Share

Bab 4

Aku menghampiri Mas Ahmad. Eh, di depan kamar aku kembali berpapasan dengan wanita buntalan lemak ini. Wangi semerbak menembus hidung. Apa sekarang dia sudah mulai mengenal parfum? Wiih, ada kemajuan apa ini? Apa dia mau mencoba menjadi sepertiku?

"Mbak, mau kemana?" Spontan aku bertanya ketus.

"Kenapa?" Dia malah bertanya balik.

Aneh bin ajaib, itulah wanita ini. Kenapa dia selalu terlihat santai begitu? Apa dia sudah lupa kalau tadi baru saja bertengkar denganku.

"Mbak, kalo mau keluar rumah nggak usah pake parfum. Dosa hukumnya!" Tegurku. Sengaja aku menaikkan sedikit volume suaraku. Supaya Mas Ahmad mendengar apa yang aku katakan.

"Oh, begitu ya? Terimakasih ya, atas wejangannya. Jangan lupa, terapin juga untuk diri sendiri,"

Ih, j*jik aku mendengar jawabannya. Apalagi dia berucap seperti itu sambil tersenyum pula. Terlihat seperti dia sedang menghinaku. Aku tahu, ucapan terimakasih yang dia katakan hanyalah salah satu cara yang ia lakukan agar bisa menarik perhatian Mas Ahmad.

"Mbak bisa ngomong lebih baik nggak sih?" Aku menatapnya.

Mbak Rina menghentikan langkahnya, lalu melihat ke arahku.

"Emang ada apa? Apa aku ada omonganku yang salah?" dahinya nampak mengernyit. Tapi tetap seperti tadi, dia tak tampak emosi. Sikapnya selalu datar padaku. Bahkan dia masih tak sadar jika ucapannya barusan menyakitiku.

Tapi pertanyaannya barusan, aduh bagaimana caraku untuk menjawabnya? Apalagi di sini ada Mas Ahmad, tak mungkin aku berkata kasar.

"Aku cuma menyarankan mbak supaya nggak usah terus-terusan main sindir-sindiran itu nggak baik, Mbak!" akhirnya aku menjawab.

"Kata-kata aku yang mana yang bikin kamu kesindir?"

"Kata-kata yang tadi" jawabku.

"Kata-kata yang mana? Siapa tahu aku nggak inget gitu, kan?"

"Yang tadi, yang... Hmm....," Astaga, kok kenapa aku malah jadi gugup begini.

"Udahlah, Fik. Lain kali pikir-pikir dulu kalo mau ngomong. Jangan terlalu gampang kesindir. Lagian dari kemarin-kemarin kamu selalu aja sibuk ngurusin tindak-tanduk aku. Itu gak ada manfaatnya selain dari nyakitin diri kamu sendiri. Ujung-ujungnya kamu malah tersinggung sendiri, aku juga yang disalahin."

"Lebih baik kalo sekarang kamu lebih fokus ke diri kamu sendiri dan ke tujuan kamu aja dah. Bukannya kamu mau ke masjid? Ya udah sana siapin mukena atau sajadah gitu kan,"

Ya ampuun, ya Rabbi, ya Tuhaan... Ini tidak bisa di biarkan.

"Jadi Mbak mau ngehina aku hanya karena aku pengen ke masjid?" Kecamku. Kubiarkan beberapa tetes air mataku jatuh. Biarkan saja Mas Ahmad tahu kalau istri pertamanya ini sudah bersikap kurang ajar hingga membuatku seperti ini.

"Hadeeeh, Mas! Nih bujuk istrimu ini! Aku paling gak bisa ngebujuk-bujuk orang yang udah tua!"

Hei, dia malah memanggil Mas Ahmad untuk membujukku. Apa dia menganggapku seperti anak kecil?

Mas Ahmad yang masih bengong menatap punggung Mbak Rina yang perlahan menjauh. Ih, jujur saja, bagaimanapun bentuknya aku gak suka melihat Mas Ahmad melirik Mbak Rina. Kenapa Mas Ahmad masih suka menatap Mbak Rina?

"Mas, kenapa ngeliat Mbak Rina kayak gitu? Suka ya sama punggungnya?" Aku tidak bisa menahan rasa cemburuku.

"Ohooo... Nggak sayang. Mas ngeliat dia bukan karena suka. Tapi karena kesal. Kamu gak usah cemburu sama dia. Kamu liat sendiri gimana sikapnya dia, kan? Dia nggak dewasa, sikapnya keras dan nggak mau mengalah. Mana mungkin mas masih tertarik sama dia,"

Kukira Mas Ahmad masih suka sama istri pertamanya, ternyata tidak. Syukurlah, aku lega mendengarnya.

