"Nggak, Mas! Aku nggak akan ngeluarin uang lagi untuk kebutuhan rumah tangga kita dalam bentuk apapun."Ahmad terdiam, teramat susah baginya untuk membujuk Rina. "Kalau emang keputusan kamu sudah bulat, ya aku mau bilang apa. Sebenarnya ya aku juga kasihan sama Fika, dia capek urusin semua pekerjaan rumah. Rumah tangga ideal harusnya saling bekerjasama. Tadinya aku pikir kamu juga akan berpikir begitu," ujar Ahmad pelan."Mas, sebelumnya aku juga mengerjakan semuanya sendiri. Bahkan aku juga myambi cari uang juga buat nafkahi keluar kita. Jadi kurasa tak apalah kalau Fika mengerjakan semua pekerjaan rumah. Toh dia hanya mengerjakan itu. Aku juga nggak maksain dia untuk ikut cari nafkah." Ahmad kembali tak bisa berkata apa-apa untuk menanggapi ucapan Rina. Sedangkan Rina tak terlalu ambil pusing dengan reaksi Ahmad. Dalam benaknya masih ternganga luka yang di sebabkan itu pria itu. Ahmad yang menikahi Fika secara diam-diam yang telah menoreh luka tersebut. Sebelum semuanya terkuak d
"Mas mau tidur di kamar Mbak Rina?" Aku beratanya untuk memastikan bahwa apa yang dia katakan barusan tidak salah.Tapi jawabannya sungguh di luar ekspektasi."Iya, Sayang. Satu malam ini aja. Kamu nggak marah, kan?"Hampir saja aku menangis dibuatnya. Sampai hati Mas Ahmad ingin membiarkan aku tidur sendiri. Sedangkan dia mau mesra-mesraan sama Mbak Rina. Ya Rabb, apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?"Sayang, kamu kenapa diam aja? Kamu nggak apa-apa, kan?" dia mengelus pipiku.Aku sebenarnya ingin terisak. Air mata ini mulai ingin jatuh dari persembunyiannya. Tapi aku tidak ingin membuat Mas Ahmad kehilangan simpati hanya karena tingkah cengengku. Demi itu, aku membendung air mataku sekuat mungkin."Mas sungguh mau tidur sama dia? Bagaimana kalau Mbak Rina masih marah? Dia kan baru aja marah sama kita," pelan-pelan aku berucap. Aku tidak ingin membuatnya menilaiku buruk hanya karena aku tak menyetujui kehendaknya. "Kamu nggak usah terlalu khawatir. Insyaallah mas bisa men
Bab 8Pov Rina Tak bisa aku menahan tawa ketika melihat reaksi Fika. Terlihat sekali dia cemburu akibat perkataanku barusan. Meskipun dia mengatakan tak ada kecemburuan, aku tahu itu hanya satu kebohongan.Mungkin dia pikir aku tak mendengar kata-kata yang ia ucapkan ketika sendirian tadi. Padahal aku tahu semua tindak-tanduknya, karena sejak tadi aku ada di sini dan melihat tingkahnya yang menangis tergugu bak anak kecil, hanya karena Mas Ahmad mau tidur bersamaku. Ha ha... Ini sangat lucu. Ia cemburu padaku yang notabene merupakan istri pertama si Ahmad. Padahal aku tidak meminta Mas Ahmad untuk datang, sama sekali aku tak mengharapkannya. Tapi Ahmad sendirilah yang tiba-tiba datang padaku.Tapi, ketika melihat tingkah Fika, terbersit juga rasanya untuk membuat Fika lebih tersiksa lagi karena sakit hatinya. Apalagi ketika aku mengatakan jika Ahmad berencana mengajakku ke puncak, kulihat raut mukanya merah padam. Fika, Fika, aku mau liat, gimana lagi cara yang akan dia lakuin unt
Bab 9Fika Dengan perasaan jijik aku mengelap semua kotoran yang tadi sempat berceceran di lantai. Ini sangat bau, ya ampun. Aku berkali-kali hampir muntah di buatnya.Sial*n, ini semua gara-gara Mbak Rina. Kenapa tadi nggak dia saja yang kemari, bukan aku! Rasanya kesal sampai ke ubun-ubun. Bisa-bisanya dia bersantai ria terlelap di kamarnya, sedangkan aku berjuang mengurus wanita tua bangka ini sendirian.Seandainya kalau dia masih mempunyai pikiran yang baik, tak apa kalau dia tidak mau mengurus mertuanya, tapi setidaknya dia mau membantuku sedikit saja, tapi ini tidak, dia benar-benar egois. Bisa dikatakan semalaman ini aku tak bisa tidur karena menjaga ibu mertua. Mataku terasa berat sekali. Mas Ahmad hanya sesekali membantuku, ambil air minum misalnya. Selain itu aku juga tidak terlalu menuntutnya untuk membantu terlalu jauh. Sebab meskipun ini berat, ini merupakan salah satu caraku untuk menunjukkan kepada ibu mertua bahwa aku adalah wanita yang pantas untuk menggantikan Mbak
