Share

Bab 4

Author: Yeya
Setiba di kafe, aku melihat Rendra sedang menyuapi tar telur ke mulut Viona.

Saat Viona melihatku, dia tersenyum seolah menantang. "Citra, lihatlah Rendra yang keras kepala ini, dia terus mau menyuapku," kata Viona.

"Awalnya aku mau pergi menemuimu sendiri, tapi sejak hamil, aku sulit bergerak. Jadi Rendra memintamu yang datang," lanjut Viona.

Dia menambahkan lagi, "Ah, maaf ya, aku lupa kamu nggak pernah hamil, jadi mungkin kamu nggak tahu betapa sulitnya mengandung itu."

Aku yang dulu pasti akan marah saat mendengar kalimat seperti itu.

Namun, aku tidak lagi menghiraukannya sekarang.

Aku menoleh ke Rendra, lalu bertanya dengan datar, "Ada urusan apa?"

Rendra menyuapkan tar telur terakhir ke mulut Viona, lalu mengusap sudut bibirnya dengan lembut. Tatapannya penuh kasih sayang.

Namun, ketika menoleh padaku, tatapan itu langsung berubah dingin. "Citra, mari kita bercerai," ujar Rendra.

"Anak di kandungan Vio akan segera lahir. Sebagai ayah, aku nggak bisa membiarkan dia diejek oleh orang-orang," lanjut Rendra.

Dia mencibir, lalu menambahkan, "Lagi pula, kamu juga nggak bisa mengan …."

Saat mengatakan itu, Rendra mendadak meremas dahinya seolah ada sesuatu yang memasuki otaknya. Dia menarik napas dengan ekspresi kesakitan.

Dia menggeleng, lalu bertanya dengan ekspresi heran, "Nggak bisa mengandung? Kenapa aku berkata seperti itu?"

Melihat reaksinya, aku langsung tahu alasannya.

Setelah Rendra di usia tujuh belas menyelamatkanku, tubuhku menjadi tetap utuh dan kemampuan mengandungku pun pulih. Ingatan ini muncul juga di kepala Rendra di usia tiga puluh.

Namun, ekspresi Rendra segera kembali penuh tekad.

Dia mendongak, kembali menatapku dengan tatapan dingin dan asing.

"Citra, kamu nggak sebanding dengan Viona. Kita bercerai saja," ujar Rendra.

Aku mendengar dia menegaskan kalimat itu lagi.

Meskipun tanganku ini masih menggenggam cangkir kopi panas, hatiku terasa dingin.

Lihatlah, orang yang ingin pergi, tidak pernah kekurangan alasan.

Satu hilang, dia akan selalu punya yang lain.

"Baik. Kita akan bercerai, tapi aku ada satu syarat," ucapku.

Aku mendorong buku harian ke hadapannya, lalu menunduk dan berkata dengan suara rendah, "Kamu harus tulis 'Rendra nggak mencintai Citra' di sini dengan tanganmu sendiri."

Rendra melihat buku harian itu, lalu menatapku dengan sinis dan heran.

"Jadi kamu mau menahanku dengan cara ini?" tanya Rendra.

"Citra, apa kamu terlalu banyak menonton drama? Siapa yang nggak pernah buat janji manis waktu remaja? Semua janji itu Cuma omong kosong. Aku bilang itu cuma untuk membodohimu. Kamu benar-benar percaya? Konyol sekali," lanjut Rendra.

Aku tersenyum kecut. Aku mengetuk pelan buku harian itu dengan jari, lalu berkata, "Kalau begitu, tulis saja di atasnya."

Rendra terkejut.

Dia ragu sejenak, lalu mengangkat pena dan menulis empat kata: [Rendra nggak mencintai Citra.]

Setelah menulis, dia menatapku dengan kejam. "Kalau kamu belum puas, aku bisa menulisnya dua kali lagi," ucap Rendra.

Sebelum aku menjawab, dia menuliskan kalimat yang sama lagi.

Aku menatap buku harian itu, tidak ada yang muncul di sana.

Namun, aku tahu remaja di sana pasti bisa melihatnya.

Aku mengangkat pena, lalu menandatangani surat cerai yang sudah disiapkan dengan tanpa ragu.

