Home / Rumah Tangga / Tak Pernah Aku tak Mencintaimu / Bab 2 – Perempuan dalam Kotak Kayu

Share

Bab 2 – Perempuan dalam Kotak Kayu

Author: Sofia Saarah
last update Huling Na-update: 2025-06-06 21:52:50

Matahari baru menembus tirai tipis di kamar mereka. Cahaya keemasan jatuh tepat di sisi tempat tidur Alysaa, menyilaukan kelopaknya yang perlahan terbuka.

Di sebelahnya, Shaz sudah bangun sedang mengenakan kemeja putih dan celana kerja abu gelap, rambutnya basah dan sisirnya masih tergantung di telinga.

“Pagi,” sapa Shaz, suaranya datar.

Alysaa mengangguk, ia keluar dari kamar mandi dengan menggunakan mini dress yang memperlihatkan lekuk tubuh sexynya . “Pagi. Sarapan sebentar, ya? Aku buatkan.”

Shaz hanya mengangguk tanpa tersenyum, lalu melirik jam tangannya. Ia mengancing kemeja dengan cepat, memasukkan kunci mobil ke dalam saku, dan berjalan menuju dapur.

Alysaa mengikuti di belakangnya, mengambil piring dan menyajikan telur orak-arik, roti panggang, dan secangkir teh hangat. Semuanya disusun rapi di meja makan marmer.

“Kalau kamu mau, nanti siang aku bisa belanja, isi kulkas. Biar kita nggak makan dari luar terus,” ucap Alysaa sambil duduk.

Shaz hanya menjawab dengan satu anggukan. Ia duduk, mengambil setengah potong roti, menggigitnya perlahan. Lalu bangkit sebelum sempat menghabiskan separuhnya.

“Aku pergi dulu.”

Alysaa menoleh, menatapnya. “Nggak... ada cium selamat pagi?”

Shaz berhenti di ambang pintu, membalikkan badan, tapi hanya tersenyum kecil. Bukan senyum yang menyentuh, bukan yang ia harapkan.

“Nanti malam ya, assalamualaikum,” katanya datar. Lalu pergi.

Pintu tertutup pelan. Tapi bunyinya di telinga Alysaa seperti dentuman. “Waalaikumsalam.” Jawab Alysaa perlahan.

Setelah membersihkan piring dan merapikan meja, Alysaa berjalan pelan menyusuri apartemen.

lni hari pertamanya sendirian di tempat ini. Di rumah suaminya. Tempat yang seharusnya menjadi rumahnya juga.

Tangannya menyusuri dinding lorong kecil yang mengarah ke satu pintu tertutup. Saat dibuka, tampak sebuah ruang kerja sederhana, rak-rak kayu tinggi yang penuh buku hardcover dan majalah desain.

Meja kerja dari kayu walnut dengan laptop dan tumpukan dokumen, serta aroma khas buku tua yang menguar.

Alysaa tersenyum kecil. Ia selalu suka buku. Di rumahnya di Bandung, ia punya rak sendiri yang penuh novel dan jurnal.

Matanya menyapu rak buku milik Shaz, ia mulai menyentuh punggung-punggung buku yang tersusun rapi.

“Business in Middle East Markets”,

“The Art of Strategic Silence”,

“Qur’an and the Modern Mind”...

Buku-buku itu mencerminkan suaminya yang serius, tertutup, logis.

Namun, saat tangannya menarik satu buku tebal berjudul “Cultural Crossings in Marriage”, terdengar suara benda kecil terjatuh di belakang rak.

“Apa ini…”

Alysaa meraih celah di antara dua baris buku dan menemukan sebuah kotak kayu. Warnanya gelap, berdebu, dan agak berat saat diangkat. Perasaannya mulai tak enak.

Dengan jari yang sedikit gemetar, ia membuka kotak itu. Hanya sedikit udara yang keluar, tapi cukup untuk menyesakkan dadanya.

Di dalamnya ada tumpukan foto polaroid dan cetakan digital, beberapa mulai memudar. Di setiap fotonya, Shaz tampak lebih muda, tapi tak kalah memesona.

Namun, di sebelahnya... ada seorang perempuan cantik berambut cokelat keemasan, bermata tajam dan berkulit putih pucat.

Mereka terlihat tertawa. Berpelukan. Duduk di taman, di restoran mewah, dan bahkan di sebuah sofa dengan pelukan erat yang nyaris terlalu intim untuk dilihat siapa pun selain mereka sendiri.

Alysaa meraih satu foto yang berada paling atas. Di pojoknya tertulis dengan tinta hitam.

"Jazzlyne, my love."

Jantungnya seperti berhenti sejenak.

