Share

Bab V Cinta Masa Lalu

Bab V

Tak Seindah Malam Pertama

(Cinta Masa Lalu)

Maya membantu bu Marni menyiapkan semua masakan untuk makan pagi dengan tidak banyak berkata. Ia takut salah ucap, yang justru akan menjadi bumerang untuk dirinya. Biarlah dia mengalah, tak banyak berkata. Bukankah bu Marni adalah surga untuk suaminya.  Maya menyadari bahwa Ibnu sangat berjasa dalam hidupnya. Entah apa jadinya, jika tidak ada Ibnu yang menikahinya. Seperti apapun sikap bu Marni terhadapnya. Nyatanya bu Marni lah yang telah bertaruh nyawa melahirkan Ibnu, hingga Ibnu kini hadir di kehidupannya.

*********************************

"Aku sudah menikah, Mas. Pergilah!" Ucapan Maya beberapa hari yang lalu terus membayangi Danu. Suara lembut Maya terus berdengung di telinganya. Jangan tanya bagaimana hatinya. Hancur lebur. Sakit tak berdarah. Danu tak menyangka bahwa kepulangannya akan disambut dengan kenyataan yang begitu menyakitkan.

Selama ini, Maya adalah semangatnya. Ia nekat pergi, bekerja menjadi tim pelayaran hanya demi Maya. Ia ingin meminang Maya dengan pantas, memberikan mas kawin yang tak biasa. Ia telah menyiapkan sebuah rumah, yang sengaja ia bangun untuk menjadi istana bagi keluarga kecilnya bersama Maya.

Selama 2 tahun Danu hidup di atas lautan. Siang malam ia bekerja menjadi pelayan di restoran mewah sebuah kapal pesiar. Danu yang sebenarnya memiliki fobia dengan laut, berhasil melawan rasa takutnya demi seorang Maya. Iming-iming gaji 25 juta/bulan membuat Danu mantap memutuskan ikut kakaknya bekerja di kapal pesiar. hingga ia tak sempat berkirim kabar pada Maya.

Dua tahun yang lalu, sebenarnya Danu hanya berniat untuk mengantar sang kakak ke dermaga, sang kakak memang sudah lama bekerja di kapal pesiar. Sesampainya di dermaga, ternyata salah satu teman kakaknya meninggal dunia akibat kecelakaan. Sang kakak menawarkan Danu untuk ikut dengannya menggantikan temannya yang telah meninggal. Seluruh syarat dan keperluan Danu yang mendadak diatur oleh sang kakak. Bukanlah hal sulit bagi kakaknya untuk membawa Danu karena ia telah mengenal dan sangat dipercaya oleh pemilik restoran di kapal pesiar itu.

Danu yang saat itu memang sedang mencari pekerjaan, akhirnya bersedia. Maya menjadi alasan terkuatnya untuk menerima tawaran sang kakak. “Dua tahun, hanya dua tahun, Maya pasti setia menungguku.” Batin Danu penuh keyakinan.

Setelah lebih dari delapan tahun mereka membina hubungan, bahkan telah banyak hal yang mereka lakukan. Danu yakin Maya akan setia menunggunya. Ternyata harapan Danu tidak sejalan dengan kenyataan. Perjuangannya sia-sia. Ia kecewa, juga patah hati.

“Kenapa, May … Kenapa kamu melakukan semua ini?!” Danu terus saja menyesali pernikahan Maya.

“Begitu mudahnya kamu melupakan cinta kita, May?”

Danu memandang foto Maya. Foto yang ia ambil di malam sebelum ia pergi. 

Danu marah. Tangannya meremas kuat Handphone yang ada di tangannya. Handphone yang telah 2 tahun tidak ia buka karena tertinggal di rumah saat mengantar kakaknya ke dermaga. Itulah sebabnya kenapa Danu sama sekali tidak mengabari Maya akan kepergiannya. No telepon Maya tersimpan di Handphone itu, sementara Danu tidak hafal, sehingga ia kesulitan menghubungi Maya.

“Maya!” Danu berteriak, melempar Handphone yang penuh dengan kenangan itu ke dinding kamarnya. Tidak hanya itu, Danu juga bekali-kali memukul dinding kamar dengan tangannya. Emosinya memuncak. Dia tak peduli tangannya berdarah. Sakit di tangannya tak seberapa, hatinya jauh lebih sakit.

Tak berselang lama, terdengar suara pintu kamar dibuka. “Ya Allah, Danu. Istighfar, Nak.” Mama Sukma, ibunda Danu datang. Ia yang baru saja tiba di rumah itu kaget mendengar Danu berteriak.  Mama Sukma semakin kaget melihat Danu yang tampak begitu berantakan. Badannya lusuh, matanya merah dengan rambut yang acak-acakkan. Entah sudah berapa hari Danu tidak tidur, tidak makan, juga tidak mandi. Mama Sukma belum pernah melihat putranya seberantakan ini. Pantas hatinya tidak tenang sejak beberapa hari terakhir. Keputusannya untuk menemui Danu tepat. Danu sedang membutuhkan tempat untuk bersandar.

