Share

Bab 6

"Nggak, Mas! Aku nggak akan ngeluarin uang lagi untuk kebutuhan rumah tangga kita dalam bentuk apapun."

Ahmad terdiam, teramat susah baginya untuk membujuk Rina.

"Kalau emang keputusan kamu sudah bulat, ya aku mau bilang apa. Sebenarnya ya aku juga kasihan sama Fika, dia capek urusin semua pekerjaan rumah. Rumah tangga ideal harusnya saling bekerjasama. Tadinya aku pikir kamu juga akan berpikir begitu," ujar Ahmad pelan.

"Mas, sebelumnya aku juga mengerjakan semuanya sendiri. Bahkan aku juga myambi cari uang juga buat nafkahi keluar kita. Jadi kurasa tak apalah kalau Fika mengerjakan semua pekerjaan rumah. Toh dia hanya mengerjakan itu. Aku juga nggak maksain dia untuk ikut cari nafkah."

Ahmad kembali tak bisa berkata apa-apa untuk menanggapi ucapan Rina.

Sedangkan Rina tak terlalu ambil pusing dengan reaksi Ahmad. Dalam benaknya masih ternganga luka yang di sebabkan itu pria itu. Ahmad yang menikahi Fika secara diam-diam yang telah menoreh luka tersebut. Sebelum semuanya terkuak dan Ahmad akhirnya membawa Fika bergabung ke dalam rumah tersebut. Tapi kini luka itu sudah berangsur pulih. Rasa cinta untuk Ahmad perlahan mulai menipis, dan akibatnya menimbulkan rasa ketidak pedulian Rina terhadap Ahmad. Ada atau tidak adanya Ahmad baginya sama saja. Tak ada yang spesial dalam hubungan itu.

Yang ada sekarang adalah Rina berpikir untuk mengakhiri pernikahan itu dengan cara damai tanpa pertikaian. Tapi sepertinya, Ahmad selalu menciptakan tabir penghalang untuk niar Rina. Benar-benar egois. Sudah nyata menyakiti, tapi tidak mau melepaskan. Jika tak bisa membahagiakan setidaknya biarkan ia mencari kebahagiaannya sendiri.

"Ahmad, apa kau yakin aku akan bahagia dalam pernikahan ini?" Rina menatap Ahmad dalam.

"Jika bisa menerima takdir dengan hati yang lapang, apa sih yang nggak bisa terjadi?"

Benar-benar jawaban yang hanya mementingkan salah satu pihak, tentu saja dirinya sendiri.

"Kalau seandainya aku mempunyai hubungan dengan pria lain, apa kamu bisa menerima takdir itu dengan hati yang lapang?" ujar Rina.

Perkataan Rina sungguh menampar. Tak urung muka Ahmad memerah. Di balik itu, ternyata terselip juga rasa cemburu di lubuk hati Ahmad. Ia sama sekali tak bisa menerima jika istrinya itu memiliki pria lain.

"Begini, Rina, kamu tidak bisa membuat perbandingan seperti itu. Apa yang aku lakukan sudah melalui pertimbangan matang, jadi tidak bisa di banding-bandingkan. Apa yang aku lakuin itu gak bisa di salahkan bahkan bisa terhitung sunnah, tapi kalau kamu yang berniat punya pria lain, sudah jelaslah kalo itu nggak bener, jatuhnya malah dosa. Naif sekali. Kenapa aku bilang gitu? Karena kita ini jelas-jelas berbeda," terang Ahmad.

"Apanya yang beda?" Mata Rina menatap menuntut jawaban.

"Jelas berbeda, sebab aku ini laki-laki, sedangkan kamu perempuan! Laki-laki dan perempuan jelas-jelas punya berbedaan. Apa yang di sunnahkan untuk laki-laki, belum tentu berpaku sama untuk perempuan. Jadi, soal kamu yang ingin punya laki-laki lain, sudah jelas itu salah dan aku sudah pasti tak bisa menerima!"

Rina tertawa mendengarnya. Ahmad kian kesal dan merasa bila Rina sedang menertawakan dirinya.

"Mas, laki-laki dan perempuan sudah jelas berbeda. Tapi perbedaan itu hanya soal jenis kelamin. Tapi soal perasaan ,sepertinya tak akan jauh berbeda. Jadi, sepertinya kamu harus sedikit belajar memahami."

Ahmad kembali terpukul.

"Rin, aku tahu kamu tak senang karena aku membawa Fika ke rumah ini. Rasa irimu terlalu besar! Padahal kalo kamu mau berkaca, tuh pelajari soal tentang Aisyah dan istri-istri nabi yang lain! Istri seorang nabi aja bisa bersabar, kenapa kamu tidak?"