Jazzlyne. Nama itu belum pernah ia dengar. Tapi dari cara huruf-huruf itu ditulis, dari setiap posisi tubuh dalam foto-foto itu jelas ini bukan sekadar teman lama. Ini... cinta.

Perlahan, kotak itu terasa berat di pangkuannya. Ia meletakkan foto-foto itu satu per satu di atas meja kerja. Semuanya memiliki benang merah.

Mata Shaz terlihat lebih hidup dalam foto-foto itu. Ia tersenyum bukan sekadar formalitas.

Ia memeluk, menatap, bahkan mencium dahi wanita itu dalam satu foto yang terasa terlalu mirip dengan tadi malam.

Alysaa menutup kotak itu kembali. Tapi kenangan yang ia buka... tak bisa dikunci kembali.

Ia bangkit, berjalan kembali ke ruang tamu dengan langkah tak tentu arah.

Matanya mulai memanas. Kepalanya penuh pertanyaan. Tangannya ingin menghapus semua itu dari pikiran, tapi bayangan senyum Shaz ke wanita itu, senyum yang belum pernah ia lihat sejak mereka menikah menghantui.

Ia terduduk di sofa. Hening. Lalu menunduk, menatap cincin di jari manisnya.

“Kenapa kamu nggak pernah tersenyum ke aku... seperti kamu tersenyum ke dia?” gumamnya.

Hatinya gemetar. Ini bukan soal kecemburuan. Tapi soal kenyataan. Ada ruang di hati Shaz yang belum pernah ia masuki.

Alysaa duduk diam di sofa ruang tamu. Jari-jarinya masih bermain di permukaan cangkir teh yang sudah dingin. Tapi bukan teh itu yang membuat tenggorokannya terasa pahit.

Ia kembali memikirkan foto-foto tadi. Tatapan mata Shaz yang begitu hidup dalam pelukan perempuan bernama Jazzlyne hangat, bebas, penuh cinta.

Tatapan yang tak pernah ia temui dalam pelukan mereka sendiri, bahkan saat tubuh mereka menyatu malam sebelumnya.

Bahkan ketika dia mengucap 'aku mencintaimu', aku tidak merasakan itu sampai ke jantungku..., pikirnya getir.

Ia menyandarkan kepala ke sofa, matanya menatap langit-langit apartemen itu yang mewah tapi kosong. Lalu tanpa sadar, bisikannya lolos, lirih namun jelas, “Apa aku hanya... pelarian?”

Alysaa memejamkan mata. Tangannya menggenggam erat bantal kecil di sebelahnya.

“Kalau kamu benar-benar mencintaiku, Sayang,” bisiknya lagi, “kenapa kamu tak pernah mencintai aku... seperti kamu mencintainya?”

Pukul lima sore, pintu apartemen terbuka. Alysaa bangkit dengan cepat dari sofa, menegakkan tubuhnya, berusaha menyembunyikan sisa perasaannya.

Shaz masuk sambil membawa buketan besar berisi tiga puluh tangkai mawar merah yang terbungkus rapi dalam kertas hitam doff. Wajahnya tampak cerah, jarang-jarang pulang lebih awal.

“Sayang,” ucapnya pelan, berjalan mendekat, “aku pulang lebih cepat hari ini. Aku tahu kamu mungkin merasa canggung sendirian di rumah... jadi aku pikir, kenapa nggak kasih kejutan sedikit?”

Ia mengulurkan buket mawar itu dengan senyum yang dipaksakan lembut. Tapi senyum itu tak mendapat sambutan.

Alysaa menatap buket mawar itu lama. Sangat lama. Lalu akhirnya berkata, “Aku nggak suka mawar merah.”

Shaz berkedip, ekspresinya langsung berubah. “Kamu... nggak suka?”

“Bunga favoritku lili putih. Aku pernah cerita.”

Shaz terdiam. Tangannya turun perlahan. “Maaf... aku pikir kamu suka mawar.”

Alysaa memeluk tubuhnya sendiri, lalu tersenyum tipis tapi pahit. “Atau mungkin... kamu pernah membelikan mawar merah itu untuk perempuan lain. Dan hari ini kamu pikir aku juga akan tersenyum seperti dia.”

Shaz menatap Alysaa tajam. Matanya seperti mencari tahu maksud sebenarnya dari ucapan itu.

“Apa maksudmu?” tanyanya, nada suaranya lebih berat. “Sayang, kenapa kamu bicara begini?”

Alysaa tak langsung menjawab. Ia hanya menatap suaminya lama, sunyi, nyaris menyedihkan.

“Aku cuma merasa... kamu tersenyum lebih tulus di masa lalu dibandingkan hari ini. Bahkan saat bersama perempuan yang... bukan aku.”

Shaz memicingkan mata. “Sayangku, kamu kenapa? Apa maksudnya semua ini?”

