Share

Persiapan Pernikahan

Author: Yoru Akira
last update Last Updated: 2025-09-29 11:03:38

Hari pernikahan semakin dekat. Waktu yang terus bergerak terasa seperti beban yang semakin menekan dada Cempaka. Dalam hitungan hari, ia akan dipersunting oleh Raden Wiratama, calon suaminya yang terhormat dan memiliki kedudukan tinggi.

Seluruh keluarga dan kerabatnya menanti dengan penuh harapan. Namun bagi Cempaka, hari yang seharusnya menjadi momen paling membahagiakan dalam hidupnya, malah terasa seperti jebakan yang tak bisa ia hindari.

Pagi itu, di kamar tidurnya yang rapi dan anggun, Cempaka duduk di depan cermin besar perunggu, memandangi dirinya sendiri dengan pandangan kosong. Wajahnya yang pucat memantul jelas di permukaan cermin.

Tiba-tiba, ia merasa seperti orang asing yang sedang menatapnya, bukan dirinya yang dulu. Raut wajah yang penuh keraguan, ketakutan, dan kesedihan.

Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi simbol kebanggaan, sebuah langkah besar menuju kedudukan dan kehormatan yang lebih tinggi, namun ada sesuatu yang menghantui dirinya.

Ada bayangan gelap yang menyelimuti pikirannya—suara tawa kasar para serdadu, sosok Letnan Rembrandt dengan mata birunya yang tajam, dan lebih dari itu, rasa bersalah yang tak tertahankan sejak malam itu.

“Apa yang sudah aku perbuat?” Bisikan itu kembali muncul, seperti sebuah mantra yang tak bisa diusir.

Seperti arwah yang terus membayanginya, mengingatkan pada keputusan yang telah ia buat, yang kini menjadi aib yang tak bisa ia singkirkan begitu saja.

Setiap kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ia bisa menjalani hidupnya dengan Wiratama, hatinya selalu diguncang oleh perasaan bahwa ia tak bisa lagi menjadi seorang istri yang pantas. Terlebih, perasaan gelisah yang terus berkembang semakin kuat seiring berjalannya waktu.

Ada sesuatu yang terasa tidak beres, meski ia tak bisa memahaminya. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar ketakutannya akan pernikahan yang akan datang. Sesuatu yang lebih gelap dari perasaan bersalah yang menimpanya.

Setelah pertemuan itu, seiring dengan persiapan pernikahan yang semakin intens, Cempaka merasa dirinya semakin terperangkap. Waktu terus bergerak, namun ia merasa semakin terjepit.

Setiap hari, rumah Adipati Aryotedjo dipenuhi oleh keramaian: abdi dalem yang mempersiapkan segala hal untuk pernikahan, pakaian yang harus dijahit, dan segala kebutuhan yang harus disiapkan dalam waktu yang semakin sempit. Namun Cempaka hanya merasa kosong.

Lastri, yang biasanya selalu di sisinya, mulai khawatir.

"Den Ayu, apa yang terjadi? Anda tidak makan dengan baik akhir-akhir ini. Mata Anda tampak sembab, dan Anda terus terlihat termenung."

Cempaka hanya tersenyum lemah.

"Aku hanya lelah, Lastri. Semua ini terlalu banyak yang harus dipikirkan."

Namun, meskipun ia berusaha meyakinkan Lastri, hatinya semakin kosong. Ia merasa terjerat dalam rutinitas yang sama sekali tidak memberinya kebahagiaan.

Rasanya, pernikahan ini bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ada tekanan yang begitu besar, bukan hanya dari keluarga, tetapi juga dari dirinya sendiri. Pernikahan ini bukan hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kehormatan dan takdir yang sudah ditentukan.

Pernikahan dengan Raden Wiratama seharusnya menjadi langkah yang mulus untuknya—seorang putri bangsawan yang akan dipersunting oleh lelaki terhormat. Namun di balik itu, Cempaka tahu bahwa ada yang salah.

Setiap kali ia memikirkan Wiratama, ia merasa kosong. Tidak ada kegembiraan, tidak ada perasaan cinta. Yang ada hanyalah kewajiban, kewajiban yang ia tanggung dengan terpaksa. Dan di luar itu, ada Letnan Rembrandt, yang meskipun tampak jauh, entah kenapa selalu terbayang di benaknya.

Letnan Rembrandt. Setiap kali ia bertemu dengan pria itu, hati Cempaka terasa seperti terjepit. Ia tahu bahwa apa yang terjadi antara mereka semalam adalah dosa, namun di sisi lain, ada ketegangan yang tak bisa ia lepaskan.