Setelah itu, aku bangkit dan hendak pergi. Namun, Viona tiba-tiba menahanku, "Citra, tunggu. Aku mau bicara denganmu."

Viona pun meminta Rendra keluar membeli makanan dengan alasan bayi dalam kandungannya lapar.

Rendra mengangguk dengan lembut, lalu menatapku dengan tajam seolah ingin memperingatkanku, kemudian pergi.

Viona tiba-tiba merebut buku harian itu, membacanya, lalu mencibir, "Ini buku harian Rendra, ya? Kudengar dulu dia sering menulis betapa dia menyukaimu di sini. Sayang sekali ya …."

"Memangnya kenapa kalau dia dulu menyukaimu? Kalau dia menyukaimu selama ini, aku nggak mungkin ada di sini, 'kan?"

"Kamu tahu betapa tergila-gilanya dia padaku? Di setiap ulang tahunmu, setiap peringatan pernikahan kalian, dia selalu datang padaku setelah tidur bersamamu."

"Permintaannya banyak sekali, kami menghabiskan banyak kondom setiap kali berhubungan. Kakiku bahkan lemas keesokan harinya. Kami pernah berhubungan di Maybach-nya, di kantornya, bahkan di kamar kalian."

Aku hampir ingin memukul Viona.

Namun, sesaat kemudian, dia tiba-tiba berbaring ke lantai dan menjerit kesakitan.

Jeritannya sangat keras, membuat Rendra buru-buru berlari kemari. Melihat Viona terbaring di lantai, dia bertanya dengan cemas, "Ada apa ini? Apa yang terjadi?"

Viona pura-pura menangis sambil berkata, "Ini semua salahku, aku merebut posisi Citra sebagai istrimu, jadi dia nggak sengaja mendorongku."

"Rendra, jangan salahkan dia."

Rendra melotot padaku dengan mata merah.

Aku hendak menjelaskan, tetapi tangannya tiba-tiba mencekik leherku. Dia berkata dengan tatapan penuh benci, "Kalau aku tahu kamu sekejam ini, aku nggak akan menghadang pisau itu untukmu! Seharusnya kubiarkan kamu mati saat itu!"

Aku tersenyum kecut mendengarnya.

Rendra, lihatlah dirimu. Meskipun aku sudah bilang padamu, kamu tetap saja menyakitiku dengan hal yang sama. Kamu memang tidak pernah berubah.

"Rendra, kamu menjijikkan sekali," ucapku.

Buku harian di tanganku jatuh di hadapan Rendra.

Rendra di usia tiga puluh mengambilnya, lalu berteriak padaku dengan tatapan benci.

"Kamu pikir kamu bisa menahanku dengan buku ini?" tanya Rendra.

Dia melanjutkan, "Setiap kali kubaca tulisan di atasnya, aku selalu merasa jijik mengingat aku pernah mencintaimu!"

"Kembalikan buku itu padaku!" teriakku.

Rendra menghindari tanganku, lalu menarik buku harian itu.

"Kamu mau, ya?" tanya Rendra.

Mendengar teriakanku, Rendra langsung merobek-robek buku itu di hadapanku, kemudian melemparkannya ke udara. "Ini untukmu!" ucap Rendra.

Aku duduk di lantai, melihat halaman buku harian yang hancur dan jatuh seperti salju.

Aku tiba-tiba tertawa keras. Suara tawaku makin lama, makin keras.

Semuanya berakhir sekarang.

Kali ini, semuanya benar-benar berakhir.

Melihat aku tertawa, nadi di dahi Rendra menegang, amarahnya meledak. "Kamu hampir membuat Vio keguguran, dan kamu masih bisa tertawa? Dasar pelacur!" ucap Rendra.

Matanya memerah, muncul niat membunuh dalam tatapannya. Dia meraih pisau steik sapi di meja, lalu menghunuskannya ke arahku.

Namun, rasa sakit yang kutunggu tidak pernah datang.

Setetes demi setetes.

Aku merasakan ada cairan hangat yang menetes di wajahku, disertai bau amis yang menyengat.

Aku membuka mataku, melihat pisau itu ditahan oleh sebuah tangan.

