Home / Rumah Tangga / Mencari Istriku di Masa Lalu / Bab 1 – Negeri Asing, Hati yang Asing

Share

Mencari Istriku di Masa Lalu
Mencari Istriku di Masa Lalu
Author: Sofia Saarah

Bab 1 – Negeri Asing, Hati yang Asing

Author: Sofia Saarah
last update Huling Na-update: 2025-06-06 21:33:10

Langit Doha sore itu dilukis dalam gradasi emas pucat, seolah menyambut sepasang jiwa yang baru saja melewati babak hidup paling agung yaitu pernikahan.

Alysaa duduk diam di kursi penumpang, jari-jarinya bertaut pelan dengan tangan Shaz yang hangat namun terasa jauh.

Ia memandang ke luar jendela, menyaksikan gurun pasir membentang di kejauhan, dan jalanan kota yang tampak terlalu modern untuk hatinya yang masih mencari pijakan.

"Semua akan baik-baik saja," bisik Shaz, suaranya rendah, tenang, seperti biasa.

Alysaa hanya mengangguk kecil, tersenyum samar, namun tak bisa menipu rasa sesak yang menumpuk diam-diam di dalam dadanya.

Bukan karena ia tak ingin ikut, bukan karena ia menyesal menikah dengan pria ini. Tapi... mengapa hatinya seperti masih digantung di langit Indonesia, di rumahnya, di pangkuan ibunya yang sempat gemetar melepas kepergiannya?

Mereka baru saja menutup bulan madu di Bali yang singkat namun hangat.

Alysaa menyimpan foto-foto itu dalam ponselnya yang terlihat bahagia, namun ia tahu ada sesuatu yang tak pernah benar-benar mengalir dari mata suaminya.

Cinta, barangkali. Atau rasa memiliki.

Qatar kini menjadi rumahnya. Ia harus percaya itu.

Mobil berhenti di depan sebuah gedung berwarna putih dengan arsitektur kontemporer, tinggi dan kokoh. Di bagian atasnya terpampang nama gedung itu dalam huruf Arab dan Latin "Aynora Residence".

Shaz membuka pintu untuknya, lalu menatapnya sejenak sebelum berucap, “Welcome home.”

Suara Shaz terdengar tenang saat ia membuka pintu apartemen mewah itu. Tangannya menggenggam jemari Alysaa erat. Mungkin terlalu erat, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Alysaa melangkah masuk, matanya menyapu sekeliling ruangan. Interiornya modern,marmer putih, lantai kayu premium, jendela lebar dengan tirai transparan menjuntai hingga lantai.

Tapi rumah itu terasa sunyi. Dingin. Seperti hotel tanpa jiwa.

“Indah, ya?” Shaz menatap wajah istrinya. Ada senyum di bibirnya, tapi tidak sampai ke matanya.

Alysaa mengangguk pelan. “Iya. Indah sekali.”

Mereka baru dua minggu menikah. Setelah melewati bulan madu singkat, kini Alysaa resmi meninggalkan tanah kelahirannya. Semua terasa cepat. Terlalu cepat.

Shaz, pria berdarah campuran India dan Iran, memiliki penampilan yang luar biasa mencolok. Mata hijaunya tajam, wajahnya bersih dengan rahang tegas dan postur tubuh atletis.

Dengan tinggi 178 cm dan rambut hitam tebal yang selalu tersisir rapi, ia bisa saja jadi aktor drama atau model brand mewah. Dan kini, ia adalah suaminya.

“Senin aku mulai kerja di kantor pusat Ravelleux,” kata Shaz, meletakkan koper di dekat sofa. “Akan ada koleksi baru musim panas. Masa-masa sibuk, seperti biasa.”

“Ravelleux?” Alysaa menoleh.

“Brand Prancis. Luxury fashion, tapi mereka ekspansi ke Qatar. Aku jadi regional director untuk kawasan Timur Tengah.”

Ia menyebut jabatan itu dengan datar. Tak sombong, tapi juga tidak terlalu bersemangat.

Alysaa tersenyum kecil. “Keren.” Tapi hatinya jauh dari kata tenang.

Malam itu, setelah koper dibuka setengah dan dapur masih bersih tanpa sentuhan, Alysaa berdiri di depan kaca besar yang menghadap ke kota Doha.

Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya ke langit, menciptakan siluet kota yang asing tapi menawan.

Dalam diam, pikirannya melayang ke masa lalu.

Mereka bertemu dua tahun lalu bukan di acara keluarga, bukan dikenalkan, tapi melalui aplikasi kencan.

Alysaa ingat jelas. Waktu itu, ia hanya iseng mengisi profil. Tidak benar-benar berharap menemukan cinta.

