Share

Bab 5

Aku benar-benar terkejut. Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya jika Mbak Rina akan mendengar perkataanku. Aduh jangan-jangan dia juga mendengar ketika tadi aku menyarankan Mas Ahmad untuk memulangkannya ke rumah ibunya?

Untungnya sepertinya Mas Ahmad paham akan kegelisahanku. Aku lihat laki-laki tersebut dengan cepat menghampiri Mbak Rina, dan menarik perempuan tersebut menjauh dariku. Rupanya Mas Ahmad membawa Mbak Rina ke kamarnya.

Aku tidak tahu apa yang akan Mas Ahmad lakukan terhadap Mbak Rina, tapi kali ini alangkah lebih baiknya jika aku membiarkannya terlebih dahulu. Aku tahu Mas Ahmad akan menenangkan perempuan tersebut, suamiku tidak akan membuatku menjadi sasaran kemarahan istri pertamanya itu.

***

Di kamar yang tidak terlalu besar, Ahmad mengajak Rina untuk bicara dengan cara yang hati-hati. Laki-laki itu tahu bahwa istri pertamanya tersebut tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia juga tahu jika apa yang telah diucapkan oleh Fika tadi telah menyakiti hati Rina. Oleh karena itu Ahmad tidak ingin membiarkan suasana semakin runyam.

"Sayang, kamu jangan salah paham dulu sama apa yang udah dikatakan sama Fika tadi. Itu benar-benar bukan kata-kata yang serius, Sayang. Dia hanya bercanda saja. Aku serius kok." Ahmad berkata sambil menggenggam bahu istrinya.

"Seperti yang udah kamu lihat, Fika enggak sejahat itu. Dia hanya biasa bercanda sama Mas. Jadi Mas mohon ya kamu jangan marah sama dia. Kalau kamu mau marah-marah aja sama mas ini. Oke, oke, Sayang?" Laki-laki tersebut terus merayu.

Sedangkan di hadapannya Rina hanya menyaksikan sikap suaminya yang dianggapnya terlalu berlebihan. Tidak ada respect sama sekali terhadap apa yang dikatakan oleh sang suami.

"Ya kamu benar, Fika tidak sejahat itu. Dia baik dan hebat, berkelakuan baik dan tidak berbuat salah. Dia istri yang baik untukmu. Kalau dia tidak hebat, tentu dia tak akan sampai di titik ini," ujar Rina datar.

"Kamu kenapa bilang begitu? Apa emang bener kamu kerap kali menyinggung Fika dengan cara seperti ini kayak yang sering ia bilang?" Ahmad menelisik sikap istri pertamanya tersebut.

Rina menyipitkan mata.

"Mas aku tanya sama kamu sebenarnya mau kalian ini apa sih? Aku kasih pujian sama dia dibilang aku menyindir, aku diemin malah dibilang jahat, sebenarnya mau kalian apa? Bahkan sama sekali aku nggak gangguin kalian berdua loh!"

"Iya, iya aku tahu, tapi, bisa nggak sedikit aja kamu dengerin apa yang Fika katakan?"

Ucapan Ahmad membuat Rina tertawa. Tapi itu sama sekali bukan tawa bahagia tentunya.

"Apa kamu mau aku tunduk sama kalian berdua? Kamu mau aku nurutin semua apa maunya dia? Sorry ya mas, kemauanmu ketinggian."

"Atau begini aja," sambung Rina setelah beberapa saat terdiam.

Rina duduk dan mengisyaratkan agar Ahmad duduk pula. Dia akan berbicara sesuatu yang cukup serius.

"Mas, kurasa akan lebih baik kita urus perpisahan aja. Aku insyaallah siap pisah, Mas. Kalian lebih baik untuk.....,"

"Oh tidak... Tidak... Tidak bisa seperti itu. Tidak akan ada perceraian di antara kita. Sekali aku bilang tidak, tetap tidak akan terjadi. Tolong jangan bahas hal itu lagi!" Dengan cepat dan sikap Ahmad memotong perkataan Rina.

Rina mengelola nafas panjang permasalahan rumah tangganya terasa cukup pelik. Sedari dulu Ahmad seakan mengharamkan perceraian di dalam rumah tangga mereka.

"Kenapa harus mempertahankan rumah tangga kita? Bukannya kamu udah punya Fika, Mas?" Rina melayangkan protes.

"Meskipun aku udah punya Fika, bukan berarti aku harus menceraikan kamu. Kamu ngerti apa yang aku maksud, kan?" Ahmad berkata dengan gerakan tangan yang mengisyaratkan jika apa yang dikatakan adalah sebuah keseriusan. Seakan-akan Rina tak berhak lagi untuk mengganggu gugat.

"Ya, itu pemikiran dari sudut pandang diri kamu sendiri. Tapi dari sudut pandangku kenyataannya jauh berbeda, Mas. Kamu nggak bisa menyamakan pola pikirmu dengan pola berpikirku, Mas!" Ucap Rina kembali menyangkal.