Lagi pula kejam banget kalo Mas Ahmad masih mencintai Mbak Rina melebihi cintanya padaku. Selama 3 bulan ini, aku sudah berkorban banyak untuknya. Mengurus anak-anaknya, mengurus rumah dan sebagainya. Berulang kali aku katakan bila sejujurnya ini sangat sangat lelah. Tapi ini pengorbananku, jadi keterlaluan sekali bila hatinya masih condong ke wanita pertamanya tersebut.

Tapi di balik semua pengorbananku, Mas Ahmad juga bisa memanjakan aku dengan uangnya yang menurutku sangat lumayan. Aku bisa memenuhi semua kebutuhan pribadiku dengan baik, dia tak pernah melarang itu. Jadi sebenarnya, kami berdua adalah pasangan yang amat serasi. Andai saja tidak ada Mbak Rina dan anak-anaknya, tentu sajadah kehidupanku dan Mas Ahmad akan bahagia sekali.

Sedangkan Mbak Rina, aku tahu Mas Ahmad tidak memberi uang padanya selain jatah untuk jajan anak-anak mereka. Kenapa aku tahu? Ya karena semua uang Mas Ahmad mengalir ke rekeningku. Masih untung aku mau memberikan jatah untuk anak mereka, hati nuraniku masih berkata bahwa aku harus melakukan itu.

"Sayang, kamu yang sabar ya! Kelakuan Rina sering bikin kamu kesal. Dia memang tak pernah mau berubah." Mas Ahmad berkata dengan nada sedih.

Aku diam. Tiba-tiba terbersit di benakku untuk sedikit mempengaruhinya sedikit demi sedikit.

"Mas, apa Mas emang udah sekesal itu sama mbak Rina?" tanyaku.

Mas Ahmad mengangguk. Aku tersenyum.

"Mas, ketika Mas menyarankan hal baik sama Mbak Rina, apa dia mau ngikutin saran Nas? Misalnya ketika Mas ajak dia sholat gitu, kan?"

Mas Ahmad menghembus nafas kasar.

"Jangankan ngikutin, dengerin aja dia gak mau. Dari dulu dia cuma hobi ngomel. Alasan capek, letih, apa segala macam alasan. Mana bisa dia ngelayanin suami dengan baik kayak kamu. Kalo mau di bandingkan, ya seratus delapan puluh derajat perbedaannya,"

Aku mendekati pria itu dengan lebih intim.

"Mas, kalau begitu apa lebih baik kita suruh aja Mbak Rina ke rumah orang tuanya? Emmm... maksudku untuk sementara aja." Ucapku pelan-pelan.

Jujur saja, sebenarnya aku lebih suka bila di rumah ini hanya ada aku sama Mas Ahmad saja. Aku sudah cukup payah dengan keberadaan Rina dan anak-anaknya itu. Kuharap Mas Ahmad bisa peka apa sebenarnya yang aku inginkan tanpa harus mengatakannya.

"Apa? Menyuruh dia pulang ke rumah orang tuanya?" Mad Ahmad terlihat terkejut.

Mengapa dia bersikap begini? Apa dia tak suka?bukannya tadi dia mengatakan sudah tak menyukai Rina, tapi kenapa keberatan melepaskan Mbak Rina keluar dari rumah ini? Aku dongkol luar biasa, pesona apa sih yang ada pada diri Mbak Rina? Cantik, molek, mulus, baik, penyayang, no! semua nggak ada. Lalu apa yang ingin di harapkan?

"Kenapa, Mas? Kenapa kayak berat sekali ngelepasin Mbak Rina? Bukannya di sini ada aku, Mas?"

Mas Ahmad terdiam. Lihat, dia tak bisa menjawabku dengan cepat.

"Apa aku aja nggak cukup untuk ada di sini, Mas?"

Aku sesenggukan.

"Maafin Mas, Sayang. Mas nggak bermaksud begitu. Tapi kalo soal mau nyuruh Rina keluar dari rumah, ini bukan masalah sepele, Sayang. Ini bukan waktu yang tepat!" Terdengar sekali jika Mas Ahmad berkata pelan dan hati-hati.

"Mas berkata begitu karena masih mencintai Mbak Rina, kan?" cercaku dengan berterus terang.

"Kalau pun Mas Ahmad masih mencintaiku, apa salahnya? Aku istrinya, bukan selingkuhannya. Jadi apakah salah kalau seorang suami mencintai istrinya sendiri? Kenapa kau melarang Mas Ahmad untuk mencintaiku?" Sekonyong-konyong suara Mbak Rina terdengar sangat jelas di ambang pintu. Aku kaget luar biasa,

"Rinaaa??" Mas Ahmad langsung bangkit, spontan pelukanku juga ikut terlepas.

Astaga sial*n! Sejak kapan Rina ada di sana?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status