Aku menyusuri tangan itu dan melihat Rendra di usia tujuh belas berdiri di hadapanku.

Perutnya masih dibalut perban, tetapi matanya memerah. Dia menatap Rendra di usia tiga puluh dengan tatapan marah, terkejut, dan kaget sampai akhirnya berubah menjadi putus asa.

Tangan kanannya menggenggam bilah pisau yang tajam dengan erat.

Darah segar mengalir dari telapak tangannya, menetes ke mataku, lalu menyebar menjadi bunga poppy yang mekar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tak Lagi Berharap   Bab 8

    Viona berontak sekuat tenaga sambil berteriak histeris, "Rendra, kamu nggak bisa memperlakukanku seperti ini! Nggak boleh!""Dulu jelas-jelas kamu yang datang mencariku. Kamu bilang Citra mandul, menikahinya adalah kesalahan terbesar dalam hidupmu!""Kamu bilang selama aku bisa memberimu anak, kamu akan menikahiku. Kamu menipuku dengan janji manis!""Rendra, aku benci padamu! Aku benci!"Mendengar Viona membongkar semua rahasia, tatapan Rendra berubah menjadi kelam. Dia berteriak keras, "Tutup mulutnya!"Seorang pengawal segera menutup mulut Viona, sementara yang lain mengangkat kakinya. Dengan cepat, mereka menyeretnya keluar.Jeritan Viona perlahan menjauh, hingga akhirnya hilang sama sekali. Ekspresi Rendra berubah-ubah, dia berkata dengan canggung, "Citra, jangan percaya omongannya. Dia cuma mau merusak hubungan kita.""Sekarang aku sudah benar-benar menyingkirkannya. Nggak ada lagi yang bisa merusak hubungan kita.""Citra, ikut aku pulang, ya?" Rendra mengulurkan tangan, tatapann

  • Tak Lagi Berharap   Bab 7

    Aku menghapus semua kontak Rendra dari ponselku, lalu menyewa sebuah kamar.Sejak menikah dengannya, aku tidak pernah bekerja. Kini, bukan hal yang mudah bagiku untuk mencari pekerjaan.Untungnya, sahabatku punya perusahaan. Dia memberiku jabatan yang ringan. "Citra, kalau sudah di perusahaanku, kamu cukup kerja dengan tenang," ucap sahabatku.Dia melanjutkan, "Kalau ada yang berani mengganggumu, bilang saja, biar aku yang turun tangan."Setelah berkata begitu, dia menyodorkan segelas kopi hangat untukku. Senyumnya sangat tulus."Terima kasih," kataku.Dia tertawa, lalu berkata, "Kita sahabat, kamu nggak perlu begitu segan."Kupikir setelah perceraian, hidupku akhirnya bisa tenang. Namun, tidak kusangka, keesokan harinya, Viona justru datang mengamuk ke perusahaan sahabatku."Citra, dasar pembunuh! Kembalikan anakku!" teriak Viona.Rambut Viona berantakan, wajahnya pucat pasi, dia benar-benar terlihat seperti orang gila. Begitu melihatku, dia langsung melemparkan tas ke arahku.Aku tid

  • Tak Lagi Berharap   Bab 6

    Aku berusaha sekuat tenaga menarik koper dari genggaman Rendra.Namun, kekuatannya jauh lebih besar dariku. Bagaimanapun aku berusaha, koper itu tidak berpindah.Akhirnya aku melepaskannya begitu saja, lalu berbalik pergi.Rendra berjalan maju untuk menarik lenganku, lalu bertanya dengan tegas, "Kamu mau ke mana?""Rendra!" bentakku.Aku menepis tangannya dengan sekuat tenaga, lalu memelototinya dengan tajam. "Aku sudah bercerai denganmu seperti yang kamu mau. Mulai sekarang, kamu bisa hidup mesra dengan Viona. Nggak ada yang akan mengganggu kalian."Aku bertanya lagi, "Kamu masih mau apa dariku?"Ada seberkas rasa bersalah melintas di mata Rendra, membuat aura dominannya meredup.Ketika dia menatapku, tatapannya berubah lebih lembut. "Citra, bisakah kita duduk dan bicara baik-baik?" tanya Rendra."Maaf, aku nggak punya waktu," jawabku.Selesai berkata, aku pun berbalik pergi.Biarpun tanpa koper, aku tetap harus meninggalkan rumah yang sudah lama membuatku muak.Rendra mengejarku dan