Ia mendekat, meletakkan bunga itu di meja. “Apa ini tentang aku tadi pagi? Aku terburu-buru. Tapi aku pulang lebih awal, aku mau menebusnya. Kenapa kamu jadi dingin?”

Alysaa menahan air matanya agar tak tumpah. Tapi luka di hatinya mulai menuntut untuk diungkap.

Ia menatap suaminya tajam, lalu berkata pelan, “Aku cuma ingin tahu... saat kamu menikahiku, apa kamu benar-benar sudah selesai dengan masa lalumu?”

Shaz tercenung. Sorot matanya berubah seketika. Dan sebelum sempat ia menjawab...

Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku.

Ia mengangkat. “Hello?”

Diam beberapa detik. Lalu nada suaranya berubah panik, serius.

“What? Now??”

Alysaa memperhatikan perubahan ekspresi Shaz dengan detak jantung yang mulai tak karuan.

Shaz menutup telepon, lalu mengambil jasnya cepat-cepat.

“Ada apa?” tanya Alysaa.

Tapi Shaz tak menjawab. Ia hanya berkata, “Aku harus pergi. Urgent. Tunggu aku di rumah.”

“Shaz, siapa itu?”

Shaz menatap Alysaa dengan ekspresi yang sulit dibaca.

“Dia butuh aku.”

Dan pintu pun tertutup kembali. Meninggalkan Alysaa terpaku.

"Dia?"

Pikiran Alysaa kembali di penuhi curiga, rasa jengkel dan dadanya kembali sesak saat suaminya mengatakan kata “Dia”.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 12 - Kenangan dan Kerinduan

    Langit Kochi sore itu mulai memudar warnanya, berubah dari biru laut menjadi oranye lembut, seperti susu teh yang terlalu lama diaduk. Jalanan kecil di sekitar lingkungan keluarga Alavi tampak sibuk dengan aktivitas khas penduduk lokal.Shaz menyalakan motor matic-nya Hero Maestro edisi 2016 yang masih gagah berdiri, berwarna hitam doff dengan stiker kecil “Ride Safe, Not Fast” di bagian samping. Ia tersenyum kecil saat tangannya menyentuh setang motor itu. Motor yang masih akan ia gunakan hingga tahun 2025. Saksi bisu banyak perjalanan... dan luka."Kau masih hidup, ya? Bahkan mesinmu lebih setia daripada beberapa manusia,” gumamnya sambil menekan starter.Mesin motor menyala halus. Shaz melaju perlahan melewati gang kecil di pinggir jalan menuju rumah Raheem. Jalan itu... begitu familiar. Tapi kali ini, waktunya yang berbeda. Langit, bau rempah dari dapur warga, dan suara pedagang lewat semuanya terasa seperti lukisan nostalgia.Ia sempat melambatkan laju motornya saat melewati bari

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 11 - Langkah Menuju Alysaa

    Sore hari di Kochi terasa hangat dan tenang. Cahaya matahari menyusup pelan lewat kisi-kisi jendela kamar Shaz, menyapu lembut meja tempat laptopnya terbuka. Aroma kapulaga dan cengkeh dari dapur sesekali terbawa angin, menandakan Mami sedang menyeduh teh sore.Tapi kali ini, Shaz tak menyentuh teh. Ia duduk tegak, mengenakan kemeja putih dan jam tangan sederhana. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih. Tak ada jejak lelah atau bimbang.Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan ruang rapat virtual dengan tiga wajah yang tampak formal dan tajam.Perempuan berhijab bernama Farah Iskandar dari tim HR.Pria berkacamata bernama Anand Mehra, Kepala Departemen Analisis Pasar.Dan satu lagi wanita berkacamata elegan bernama Datin Amira, Wakil Presiden Wilayah Asia Tenggara.“Selamat sore, Tuan Shahjaz. Apakah suara kami terdengar jelas?”Shaz mengangguk, senyumnya sopan dan tenang.“Jelas sekali. Selamat sore. Terima kasih atas kesempatannya.”“Baik. Mari kita mulai dengan perkenalan

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 10 - Aroma, Usaha, dan Jalebi Takdir

    Hari-hari berlalu seperti teh tanpa gula, mengalir, tapi hambar.Setiap pagi, Shaz terbangun dengan harapan kecil yang absurd, semoga ketika ia membuka mata, ia sudah kembali ke apartemen mereka di Doha. Bahwa ia akan mendengar suara khas Alysaa saat merapikan selimut, mencium aroma kopi buatan istrinya, dan memeluk tubuh hangatnya yang wangi vanilla-honey, khas shampoo mahal kesayangannya.Tapi yang ada hanyalah guling biru dongker.Dan kipas langit-langit yang berdecit seperti suara dosa kecil.Shaz tetap memeluk guling itu erat, menutup mata seolah bisa memaksa semesta mengembalikannya ke pelukan Alysaa. Tapi yang terasa hanya… dingin.Lalu, ada yang aneh pagi itu.Guling yang ia peluk… mengeluarkan aroma. Aroma yang sangat ia kenal. Aroma tubuh Alysaa. Bukan hanya samar. Jelas. Menggoda. Membuat jantungnya menjerit lirih.Ia terperanjat. Bangun cepat. Duduk tegak.Matanya melotot ke arah guling yang kini kembali netral.“Guling haram,” gumamnya panik.Ia mengendus bajunya. Udara.