Rina kembali tergelak.

"Ini tidak bisa di sandingkan dengan istri para nabi, sebab aku jelas-jelas bukan Aisyah, dan kamu sendiri bukan seorang nabi!"

"Kamu hanya pandai ngomong doang! Keterlaluan! Oke... Oke... Sekarang lakuin aja apa yang kamu mau! Kamu nggak mau bantu keuangan buat kebutuhan, ya sudah! Gajiku juga lebih dari cukup untuk menafkahi diriku dan Fika! Sedangkan kamu, silakan kamu nafkahi dirimu sendiri! Aku gak bakal kasih jatah bulanan buat kamu lagi! Aku ingin liat, sejauh apa kamu bisa menghidupi diri kamu tanpa aku! Anggap aja ini hukuman buat kamu!" Dengan suara yang tegas Ahmad berucap demikian. Bahkan beberapa telunjuknya ia arahkan ke wajah Rina.

Tapi perempuan itu tetap terlihat tenang.

"Baiklah. Aku lebih suka keputusan kayak gini!"

Tak urung semakin geram lah Ahmad mendengarnya.

"Sekarang kau memang keras kepala!" rutuk Ahmad.

Ahmad meninggalkan ruangan itu. Tapi dihatinya Ahmad menyesali keputusannya tadi. Di sisi lain Ahmad juga bertanya-tanya mengapa Rina bisa bersikap terlalu dingin. Padahal dulu tidak. Ahmad berpikir keras. Beragam pikiran muncul. Tiba-tiba salah satu pikiran muncul di benaknya.

[Apa perubahan sikap Rina terjadi karena aku jarang membagi makamku sana dia ya]" batin Ahmad.

[Baiklah, kalau begitu nanti aku akan lebih adil dalam urusan itu, siapa tahu dengan demikian hatinya bisa menjadi lebih lembut] batinnya kembali.

***

Tergopoh-gopoh suamiku datang menghampiriku. Entah apa yang telah terjadi di antara dia dan Mbak Rina tadi. Yang jelas sekarang kulihat wajah Mas Ahmad kusut.

Memang selalu begini, setiap Mas Ahmad usai bicara sama mbak Rina, wajahnya selalu saja terlihat berantakan. Aku tak mengerti bagaimana cara mbak Rina memperlakukan suamiku. Tapi yang pasti, apa yang sudah dilakukan oleh Mbak Rina itu bukanlah perbuatan yang baik.

Lihat saja, kerap kali Mas Ahmad datang menghampiriku hanya untuk menenangkan hatinya.

"Mas, kenapa nampak kusut?" Aku meraih tangannya agar kegundahannya mereda. Aku ingin dia tahu bila aku sanggup membuatnya nyaman. Tidak seperti si dekil Rina. Huh...

Panjang lebar Mas Ahmad bercerita. Seperti biasanya, ia menumpahkan semua kekesalan hatinya.

Setelah kurasa hatinya lebih tenang, aku menyarankannya untuk segera membersihkan diri. Seperti biasa, ia selalu menurut apa yang aku katakan. Meskipun masih ada satu hal yang agak membuatku kesal padanya, yaitu ia yang selalu menolak ketika aku mengisyaratkanya untuk menceraikan Rina. Selebihnya, bagiku dia pria yang cukup penurut.

Seusai mandi, aku menyodorkan handuk sekaligus pakaian yang sedari tadi telah aku siapkan untuknya.

Kubiarkan ia lebih rileks.

Mas Ahmad duduk dan beberapa kali menarik nafas panjang. Aku memperhatikannya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi dia terlihat ragu.

Aku berinisiatif untuk memulai.

"Mas, kamu keliatan bingung? Apa ada yang mau kamu omongin? Kalau ada, bilang aja, Mas. Aku bakalan dengerin, kok," ucapku sambil menampakkan senyum cantikku ini. He he...

"Hmm... Gini, Sayang," ujarnya.

"Hu um?" Aku mengerlingkan mata.

"Hmm... Malam ini Mas tidur dikamar Rina, boleh ya?"

Haaa? Apaaaa?

Apa aku tidak salah dengar? Dia mau memeluk ikan buntal itu? Setelah sekian lama selalu tidur di sampingku, lalu sekarang dia mau tidur sama Rina? O my God... Ini pasti sebuah kesalahan. Pasti ada yang salah sama pikiran Mas Ahmad.... Tidak, aku tidak akan membiarkan ini terjadi!!!!!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status