Bab 10Mau tidak mau aku harus mengerjakan bejibun pekerjaan di rumah mertuaku. Piring kotor bertumpuk di westafel, cucian juga menggunung di samping mesin cuci. Ini sungguh bukan pemandangan yang menarik. Haduh, memandangnya saja bisa membuatku lelah, apalagi harus mengerjakan semuanya. Apalagi semalaman aku tidak merasakan tidur yang cukup. Bisa sakit aku kalau terus menerus begini. Tapi aku sama sekali tak punya pilihan lain selain dari menyelesaikan semua pekerjaan menyebalkan tersebut."Sayang, kamu udah beres-beres rupanya, ternyata istri cantikku emang ini rajin banget. Tapi sayang, jangan terlalu capek ya. Jaga kesehatan. Sini, mas bantu kamu buat jemur bajunya," Mas Ahmad menawarkan bantuan.Ketika mendengar penawaran tersebut, seketika rasa lelah yang kurasakan berkurang. Mas Ahmad memang menaruh perhatian lebih padaku. Padahal sejauh yang aku tahu, laki-laki ini tidak pernah membantu istri pertamanya dalam hal-hal seperti ini. Aku memang spesial buat dia.Ini sebagai sala
Hatiku panas membara mendengar kata-kata Mbak Rina barusan. Masih tak percaya aku rasanya."Mbak... Mbak... Kenapa Mbak malah main ngebujuk Mas Ahmad untuk berlibur? Sengaja mau cari perhatiannya, ya? Kamu bisa mikir nggak sih kalo ibunya tuh lagi sakit!!!! Beneran ya Mbak ini nggak punya nurani! Harusnya Mbak tuh dateng ke sini, bantuin ngurus nih mertua! Bukannya malah ngajak suami kelayapan, seneng-seneng, ngabisin duit!" sengaja aku omelin tuh perempuan tak tahu diri. Meskipun omelanku hanya lewat jaringan seluler, aku tak peduli! Perempuan itu belum menjawab. Tak biarin kalo dia tersinggung. Masa aku aja yang istri kedua bisa paham kondisi, eh dia yang istri pertama malah bertingkah kayak anak kecil yang nggak tahu mana yang layak dilakukan dan mana yang tidak.Mas Ahmad juga b*doh, kenapa masih mau aja nempel sama perempuan yang rupa pas-pasan itu? Ini baru asli beneran deh yang namanya paket burik luar dalam. "Mbak, ingat! Mbak harus ngebatalin niat kalian, atau ntar akan kus
Bab 12 "Bukan bermaksud apalagi, Mas? Udah jelas-jelas Mas ngebohongin aku! Katanya tadi Mas mau berangkat kerja tapi nyatanya mau enak-enak sama mbak Rina! Tega kamu, Mas!!!" Rasanya terlalu sakit hati ini dibohongi begini. Kenapa Mas Ahmad malah kecantol berat sama Rina? Pertanyaan yang memenuhi benakku sejak dulu."Enak-enakan apanya, Sayang? Kamu salah paham!" jawaban Mas Ahmad sangat tak bisa membuatku terhibur."Buat apa Mas ngajak Rina ke puncak kalau nggak untuk seneng-seneng? Nggak usah nyolot, Mas!" aku menangis. Aku sedih merasa dipermainkan. Mengapa tadi nggak bicara jujur aja dia."Dek, Dek Fika sabar dulu. Mas sayang sama kamu," "Sayang apanya, Mas? Kalau sayang kenapa kamu ninggalin aku kayak gini" aku terisak. "Mas kesini karena paksaan Rina," "Halah, Mas! Kenapa Mas nggak nolak? Apa sebenarnya Mas juga mau? Jangan lemah dong Mas jadi laki-laki!" sergahku."Bukan mas yang nggak nolak, tapi dia yang beneran maksa,"Ternyata benar sekali dugaanku, Rinalah yang menj
Pov AhmadAku serba salah menghadapi Rina. Apa sebegitunya dia membenciku? Sesakit itukah hatinya? Aku harus sabar. Bukankah pernikahanku dan Fika baru berjalan 3 bulan? Mungkin dalam waktu 3 bulan ini masih sulit bagi Rina untuk membiasakan diri. Kuharap lambat laun wanita pertamaku ini akan terbiasa. Dan aku akan sangat bersyukur jika dua istriku bisa hidup berdampingan satu sama lain, bersatu melayaniku, dan berlomba-lomba untuk menjadi istri terbaik. Sebagaimana yang sering kudengar bahwa perilaku berlomba-lomba dalam kebaikan adalah satu pahala yang tidak terhitung nilainya.Setelah sekian lama, Rina masih saja menganggap ku tak ada dalam ruangan ini. Dia asik sendiri dengan ponselnya. Diacuhkan itu sungguh tidak enak.Atau Rina sedang menungguku untuk memulai?Oh iya Mengapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Setelah lama berpuasa dari pergelutan batin, kurasa sekarang Rina pasti merindukannya. Baiklah Rina, belaian terbaik akan kupersembahkan khusus untukmu malam ini. Deng