Ada rasa takut, namun ada juga perasaan yang lebih kuat—sebuah perasaan yang menuntutnya untuk mencari tahu lebih banyak tentang pria itu. Kenapa ia begitu mengganggu pikirannya?

Hari pernikahan semakin dekat, namun Cempaka merasa seperti berada di tepi jurang yang tak terlihat. Perasaan gelisahnya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia melihat wajah calon suaminya, Raden Wiratama, yang tampak terhormat dan penuh wibawa, hatinya semakin bingung.

Ia tahu bahwa ia seharusnya merasa bangga dan bahagia, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan. Apakah ia akan bisa menjadi istri yang baik bagi Raden Wiratama? Apakah ia bisa hidup dengan kebohongan yang sudah ditumpuk dalam hatinya? Rasa bersalah dan keraguan semakin menggerogoti dirinya.

*/*/

Malam itu, Cempaka berdiri di jendela kamarnya, menatap rembulan yang menyinari halaman depan kediaman Adipati Aryotedjo. Semakin dekat hari yang telah ditentukan, semakin ia merasa kehilangan kendali atas hidupnya.

Ia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh orang lain—oleh ayahnya, oleh takdir, bahkan oleh Raden Wiratama yang penuh harapan, dan Letnan Rembrandt yang terus hadir dalam pikirannya.

“Apa yang harus hamba lakukan, Gusti?” Bisiknya dalam hati, merasa terhimpit oleh keadaan.

Ia tidak tahu apa yang benar, apa yang salah. Namun satu hal yang ia yakin—sesuatu yang gelap dan tidak beres sedang terjadi. Sebuah perasaan yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri.

Di luar sana, persiapan untuk pernikahan masih terus berjalan, namun di dalam hatinya, Cempaka tahu bahwa ia akan menghadapi keputusan besar—keputusan yang tidak bisa ia lupakan, keputusan yang akan menentukan jalan hidupnya selamanya.

Dan semakin ia memikirkan itu, semakin ia merasa ada yang salah... sesuatu yang mengancam kehormatan, kebahagiaan, bahkan hidupnya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Jangan Pernah Sentuh Istriku!

    Van der Wijck terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Ia menatap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit. Seolah tak percaya ada seseorang yang berani menyentuhnya—bahkan mendorongnya—dengan cara sebrutal itu. Cempaka langsung menjauh dua langkah, napasnya terputus-putus, bahunya naik turun dengan cepat. Ada bekas cengkeraman merah di lengannya. Matanya membelalak—antara lega dan ngeri. Dan di hadapan mereka berdiri Pieter. Mantelnya masih tertutup debu perjalanan, rambutnya acak, napasnya berat seolah ia berlari dari gerbang hingga halaman. Namun yang paling mencolok adalah sorot mata itu. Pekat. Membunuh. Seperti bara hitam yang siap meledak. “Cukup,” ulangnya, lebih pelan… lebih berbahaya. “Jangan pernah sentuh istriku! Aku sudah muak melihat kau menyentuh orang yang tidak ingin disentuh.” Van der Wijck menyipitkan mata, tapi angkuhnya belum hilang. Tak ada lagi tatapan segan yang ditunjukkan terakhir kali ketika mereka bertemu di restoran.Ia merapikan mantel, menc

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Tamu yang Tak Diharapkan

    Nama itu. Begitu Aryo menyebutnya—pelan, seperti takut ada sesuatu yang ikut merayap keluar dari kegelapan—Cempaka merasa seluruh lantai bergeser dari bawah telapak kakinya.Ia tidak menjawab apa pun. Tidak bereaksi. Tidak memprotes.Ia hanya berdiri terpaku, memandang Aryo, namun tatapannya kosong. Jauh. Terseret pada masa yang seharusnya tak perlu ia ingat lagi. Faktanya tidak semudah itu bagi Cempaka.Lastri sempat memanggil namanya dua kali. Sriah memegang lengannya, khawatir Cempaka akan jatuh.Namun Cempaka hanya mengucapkan satu kalimat, sangat pelan, “Aku harus bicara dengan Pieter.”Tidak ada yang bisa menahannya ketika ia melangkah keluar dari ruang penahan belakang itu. Napasnya cepat, langkahnya panjang, hampir terburu-buru melewati halaman. Sore menjelang, cahaya matahari redup jatuh di wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak yang bergemuruh di dadanya.Ia tahu nama itu. Semua orang mungkin tidak. Bahkan Lastri, atau Pieter sekalipun. Sebab, ia sendiri yan