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 9 - Roti Canai, TrueLove, dan Takdir yang Terlambat

    Ponsel masih bergetar ringan di tangan Shaz.“Raheem calling…”Shaz akhirnya menekan tombol hijau.“Halo?” suaranya berat, masih setengah emosional.Suara Raheem langsung menyambar cepat dari seberang.“KU DENGAR DARI AFZAL KAU PULANG KE INDIA?!”Shaz menjauhkan ponsel dari telinga. “Iya...”“Baiklah, kawan,” suara Raheem menurun setengah dramatis, “aku akan ke rumahmu sekarang. Ceritakan padaku... apa yang wanita Argentina itu lakukan padamu.”Shaz memejamkan mata. “Dia dari Portugal, Raheem. Kau ingat?”“Portugal... Argentina… sama aja. Aku pendukung Ronaldo, jadi siapapun mantanmu, aku anggap dari negara Messi!”Shaz mendesah panjang. “Terserah kau.”“Aku serius. Kalau dia dari Argentina, berarti dia bagian dari taktik Messi menjatuhkan Ronaldo. Dan kau… korban konspirasi global.”“Raheem… ini bukan Piala Dunia.”“Justru karena itu aku datang! Tunggu aku di sana. Siapkan teh panas dan dua roti prata. Kita akan membedah trauma dan strategi comeback!”Shaz menggeleng, tapi senyum tip

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 8 - Mawar Merah dan Luka Lama

    Setelah sesi psikiater yang terasa seperti talk show keluarga, Shaz akhirnya masuk lagi ke kamarnya. Kepalanya berdenyut, pikirannya campur aduk.Ia menjatuhkan diri ke kasur, lalu melirik meja samping.Di sana, iPhonenya masih iPhone 7 Jet Black, rilis paling keren tahun itu, dan baterainya sudah terisi penuh.“Mungkin Afzal yang charge,” gumamnya.Ia mengambil ponsel itu, memeriksa casingnya yang sudah sedikit retak di sudut."Ini... benar-benar ponsel lamaku," desahnya.Terakhir kali ia pegang ponsel, itu iPhone 16 Pro Max dengan tiga kamera segede kamera CCTV. Tapi ini? Hape yang harus digeser dulu buat lihat notifikasi.Ia membuka kunci layar.Backgroundnya… langit senja di Kerala. Icon aplikasinya masih jadul. Bahkan, Instagram masih belum punya fitur story!“Kalau memang aku kembali ke masa lalu… berarti Alysaa sekarang ada di Indonesia?”Shaz buru-buru membuka Instagram. Sinyalnya lelet. Loading-nya muter kayak fidget spinner."Astaghfirullah… sinyal Wi-Fi rumah tahun 2017 mem

  • Tak Pernah Aku tak Mencintaimu   Bab 7 - Pasien dari Masa Depan

    Shaz masih terduduk di tangga, wajahnya tertutup tangan. Pikirannya kacau. Nafasnya pendek. Dadanya sesak.Ia mendongak perlahan, matanya memindai ruang tamu. Pandangannya jatuh pada kalender duduk di atas meja sudut. Tangannya bergerak cepat meraihnya.Maret 2017.Tertulis jelas. Tanpa belas kasihan.Shaz menatap tanggal itu lama-lama. “Ini... nyata?” gumamnya lemas.Di atas sofa, Afzal sedang duduk santai sambil memainkan sendok teh di gelas chai-nya. Ia menoleh sambil mengangkat alis. “Bibi... aku rasa dia benar-benar depresi.”Mami yang baru kembali dari dapur mengangguk pelan, sambil membawa sepiring samosa. “Kau benar, Afzal. Matanya kosong. Tatapannya... seperti habis diputusin dua kali oleh wanita yang sama.”“Tapi aku nggak diputusin!” Shaz berdiri. “Aku... aku menikah!”Afzal menyipitkan mata. “Waduh, parah. Sudah delusi. Parah banget.”Shaz memijat pelipisnya. Suasana di rumah makin suram—dan lucu sekaligus tragis.Pintu depan terbuka. Seorang pria berwibawa masuk dengan se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status