Share

Bab 3

Aku liat Mas Ahmad mulai melirik ke arah Mbak Rina dengan tatapan tak suka. Mungkin saja Mas Ahmad ingin memberitahu Mbak Rina jika apa yang telah dilakukan perempuan itu tak benar.

Mbak Rina memang tak pernah bisa bikin kedamaian. Tindakannya selalu saja memicu suasana keruh dan kacau. Kalau dipikir-pikir aku lebih suka jika dia enyah saja dari rumah ini. Tapi entahlah, karena tak tahu malu Mbak Rina masih saja kekeuh untuk tetap tinggal di rumah ini.

Aku menghela nafas.

"Mas, nggak usah marahin Mbak Rina, ya! Walau gimanapun aku udah maafin dia," aku tersenyum menatap Mas Ahmad.

Mas Ahmad menghembus nafas kasar.

"Beruntung kamu punya adik madu seperti Fika! Kalau nggak, aku nggak tahu apa yang akan terjadi!" suara Mas Ahmad terdengar agak kesal.

Mas Ahmad memang selalu lengket padaku. Terhitung sudah 3 bulan kami menikah, selama itu pula tak pernah dia bisa memarahiku. Dia bilang aku istri pilihan terbaik yang pernah ia miliki. Bangga memang bisa menjadi kebanggaan seorang suami.

Mbak Rina menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Ia benar-benar mengabaikan Mas Ahmad yang sedang kesal padanya. Bahkan ia malah nambah nasi dan lauk ke piringnya tanpa rasa malu.

Luar biasa memang wanita ini. Bahkan mungkin tidak terbersit di hatinya untuk meminta maaf pada Mas Ahmad atau padaku.

"Rin, tuh nanti piringmu cuciin dulu! Jangan mau makan aja bisanya! Jangan cuma suruh Fika terus!" tegur Mas Ahmad.

Aku tersenyum dalam hati, kena tegur lagi dia. Ha ha... Ingin rasanya aku tergelak. Tapi tidak, itu bukan sikap yang baik untuk di tunjukkan di depan Mas Ahmad. Aku memutuskan untuk diam dan pura-pura tidak ambil pusing.

"Entar dulu ya, Mas! Aku belum selesai makan. Masakan Fika emang luar biasa," imbuh Mbak Rina.

"Apa yang kamu bilang emang bener. Tapi bukan itu yang sedang aku omongin. Aku bilang ntar piringmu cuci sendiri!"

"Biar ntar Fika aja yang cuciin piringnya, Mas. Nggak apa-apa," ucapku kemudian. Sengaja aku bilang begitu agar Mas Ahmad tahu betapa baiknya aku.

"Oke, terimakasih ya, Fik!" balas Mbak Rina.

Sial*n, andai saja tak ada Mas Ahmad di sini, tak mungkin aku rela untuk berkata seperti itu. Tapi tidak mengapa, anggap saja ini salah satu pengorbananku untuk Mas Ahmad.

"Ya Tuhaan! Sekali lagi kau harusnya bersyukur, Rina!" Mas Ahmad berkata kesal sambil meninggalkan ruangan dapur.

"Mbak, harusnya Mbak minta maaf sama mas Ahmad!" sergahku.

"Minta maaf? Memangnya salah apa yang udah aku perbuat sama dia?"

Oh ya ampuun, apa yang dia pikirkan? Sepertinya wanita ini tidak sadar akan kesalahannya. Oke baiklah, akan kukasih tahu dia.

"Mbak tanya salah apa? Mbak nggak nyadar apa kalo udah bikin Mas Ahmad kesal dan marah?Kenapa tadi gak iyain aja ketika dia suruh cuciin piring itu? "

Bukannya sadar, eh dia malah tetap tersenyum ringan ketika mendengar apa yang aku katakan barusan.

"Kesal dan marahnya dia itu adalah karena egonya sendiri. Lagi pula, kamu sendiri yang langsung menjawab kalo kamu aja yang ingin cuciin piringnya. Ya udah aku iyain. Terus salah aku apa?"

Ya Rabb

"Pantesan Mas Ahmad terus marah sama Mbak! Kamu emang selalu ngeselin! Mbak liat aku nggak? Pernah nggak Mas Ahmad semarah itu sama aku? Nggak pernah, Mbak? Itu karena aku bisa bikin dia nyaman! Harusnya Mbak bisa berpikir kayak aku. Biar nggak di selingkuhin sama suami!"