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Pengakuan Sang Tahanan

    Hari-hari setelah malam itu berlalu begitu saja—tanpa kejadian besar, tanpa percakapan yang mengungkap luka lama, tetapi juga tanpa menjauhkan apa pun yang sudah sempat mendekat.Rumah Rembrandt kembali seperti semula. Tidak dingin. Tapi juga… tidak sepenuhnya hangat.Cempaka menjalani rutinitasnya dengan cara yang membuat para pelayan hampir bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Terutama Lastri.Perempuan muda itu tahu, tak mudah bagi Cempaka setelah kemunculan Aryotedjo. Apalagi namanya sempat dibawa-bawa dan membuat suasana makin tegang. Namun, tak ada yang bisa dilakukan Lastri. Cempaka menolak bercerita padanya."Den Ayu, butuh teman bercerita?" tanya Lastri pada suatu sore setelah Aryotedjo muncul di rumah keluarga Rembrandt.Cempaka hanya tersenyum. Menggeleng singkat, lantas menepuk pundak perempuan yang sudah bersamanya sejak usia belia itu."Jika Den Ayu, tidak mengatakan apa pun, itu membuat saya menjadi gusar." Lastri menambahkan. Namun, Cempaka han

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Kehangatan yang Hanya Milikmu

    Pieter kembali ke kamar ketika malam sudah turun sepenuhnya. Menyisakan hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang ia biarkan menyala sebelum pergi tadi. Pria itu membuka pintu perlahan, hampir tanpa suara, tak ingin mengganggu tidur Cempaka. Namun begitu ia masuk, Pieter mendapati sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Cempaka tidak lagi tidur setenang sebelumnya. Perempuan itu meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gelisah. Alisnya mengernyit, bibirnya bergerak seakan memanggil seseorang dalam mimpi yang tidak menyenangkan. “Ayah.…” gumamnya kecil, nyaris tak terdengar. Pieter langsung mendekat. Ia menunduk, memperhatikan napas Cempaka yang mulai tersengal—bukan karena sakit, tapi gelombang kecemasan yang muncul begitu ia tak lagi disandari oleh kehangatan seseorang. “Cempaka,” bisiknya lembut sambil duduk di tepi ranjang. “Aku di sini.” Perempuan itu tampak tersiksa dalam tidurnya, jemarinya mencengkeram bagian selimut seolah sedang memohon perlindungan dari sesuatu yang t

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Demi Cempaka

    Pieter terbangun ketika cahaya senja menyelinap melalui celah tirai. Cahaya lembut itu jatuh tepat pada wajah Cempaka yang masih bersandar di dadanya.Untuk beberapa detik, dunia terasa berhenti—hanya ada embusan napas teratur Cempaka, hangat dan lembut di atas kemeja Pieter.Pria itu menunduk sedikit, memperhatikan perempuan itu dengan tatapan yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.Cempaka tertidur pulas. Damai. Seolah kelelahan hari ini perlahan ditelan ketenangan.Senyum halus muncul di bibir Pieter—senyum yang hanya muncul ketika ia melihat sesuatu yang sungguh ia jaga.Pelan, ia mengangkat tangan dan mengusap rambut Cempaka. Gerakannya hampir seperti doa yang diucapkan tanpa suara. Istrinya bergumam kecil, meringkuk sedikit, tetapi tetap terlelap.Pieter menunggu beberapa detik sebelum bergerak hati-hati. Lengan yang memeluk Cempaka ia lepaskan perlahan. Ketika kepala perempuan itu terjatuh tanpa sandaran, Pieter cepat menahan dengan telapak tangan. Memastikan tidak ada sentak

  • Tahanan di Ranjang Sang Letnan   Istirahatlah, Aku di Sini!

    Mereka berjalan menuju lantai dua tanpa banyak kata. Langkah Cempaka berat, tetapi tidak lagi terasa sendirian. Pieter tetap menggenggam jemarinya—erat, namun tidak pernah memaksa.Setibanya di kamar, Pieter lebih dulu membuka pintu. Mengizinkan Cempaka masuk, lalu menutupnya perlahan. Seolah menutup seluruh kegaduhan dunia di balik daun pintu itu.Cempaka berdiri di tengah ruangan, matanya menyisir sekeliling tanpa fokus. Napasnya masih tersengal, sisa dari pecahan tangis yang tadi belum benar-benar surut.Pieter mendekat secukupnya, tidak terburu-buru.“Duduklah,” ucapnya lembut.Cempaka menurut. Ia duduk di tepi ranjang besar itu, jemarinya saling meremas satu sama lain. Pieter mengambilkan segelas air, lalu menyodorkannya pada perempuan itu.Cempaka menerimanya dengan tangan yang masih sedikit gemetar. “Terima kasih…”Air itu diminumnya perlahan. Satu tegukan. Dua. Hingga dadanya terasa sedikit longgar.Pieter berdiri di depannya, memperhatikannya dengan tatapan yang penuh kekhawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status