiapkan dalam waktu yang semakin sempit. Namun Cempaka hanya merasa kosong. Lastri, yang biasanya selalu di sisinya, mulai khawatir. "Den Ayu, apa yang terjadi? Anda tidak makan dengan baik akhir-akhir ini. Mata Anda tampak sembab, dan Anda terus terlihat termenung." Cempaka hanya tersenyum lemah. "Aku hanya lelah, Lastri. Semua ini terlalu banyak yang harus dipikirkan." Namun, meskipun ia berusaha meyakinkan Lastri, hatinya semakin kosong. Ia merasa terjerat dalam rutinitas yang sama sekali tidak memberinya kebahagiaan. Rasanya, pernikahan ini bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ada tekanan yang begitu besar, bukan hanya dari keluarga, tetapi juga dari dirinya sendiri. Pernikahan ini bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kehormatan dan takdir yang sudah ditentukan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi langkah yang mulus untuknya—seorang putri bangsawan yang akan dipersunting oleh lelaki terhormat. Namun di balik itu, Cempaka tahu bahwa ada yang salah. Setiap kali ia memikirkan Wiratama, ia merasa kosong. Tidak ada kegembiraan, tidak ada perasaan cinta. Yang ada hanyalah kewajiban, kewajiban yang ia tanggung dengan terpaksa. Dan di luar itu, ada Letnan Rembrandt, yang meskipun tampak jauh, entah kenapa selalu terbayang di benaknya. Letnan Rembrandt. Setiap kali ia bertemu dengan pria itu, hati Cempaka terasa seperti terjepit. Ia tahu bahwa apa yang terjadi antara mereka semalam adalah dosa, namun di sisi lain, ada ketegangan yang tak bisa ia lepaskan. Ada rasa takut, namun ada juga perasaan yang lebih kuat—sebuah perasaan yang menuntutnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang pria itu. Kenapa ia begitu mengganggu pikirannya? Hari pernikahan semakin dekat, namun Cempaka merasa seperti berada di tepi jurang yang tak terlihat. Perasaan gelisahnya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia melihat wajah calon suaminya, Raden Wiratama, yang tampak terhormat dan penuh wibawa, hatinya semakin bingung. Ia tahu bahwa ia seharusnya merasa bangga dan bahagia, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Apakah ia akan bisa menjadi istri yang baik bagi Raden Wiratama? Apakah ia bisa hidup dengan kebohongan yang sudah ditumpuk dalam hatinya? Rasa bersalah dan keraguan semakin menggerogoti dirinya. */*/ Malam itu, Cempaka berdiri di jendela kamarnya, menatap rembulan yang menyinari halaman depan kediaman Adipati Aryotedjo. Semakin dekat hari yang telah ditentukan, semakin ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya. Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh orang lain—oleh ayahnya, oleh takdir, bahkan oleh Raden Wiratama yang penuh harapan, dan Letnan Rembrandt yang terus hadir dalam pikirannya. “Apa yang harus hamba lakukan, Gusti?” Bisiknya dalam hati, merasa terhimpit oleh keadaan. Ia tidak tahu apa yang benar, apa yang salah. Namun satu hal yang ia yakin—sesuatu yang gelap dan tidak beres sedang terjadi. Sebuah perasaan yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Di luar sana, persiapan untuk pernikahan masih terus berjalan, namun di dalam hatinya, Cempaka tahu bahwa ia akan menghadapi keputusan besar—keputusan yang tidak bisa ia lupakan, keputusan yang akan menentukan jalan hidupnya selamanya. Dan semakin ia memikirkan itu, semakin ia merasa ada yang salah... sesuatu yang mengancam kehormatan, kebahagiaan, bahkan hidupnya sendiri.Pernikahan tetap berlangsung. Meski tanpa persetujuan mempelai wanita. Tapi, apa gunanya Cempaka bersuara? Keputusan tetap berada di tangan kedua pria yang kini berhadapan dengan penghulu. Gamelan kembali ditabuh meski iramanya terdengar hambar, seperti sekadar mengugurkan kewajiban. Para tamu bangsawan duduk kaku di kursi kehormatan. Sebagian menundukkan kepala, sebagian lagi berbisik di balik kipas tangan. Tak pelak, setelah hari ini gunjingan pasti dengan cepat menyebar di kalangan pergaulan kelas atas. Satu-satunya orang yang tampak gelisah hanyalah sang pengantin perempuan. Wajah perempuan itu lesu. Bahkan ketika Cempaka didudukkan kembali di pelaminan. Wajahnya basah oleh air mata yang sudah dikeringkan buru-buru oleh para pelayan. Senyum yang seharusnya memancar di wajah pengantin wanita tidak pernah muncul. "Tersenyumlah, setidaknya jangan biarkan dirimu terlihat terpaksa di depan banyak orang." "Saya memang dipaksa oleh keadaan, Tuan. Kenapa saya harus berpura-p
“Cukup!” Suara berat penuh wibawa memotong suasana. Membuat suasana kian tegang. Raden Aryotedjo berdiri dari kursi kehormatan. Sorot matanya tajam menyapu seluruh pendapa, membuat para tamu spontan terdiam. Ia lalu menoleh ke putrinya. “Cempaka.” Suaranya bergetar, setengah ancaman, setengah memohon. “Jaga bicaramu. Hari ini adalah hari pernikahanmu. Jangan mempermalukan keluarga di hadapan para tamu, apalagi di hadapan bangsa asing.” Cempaka menoleh, menatap ayahnya dengan mata basah. “Ayah… apa itu lebih penting ketimbang kehormatan putrimu?” suaranya lirih, nyaris tenggelam. “Tidak, yang lebih ingin kudengar sekarang, apa benar Wira… menjualku?” Raden Aryotedjo terdiam. Rahangnya mengeras, namun ia tidak menjawab. Keheningan itulah yang justru menampar Cempaka paling keras. Letnan Rembrandt menyeringai tipis, jelas puas melihat kebimbangan sang adipati. Ia melipat tangan di dada, seolah yakin kebenaran akhirnya akan menampakkan dirinya tanpa perlu ia tambahkan kata apa pun.