Rasanya aku mulai geram. Ini kesempatan aku bisa ngomong langsung sama dia, selagi Mas Ahmad tidak mendengar apa yang aku katakan.

"Iya, Fik. Aku juga salut amat sama kamu. Kamu bisa banget bikin Mas Ahmad nyaman. Servis kamu emang bagus. Aku pantas acungin jempol buat kamu. Tapi aku, aku kayaknya nggak perlu munafik agar bisa menjadi selingkuhan suami orang." Dia tertawa tipis.

Astaga! Apa dia menyinggungku?

"Mbak, aku ini bukan selingkuhan! Camkan itu! Aku ini adalah istri sah. Jadi Mbak jangan macam-macam!"

"Iya, sekarang kamu emang istri sah kok. Aku nggak sedang bicarain kamu. Kenapa kamu cepat banget tersinggung?"

"Udah, udah deh, Mbak. Lebih baik sekarang kamu urusin tuh lemak membuntal di perutmu itu! Biar Mas Ahmad nggak terlalu jijik nyentuhnya. Kan kasihan kamu kalo tiap malam Mas Ahmad cuma mau tidur sama aku doang. Kasihan tuh tubuhmu yang kayak ikan buntal di anggurin mulu!" Aku terkekeh. Kali ini biarkan saja dia tersinggung habis-habisan. Salah sendiri kenapa mau memulai. Dia pikir cuma dia yang bisa sindir menyindir? Nih aku langsung bilang blak-blakan, nggak pake sindiran.

"Kamu bener banget, Fik. Nih aku juga lagi urusin lemak-lemak di tubuh aku. Lagi pula, aku tertolong banget sama adanya kamu yang bantu-bantu di rumah ini. Jadi aku bisa lebih meluangkan waktu untuk mengurus dan merawat diri sendiri. Btw thank you, ya, Fik!" perempuan itu berkata sambil meninggalkan aku begitu saja.

Ooh, mungkin sekarang dia mau coba-coba perawatan diri? Ha ha... Ingin tertawa aku mendengarnya. Dia pikir mudah untuk mendapatkan tubuh ideal seperti punyaku? Oh itu tidak mudah, Ferguso! Kalo bawaan lahir udah jelek, ya mau di bawa kemanapun juga tetap jelek. Mimpi aja dia mau punya tubuh bagus. Andai saja dia punya tubuh yang emang dari sononya cantik, nggak mungkin Mas Ahmad kepincut sama aku. Atau minimal kalo dia pandai mengambil hati suami, mungkin saja Mas Ahmad masih berpikir dua kali untuk memiliki istri lain.

Tapi yang melekat pada diri Mbak Rina jauh dari kata-itu. Dia mah udah jel*k, plus nggak pandai menarik hati suami pula. Paket komplit emang.

Dulu ketika aku dan Mas Ahmad masih status pacaran, Mas Ahmad selalu mengeluh padaku soal istrinya itu. Mas Ahmad memang benar-benar muak sama Mbak Rina. Hanya saja Mbak Rina nggak sadar dan lagi-lagi dengan bod*hny masih mau bertahan.

Tersadar dari berbagai pikiran tentang perempuan itu, aku bergegas membereskan segala sesuatunya. Termasuk piring Mbak Rina tadi. Uh, sial*an.

Aku bisa merasa sedikit lega ketika semua terlihat kinclong. Untung tadi anak-anak Rina sialan sudah aku mandikan. Sebenarnya ini sangat melelahkan, tapi tak apa, aku bisa tunjukan pada Mas Ahmad jika Fika bisa mengurus rumah dengan baik meski harus nyambi mengurus dua anak pula.

Sekarang sudah waktunya aku membersihkan diri dan menata diri sebaik mungkin. Aku harus selalu terlihat bersih dan wangi, agar Mas Ahmad selalu betah.

Seusai mandi aku menuju lemari kosmetikku, mengambil pouch moisturizer kebanggaanku yang seharga jutaan ini.

Aku menarik nafas, skin care ini sudah hampir habis. Aku harus minta kepada Mas Ahmad untuk segera membeli yang baru. Lihat, ini telapak tanganku juga mulai terasa agak kasar, jadi aku akan mencarikan rekomendasi produk yang sedikit lebih bagus lagi.

Aku menghampiri Mas Ahmad. Eh, di depan kamar aku kembali berpapasan dengan wanita buntalan lemak ini. Wangi semerbak menembus hidung.

Hmm.... Apa dia sudah mengenal parfum? Wiih, ada kemajuan apa ini? Apa dia mau mencoba menjadi sepertiku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status