"Jadi kamu ingin memaksakan kehendakmu dalam rumah tangga kita?" Ahmad melirik mata istrinya. Istrinya melengos, memalingkan muka.

"Tidak ada pemaksaan dalam hal apapun. Yang aku mau adalah kita berpikir secara dewasa, gak usah mementingkan ego sendiri."

"Apa kamu menganggap aku egois karena aku nggak mau pisah sama kamu?"

"Benar!" Rina mengeraskan suaranya.

"Kalau begitu kamu salah menafsirkan, Rina! Aku ini laki-laki, Rina! Aku berhak punya istri lebih dari satu. Aku nggak melanggar perintah Tuhan. Istri yang kupilih belakangan ini adalah istri yang cukup baik tutur katanya maupun perilakunya."

"Nah itulah sebabnya Mas, kamu udah menemukan istri yang baik tutur bahasa maupun perilakunya. Lalu apa lagi yang mau kamu pertahankan dari aku?" Rina ganti berucap.

Ahmad terdiam karenanya.

"Rina kenapa kamu kayak nggak bisa nerima Fika dengan hati yang lapang. Padahal Fika udah bersikap sebaik mungkin sama kamu. Hanya tadi aja Fika berbuat secuil kesalahan apa salahnya kamu maafin dia," ujar Ahmad.

"Dengar Mas! Sekarang aku nggak sedang membahas kesalahan dia tapi aku sedang membahas rumah tangga kita!"

"Ya aku tahu. Ujung-ujungnya kamu juga mau minta cerai. Tidak semudah itu!"

"Rina, sebaiknya sekarang kamu dengar mas ya, kita gak usah bahas masalah perceraian. Kalau bisa kita nggak usah sebut kata-kata itu lagi!"

Rina diam dan sengaja membiarkan pria itu bicara. Ia ingin tahu sejauh apa Ahmad akan mempertahankan egonya.

"Rin, kamu tahu kan kalo aku masih sayang sama kamu. Aku nggak bakalan bisa ngelepasin kamu

Aku nggak siap kalau kita harus bercerai ini aku jujur sama kamu,"

"Kalau soal Fika, kamu nggak usah menaruh rasa cemburu terlalu besar sama dia. Dia itu masih baru dan kamu hanya perlu memakluminya. Dia butuh bimbingan kamu selaku kakak madunya. Sebenarnya aku mau kalian berdua hidup rukun satu sama lain. Aku mau hidup nyaman sama kalian berdua, bukan hanya sama salah satunya aja,"

Rina menghela nafas cukup panjang. Sejauh ini adalah hal tersulit ketika harus menghadapi egonya Ahmad. Setidaknya itulah yang Rina rasakan.

Setelah sekian banyak mengalami masalah sulit dalam rumah tangganya, Rina sudah mulai terlatih dengan kesabaran dalam hatinya. Kesabaran itu baginya tidaklah harus dilalui seumur hidup. Sesuatu yang besar telah dipersiapkan.

"Sabar Rina, kamu hanya harus menahan kesabaran untuk sementara waktu saja. Setelah semuanya selesai, kau akan keluar dari hubungan ini dan Ahmad, dia tak akan bisa mencegahmu lagi," batin Rina sembari mengusap dada.

Kata demi kata yang Ahmad katakan semakin membuat Rina sadar bahwa hubungan ini terlalu sakit apabila harus dipertahankan. Hal lain yang lebih bermanfaat yang bisa dilakukan ketimbang harus hidup dalam rumah tangga yang penuh drama. Itu sungguh bukan hal yang bagus.

Sedangkan Ahmad, sebenarnya dia merasa agak asing dengan sikap yang ditunjukkan oleh Rina. Sebab Rina yang sekarang berbeda jauh dengan Rina yang dulu yang suka berbicara. Sekarang di matanya Rina terlihat lebih pendiam dan tidak banyak protes. Entah mengapa sikap Rina yang seperti ini yang justru membuatnya semakin khawatir.

"Bagaimana, Sayang? Kamu setuju kan sama apa yang udah aku katakan?" Ahmad tetap merayu dengan harapan besar.

"Baik Mas, untuk sementara aku setuju, tapi dengan syarat,"

"Apa itu?"

"Aku nggak akan ngeluarin uang lagi untuk kebutuhan rumah tangga kita dalam bentuk apapun,"

"Haaa? Kok begitu? Ini kan rumah tangga kita, jadi semuanya udah sewajarnya jadi tanggung jawab kita bersama-sama,"

"Tanggung jawab bersama kau bilang? Ha ha... Itu bukan tugasku, Mas! Kamu berani beristri dua, artinya kamu juga harus sanggup mengemban tanggung jawab untuk kedua istrimu!"

Ahmad tercekat

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status