Shaz mengiriminya pesan pertama. Singkat, sopan. Tidak romantis. Bahkan tidak lucu. Tapi... entah kenapa, ia membalas.

“Apa kabar hari ini?”

Hanya itu. Tapi kalimat itu datang setelah tiga hari tanpa kabar. Lalu menghilang lagi. Muncul lagi. Dan tetap seperti itu selama berminggu-minggu.

Saat pertama kali bertemu langsung, Shaz benar-benar seperti di foto. Bahkan lebih tampan. Tapi bukan ketampanannya yang membuat Alysaa bertahan.

Melainkan keseriusan yang tak pernah diucap, tapi terlihat dari caranya memperlakukan waktu mereka.

“Maaf aku nggak pandai bicara. Tapi aku serius sama kamu,” katanya sekali, waktu mereka duduk berdua di Bandung.

Saat Shaz melamarnya, Alysaa terkejut. Bukan karena tak percaya, tapi karena selama ini pria itu begitu tenang, bahkan sering cuek.

Tapi tiba-tiba dia datang. Membawa cincin. Meminta restu orang tuanya.

Lalu kembali lagi bersama keluarganya. Menikahinya secara resmi di hadapan dua budaya yang bersatu.

Tapi, sekarang, dua minggu setelah sah menjadi suami-istri, hatinya mulai ragu.

“Sayang.”

Suara Shaz terdengar dari balik pintu kamar. Ia masuk, membawa dua cangkir teh hangat.

Ia menyerahkan salah satunya padanya. “Kamu diam sejak tadi.”

Alysaa menerima teh itu, lalu duduk di sisi ranjang. “Aku cuma… belum terbiasa aja.”

“Panas, ya?”

“Bukan cuacanya,” jawab Alysaa pelan.

Shaz mengangguk pelan. Ia duduk di sebelahnya, menatap ke depan, tidak ke arah istrinya.

“Aku tahu aku bukan suami yang ekspresif,” katanya lirih. “Tapi aku... mencoba.”

“Terkadang aku nggak tahu harus merasakan apa.”

Shaz menghela napas. “Aku datang ke Indonesia, membawa keluargaku, menikahimu... itu semua bukan hal kecil.”

“Aku tahu.” Alysaa menoleh, menatap wajah suaminya yang tetap tampan bahkan dalam cahaya lampu yang temaram. “Tapi bukti itu bukan jaminan aku merasa dicintai.”

Hening.

Shaz menggenggam tangannya. Hangat, tapi tetap terasa jauh. Alysaa menatap jari-jarinya yang dibalut tangan suaminya. Tampak sempurna dari luar. Tapi seolah ada dinding tipis yang tak kasat mata di antara mereka.

“Sayang, I really love you, so much, more than anything . Aku akan belajar,” bisik Shaz. “Untuk jadi lebih hadir. Untuk kamu, my wife.”

Alysaa tak menjawab. Matanya mulai berkaca. Ia tak tahu, air mata itu karena rindu rumah... atau karena cinta yang terasa satu arah.

Malam telah larut. Lampu kota Doha memantul lembut di dinding kamar mereka, menciptakan bias cahaya yang menari pelan.

Shaz menatap Alysaa yang kini rambutnya terurai indah dan jatuh menutupi sebagian wajah cantik istrinya.

“Bolehkah aku... mendekat?” bisiknya.

Alysaa mengangguk pelan, meski degup jantungnya mengkhianati ketenangan wajahnya.

Shaz duduk di sampingnya, lalu mengusap lembut pipinya dengan punggung tangan. Tatapan hijau di matanya tak lagi dingin.

Ada kehangatan yang sempat tersembunyi, kini perlahan muncul ke permukaan.

“Terima kasih... sudah ikut aku sejauh ini,” ucapnya lirih. “Di negara yang asing, di hidup yang belum tentu nyaman.”

Alysaa menatap matanya, tak sanggup menjawab. Tapi ia tahu, matanya sudah lebih jujur daripada kata-kata.

Shaz lalu mengecup keningnya dengan lembut. Hening, sakral, dan dalam. Ciuman itu perlahan turun ke pipi, lalu ke sudut bibirnya. Alysaa menutup mata, membiarkan napas mereka saling menyatu dalam jeda yang singkat namun padat makna.

Ciuman mereka mengalir pelan, lalu tumbuh dengan irama yang lebih dalam. Jemari Shaz menelusuri punggung Alysaa, membuka satu per satu lapisan kain yang membalut tubuh istrinya.

Tak tergesa, tak terburu, seolah ingin mengenal tiap inci cinta yang kini sudah menjadi haknya.

“Kamu gemetar...” bisik Shaz, menatap matanya yang mulai basah.