  • Tak Lagi Berharap   Bab 5

    "Ka … kamu …."Rendra di usia tiga puluh terkejut menatap pemuda di hadapannya yang berwajah sama persis dengan dirinya, hanya saja lebih muda. Tubuhnya terpaku seolah disambar petir, tangannya bahkan tidak mampu menggenggam pisau.Pisau steik jatuh ke lantai dan menimbulkan dentang nyaring.Rendra terhuyung lalu terjatuh ke kursi. Wajahnya pucat, kedua mata kosong tidak berfokus.Di saat itu, Rendra di usia tujuh belas menoleh ke arahku, lalu tersenyum dan berkata, "Citra, sudah kubilang, aku akan melindungimu …."Sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya, sosoknya perlahan menghilang seperti asap tipis.Aku juga merasa terkejut dan terpaku di tempat.Hanya Viona yang menjerit ketakutan, "Rendra! Tanganmu! Kenapa di telapak tanganmu ada bekas luka?"Suara itu seketika membuat Rendra di usia tiga puluh tersadar. Dia buru-buru menunduk, menatap telapak tangannya.Pupil Rendra mendadak mengecil karena kaget. Tubuhnya bergetar hebat, napasnya tercekat.Beberapa detik kemudian, dia mengg

  • Tak Lagi Berharap   Bab 4

    Setiba di kafe, aku melihat Rendra sedang menyuapi tar telur ke mulut Viona.Saat Viona melihatku, dia tersenyum seolah menantang. "Citra, lihatlah Rendra yang keras kepala ini, dia terus mau menyuapku," kata Viona."Awalnya aku mau pergi menemuimu sendiri, tapi sejak hamil, aku sulit bergerak. Jadi Rendra memintamu yang datang," lanjut Viona.Dia menambahkan lagi, "Ah, maaf ya, aku lupa kamu nggak pernah hamil, jadi mungkin kamu nggak tahu betapa sulitnya mengandung itu."Aku yang dulu pasti akan marah saat mendengar kalimat seperti itu.Namun, aku tidak lagi menghiraukannya sekarang.Aku menoleh ke Rendra, lalu bertanya dengan datar, "Ada urusan apa?"Rendra menyuapkan tar telur terakhir ke mulut Viona, lalu mengusap sudut bibirnya dengan lembut. Tatapannya penuh kasih sayang.Namun, ketika menoleh padaku, tatapan itu langsung berubah dingin. "Citra, mari kita bercerai," ujar Rendra. "Anak di kandungan Vio akan segera lahir. Sebagai ayah, aku nggak bisa membiarkan dia diejek oleh or

  • Tak Lagi Berharap   Bab 3

    Bekas luka yang menemaniku selama tiga belas tahun tiba-tiba hilang.Air mataku langsung mengalir.Kubuka kembali buku harian itu. Di sana muncul kalimat baru, tulisannya miring dan tidak teratur, seolah-olah penulisnya tidak bertenaga.[Citra, aku berhasil menyelamatkanmu.]Setelah emosiku tenang, aku pun membalas.[Itu memang seharusnya kamu lakukan.]Kalau bukan karena rasa sukanya.Kalau bukan karena cinta yang kelak akan dia khianati.Aku tidak akan pernah diserang oleh Viona sampai akhirnya kehilangan organ terpenting seorang wanita.Rendra di usia tiga puluh malah memiliki anak dengan wanita yang menghancurkanku dan menyakitiku sekali lagi.Tulisan baru kembali muncul di buku harian itu. Tulisannya kurang jelas, seakan ditulis dengan penuh kesakitan.[Citra, ada hal lain yang bisa kulakukan untukmu?]Saat Rendra di usia tujuh belas menuliskan tanda tanya, aku segera membalas: [Sudah kubilang, pergilah dari hidupku.][Menghilanglah dari pandanganku. Jangan jadikan cintamu saat in

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status