Sejak pulang dari kapal pesiar, Danu memang memilih tinggal di rumah barunya. “Ingin menata dan mendekorasi rumah, Ma. Biar istriku nanti senang saat aku bawa ke rumah.” Alasan Danu waktu itu saat Mama Sukma menanyakan kenapa Danu memutuskan untuk tinggal terpisah dengannya.

Mama Sukma sesungguhnya merasa keberatan, dua tahun ia tak bertemu dengan Danu, ia masih ingin melepas rindu dengan putra bungsunya. Tapi demi melihat pancaran mata Danu yang begitu bersemangat, Mama Sukma tidak tega melarang.

Mama Sukma panik saat melihat tetesan darah di lantai. “Danu, tanganmu berdarah, Nak.” Cepat Mama Sukma berlari menuju ke mobilnya. Seingatnya, ia memiliki kotak P3K yang selalu ada di dalam mobil. Benar saja, di bagasi mobilnya, terdapat kotak warna putih yang berisi aneka obat dan bahan medis rumahan. Segera ia tutup kembali mobilnya, berjalan cepat menuju kamar Danu sambil membawa kotak P3K itu.

Sesampainya di kamar, Mama Sukma mendekati Danu, meraih tangan Danu yang berdarah. “Tidak semua hal yang terjadi disekitar kita sesuai dengan harapan kita, Nak. Ada kalanya kita perlu merasakan sakit juga kecewa. Rasa itu hadir bukan untuk membuat kita lemah, tetapi justru membuat kita semakin kuat dan kokoh.” Telaten Mama Sukma mengolesi luka Danu dengan betadine.

“Mama yakin, kamu bisa melewati semua. Kamu kuat, Nak, dan pasti kuat.” Lanjut Mama Sukma lagi sambil membalut luka Danu dengan perban.

“Pasrahkan pada Sang Sutradara kehidupan, Nak. Yakinlah bahwa skenario-Nya adalah yang terbaik. Berbaik sangkalah pada-Nya agar hatimu tenang. Bukankah setelah hujan badai pun, masih ada pelangi yang akan hadir.” Lembut Mama Sukma menyisir rambut Danu yang berantakan. Setelahnya, ia bangkit keluar kamar, berniat menyiapkan makan siang untuk Danu. Perut lapar akan membuat seseorang kesulitan mengendalikan diri.

Mama Sukma sengaja meninggalkan Danu sendiri, membiarkan putra bungsunya itu berfikir, juga menenangkan hati. Dia hafal betul dengan sifat Danu. Meski emosinya meledak-ledak, tetapi Danu akan mudah memaafkan orang lain. Dia hanya membutuhkan waktu untuk mengolah emosinya. Pada hakikatnya, Danu memiliki hati yang lembut.

“Jadi kekasihmu itu yang membuat kamu jadi seperti ini, Nak?” Mama Sukma tersenyum.

“Ceritanya patah hati?” Ledeknya kemudian.

Mama Sukma tidak tahu bahwa yang Danu rasakan bukan hanya sekedar patah hati. Setengah jiwanya pergi. Hilang. Danu menjadi pesakitan. 

“Maya segalanya buat aku, Ma. Dia semangatku. Aku bahkan rela berlayar selama 2 tahun, meninggalkan Mama sendiri demi dia.” Danu berkata dengan suara bergetar.

“Rumah ini pun aku bangun untuk menyenangkan hatinya. Rencananya aku ingin menikahinya dengan mahar rumah ini, Ma,” lanjut Danu kemudian.

Mama Sukma tersenyum, ia baru tau bahwa alasan Danu berlayar adalah demi menikahi seorang perempuan. “Oooh … jadi namanya Maya?” Tenang Mama Sukma menanggapi.

“Mama jadi penasaran, seperti apa kekasihmu yang bernama Maya itu. Sampai-sampai kamu seperti tadi, Nak.” Masih tersenyum Mama Sukma berucap.

“Maya itu ….” Tertahan Danu bercerita. Matanya berseri membayangkan sosok seorang Maya.

“Istimewa,” lanjutnya kemudian.

Mama Sukma terpana melihat Danu. Mata Danu memancarkan begitu banyak cinta, juga rasa kagum. Putra bungsunya begitu mendamba perempuan bernama Maya. Sebagai seorang ibu, ia merasa iba pada putranya. Ia hanya bisa berdoa. ”Semoga Danu dapat melewati semuanya. Semoga Danu menemukan cinta yang sebenarnya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status