“Bukan karena takut,” jawab Alysaa pelan. “Tapi karena aku ingin ini bukan sekadar hasrat.”

Shaz tak menjawab, hanya menatapnya dalam-dalam. Lalu ia menyatukan bibir mereka kembali, kali ini lebih dalam. Nafas mereka terseret pelan.

Tubuh mereka saling menyatu, saling memberi dan menerima, dalam irama yang tak hanya menggugah raga... tapi juga mengusik jiwa.

Hembusan napas berpadu dalam bisikan. Suara ranjang bergerak lembut, seperti mengikuti tarian malam yang diciptakan dua hati yang masih mencari bentuk cintanya.

“Aku mencintaimu, sayangku,” ucap Shaz di sela desah, suaranya pecah dan penuh hasrat yang menahan.

Alysaa menggigit bibirnya, matanya berkaca. Tubuh mereka kembali menyatu, kali ini lebih dalam, lebih yakin, lebih jujur.

Di tengah irama malam yang kian menggelora, suara Alysaa melengking lembut, tak bisa lagi menahan gelombang rasa yang menerjang seperti ombak di tengah badai.

"Ashhhhh, sayangg....... pleasee!" desahan Alysaa semakin membangkitkan hasrat Shaz saat dirinya mencapai puncak kenikmatan atas cinta mereka.

Ia mencengkram sprei dengan kuat melepaskan kenikamatan yang tak terhingga.

Dan saat Shaz juga mencapai puncak yang tak bisa diungkap kata, malam pun menggigil pelan.

Tak hanya karena gairah, tapi karena cinta yang selama ini sembunyi... akhirnya berani muncul ke permukaan meski hanya dalam dekapan sesaat.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 46 - Bunga Lili yang Berguguran

    Langkah Raheem tergesa, mengikuti Shaz yang terus melangkah menjauh dari rumah besar itu. Napasnya masih belum teratur, pikirannya belum pulih dari ketegangan barusan.“Raheem!”Sebuah suara memanggilnya dari belakang.Ia menoleh cepat.Seorang perempuan berdiri di antara para tamu. Kebaya warna lilac yang ia kenakan terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Mata bulatnya memandang penuh harap, dan seulas senyum lembut tersungging di bibirnya.“Raheem, ini aku. Kau masih ingat?”Raheem mengernyit. Matanya menyipit, mencoba mengingat. “Kau… temannya Alysaa?”Perempuan itu terkekeh. “Iya. Aku Maya. Kita pernah bertemu di Malaysia. Kau dan Shaz mengantar kami kebandara, kau ingat?”“Oh, ya! Aku ingat sekarang,” Raheem mengangguk pelan, nada suaranya mulai hangat. “Yang satu lagi, ke mana?”“Radya? Dia masih di dalam, bersama tamu-tamu yang lainnya.” Maya melirik ke arah rumah.Ada jeda hening sejenak. Keduanya saling menatap, seperti mencoba menyesuaikan diri dal

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 45 - Pergilah !

    Langkah kaki Shaz terdengar pelan di sepanjang sisi rumah besar itu. Jalan setapak kecil yang sempit dan ditumbuhi kembang sepatu mengantarnya ke area belakang—halaman terbuka dengan pohon mangga besar di sudutnya.Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat sebagian acara di dalam. Hiasan pita dan bunga-bunga melambai ditiup angin, tamu-tamu bersorak kecil saat hidangan mulai disajikan. Tapi telinganya hanya menangkap satu pertanyaan yang berdengung keras dalam benaknya:“Apakah aku sudah terlambat?”Ia menepis keraguan, memantapkan langkah secepat mungkin—seperti pria yang mengejar takdirnya yang hendak direbut dunia.“Shaz, tunggu!” seru Raheem dari belakang, menarik lengannya. “Apa kau yakin ini cara yang tepat?”Shaz menatapnya dengan mata yang berapi. “Kalau aku pergi sekarang, aku akan menyesal seumur hidup.”Beberapa tamu menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar dari berbagai sudut.“Siapa itu?”“Tampaknya bukan dari pihak keluarga…”“Tapi… tampan sekali, ya?”Seorang pria paruh baya b