Darah Cempaka seakan berhenti mengalir. Dunia kembali membisu. Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya, menembus lebih dalam daripada pisau. Menjualmu. Tidak mungkin. Tidak mungkin lelaki yang malam itu datang ke kamarnya, memegang tangannya, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja… akan melakukan ini. Tidak mungkin lelaki yang akan menjadi suaminya tega menukar kehormatannya dengan kekuasaan atau kekayaan. Namun ketika ia kembali menatap ke arah sang ayah—dan mendapati Raden Aryotedjo kembali menghindari pandangannya—Cempaka mulai mengerti. Segalanya bukan lagi miliknya. Tidak kehormatannya. Tidak masa depannya. Bahkan mungkin tidak pula tubuhnya. Semuanya telah diperjualbelikan. Dan hari yang seharusnya menjadi awal kehidupan barunya… kini berubah menjadi penjara yang tak mungkin ia lepaskan. "Bagaimana menurutmu, Tuan Putri? Apa Anda yakin masih memiliki pilihan sekarang?" Kepala Cempaka terasa berat. Ia tak sanggup menjawab. Namun, ia juga tetap berusaha berd
Seorang pria melangkah masuk dengan langkah tegap, diiringi para pengawal Belanda. Tubuh jangkung, seragam militer dengan hiasan emas, mata biru yang menusuk dari kejauhan. Letnan Rembrandt. Keributan kecil terdengar di antara tamu. Bisik-bisik mengalir deras. “Bukan Wiratama… siapa itu? Mengapa yang datang justru serdadu Belanda?” Cempaka membeku. Tangannya mencengkeram erat kain kebaya, wajahnya pucat pasi. Ia ingin bangkit, ingin berteriak bahwa ini semua salah, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Letnan Rembrandt berjalan semakin dekat, sorot matanya tidak beranjak dari wajah Cempaka. Senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang pernah begitu dekat di malam kelam itu. Juru caraka mengumumkan dengan suara lantang, “Inilah mempelai pria, Letnan Rembrandt, yang atas perintah dan restu Adipati Aryotedjo, akan bersanding dengan Raden Ayu Cempaka.” Pendapa bergemuruh. Sebagian tamu saling berpandangan, sebagian terdiam bingung. Para abdi dalem menunduk dalam-dalam, tak berani bersu
Malam itu, rembulan bulat menggantung di langit, memandikan halaman rumah Adipati Aryotedjo dengan cahaya pucat. Cempaka belum juga terlelap. Jantungnya berdegup cepat, seakan setiap dentum menandai waktu yang kian menipis menuju hari besarnya. Ia duduk di sisi ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Bayangan malam itu—tawa kasar serdadu, genggaman dingin Letnan Rembrandt, dan aib yang kini menghantui dirinya—terus muncul. Ketukan lembut di jendela membuat tubuhnya tersentak. Jantungnya melompat ke tenggorokan. Perlahan ia menoleh, lantas membuka jendela kayu yang tertutup tirai sutra. “Wira…” bisiknya terperangah. Pemuda itu memberi isyarat agar ia membuka jendela. Dengan tangan gemetar, Cempaka mendorong bingkai kayu itu, dan seketika Wiratama melangkah masuk dengan gesit. Napasnya teratur, seakan kehadirannya di tengah malam adalah hal biasa. “Maafkan aku, Cempaka,” katanya dengan suara tenang. “Aku tak bisa menunggu esok hari. Aku ingin melihatmu malam ini,
Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi. Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari. Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin. Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan. Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya. Ada baya