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 44 - Lamaran

    Shaz menarik napas lega... tapi hanya sedetik. Hinggga tiba seseorang lewat—seorang tetangga wanita berusia sekitar empat puluhan, membawa tas plastik berisi sayuran. Ia menatap mobil-mobil itu dan berseru dengan suara cukup keras.“Wah, udah dateng ya? Banyak banget mobilnya. Lamaran besar, ya, Bu Sari?”Ibu warung—Bu Sari—menoleh cepat.“Lamaran?”“Iya, katanya calon mantu Pak Ardan datang hari ini. Dari Kota Bandung, atau mana, saya lupa.”Shaz tak mengerti semua kata itu, hanya frasa: “lamaran”.Tapi cukup. Itu kata yang menghantam kepalanya seperti batu.Ia langsung membuka G****e Translate dan mengetik dengan cepat.“Maaf, ini hari lamaran? Lamaran siapa?”Ibu Sari membaca, ragu sejenak… lalu menatap Shaz lebih lama. Kerutan di wajahnya tampak berubah jadi empati yang dalam.“Kata tetangga barusan sih… anak Pak Ardan yang mau dilamar. Cantik sekali lho. Rombongan mobil mewah itu ternyata rombongan calon pengantin pria"Shaz menunduk. Udara terasa tipis. Botol air mineral dalam ta

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 43 - Kenangan Masa Depan

    Mobil berwarna hitam metalik melaju pelan melewati jalanan yang meliuk di kaki pegunungan. Aroma khas daun teh yang lembap memenuhi udara, sementara hamparan kebun menghijau di kedua sisi, seolah ikut menyambut dua pria asing yang tengah membawa misi dari masa lalu.Di balik kemudi, Shaz menggenggam setir dengan kedua tangan. Tatapannya fokus, namun hati dan pikirannya masih jauh, tertinggal di tempat bernama ketakutan. Ia hampir tak mengucapkan sepatah kata pun sejak keluar dari hotel pagi itu. Hanya suara GPS dan hembusan napas panjang yang memenuhi kabin.Raheem, duduk di kursi penumpang dengan pandangan tak kalah tegang, sesekali melirik ke arah luar jendela. “Tempat ini… terasa seperti perhentian terakhir, ya?”Shaz mengangguk sekali. “Kalau kita salah alamat, aku nggak tahu lagi harus kemana.”Angin tipis pegunungan berembus lewat celah kaca, namun suasana di dalam mobil tetap terasa pengap. Shaz memegang setir erat-erat, seolah jalan yang ia tempuh kali ini adalah jalan satu-sa

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 42 - Menuju Rumah Mertua

    Kafe itu masih sama.Aroma kopi hangat masih menguar dari mesin espresso di balik meja kasir. Tapi bagi Shaz, tempat itu seperti lukisan lama yang warnanya memudar—masih familiar, tapi tak lagi menyimpan kehangatan.Ia berdiri di depan meja pemesanan. Matanya menelusuri wajah-wajah barista yang sibuk. Tak satu pun yang ia kenali.“Bahkan semesta seperti menutup semuanya dariku,” gumamnya lirih. “Karyawan yang dulu memberi tahu tempat tinggal Alysaa… tidak ada.”Shaz melangkah pelan ke arah kursi pojok yang pernah ia duduki saat pertama kali datang ke Bandung bersama Raheem. Kursi itu masih di sana. Sunyi. Seolah menunggu luka lama untuk duduk kembali.Raheem mendekat, membawakan dua gelas kopi dan sepiring kue kecil.“Sudah, duduklah. Kita pikirkan lagi. Mungkin ada petunjuk lain,” ujarnya sambil menyodorkan gelas kopi ke Shaz.Shaz mengambilnya tanpa banyak bicara. Cairan hangat itu menyentuh bibirnya, tapi tak menyentuh hatinya.“Kau tahu kontaknya Maya atau Radya?” tanyanya pelan,

  • Mencari Istriku di Masa Lalu   Bab 41 - Terlambat

    Bandara Kuala Lumpur dipenuhi suara langkah tergesa, pengumuman keberangkatan, dan aroma kopi dari kios di sepanjang terminal. Tapi tak satu pun dari itu menyentuh kesadaran Shaz. Ia duduk di kursi tunggu dengan punggung membungkuk, tangan terkepal, dan mata tak lepas dari layar ponsel yang kosong dari notifikasi.Raheem duduk di sebelahnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Bahkan ia tak perlu bertanya untuk tahu bahwa Shaz sedang mencoba menahan napas yang sejak lama terasa menggantung.“Raheem,” gumam Shaz pelan, “nomormu masih diblokir?”Raheem menggeleng pelan. “Iya, Shaz. Dia benar-benar... menghilang.”Shaz memejamkan mata. Wajah Alysaa—matanya yang jernih, bibir ranumnya—terus muncul di bayangannya. Tapi kali ini, senyumnya menjauh. Buram. Terhapus perlahan.“Bagaimana kalau… dia sedang hamil?” suaranya terdengar rapuh.Raheem menghela napas. “Kalau dia yakin hamil, mungkin dia nggak akan segan buat cari kamu. Tapi kalau dia yakin tidak…” Ia menatap Shaz dengan sorot la

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status